"Dengar Jock! Belasan tentara Vietnam berada hanya beberapa langkah dari tempat kita.
Engkau akan cukup kuat untuk mengangkat bedil dan menembakkannya kalau keadaan terdesak. Saya akan membuatkan obat untukmu. Tapi sebelum itu kita harus bisa lolos diri dari buruan Vietnam itu…."
Usai memberikan penjelasan si Bungsu menyerahkan kembali bedil rampasan dari tentara Vietnam yang tadi nyaris lepas dari tangan Jock. Kemudia dia menotok dan mengurut dengan cepat beberapa urat di pusat, kening dan punggung tentara itu. Dengan perasaan takjub Jock Graham merasakan kondisi tubuhnya agak membaik.
"Terimakasih, kawan…" ujarnya perlahan.
"Jangan bergerak. Tetap duduk seperti ini, pasang telinga dan matamu. Saya akan melihat apa yang masih bisa dilakukan. Maaf, saya belum sempat meramu obat untukmu. Tapi kunyah saja daun ini, telan airnya. Agak pahit bercampur asin rasanya, tapi itu obat. Usahakan agar tak tertelan ampas daunnya…" ujar si Bungsu dalam kalimat cepat, sembari menyumpalkan tiga lembar daun selebar telapak tangan ke mulut Jock Graham, kemudian dia menyelinap dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Jock Graham mengunyah daun yang disumbatkan lelaki dari Indonesia itu ke mulutnya. Daun itu kesat sekali. Seperti kertas ampelas. Rasanya memang agak asin. Kalau saja bukan lelaki dari Indonesia itu yang menyumbatkan daun sialan tersebut, sudah sejak tadi dia muntahkan. Tapi dia yakin, orang Indonesia itu bukan sembarangan lelaki. Dia tidak hanya sekedar pandai meramu obat, juga tangguh luar biasa. Buktinya adalah kemampuan lelaki itu melumpuhkan empat tentara Vietnam yang menggiringnya.
Dengan fikiran demikian dia meneruskan mengunyah daun rasa kentut tersebut. Kemudian menelan airnya yang juga rasa kentut.
Air getah daun yang dia telan itu sebagaimana tadi dijelaskan si Bungsu, memang terasa agak asin dan agak pahit. Dia ingin meludah, namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang tentara Vietnam! Tentara itu sebenarnya tak tahu bahwa di balik ceruk akar pohon yang besar-besar itu bersembunyi orang yang mereka buru.
Dia datang ke tempat itu untuk memeriksa belukar lebat tak jauh dari pohon besar tersebut. Namun ketika dia melewati sebuah sisi akar kayu besar itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang tawanan yang mereka buru ada di sana. Duduk bersandar ke pohon diantara dua urat kayu pipih lebar dan tinggi, sehingga tak kelihatan jika tidak berada di alur yang sama dengan celah urat kayu tersebut.
Orang itu dia pergoki sedang mengunyah-ngunyah. Namun pertemuan yang mendadak dan saling menatap itu membuat dia kaget dan tertegun. Lupa pada bedil di tangannya. Begitu juga halnya dengan Jock Graham. Kendati kedua mereka sama-sama memegang bedil yang sama-sama teracung ke arah lawannya masing-masing, namun belum satu letusan pun yang terdengar. Telunjuk masing-masing tetap dipelatuk bedil.
Jock Graham masih terus mengunyah daun kayu di mulutnya. Mengunyah perlahan, namun tak lagi mampu menelan getah daun yang sudah terkumpul dalam mulutnya. Tapi kemudian, terjadi juga apa yang harus terjadi. Jock Graham ternyata lebih duluan menyadari situasi berbahaya itu. Telunjuknya bergerak.
"Klik…."Senjatanya macet!
Jock Graham menarik lagi pelatuk tersebut. tak ada bunyi sama sekali. Bedil buatan Cina yang dikenal dengan nama Chung itu memang banyak mengundang celaka tentara yang memakainya.
Suara 'klik' dari bedil pelarian tersebut membuat si Vietnam sadar. Telunjuknya segera bekerja. Namun tetap saja tak ada sebuah letusan pun yang terdengar. Yang terjadi adalah mendeliknya mata si Vietnam tersebut. Sesaat kemudian tubuhnya terjungkal ke depan. Jatuh tertelungkup sehasta di depan Jock Graham, yang sedetik lalu sudah pasrah menunggu maut.
