Bagi orang-orang di atas sana, bahkan bagi hampir separuh rakyat Amerika; perang Vietnam sudah berbulan-bulan usai. Namun bagi mereka yang berada dalam lobang penyekapan ini, dan bagi ratusan tawanan perang Amerika yang dinyatakan sebagai MIA, yang disekap di puluhan tempat rahasia, perang Vietnam benar-benar belum selesai.
Memang tak ada peluru berdesingan atau bom yang menggelegar. Karena mereka yang tertawan dan disekap memang tak memiliki senjata dalam bentuk yang paling purba sekalipun. Tetapi, dalam peperangan ada kata-kata yang dihafal hampir seluruh prajurit yang maju ke medan tempur. Kata-kata nasehat sekaligus peringatan itu bermula dari saat latihan.
"Lebih baik bermandi keringat dalam latihan, daripada bermandi darah dalam pertempuran". Kemudian jika mereka benar-benar sudah berada di medan tempur, ada kata-kata. "Peperangan hanyalah latihan. Menjadi tawanan musuh adalah pertempuran sesungguhnya".
Hanya bagi mereka yang pernah ditawan Vietnam, yang sangat memahami kebenaran kata-kata peringatan itu. Sebagaimana halnya dialami oleh mereka yang kini berada dalam lobang penyekapan bersama si Bungsu, yang disekap di wilayah Vietnam yang mereka tak ketahui di mana lokasinya.
Mendengar ada suara perlahan, Cowie yang juga sedang tidur berdiri, segera terbangun. Membuka mata atau tidak, dalam sergapan gelap seperti sekarang, bagi mereka sama saja. Yang kelihatan hanya hitam kelam. Bahkan mereka juga takkan melihat jari-jari mereka sendiri, kendati mereka meletakkan jari jari tangannya persis di depan mata.
"Smith…" imbau Cowie perlahan.
"Yes, Sir…."
"Clark mati?"
"Yes, Sir! Si Bungsu memastikan hal itu…."
"Bungsu…."
"Ya, Letnan…."
"Sudah berapa lama dia mati?"
"Sekitar sepuluh menit yang lalu, Letnan…."
Letnan Cowie, dan juga Kopral Jock Graham yang ikut terbangun dalam kegelapan yang kental itu, termenung.
"Bungsu…" ujar Cowie perlahan, setelah mereka lama saling berdiam diri dalam kegelapan tersebut.
"Ya, Letnan…."
"Terimakasih, Anda telah ikut bersusah-susah memegangi Sersan Clark.…"
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa tak perlu mengomentari ucapan terimakasih Cowie. Fikirannya melayang, sampai kapan mereka berada dalam sekapan ini? Sampai nyawa mereka tercabut satu demi satu, seperti Clark dan yang mati pertama karena malaria itu? Dia tidak ingat sudah berapa belas hari dia berada di dalam lobang sekapan maut ini.
Dia tak pernah menghitung. Tetapi ada juga pelajaran yang dia peroleh dari Cowie dan Smith, bagaimana cara melepaskan lelah dalam air berlumpur tersebut. Jika penat berdiri atau bersandar di dalam air yang hampir mencapai dada itu, mereka lalu mengapungkan diri.
Menelentang atau menelungkup di air. Karena airnya kental, berat jenis air itu lebih besar dari berat jenis air sungai yang jernih. Dengan berat jenis air yang lebih besar itu tubuh mereka yang memang sudah kurus dengan mudah mengapung lebih lama dibanding jika mereka mengapungkan diri di sungai. Jika ada yang melihat ke dalam lobang itu pada saat mereka "istirahat" di atas air, ke empat lelaki tersebut akan nampak seperti mayat yang berapungan di air.
Mayat Clark ternyata lebih baik nasibnya dari mayat-mayat sebelumnya yang mati dalam lobang tersebut. Sekitar pukul sepuluh esoknya, dua milisi vietnam datang mengantar makanan untuk mereka. Seperti biasa, jatah mereka tetap saja nasi sisa dan sedikit basi. Ditambah ikan asin dan rebus umbi keladi, lalu air minum yang dibungkus plastik. Cowie yang sedikit-sedikit bisa berbahasa Vietnam, memberi tahu kedua milisi itu tentang kematian Clark. Karena sudah tiga hari tidak ada yang melihat ke lobang itu, Cowie mengatakan sudah tiga hari dia meninggal.
Kedua Vietnam itu menatap kepada mayat Clark. Kemudian menghilang, tanpa sepatah katapun. Tak lama setelah mereka selesai makan jatah mereka, kedua milisi tadi datang lagi berama tiga orang tentara.
