"Kita berangkat…" ujar si Bungsu.
"Kemana?" tanya Cowie sambil memakai sepatu dan pakaian salah seorang tentara Vietnam itu.
Si Bungsu menunjuk ke arah belantara lebat di bahagian utara lobang tempat mereka disekap. Bagi Cowie, Smith dan Graham memang ke sana pilihan terbaik untuk lari. Mereka tak mungkin masuk ke kampung. Hutan adalah tempat yang aman, meski untuk sementara.
Bagi si Bungsu, hutan lebat itu menjadi pilihan karena hutan merupakan 'rumah'nya. Cowie mengambil semua peluru dan dua bedil yang pemiliknya sudah terjun ke lobang penyekapan. Tanpa banyak membuang waktu, mereka segera menuju ke arah belantara yang terlihat tak begitu jauh.
Yang tak mendapat jatah pakaian adalah Tim Smith. Dia hanya mendapat sepatu. Karena sepatu itu kebesaran di kaki Jock Graham. Namun keempat mereka kini memiliki bedil dan peluru. Kendati jumlah peluru yang mereka miliki tak mencukupi untuk bertempur lama, namun bagi seorang pelarian memiliki bedil dan peluru merupakan sesuatu yang amat luar biasa harganya.
Mereka baru saja bergerak sekitar seratus langkah, ketika tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan dari tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka terhenti, namun hanya sesaat. Kesadaran bahwa ledakan itu mengundang kedatangan tentara Vietnam menyebabkan mereka segera bergerak cepat.
"Ledakan apa itu?" tanya Graham sambil melompati sebuah kayu besar yang melintang.
"Granat…" ujar Cowie, sambil melompati pula kayu tersebut.
Si Bungsu menyumpah dalam hatinya. Dia menyesal tidak menyuruh tentara Vietnam itu membuka bajunya sebelum dimasukkan ke lobang penyekapan mengganti kan mereka. Dia teringat, kantong baju salah seorang milisi Vietnam yang mereka ceburkan itu kelihatan menggembung. Dia yakin, granat yang ledakannya barusan mereka dengar berasal dari dari dalam kantong baju yang mengge lembung itu.
Dia tak curiga karena granat biasanya dicantelkan diikat pinggang. Tapi kenapa granat itu baru diledakkan setelah keempat pelarian itu bergerak cukup jauh.
Milisi Vietnam yang kantongnya menggelembung yang dilihat si Bungsu, tak lama setelah diceburkan ke lobang segera mengeluarkan granat dari kantong bajunya begitu keempat pelarian tersebut lenyap dari pandangan mereka di atas lobang penyekapan itu. Dia sudah akan mencabut pin granat itu, namun temannya yang seorang lagi segera mencegah.
"Jangan sekarang…" ujarnya.
"Kau mau bunuh diri? Mereka belum jauh. Begitu granat ini meledak, mereka akan kembali dan menembak kita… "ujarnya.
"Tapi, kita akan ditembak komandan kalau mereka sudah jauh dan berhasil meloloskan diri…."
"Belum tentu kita ditembak oleh bangsa sendiri. Sebab, empat tentara yang tadi menggiring mereka, adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas lolosnya tawanan itu. Di bawah pengawalan mereka, orang itu lolos…"
Yang memegang granat dapat memahami penjelasan temanya. Dia urungkan mencabut pin granat tersebut. Lalu mereka sama-sama menanti. Menanti dengan cemas, apa hukuman yang akan mereka terima, jika nanti mereka diadili. Setelah merasa keempat tawanan itu lari cukup jauh, granat tersebut lalu dilemparkan ke atas dan meledak.
Suara ledakan tersebut lalu membuat tentara yang berada di kampung yang tak jauh dari penyekapan itu tersentak. Dalam waktu yang amat singkat lima belas tentara segera memburu ke tempat tersebut lewat tiga jalur yang berbeda.
Regu pertama menuju ke lobang penyekapan itu dengan memutar dari kiri. Regu ke dua melambung dari arah kanan. Regu ke tiga mendatangi tempat tersebut dari jalan setapak yang biasa dilewati. Regu ketigalah yang menemukan ke empat teman-teman mereka pada tergeletak di jalan, tak berapa jauh dari kampung. Ke empat mereka masih dalam keadaan pingsan. Malang melintang di jalan kecil di antara hutan bambu tersebut.
Komandan regu segera mengirim salah seorang anggotanya kembali ke markas di kampung. Memberitahu apa yang mereka temukan. Setelah itu, yang empat orang lagi segera melanjutkan perjalanan menuju ke lobang dimana selama ini mereka menyekap tawanan perang tersebut.
Regu pertama yang melambung dari arah kanan, segera sampai ke bahagian belakang pondok pengawalan beberapa meter dari lobang penyekapan.