Sebelum hilang rasa kejutnya, tiba-tiba si Bungsu muncul. Tangannya memberi isyarat agar Jock Graham jangan bersuara. Saat itu Jock Graham baru bisa kembali menelan getah daun kayu yang dia kunyah. Kemudian daun yang sudah menjadi ampas itu dia ludahkan. Dia melihat ampas daun kayu itu berwarna merah. Dia terkejut, apakah dia muntah darah? Dia meludah, ludahnya juga merah. Dia menatap ke arah si Bungsu.
Si Bungsu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar dia tak khawatir. Kemudian mata si Bungsu kembali menatap tajam ke belantara gelap di depannya. Suasana benar-benar sepi.
Sore sudah melakukan serah terima tugasnya menerangi bumi dengan senja. Gelap yang makin kental perlahan merayap menerkam rimba tersebut. si Bungsu memang berharap agar malam cepat turun. Semakin gelap hari semakin terlindung mereka dari pengejaran. Hal yang sama juga diinginkan Letnan PL Cowie yang bersembunyi dalam sebuah palunan belukar lebat.
Tadi ketika usai dia memanggil Jock Graham dan si Bungsu, tiba-tiba telinganya yang memang sudah terlatih dalam perang Vietnam yang bertahun-tahun, ternyata masih berfungsi dengan baik. Dia mendengar suara belukar disibakkan dan daun kayu diinjak kaki manusia. Dia segera memberi isyarat pada Smith untuk menghindar dengan cepat dari tempat itu. Dan latihan bagaimana bergerak di belantara dengan tak banyak meninggalkan jejak juga masih mereka kuasai dengan baik.
Itu sebab pasukan Vietnam yang mahir melacak jejak dalam hutan sulit menemukan ke mana larinya buruan mereka. Apalagi cahaya gelap yang sudah turun makin mempersulit mereka meneliti bekas injakan kaki di dedaunan.
Senter bukannya tak bermanfaat dalam kondisi seperti itu. Namun mempergunakan senter sama halnya dengan memberi tahu kepada musuh di mana awak berada. Dan itu artinya adalah bunuh diri.
Maka kini, mereka benar-benar hanya menyerahkan nasib dan nyawa mereka pada ketajaman pendengaran masing-masing.
Hutan itu, dalam radius hanya sekitar lima ratus meter persegi, dipenuhi tak kurang dari 40 manusia. Mereka adalah tiga puluhan tentara Vietnam yang terbagi dalam dua regu, serta empat pelarian yang kurus kerempeng dan kelaparan. Hanya karena malam dan belantara itu amat lebat saja mereka tak saling melihat antara satu dengan yang lain.
Setelah cukup lama menanti, namun tak ada tanda-tanda gerakan apapun dari pelarian tersebut, kedua komandan regu tentara Vietnam itu sepakat mengambil insiatif untuk menggeledah saja belantara itu. Mereka berani mengambil inisiatif karena mereka lebih banyak dan kondisi tubuh mereka tentu saja lebih baik di banding kondisi tubuh orang yang mereka buru.
Kedua regu tentara itu segera membentuk formasi bersaf. Dengan formasi seperti itu mereka mulai begerak maju. Jarak seorang tentara dengan yang lain hanya sekitar lima depa. Maju selangkah demi selangkah, sambil tiap sebentar berhenti, mendengarkan kalau-kalau ada gerakan lain di sekitarnya. Tentu saja tak seorang pun yang mengetahui, bahwa di antara ke empat pelarian yang sedang mereka buru itu adalah 'pangeran belantara'!
Seorang yang benar-benar hafal bentuk dan struktur rimba raya. Seorang yang bisa berlari cepat di belantara lebat, kendati dalam suasana gelap gulita. Seorang yang bisa membedakan apakah sebuah daun bergoyang karena angin atau karena sebab yang lain. Seorang yang bisa membedakan bau kayu atau daun yang sudah disentuh manusia dengan bau daun kayu yang belum disentuh apa pun. Tak seorang pun di antara tentara Vietnam itu yang tahu, bahwa ada orang dengan kualifikasi seperti itu di antara ke empat pelarian yang sedang mereka buru itu.
Kalau saja mereka tahu, bahwa setiap saat, setiap detik, orang itu tiba-tiba bisa berada sejengkal di depan hidung mereka, tanpa diketahui dari mana datangnya, mereka takkan gegabah merancah hutan tersebut. Namun bagi beberapa tentara Vietnam yang bernasib malang, waktu sudah terlambat.