"Telentangkan dia.."ujar seorang tentara Vietnam itu dalam bahasa Inggris yang cukup baik. Cowie menuruti perintah itu. Ketiga tentara di atas, yang tegak sambil menodongkan bedil, memperhatikan wajah Clark. Mayat itu memang sudah kaku. Mulutnya ternganga, kedua tangannya kaku dan membengkok keatas. Salah seorang dari tentara itu melemparkan tali nilon sebesar empat jari kaki.
"Ikatkan tali itu di bagian lehernya…" ujar si tentara.
Keempat orang didalam lobang itu mengerti, kalau itu sikap berjaga jaga, kalau -kalau tentara itu hanya pura-pura mati.
Cowie membuat jeratan di ujung tali itu, kemudian mengalungkannya ke leher sersan Mike Clark. Ketiga tentara yang di atas menarik tubuh Clark sampai setengah lobang. Kemudian membiarkannya tergantung sambil diperhatikan dengan seksama, apakah tubuh yang digantung itu ada sedikit gerakan.
Tentu saja tubuh itu tak bergerak, karena Clark memang sudah meninggal dari malam kemaren. Setelah beberapa lama memperhatikan, kalau mulut dan tangan mayat itu tak bergerak sedikitpun, barulah tentara yang bisa berbahasa inggris itu memerintahkan untuk menarik mayat itu sampai keatas. Setelah itu peristiwa yang rutin kembali mereka saksikan. Loteng bambu diatas kembali ditutup. Tiga kayu pemberat sebesar tiga kali tubuh manusia kembali dihimpitkan di atasnya. Lalu semak dan dedaunan kembali ditimbunkan.
Kemudian mereka kembali di cekam suasana sunyi. Si Bungsu menatap air yang seperti biasa disisakan Cowie untuk cadangan. Air itu berada di kantong plastik berbentuk tas kresek berwarna hitam. Sejak dia berada di dalam tahanan ini, entah sudah berapa belas hari, kalau dia tak salah sudah empat kali pengiriman makanan disertai minuman dengan tas plastik tersebut. Jika isinya sudah habis, tas itu dia buang begitu saja ke air, kemudian tenggelam perlahan dan lenyap.
Sekali lagi si Bungsu menatap tas plastik yang tergantung di dinding dekat Cowie.
Disangkutkan di ranting yang di tancapkan ke tanah dinding lobang tersebut. Tas yang masih menggelembung di bagian bawahnya. Tak ada air yang menetes, karena pori plastik itu demikian rapatnya.
"Apakah mereka selalu mengirimkan makanan dan minuman dengan tas plastik itu?"tanya si Bungsu pada Cowie dari tempatnya bersandar.
Letnan PL Cowie yang tadi sedang menengadah keatas, mengalihkan tatapanya kepada si Bungsu. Kemudian mengalihkan pandangannya pada tas plastik yang tergantung di dinding itu. Lalu menatap kembali pada si Bungsu, kemudian mengangguk.
"Mengapa..?"
Si Bungsu menggeleng. Namun dengan kakinya dia meraba-raba dasar lobang di sekitar tempatnya tegak. Tak begitu lama meraba-raba, hanya berapa kali mencungkil lumpur, jarinya tersentuh pada sebuah kantong kresek itu. Dengan jari-jari kakinya dia jepit plastik itu, kemudian mengangkatnya ke atas, kemudian tangannya masuk ke lumpur meraih plastik itu, lalu dia perhatikan plastik itu dengan seksama.
Di genggam dan diluruskannya sehingga membentuk sebuah tali yang panjangnya sekitar dua setengah jengkal. Lalu dia pegang kedua ujungnya, ditariknya perlahan. Dia tahu 'tali' dari kantong plastik itu cukup kuat dan alot. Takkan putus ditarik. Namun dia tetap ingin
mencoba. Ingin membuktikan sekuat apa 'tali' itu.
Ternyata liat sekali, ditariknya dengan kuat, tetap tak putus. Cowie yang dari tadi memperhatikan, tiba-tiba tersadar. Dia faham benar apa yang dipikirkan si Bungsu.
"Anda benar…" desis Cowie sembari menatap dengan mata melotot ke arah 'tali' plastik yang tengah ditarik sekuat tenaga oleh si Bungsu.
Kopral Jock Graham dan sersan Tim Smith juga terbelalak setelah mendengar ucapan Cowie, kemudian menatap kepada tali yang ada di tangan si Bungsu.
