Pertanyaan yang sejak awal sudah mengusik perasaan Cowie. Si Bungsu tak segera menjawab. Sambil menelentang dia menatap bulan sabit di langit yang bersih. Jock Graham dan Smith merobah posisi tidurnya. Jika sebelumnya mereka menelentang kini pada memiringkan tubuh menghadap ke arah si Bungsu. Mereka memang ingin tahu, kenapa lelaki Indonesia itu bertemu dengan MacMahon di tempat kolonel itu disekap. Dan kenapa dia tak ikut pergi atau tak ikut dibawa bersama helikopter tersebut.
"Ada puluhan tentara Vietnam saat itu…" ujar si Bungsu perlahan.
"Mengepung heli tersebut?" ujar Cowie.
"Ya. Sekaligus menembakinya…."
"Engkau bersama MacMahon saat itu?"
"Persisnya tidak. Setelah MacMahon dan beberapa tentara Amerika lainnya saya bebaskan dari tempat penyekapan, kami membagi kelompok menjadi tiga bahagian. Dua kelompok kemudian bergabung setelah kami membumi hanguskan kamp tentara Vietnam. Saya memilih tinggal di belakang, menahan dua regu Vietnam yang memburu kami. Ketika saya berhasil menahan para pengejar dan tiba di tempat penjemputan, saya lihat keadaan amat kritis. Kalau heli itu tidak berangkat segera, mereka semua akan terbunuh. Saya yang masih berada belasan meter dari heli itu, mencoba mengalihkan serangan tentara Vietnam dari heli dengan menembaki tentara Vietnam tersebut. Heli itu, berikut MacMahon dan beberapa tentara Amerika berhasil lolos. Dan saya tertangkap. Itulah sebabnya kita bertemu…" ujar si Bungsu menuturkan secara sederhana kenapa dia kini berada di antara ke tiga tawanan Amerika itu.
"Engkau pernah belajar taktik perang, kawan…?" tanya Cowie.
Si Bungsu tersenyum.
"Saya hanya belajar membunuh dan menyelamatkan diri dari orang yang ingin membunuh saya, Cowie…" ujar si Bungsu.
Sepi setelah itu. Tak ada yang berkata, bahkan tak seorang pun di antara ke empat orang itu yang bergerak. Masing-masing tenggelam dalam fikiran mereka sendiri.
"Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh, kawan?" tiba-tiba Smith yang induk carut itu bertanya perlahan.
Si Bungsu menarik nafas. Cowie tersenyum mendengar si kepala hampir botak yang induk carut itu memanggil si Bungsu dengan sebutan 'kawan'. Padahal biasanya dia memanggil dengan 'pantat kurap' atau induk sipilis.
Dia merasa senang, sikap dan ketangguhan si Bungsu ternyata berhasil menundukkan perilaku anak buahnya yang isi kepalanya ibarat tong segala carut itu.
"Berapa orang yang sudah kau bunuh dalam peperangan di Vietnam ini, Smith…?" si Bungsu balik bertanya, dengan suara yang juga perlahan.
Smith menelentangkan tubuhnya. Menatap awan tipis yang bergerak perlahan melewati bulan sabit di atas sana. Terdengar dia menarik nafas panjang dan berat, seperti keluhan.
"Barangkali delapan sampai dua belas orang…" jawab Tim Smith perlahan, sembari membayangkan beberapa perang di mana dia menembak mati tentara Vietnam.
"Sudah berapa orang yang kau bunuh, Bungsu?" kembali Smith bertanya karena si Bungsu masih berdiam diri.
"Saya rasa takkan kurang seratus orang, Smith…" jawab si Bungsu dengan suara seperti menggigil.
Jawaban itu tak hanya membuat Smith dan Jock Graham yang terkejut. Melainkan juga Letnan PL Cowie. Ketiga orang itu duduk dan menatap ke arah si Bungsu yang tengah memandangi langit dan bulan sabit. Mereka tak merasa perlu bertanya apakah si Bungsu bergurau dengan jawabannya itu. Mereka yakin, jawaban itu adalah jawaban yang penuh kejujuran. Mereka juga tak menangkap sedikit pun nada bangga dalam ucapan lelaki itu. Cowie malah seperti mendengar suara lelaki itu seperti sebuah tangisan.
"Oh my God…!" desis Cowie dan Smith hampir bersamaan.
Si Bungsu ikut duduk. Kemudian memeluk kedua lututnya.
"Ya, jumlah orang yang kubunuh demikian banyak, kawan. Sehingga aku tak lagi bisa menghitung. Akhirnya aku sendiri tak tahu, apakah aku membunuh benar-benar dengan alasan membela diri, atau membunuh sudah merupakan candu bagiku. Itulah sebabnya keempat tentara Vietnam yang menggiringku dari lobang penyekapan dan ke dua orang yang menjaga di pondok dekat lobang kita disekap, dan beberapa lagi di hutan yang memburu kita, tak seorang pun yang mati. Mereka hanya sekedar kubuat lumpuh…" tutur si Bungsu perlahan sambil matanya menatap kosong ke lidah api yang menjilat kayu unggun, sekitar dua meter dari tempat mereka duduk.