Dari tempat mereka berada, sekitar sepuluh depa dari pondok, mereka melihat pondok pengawasan itu kosong. Regu yang melambung dari arah kiri juga segera tiba. Dari jarak belasan meter mereka melihat penutup lobang tempat penyekapan tawanan itu terbuka.
Baik regu yang di kanan maupun yang di kiri, segera mengirim tiga orang anggota masing-masing mendekati lobang penyekapan. Ketiga orang itu merayap dalam hutan bambu tersebut, hampir tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Lalu akhirnya, mereka mendapatkan yang berada dalam lobang penyekapan itu adalah dua milisi yang seharusnya dipondok berjaga. Kedua milisi itu tidak segera bisa ditarik naik. Sebab tali nilon yang biasa untuk menarik mayat tawanan yang mati, ternyata di bawa kabur oleh para tawanan tersebut.
Letnan yang bertanggung jawab atas tawanan itu segera memerintahkan anak buahnya melacak kearah larinya tawanan tersebut. Hanya di butuhkan beberapa saat, tiga orang yang ditugaskan melacak telah datang melapor.
"Mereka ke arah hutan, jejak masih jelas…"lapor salah seorang dari yang bertiga itu.
Si letnan menatap kearah hutan dan bukit yang di tunjuk oleh anak buahnya.
"Mereka memasuki Neraka yang lebih berbahaya…"ujarnya.
Namun sebelum ke empat pelarian itu memasuki 'Neraka yang lebih berbahaya' sebagaimana di ucapkan sang komandan, yang pertama memasuki Neraka adalah ke empat orang Vietnam yang terkait dengan empat pelarian itu. Neraka yang mereka tempati adalah Neraka yang biasa di tempati oleh para tawanan tentara Amerika.
Kedua milisi yang berjudi ceki itu tetap tak boleh keluar dari lobang penyekapan itu, mereka ditambah dengan empat tentara yang menggiring si Bungsu sampai perkampungan.
Komandan yang bermarkas di desa itu berpangkat mayor. Saking berangnya, muka sang mayor sampai berubah-rubah seperti jadi-jadian. Sebentar merah padam, sebentar kemudian pucat, kemudian merah padam lagi. Keempat tentara yang dilumpuhkan si Bungsu itu dijebloskan saat mereka masih pening-pening lalat. Mula-mula mereka diangkat teman-temannya. Mereka menyangka akan dirawat di bangsal kesehatan sebagaimana jika ada tentara yang sakit.
Namun harapan itu sangat jauh panggang dari pada api. Tubuh mereka dilempar kedalam lobang penyekapan. Baru beberapa saat dalam lobang berair kuning kental itu, keenam tentara Vietnam itu muntah kayak. Bau yang amat menusuk, bau bekas mayat dan bau kotoran manusia, yang bercampur aduk jadi satu membuat perut mereka benar-benar mual dan tak mampu bernafas.
Namun lobang itu sudah di perintahkan si mayor untuk ditutup. Setelah itu si mayor memerintahkan seluruh tentara dan milisi di desa itu untuk berkumpul di dekat lobang penyekapan itu. Ada sekitar tiga puluh tentara reguler, kemudian dua puluh milisi berkumpul, sepuluh di antaranya wanita.
Si Mayor membagi kekuatan setengah kompi itu dalam tiga kelompok. Dua bagian harus menyisir hutan, memburu tawanan dari dua arah, yang sebagian lagi hanya sekitar sepuluh orang, siaga di markas mereka di desa itu.
"Jangan kalian pulang jika tidak membawa empat orang itu. Saya tak peduli apakah yang kalian bawa pulang orangnya atau hanya kepalanya. Ingat itu, jangan pulang tanpa mereka..!!"hardik si mayor kepada kedua kelompok itu.
Sementara di dalam lobang, dua dari enam orang yang di'cemplungkan' karena membiarkan tawanan itu melarikan diri. Jatuh pingsan setelah isi perut mereka keluar semua. Namun si mayor tak peduli. Setelah dua kelompok itu berangkat,dia memerintahkan empat orang untuk menjaga di pondok pengawalan itu.
"Jangan ada yang berani memberi makan atau minum, dalam bentuk apapun tanpa perintah saya, jika kalian langgar, kalian saya tembak…" tukas si mayor dengan suara serak saking menahan berangnya.
Tapi ke empat orang yang melarikan diri itu, ternyata memang menghadapi tantangan yang tak kecil. Tantangan pertama yang harus mereka hadapi adalah kondisi fisik mereka sendiri.
