"Ay, jajan yuk.. laper nih gue", rengek seorang gadis sambil meniup sejumput rambut yang jatuh dikeningnya.
"Gue yang nentuin tapi, deal?"
"Iyaiya serah dah bodoamat, buruan kemana kita?"
"Es jagung hulahumba Pak Dadang aja,"
"Hah? Apa? Hula..apa?"
"Hulahumba. Elah, kuping lo napa sih heran gue",
"Ya abis apaan anjir. Hulahumba apaan?"
"Hawai,"
"Bodoamat, Ay."
"Muehehehehe. Yuk buru, katanya laper,"
°°°
"Ay..", bisik gadis itu, "hah? Paan?"
"Lo kok gak bilang Pak Dadang ini mangkal di depan SMA GARUDA?"
"Lo gananya ta— ",
"Ya lo kasih tau gue aja gitu kek, elah", sergahnya. Makhluk bernama Ay itu mengerjap. Kaget. Asu!, batinnya.
"Ya buat apa juga, buang-buang napas. Lagian es jagungnya enak gini kok."
"Enak emang, tapi kalo pulang tinggal nama ya ogah juga"
"Kok—", ucapannya menggantung diudara. Lagi-lagi ucapannya disargah, kepalanya tertoleh mendapati sekelompok gadis yang salah satunya—ia duga adalah ketua kelompok— mengeja sederet kalimat diatas saku kemeja yang ia kenakan.
"Aynaya Pradmadini... SMA 45? Nekat amat lo nunjukin muka kesini.", terdengar jelas nada sarkastik di ucapan gadis itu.
"Riana Laras—", ucapannya terpotong. Gadis bernama Riana itu menutupi nametag miliknya, "Lancang ya lo!", tangannya terulur hendak meraih rambut gadis yang menjadi tersangka disana.
Tap
Aynaya menepis, ia berdiri menyejajarkan tinggi dengan gadis bernama Riana Laras—apalah itu.
"Kalo gue lancang, apa kabar lo sendiri?", Riana menyipit, "Maksud lo apa?!!"
Brakk
Sekelompok gadis itu terperanjat, bahkan Pak Dadang dan beberapa pelanggan lainpun kaget.
"Lo duluan yang ganggu. Kita disini cuma mau minum es, salah emang? Pak Dadang jualan buat umum. Lo mau larang orang luar beli?", jeda sesaat , "uangnya dimeja ya pak. Makasih, esnya enak. Warga sini aja yang kurang enak kelakuannya. Cabut, Wid.", ujarnya sarkas.
"Tu—tunggu, Ay.", ia melangkah setengah berlari mengejar Aynaya. Meninggalkan sekelompok gadis SMA GARUDA yang termangu menatap punggung dua gadis itu.
°°°
"Ay, pelanin dikit kek jalan lo!"
"Lama amat, buruan sini elah.", Aynaya menimpali.
"Langkah lo yang kepanjangan bangcad..", gadis itu memberengut, hening. Ia menghampiri Aynaya, menatap wajahnya lekat-lekat, "muka lo... pucet, Ay."
Aynaya menarik tangan gadis itu, mengajaknya berlari ke gang kecil yang biasa mereka lewati.
"Ngapain si elah, cape gue"
"Mereka ga mungkin ngejar sampe sini kan ya?", ujar Aynaya terengah, melirik jalan dibelakangnya.
"Pfffffttt.. HAHAHAHAHA LO TAKUT JUGA TERNYATA?!"
"Puas ya lo ketawa."
"Sorry-sorry. Ya abis lo tadi berani gitu segala ngegebrak meja, sekarang pucetnya ngalahin anak-anak yang abis ngehirup bedak mbknya Bu Marni,"
"Kampret,", ia terkekeh, "da ah, cape gue. Pengen mandi, yok pulang."
"Lah tumben,"
"AJG,"
Mereka berdua terkekeh sambil berjalan, sesekali diselingi dengan obrolan perkara aroma bedak mbk Bu Marni—guru matematika disekolah mereka— yang mengundang ghibahan-ghibahan lainnya.