"Engkau membunuh musuhmu dengan senjata api?" Yang bertanya ini adalah Jock Graham, yang tak tahan untuk tidak mengetahui lebih banyak tentang orang Indonesia yang berhasil mengeluarkan mereka dari lobang jahanam tahanan Vietnam itu.
"Sebagian besar tidak…."
"Dengan tangan?"
"Dengan samurai…."
"Samurai…?" tanya Jock Graham dengan perasaan heran.
Cowie dan Smith juga kembali menatap pada si Bungsu dengan perasaan semakin heran.
"Ya, Jock. Barangkali saya adalah satu dari sedikit sekali orang yang amat mahir menggunakan samurai. Bahkan dibanding dengan orang-orang Jepang yang paling mahir sekali pun. Baik samurai panjang, maupun samurai-samurai kecil yang dilemparkan dari jarak belasan meter…" ujar si Bungsu sambil melemparkan segenggam pasir ke air sungai yang mengalir perlahan.
Ketiga tentara Amerika itu terdiam. Mereka percaya pada semua yang diucapkan orang Indonesia ini. Kendati mereka tak tahu bagaimana orang ini mempergunakan samurai itu. Mereka hanya membayangkan beberapa film samurai Jepang yang pernah mereka tonton. Misalnya film Zato Ichi, yang pernah cukup laris di Amerika sebelum mereka terjun ke perang Vietnam.
"Engkau punya isteri dan anak…?" Pertanyaan ini Cowie yang mengajukan. Si Bungsu menggeleng.
"Saya punya isteri dan dua anak. Wanita keduanya. Yang besar sekarang sudah berumur tiga belas tahun. Yang kecil enam tahun. Mereka tinggal di Chicago…" ujar Cowie perlahan.
"Saya juga punya isteri, dulu, ketika empat tahun yang lalu saya cuti dan pulang ke Illionis, isteri saya ternyata berselingkuh dengan teman sekantornya. Dia bekerja di sebuah biro perjalanan. Saya sudah tiga hari di rumah, ketika saya datang ke sebuah hotel untuk mengantar titipan salah seorang teman yang tak cuti karena mendapat hukuman.
Saat itulah saya melihat isteri saya datang dengan seorang lelaki, kemudian masuk ke sebuah kamar yang sudah mereka pesan. Buat sesaat saya tertegun. Kemudian pintu kamar mereka saya tendang hingga jebol. Mereka, yang sama-sama sudah telanjang bulat dan sedang bergumul di karpet, menatap saya seperti melihat setan…"
Yang bercerita ini adalah Tim Smith. Dia berhenti sejenak dengan nafas sesak. Cerita itu tentu saja baru bagi si Bungsu dan Jock Graham. Jock Graham memang baru mengenal Smith setelah dijebloskan bersama si Bungsu di lobang yang sudah dihuni duluan oleh Cowie dan Smith. Mereka berlainan pasukan.
Namun bagi Cowie, cerita Smith itu memang sudah dia dengar langsung dari anak buahnya itu. Lalu terdengar Smith menyambung ceritanya.
"Sialnya ada peraturan, bahwa tentara yang pulang cuti tidak dibolehkan membawa senjata. Kalau saja saya membawa senjata, keduanya pasti sudah tak ada lagi sekarang…."
Sebenarnya, kalau pun dia membawa senjata, belum tentu apa yang dia ucapkan akan terjadi. Bahwa dia akan menembak mati lelaki yang menyerongi isterinya itu.
Sebab, saat dia menangkap basah kedua orang itu, Smith tak sempat menghajar lelaki yang meniduri isterinya di kamar hotel tersebut. Dia hanya tertegak mematung.
Dia tak yakin bahwa isterinya akan berselingkuh seperti itu. Dia masih tegak mematung di pintu kamar yang jebol dia tendang sampai polisi militer datang. Dia, isterinya dan lelaki teman sekantor isterinya itu dibawa ke kantor polisi militer.
Dari pengakuan isteri dan teman kencannya itu kepada polisi militer, terungkap bahwa perbuatan tak senonoh itu sudah mereka lakukan tiga kali seminggu selama dua tahun. Hampir selama Smith berada di kancah perang Vietnam.
Mendengar pengakuan kedua orang itu, Smith merasa sangat terpukul. Ketika dia menyabung nyawa di medan perang, dalam belantara yang amat ganas di Vietnam, isterinya hampir setiap malam menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki lain.
Saat dia dihujani peluru, atau sedang diburu tentara Vietnam, isterinya ternyata tengah mengumbar nafsu.
Ketika dia berada di antara mayat rekan-rekannya yang bertumbangan satu demi satu, di Amerika isterinya sedang bermandi keringat mendengus-dengus dalam dekapan lelaki lain.
