Di malam hari, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Dua pemuda berdiri di tengah jalan. Di bawah cahaya redup dari lampu jalanan, keduanya saling berhadapan satu sama lain dengan jarak sekitar sepuluh meter. Pemuda yang berada disebelah kanan, bertelanjang dada dan memiliki tato naga di punggungnya yang kekar. Sedangkan Pemuda yang berada dikiri, rambutnya panjang berwarna putih dan terurai berantakan, ia memakai kacamata serta kaos lengan panjang yang hampir sobek.
Mereka berdua saling menatap satu sama lain—itu bukanlah sebuah tatapan bersahabat, melainkan sebuah tatapan kebencian. Mereka bagaikan Naga yang kokoh dan seekor Phoenix yang membara.
Tetesan air hujan mulai berjatuhan sedikit demi sedikit dan membersihkan tubuh mereka dari noda darah yang tersisa.
Di sekitar jalan itu, terdapat banyak sekali orang yang terbaring dan berlumuran darah. Semua orang terlihat mengeluh kesakitan dan merangkak menjauh dari daerah tersebut.
Seorang pria dengan wajah babak belur merangkak tertatih-tatih mendekati pria yang memiliki tato naga dipunggung nya.
"Boss..." Dia meratapi dirinya dan melihat ke wajah Sang Naga yang tidak bergeming menatap musuhnya. Dia menyentuh kaki Sang naga yang dia panggil boss. Sang naga melihat kebawah dan tersenyum, "Kali ini dia akan menyesali perbuatannya. Kau pergilah, Hitan." Mengikuti perintah sang naga yang dia panggil boss itu, Hitan menjauh dari sana dengan merangkak.
Disisi lain, Pemuda rambut-putih itu memperhatikan daerah disekitarnya. Sebuah pemandangan yang tidak ingin dilihat nya. Anak buahnya mengerang kesakitan,ada genangan darah di setiap kaki melangkah, bahkan disana ada seorang yang berteriak mencoba membangunkan temannya. Semua itu hanya menambah amarah pada dirinya. Ia siap meledak kapanpun. Hatinya tidak sabar untuk menghancurkan orang yang berada di hadapannya. Pemuda rambut-putih itu bergumam pada dirinya "Aku Sebastian Krieger, akan bersumpah untuk menghancurmu!" Dia memperbaiki posisi kacamatanya sembari mengacungkan jari tengah.
Hujan semakin deras dan membuat suasana semakin kelam, dengan kilatan cahaya dari langit dan bunyi guntur yang sangat keras, mereka berdua berlari sembari memposisikan diri untuk menyerang.
""HYAAAT!""
Ketika masing-masing dari mereka hampir mendekat, Sang naga menarik kepalan tinju dari tangan berototnya dan Si rambut-putih melompat, lalu menekuk lutut kirinya—siap menerjang apapun yang menghalanginya.
Disaat bersamaan, mereka saling menghantam satu sama lain dan membuat tubuh mereka terbanting ke jalanan. Sang naga mengerang kesakitan sambil menyentuh hidungnya yang mulai meneteskan darah, serangan lutut tadi membuat tulang hidungnya patah. Sedangkan, si kacamata juga menyentuh hidungnya yang patah dan kacamata miliknya hancur.
Tak ingin berlama-lama menahan rasa sakit, kedua pemuda itu berdiri serempak dan langsung maju menyerang satu sama lain. Sang naga memiliki keuntungan dalam kekuatan fisik yang tak terelakkan. Pukulan dari tangan berotot Sang Naga membuat si rambut-putih harus berhati-hati untuk tidak menyerangnya secara ceroboh, serangan tadi cukup membuat dirinya terpental sejauh lima meter sedangkan serangan lututnya sendiri hanya membuat Sang Naga terjatuh bukan terpental. Namun, dengan pukulan nya yang kuat, tetapi lambat—itu tidak akan berarti jika bisa dihindari. Si rambut-putih membuka serangan lagi, tendangan pertama ke kepala Sang Naga cukup efektif dan membuat sang naga semakin terprovokasi. Amarah dari Sang Naga semakin membara, dia mulai menyerang secara membabi buta dan membuat pertahanannya sedikit terbuka.
Akibatnya, Si rambut-putih punya kesempatan bagus untuk serangan selanjutnya, ia pun menghindar sebisa mungkin—dengan sedetik jeda, dia melanjutkan tendangannya dari arah lain. Serangan telak mengenai tubuh dari Sang Naga.
Tendangan telak itu semakin memicu kemarahan Sang Naga. Tinjuannya sama sekali tidak pernah berhadapan langsung dengan Si rambut-putih, karena badan musuhnya ini lebih kecil dan lincah daripada dirinya sendiri, apalagi dia tahu bahwa yang dihadapinya bukanlah petarung jalanan biasa. Sang Naga sangat tahu bahwa Si rambut-putih yang bernama Sebastian Krieger ini merupakan salah satu Atlet Taekwondo terbaik di seluruh pulau Kalimantan.
Sang Naga mencoba membuat dirinya setenang mungkin, dan mencoba berpikir agar bisa memenangkan pertarungan ini. Di sisi lain, tubuhnya hanya bisa menahan serangan musuh. Setelah sedikit berpikir, Sang Naga kembali fokus pada pertarungan.
