Bagian (1)
Digo memandang Gea yang tengah berbaring di Kasur dengan tatapan tak terbaca. Entah tatapan jijik, hina, jalng, mesum, atau tatapan lain yang biasanya Digo lakukan. yang pasti jauh dari kata baik. Gea teronggok ditelan selimut, meringkuk. Menguatkan hayinya yang mulai goyah, dia berjalan menghampiri perempuan yang semalam bercinta dengannya dengan sedikit brutal.
That's not about making love, just sex
Disibakkannya selimut itu menampilkan tubuh polos Gea yang terlihat begitu menggoda, menurutnya. Terbukti miliknya kini begitu menegang di bawah sana dan sesekali beerkedut tak keruan.
Not call her sweetheart, honey, baby, sweetcake, or whatever the sweet call.
"Wake up, bitch!" sesekali jemari tangannya menyusuri wajah Gea.
"Eunggghhh…" Erang gadis itu. Mendengar gadis itu mengerang justru membuat sesuatu dalam didi Digo bangkit.
"Bangun atau ku−"
Oh My, di bawah sana, dengan berani gadis iyu menyentuh ah tidak, memegang kejantanannya yang sedari tadi tegang. Apakah dia akan kuat melewati godaan ini.
***
Ada apa sih dia membangunkanku pagi buta begini? Lagipula dia kan sekarang tak perlu bekerja karena Digo akan keluar kota, tapi siapa yang mengusik tidurnya pagi ini. Sesaat tangannya terulur ke bawah untuk menaikan selimutnya, dia aneh.
Sejak kapan bentuk selimut keras dan menonjol. Ah aneh, biar ku pegang lagi. Tangannya yang tadi mengelus, kini malah mencengkramnya. Disusul suara desahan yang terdengar seperti erangan. Tiba-tiba mata gadis itu membulat sempurna saat dia menyadari yang dipegangnya ternyata adalah…
"Bisakah kamu menjauhkan tanganmu" suara sinis itu terdengar. Gea melihat Digo yang menatap ke sembarang arah, sementara pipinya tampak memerah.
Apa itu rona cinta?
Dia melihat tangannya yang ternyata masih menempel pada empunya. "Ah, Maaf" ringisnya. Digo menjauhkan tubuhnya dari ranjang itu meninggalkan kehampaaan bagi Gea.
Ranjang dan Cinta.
"Kenapa mas membangunkanku pagi-pagi, bukannya mas harus keluar kota?" tanyanya heran. Apalagi melihat raut wajah Digo yang tak terbaca. Namun yang Gea tahu pasti mata lelaki itu menatap dadanya terys sedari tadi. Jakunnya turun naik, dan menggeram saja tak mendengar pertanyaan Gea. Jangan bilang libidonya naik.
"Jangan mesum ya mas. Aku bahkan baru tidur beberapa jam loh." Gea menarik selimutnya berusaha menutupi ketelanjangannya di hadapan lelaki itu. Percintaan panasnya semalam memang sangat lama. Katanya biar lelaki itu mendapat amunisi untik beberapa hari ke depan.
"Cepat mandi dan pakai bajumu" Gea tak menangkap maksud apapun dari perkataannya itu selain nada perintah.
"Kita mau pergi ke mana? Kencan, kah? Tapi ini masih pagi"
"Kenapa?"
"Bukannya justru aku yang bertanya."
"Cepatlah ganti bajumu, kita akan pergi sebentar lagi. Oh iya, tidak usah panik sambil memasang raut wajah malu. Lagian aku semalam melihat seluruh tubuhmu, dan sama sekali tak tergoda,"
"MASSSS" setelahnya Digo keluar kamar dengan santainya membuat Gea merutuki sumpah serapah terhadap lelaki itu.
Katanya enggak kegoda, semalam minta berapa ronde. Munafik.
***
Diperjalanan Gea seakan sok-sokan membuang muka kea rah jalanan tak mau melihat Digo sedikitpun, katanya. Nyatanya beberapa kali, justru mencuri pandang melihat Digo yang tengah menyetir. Fokus ke jalanan.
Lalu lintas pagi ini amat lenggang sehingga mobil yang mereka tumpangi bias melaju cepat menuju tujuan. Bagaimana tidak, ini pukul setengah enam dan jangan lupakan fakta hari sabtu. Jelas saja, Jakarta aman macet.
Tapi bukan itu yang sejak tadi dipikirkan gadis itu. Mengenai kenapa Digo membangunkannya pagi-pagi sekali mengambil alih seluruh kewarasannya. Tidak biasanya. Setelah semalam dirinya menginap di apartemen mewah lelaki itu, biasanya dia akan membiarkan Gea mengurusi dirinya sendiri. Seolah tak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan Gea selanjutnya.
Apakah Gea akan sarapan, apakah dirinya harus mengantar gadis itu pulang, atau bagaimana jika Gea telat kantor. Semua jawabannya adalah masa bodo. Digo tak peduli dengan jalang itu. Murahan.
"Mas kenapa kita berhenti di sini?"
Rumah sakit.
"Tentu saja berobat." Ucapnya singkat membuat benak Gea dipenuhi sejuta tanya.
"Tapi, tapi, siapa yang sakit?"
"Memangnya harus sakit dulu bar uke sini?" pertanyaan retoris. Gea tak bungkam.