Padahal, kemana pun dia pergi, foto mereka bertiga, dia-isteri-anaknya, selalu setia dalam dompetnya. Hampir setiap hari dia melihat foto tersebut dengan sepenuh rindu.
Siapa menduga, pada saat-saat seperti itu, isterinya ternyata menikmati hari-harinya dengan gejolak birahi tak terkendali.
Smith merasa dunianya benar-benar tenggelam. Dia tak mampu berkata sepatahpun. Bahkan ketika polisi militer bertanya apakah dia akan menuntut atau tidak, dia hanya menunduk lemah. Kemudian berdiri. Menatap sesaat pada lelaki yang telah ratusan kali menyebadani isterinya itu. Lelaki itu menunduk. Tak berani menatapnya. Kemudian ditatapnya isterinya yang sedang menangis terisak-isak.
Hanya sesaat dia tatap. Kemudian dia melangkah keluar. Tawaran polisi militer untuk mengantarkannya pulang ditolaknya.
Dia pulang naik taksi. Di rumah dikemasinya pakaiannya dan pakaian anak lelakinya yang berusia tiga tahun. Kemudian dia pergi. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Dititipkannya anaknya itu di sana. Ketika ibu dan ayahnya bertanya apa yang terjadi, dia hanya menarik nafas. Menatap penuh perasaan hiba kepada anaknya. Kemudian menjawab pertanyaan si ibu sekadarnya, bahwa perkawinannya sudah berakhir.
Dia tak menceritakan sepatah pun apa yang telah dilakukan isterinya. Kemudian dia menghabisi hari-harinya di bar. Minum sampai mabuk, tidur di jalanan.
Suatu malam dia dirampok segerombolan pemuda. Ada tujuh orang jumlahnya. Ketika dia tak mau menyerahkan dompet, jam dan cincin kawin yang masih dia pakai, ketujuh pemuda itu menghajarnya sampai babak belur.
Aneh, kendati dia bisa melawan, namun dia tak melawan sedikit pun. Sebagai tentara aktif yang baru seminggu dari medan perang Vietnam, dia masih memiliki naluri seperti hewan liar dan kemampuan tarung individual yang tak bisa dikatakan rendah.
Namun Smith seperti membiarkan dirinya dihajar. Hidung, mulut dan matanya berdarah. Semua uang, jam dan cincinnya disikat. Dia sadar di rumah sakit.
Sekeluar dari rumah sakit, dia ke markas minta cutinya diakhiri dan segera minta dikirim kembali ke Vietnam. Dia bertemu dengan PL Cowie, yang saat itu masih berpangkat sersan dan menjabat komandan regunya. Mereka bertemu di markas sehari sebelum diberangkatkan kembali ke Vietnam. Ketika Cowie bertanya apa yang terjadi, Smith hanya menatap kosong, seperti orang yang tak punya semangat untuk hidup. Kemudian dia meninggalkan Cowie.
Cowie mendengar apa yang menimpa Smith dari perawat di rumah sakit. Esoknya Cowie mendatangi rumah Smith. Namun di rumah itu yang ada hanya isteri Smith yang sedang duduk menangis. Dan perempuan itu, yang kesadarannya datang sangat terlambat, mengatakan bahwa dia sudah berpisah dengan Smith. Hanya itu. Dia tak bercerita apa penyebabnya.
Ketika Cowie datang ke markas, dia mendapat kabar bahwa paginya Smith sudah berangkat ke Vietnam, bersama pasukan yang mendapat giliran tugas di sana.
Sersan Negro itu menemui dua anak buahnya yang sama-sama masih dalam cuti dengannya. Dia ceritakan apa yang dialami Smith. Kemudian mereka mulai mencari dimana peristiwa itu terjadi.
Tak begitu sulit bagi mereka menemukan gerombolan tujuh anak-anak muda berusia antara dua puluh sampai tiga puluhan itu. Seorang anak muda yang menjadi saksi mata saat perampokan itu memberitahu mereka pada suatu malam, bahwa ketujuh anak muda itu berada di sebuah bar.
Mereka masuk duluan ke bar yang penuh oleh pengunjung itu. Tak lama kemudian anak muda yang jadi saksi itu, memberi isyarat dengan sudut mata ke sebuah meja.
Di sana ada tujuh anak muda berambut panjang dan pakaian semaunya, bersama empat cewek yang nyaris tanpa pakaian. Cowie dan ke dua anak buahnya mendatangi meja itu.
"Halo…." sapa Cowie.
Ke tujuh anak muda itu melihat yang menyapa mereka seorang Negro berambut pendek. Kemudian ada dua lelaki kulit putih yang juga berambut pendek.
"Niger, apa maumu…?" ujar salah seorang yang bertubuh kekar.
Salah seorang anak buah Cowie berpangkat kopral hampir saja memulai menghajar lelaki itu. Namun Cowie memberi isyarat untuk jangan memulai dulu.