Yang pertama ambruk sejak mereka keluar dari lobang itu adalah kopral Jack Graham. Kopral ini sama-sama dipindahkan bersama si Bungsu dengan truk. Ternyata kondisinya sudah demikian buruk. Demam panas menyerang pula. Si Bungsu yang posisinya paling belakang, melihat kopral itu memeluk sebatang pohon besar dengan tubuh menggigil. Bedil di tangan nya hampir jatuh, si Bungsu paham, kalau orang itu tak mungkin untuk terus berjalan. Kalau saja dia punya waktu untuk mengumpulkan dedaunan untuk ramuan.
Ingatan itu segera menyadarkan si Bungsu tentang apa yang harus dia lakukan.
"Tetaplah bertahan, Jock. Saya akan buatkan obat untukmu…" ujar si Bungsu.
Matanya coba meneliti beberapa dedaunan dan lumut yang bisa dibuat ramuan obat. Namun baru dua dari empat jenis daun yang harus diperoleh, pendengarannya yang amat tajam mendengar bunyi langkah tak jauh di belakang mereka. Sementara Smith dan Cowie sudah terpisah dari mereka oleh palunan hutan lebat tersebut.
Cowie yang berjalan di bahagian depan sekali berhenti dan menoleh ke belakang. Dia merasa ada sesuatu yang tak beres. Dia tidak melihat Jock Graham dan si Bungsu.
"Jock…!!" serunya.
Tak ada sahutan apapun. Sepi sekali. Hanya suara binatang hutan terdengar di mana-mana.
"Bungsu….!!" serunya.
Tetap tak ada sahutan apapun. Sepi dan amat mencekam. Smith yang nafasnya sudah sesak bersandar ke pohon besar. Matanya menatap jalan yang tadi mereka tempuh. Tak ada jalan sebenarnya, karena yang mereka tempuh saat ini adalah belantara lebat yang belum pernah dijejak manusia. Perang Vietnam-Amerika pun, yang berlangsung amat ganas dan bertahun-tahun, tak sampai menjamah daerah ini. Smith maupun Cowie hanya melihat hutan belantara yang maha lebat dan angker.
Apa yang terjadi dengan Jock Graham dan si Bungsu? Mengapa mereka tak menyahuti panggilan Cowie? Saat si Bungsu sedang memetik beberapa lembar daun untuk obat Jock Graham, kemudian mendengar suara langkah tak jauh di belakangnya, dia bergerak cepat ke tempat Jock Graham yang masih tegak bersandar seperti memeluk pohon besar itu. Dia menotok bahagian belakang leher tentara Amerika tersebut. Totokan yang amat terlatih itu membuat Jock Graham lumpuh. Si Bungsu memanggul tubuh yang sudah tak bertenaga itu. Kemudian dengan cepat membawanya pergi dari sana.
Dia membawa tubuh kurus kerempeng itu ke bawah sebuah pohon yang besarnya sekitar tiga pelukan lelaki dewasa. Letaknya sekitar dua puluh depa dari tempat Jock Graham tegak pertama. Urat kayu itu berbentuk pipih dan besar-besar. Urat-uratnya yang muncul di atas tanah menyebabkan bahagian bawah pohon besar itu memiliki sekat-sekat seperti kamar. Tiap urat pipih yang membentuk sekat itu bisa setinggi tegak lelaki dewasa.
Dia dudukkan tentara yang tak sadar diri itu di antara sekat tersebut, persis saat salah satu regu Vietnam sampai ke tempat mereka tadi.
Belasan tentara Vietnam tersebut melihat bekas Jock Graham tegak. Namun setelah itu jejaknya hilang. Tapi saat itu pula mereka mendengar suara orang memanggil sampai dua kali. Suara yang didengar tentara Vietnam itu adalah suara Cowie yang memanggil Jock Graham dan si Bungsu.
Pimpinan regu memberi isyarat kepada anak buahnya dengan meletakkan telunjuk ke bibir. Kemudia dia membagi formasi anak buahnya untuk menyergap orang yang hanya ke dengaran suaranya itu. Dia bagi anak buahnya dalam dua sayap, kiri dan kanan.
Mereka memang tak bisa melihat siapapun, karena belantara dimana kini mereka berada demikian lebat. Jarak pandang hanya bisa menembus antara tiga sampai empat meter. Selepas itu pandangan terhambat oleh pohon besar dan belukar yang rapat sekali.
Pemburuan itu semakin dipersulit oleh sore yang sudah turun. Hutan yang sudah gelap itu dengan cepat menjadi semakin gelap. Mereka bergerak perlahan, namun siaga, ke arah sumber suara memanggil tadi.
Sementara itu, usai mendudukkan Jock Graham si Bungsu menekan urat di belakang leher tentara tersebut. Jock Graham mengeluh saat pertama sadar. Namun mulutnya dibekap oleh si Bungsu. Dia berbisik di telinga tentara itu.