Seorang prajurit di bahagian kanan, ketika merunduk-runduk melewati sebuah dahan besar, tiba-tiba seutas tali menjerat lehernya. Dia ingin berteriak, tapi teriakannya tersangkut di tenggorokan yang dijerat semakin ketat oleh tali kasar itu. Dia berusaha menarik pelatuk bedilnya, namun jarinya tak bisa dia gerakkan. Tubuhnya telah dibuat lumpuh!
Ada yang mendengar suara bergedebuk agak lemah, disusul suara bergedebuk lebih keras. Kemudian sepi. Tak seorang pun yang menyangka, suara gedebuk pertama adalah suara jatuhnya senapan dari tangan kawan mereka yang lehernya kena jerat itu. Gedebuk kedua adalah suara jatuhnya tubuh si tentara ke tanah beralaskan dedaunan kering.
Si Bungsu lalu turun, mengambil bedil yang jatuh tersebut. Kemudian berlutut di tanah. Lalu menembak ke arah kiri. Usai beberapa tembakan dia melompat cepat beberapa meter ke belakang. Dan memutar ujung bedil dan menembak ke arah kanan. Saat dia menembak kekiri terdengar pekikan-pekikan. Begitu juga saat dia menembak ke kanan. Hanya sesaat setelah itu, semburan api dan rentetan peluru terdengar dari kiri dan kanan ke tempat dia memuntahkan peluru.
Kemudian sepi!
Tembakan balasan dari belasan tentara Vietnam itu menerpa tempat kosong. Sebab begitu bedilnya usai memuntahkan peluru, disusul pekikan tentara yang diterkam timah panas itu, si Bungsu segera bergerak secepat yang bisa dia lakukan. Menghindar dari lokasi tersebut.
Cowie dan Tim Smith mendengar rentetan tembakan itu dengan tegang. Namun hanya beberapa saat setelah tembakan balasan terdengar, dalam suasana sepi yang mencekam, Cowie dan Tim Smith tiba-tiba dibuat sangat terkejut oleh suara yang hanya berjarak sedepa dari tempat mereka. Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil bersamaan, tatkala tiba-tiba mereka mendengar suara si Bungsu berbisik.
"Jangan tembak, ini saya dan Jock…."
Mengetahui yang datang adalah si Bungsu, Cowie menarik nafas, Smith bercarut-carut. Dalam gelap yang kental itu mereka mendengar erangan Jock Graham.
"Kenapa dia?" tanya Cowie.
"Demam… tapi sudah agak baikan…."
"Anda yang menembak tadi?"
"Ya…."
"Saya kira ada tiga atau empat orang mereka yang terbunuh…."
"Mereka hanya saya lumpuhkan. Jumlah mereka sangat banyak. Kita harus memecah rombongan…" ujar si Bungsu.
"Maksudmu?"
"Anda bisa mencari jalan dalam gelap ini untuk menghindar sejauh mungkin. Letnah Cowie?"
"Jika tidak dikepung, barangkali bisa…."
"Baik. Saya akan mengalihkan perhatian mereka ke arah lain. Kalian larilah sejauh yang kalian bisa hingga pagi tiba. Saya akan menyusul…."
"Sebaiknya saya tinggal berdua dengan Anda, sehingga yang meloloskan diri pertama adalah Smith dengan membawa Jock. Atau yang tinggal Smith, saya membawa Jock…" bisik Cowie.
"Akan sulit bila hanya seorang yang memapah Jock. Memapah sambil mencari jalan dalam gelap bukan pekerjaan yang mudah…."
"Tetapi, sendirian menghadapi puluhan Vietnam itu bukan juga pekerjaan yang mudah…" bisik Cowie.
"Cowie, hutan adalah rumahku. Aku hafal setiap lekuk likunya. Aku mustahil bisa bertempur frontal dengan mereka. Aku hanya akan memancing perhatian mereka ke tempat lain, sehingga kalian bisa melarikan diri sejauh mungkin…" bisik si Bungsu.
Akhirnya Cowie memahami penjelasan dan rencana si Bungsu.
"Untuk mengalihkan perhatian dan memancing mereka ke arah lain, saya memerlukan peluru lebih banyak…" ujar si Bungsu.
Cowie lalu membuka magazin senjata Jock Graham. Kemudian dia membuka magazin senjata yang ada padanya. Mengeluarkan separoh isinya. Begitu juga peluru di magazin senjatanya sendiri. Kemudian diisikannya peluru tersebut ke magazin senjata Jock Graham. Ketika magazin itu penuh, masih ada beberapa peluru lagi.