"Tapi.."
"Sudahlah ayo keluar." Lelaki itu keluar dan mendahuluinya seperti biasa seolah Gea adalah pembantu dan dirinya majikan.
Gea mengikuti setiap gerak-gerik lelaki itu. Mereka melewati Lorong putih khas rumah sakit dengan dokter dan suster yang berjalan berseliweran di dekat mereka.
"Dokter ini korban kecelakaan kebakaran. Kulitnya hangus dan terbakar, bahkan beberapa dagingnya sudah terkelupas" sayup-sayup Gea mendengar perkataan orang di dalam ruangan yang Gea dan Digo lewati. Mendengar itu membuat Gea bergidik ngeri. Kasihan sekali orang itu. Setelahnya mereka berjalan berbelok meninggalkan ruangan itu berganti dengan IGD.
Gea bias melihat ada beberapa brankar yang di dorong oleh beberapa orang, yang Gea tahu itu mungkin perawat.
"Aduhh" Gea mengaduh kesakitan saat tanpa sengaja salah satu brankar yang didorong dengan keras mengenai tubuhnya. Dirinya oleng dan hampir saja terjatuh jika saja seseorang yang sedang berdiri di sampingnya tidak sigap menolongnya.
"Mbak, gak papa kan?" masih dalam pangkuan lelaki asing Gea mengangguk lalu tersenyum. Setelahnya Gea mencoba melepaskan diri. "Ah, Maaf" Ucap si lelaki asing.
"Ehmmm" Gea melihat kea rah suara dan Digo berjalan mendekatinya cepat lalu menghembuskan sesuatu ditelinganya. "Berhentilah bersikap murahan, jalang." Secepat itu juga lelaki itu menjauh seolah tak mengenal dirinya. Lelaki itu berjalan tak menunggunya sama sekali.
"Terimakasih. Maaf saya harus segera pergi" ucap Gea pamit pada si lelaki asing. Sementara lelaki itu hanya tersenyum melihat kepergian Gea.
"Cantik." Ucapnya sambil menggeleng gelengkan kepala. Melihat gadis itu yang tengah berlari menjauh.
***
"Mas tunggu." Gea terengah-engah sambil berlari mengejar Digo yang entah mengapa berjalan secepat kilat. "Bisakah kamu berjalan pelan saja?"
"Kenapa?" Digo berbalik memandang Gea dengan tatapan remeh. "mau tebar pesona sama lelaki lain? Bagus ya, pesona pelacur emanggak bias ditolak." Ucapnya terdengar sinis sekali dipendengaran Gea.
"Mas aku hanya tidak bias mengimbangi langkahmu, itu saja." Jawab Gea setengah frustasi.
"Halah,"Digo kembali berjalan disusul Gea di belakangnya.
"Mas…"
"Sudahlah, lagian dua minggu lagi aku akan menikah. Kamu bebas bermain 'sepuasmu' dengan lelaki manapun,"
"Aku tidak semurahan itu, kau tahu."
"Aku jelas lebih tahu," ucapnya pongah. "Menjebak seorang lelaki yang akan menikah dengan perangkap licik"
"Mas, ini anakmu. Aku bersumpah." Suara Gea serak, menahan tangis. Harus berapa kali Gea katakana jika ini adalah darah dagingnya. Dirinya kini meluruh di lantai Lorong rumah sakit.
"OH ya? Aku sangsi setelah melihat pelacurku bermesraan dengan lelaki tadi. Kau tahu, itu menjijikan."
Mungkin jika hubungan ini normal tak salah mengartikan jika pasangannya cemburu. Namun, apa yang bias diharapkan dari hubungan terlarang ini.
Digo ikut berjongkok sambil tangannya memegang keras kedua pipi Gea yang sekarang tampak memerah. "Mas, sakit."
"Sakit ya?" Digo menekan pipinya makin keras. "Jadi pelacur bias merasakan sakit." Lebih dari apapun saat ini hati Gea seakan diremas lalu dipecahkan dengan keras. Tanpa terasa bulir air mata luruh di wajah Gea.
"menangis. Tangisan memang senjata andalan pelacur." Digo membuang wajah itu dengan keras dia lalu berdiri. "Cuihh" Digo meludah tepat ke wajah Gea yang masih berderai air mata. Dia lalu berjalan kea rah kamar mandi yang berplakat pria dan masuk ke dlamnya.
Apa dia tadi sudah keterlaluan dengan menginjak harga diri orang lain? Pelacur memang pantas mendapatkannya.
Digo membasuh wajahnya lalu memandang cermin besar didepannya.
"ARRRGGGHHHHHHH" Digo berteriak kencang . Tiba-tiba setitik rasa bersalah memenuhi sebagian kecil hatinya. Begitu membekas dan tak mau hilang. Melihat wajah terluka dan tangisan milik Gea membuatnya terlihat bejat.
"Sebenarnya apa yang telah kau lakukan padaku Gea?" geraman itu hilang berganti dengan suara kecipak air yang kembali menyirami wajahnya.
P.S
part ini dipotong jadi dua part. tapi part duanya mungkin akan aku publish setelah di edit. aku potong biar gak kepanjangan ya. entar kalian kecapekan bacanya.
sayang kalian,
love you