Si rambut-putih dengan lincahnya menyerang, sedangkan Sang Naga beruntung mendapat keuntungan dari fisiknya untuk bertahan.
Sepuluh detik berlalu, Sang Naga tidak menyerang—dia hanya menahan dan terus menahan, sehingga membuat Si rambut-putih curiga. Namun, itu hanya pemikiran sesaat si rambut-putih, dia hanya perlu menyerang selagi ada kesempatan.
Di sisi lain, Sang Naga masih belum melawan atau setidaknya berusaha menyerang Si rambut-putih. Sang Naga mulai merasakan rasa sakit pada bagian lengan dan tubuhnya. Di saat itu Sang Naga melemahkan pertahanan.
"Kau terlalu bernafsu!!!"
Sang Naga memegang kaki si kacamata, kemudian mengambil ancang-ancang untuk memukulnya dan...
BRAKKK
Si rambut-putih terpental sejauh lima meter.
'A...apa yang terjadi, Arghh!"
Si rambut-putih menyentuh bagian pipinya yang membiru akibat serangan tadi. Dirinya belum mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Itu terjadi secara tiba-tiba dan sangat cepat, membuat dirinya terkejut. Serangan itu sama seperti sebelumnya, namun kali ini lebih kuat dan membuat si rambut-putih tidak bisa berdiri setelah serangan Sang Naga tadi.
Sang Naga berjalan menuju si rambut-putih dan membuat dirinya berada di atas si rambut-putih yang sedang terbaring menahan sakit. Dia menarik tinjunya sembari mengatakan, "Ini adalah salam dari anak buahku yang kau bunuh!" Tinjuan raksasa itu menghantam wajah si rambut-putih tanpa ampun, bukan hanya sekali, sang naga menghujamkan tinjuannya berkali-kali.
Si rambut-putih hanya bisa pasrah saat wajahnya dipukuli, ia mencoba menahan semampunya, tetapi apa daya, dirinya tidak mampu menahan kekuatan yang besar itu.
Di saat menjelang ajalnya, si rambut-putih melihat seseorang yang berdiri dibelakang Sang naga secara samar-samar. Karena pukulan bertubi-tubi itu, dia tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Setelah beberapa saat, si rambut-putih mendengar erangan kesakitan dari sang naga.
Sang naga pun menghentikan tinjuannya. Dia merasakan punggungnya terasa panas dan nyeri. Sembari menahan sakit, dia menoleh kebelakang untuk melihat orang yang melakukan tikaman ini.
"Hi... tan..." Sang naga bergumam menatap tidak percaya, kemudian dia terjatuh tersungkur menimpa si rambut-putih yang sudah menutup matanya duluan.
Hitan yang menikamnya tersenyum licik.
"Kau pantas mati."
Hitan menaiki tubuh mereka berdua.
Dia merasakan keberhasilan diantara tetesan hujan ini.
Ia senang dan sangat puas.
Tiba-tiba 'tubuh mati' Sang naga bergerak. Hal ini membuat Hitan terkejut, "bagaimana dia bisa bergerak" pikirnya. Karena tahu bahwa tubuh Sang naga yang besar, dia pasti memiliki ketahanan tubuh yang besar juga. Hitan pun melompat-lompat diatas tubuhnya.
Di saat melakukan lompatan ke lima kalinya, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba di sekitar mereka bertiga, muncul sebuah lingkaran bercahaya putih yang sangat menyilaukan. Karena ketakutan, Hitan melompat dan dirinya berhasil keluar dari lingkaran itu.
Dia tersungkur dan melihat bahwa lingkaran itu sudah menghilang sesaat dirinya melompat. Namun, Sang Naga dan si rambut-putih juga hilang bersamaan dengan lingkaran itu. Disaat dirinya terheran-heran memikirkan fenomena aneh ini, kedua kakinya terasa tidak bisa di gerakan. Hitan merasa bahwa kakinya hanya sebatas lutut. Ia pun melihat ke arah kakinya,
Ekspresi wajahnya bercampur aduk antara ketakutan, kekhawatiran, dan kemarahan menjadi satu. Dirinya tidak bisa menahan lagi untuk berteriak.
"AAAAAAARRRGGGHHH!!!"
Teriakan itu bergema dan membuat gelombang kecil pada danau darah di sekitar kedua kakinya yang telah hilang.
*****
Cahaya menyelimuti tubuh mereka berdua dan membawanya memasuki dimensi lain.
Mereka berputar-putar di ruang antar dimensi selama beberapa detik. Setelah itu tubuh mereka melewati sebuah lubang besar di ujung ruangan antar dimensi tersebut dan terjatuh di sana.
Tempat itu sangat gelap. Penerangan hanya ada pada sepuluh orang berjubah hitam yang masing-masing dari mereka memegangi lilin berapi biru. Mereka mendekati objek yang baru saja tiba itu.
"Baiklah ritual pemanggilan 'Apostle' telah selesai." Terdengar suara lelaki tua diantara mereka. Kemudian orang itu mendekatinya secara perlahan.
"Dua orang!" matanya yang tajam disinari oleh lilin mengeluarkan tatapan keterkejutan tidak terduga.
Penatua itu terdiam seribu bahasa, bahkan api biru pada lillinnya hampir padam karena napasnya yang begitu cepat.