"Kumpulkan semua kantong plastik yang ada dalam lobang ini…."bisik Cowie kepada sersan dan kopral itu.
Dalam beberapa detik, ketiga tentara itu, yang sudah kering kerempeng tersebut segera saja lenyap dari pandangan si Bungsu. Mereka menyelam dan tangan mereka gentayangan ke segala penjuru. Mengundak-ngundak lumpur di dasar lobang tempat penyekapan mereka, berusaha mendapatkan kantong plastik yang pernah mereka terima sebagai tempat minum.
Dalam waktu singkat ketiganya segera mendapatkan empat belas kantong plastik, mereka membersihkannya dari lumpur. Kemudian meluruskannya sehingga membentuk sebuah tali.
Sambil membersihkan kantong-kantong plastik itu, sesekali Cowie memandang ke atas. Seperti khawatir kalau-kalau tentara Vietnam yang mengintai apa yang sedang mereka kerjakan. Cowie menyumpahi kebodohan mereka, kenapa tak dari dahulu mereka punya pikiran bahwa kantong plasti itu disambung-sambung menjadi tali.
Mereka bekerja dengan diam. Tiap kantong yang mereka luruskan, mereka buhul di tengahnya. Kemudian mereka sambung-sambungkan. Tiba-tiba saja di tangan mereka kini terdapat tali yang kukuh dan liat.
Panjangnya sekitar tiga meter lebih. Mereka saling bertukar tatapan satu dengan yang lainnya. Kemudian ke bambu-bambu yang melintang jauh di atas mereka. Mata mereka pada berbinar. Untuk pertama kali selama bertahun-tahun, mereka menjadi gemetar dan gugup. Gemetar dan gugup membayangkan kemungkinan mereka bisa keluar dan melarikan diri dari lobang sekapan dan Dalam Neraka Vietnam ini!
"Ayo kita cari lagi. Saya yakin masih cukup banyak kantong seperti ini, yang sudah kita buang dan terbenam jauh di bawah lumpur…" bisik Cowie.
Ke tiga tentara Amerika itu kembali menyelam. Begitu juga si Bungsu. Yang pertama dia lakukan adalah menggulung kantong plastik itu sehingga menjadi gulungan kecil. Kemudian dia letakkan baik-baik di tepi dinding di dasar lobang. Ditimbunnya dengan dua kepal lumpur agar jangan mengapung ke permukaan. Lalu tangannya menggerayang lagi mengaduk-aduk lumpur. Beberapa kali mereka saling berbenturan kepala di dalam air kental tersebut, atau tangan mereka saling beradu saat mengaduk-aduk lumpur.
Ketika satu demi satu mereka muncul lagi dengan nafas tersengal-sengal, di tangan Cowie ada tiga kantong plastik. Smith mendapat enam, Graham dua buah dan si Bungsu lima. Mereka pada bersandar terlebih dahulu di dinding lobang. Mengatur pernafasan. Namun tak seorang pun yang mengangkat kantong plastik yang mereka dapat kepermukaan. Mereka memegang kantong-kantong plastik tersebut di dalam air.
Semua mereka merasa perlu waspada. Kendati mereka yakin takkan ada seorang pun tentara atau milisi Vietnam yang akan mencoba melihat dari atas. Namun harapan untuk bebas yang tiba-tiba demikian besar membersit, membuat mereka berhati-hati. Mereka tak ingin ada Vietnam yang melihat bahwa mereka tengah mengumpulkan kantong plastik tersebut.
Sore sudah turun saat mereka menyelesaikan pekerjaan menyambung-nyambung tali dari kantong plastik itu. Kini mereka memiliki tali sepanjang lebih kurang lima depa. Cowie memberi isyarat agar menyembunyikan saja tali itu di dalam air. Tak usah dicoba menarik-narik untuk menguji kekuatannya. Cowie, dan mereka semua sepakat, agar bersikap lebih hati-hati. Jangan sampai ada mata yang mengintai apa yang mereka lakukan di dalam lobang ini.
Fikiran dan kecurigaan seperti itu tak pernah muncul selama ini. Fikiran itu baru muncul setelah mereka memiliki alat untuk melarikan diri.
Cahaya sore yang merah, membias ke dalam lobang di mana mereka berada. Ke tiga tentara Amerika itu, Letnan PL Cowie, Sersan Tim Smith dan Kopral Jock Graham, tiba-tiba saja seperti orang yang baru bangkit dari kubur. Wajah mereka membiaskan harapan untuk bebas amat besar. Berbeda dari saat sebelum tali plastik itu mereka buat.