Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 255 - Pasangkan pada kedua tangan orang itu…

Chapter 255 - Pasangkan pada kedua tangan orang itu…

Dimana wajah dan mata mereka kelihatan murung dan tak bercahaya. Kini, wajah mereka memang tetap pucat, namun ada rona dan harapan yang membersit di sana.

Ketika gelap sudah meraup semua lobang tersebut, Cowie dan si Bungsu segera mengatur uji coba kekuatan tali plastik yang mereka buat. Si Bungsu menyelam di tempat yang sudah dia beri tanda di mana dia menyimpan tali plastik yang lima depa itu. Tangannya mengaiskan lumpur yang dia jadikan sebagai pemberat, agar tali itu tidak mengapung.

Setelah muncul dan tegak di sisi Cowie, dia menyerahkan ujung yang satu kepada letnan tersebut. Sementara ujung yang satu lagi tetap dia pegang.

"Saya dengan Smith, Anda dengan Graham…" bisik Cowie.

"Oke…." ujar si Bungsu.

Kedua orang yang disebut Cowie, Smith dan Graham, yang juga tegak di dekat mereka, segera berbagi tegak. Smith mengikuti langkah Cowie ke dinding yang berseberangan dengan tempat tegak si Bungsu. Sementara Graham mendekatkan tegaknya ke dekat si Bungsu. Kini tali plastik itu mereka regang. Si Bungsu dan Graham di ujung yang satu, sementara Cowie dan Smith di ujung lainnya.

"Siap….?" bisik si Bungsu.

"Yap…!" jawab Cowie.

Keempat mereka memegang masing-masing ujung tali itu kuat-kuat ketika si Bungsu menghitung mundur dari tiga, dua, satu dan nol. Pada hitungan nol, mereka menarik tali itu sekuat mungkin. Namun yang terjadi bukannya tali yang putus, tapi Cowie dan Smith di ujung sana tertarik kuat ke depan. Mereka berdua sampai kehilangan keseimbangan dan kelelep di air.

"Pantat kurap…." sumpah Smith diiringi sederet panjang makin lain.

Rupanya dia tak bisa menahan tarikan kuat si Bungsu dan Graham, beberapa teguk air kental tertelan olehnya. Untuk beberapa saat dia kalang kabut menyemburkan air bekas mayat teman-temannya itu. Cowie tertawa, Graham tertawa. Smith akhirnya ikut tertawa. Cowie segera sadar, tenaga mereka amat tak berimbang dibanding tenaga orang Indonesia itu. Soalnya dia dan Smith memang sudah tak punya tenaga sedikit pun. Habis terhisap selama dalam lobang sekapan dengan makan amat minim selama lebih dari dua tahun. Sementara si Bungsu masih segar bugar.

Si Bungsu juga menyadari perbedaan antara tenaga yang dia miliki dibanding tenaga ketiga teman satu tahanannya tersebut. Dia faham, bertahun-tahun di dalam sekapan, dengan makanan dan minum yang amat kurang, menyebabkan tubuh para tawanan menjadi seperti mayat hidup. Benar-benar hanya tinggal tulang belulang dibalut kulit. Dia sendiri tak yakin bisa bertahan hidup jika ditahan selama itu.

Mereka lalu kembali mengulangi percobaan dalam gelap gulita itu. Kali ini, si Bungsu tegak sendirian, sementara Cowie, Smith dan Graham bergabung jadi satu di ujung yang lain.

"Siap?" bisik si Bungsu.

"Yap…" ujar Cowie.

Si Bungsu kembali mengulang menghitung mundur. Pada saat dia menyebut angka nol, mereka semua mengerahkan tenaga. Menarik sekuat daya ujung tali pada bahagian masing-masing. Hanya beberapa saat, tiba-tiba semua mereka merasakan tali itu putus dan mereka pada tersandar dengan agak keras ke dinding di belakangnya. Nafas ketiga tentara Amerika itu pada memburu.

"Cowie….?" bisik si Bungsu.

"Ya…."

"Putus?"

"Ya…."

"Periksa bahagian ujung yang putus itu….."

Cowie menghela tali plastik tersebut. Menggulungnya perlahan sampai ujung yang putus itu tiba di tangannya. Demikian juga si Bungsu.

"Bungsu…." bisik Cowie.

"Ya…?"

"Tak ada serpihan bekas putus di ujung tali ini…."

"Ya, di ujung ini juga tidak…" jawab si Bungsu.

"Kalau demikian, tali ini tidak putus. Melainkan terlepas sambungannya…" ujar Cowie.

"Ya, menurut saya juga begitu…" jawab si Bungsu.

"Kita uji lagi?" tanya Cowie.

"Ya, kecuali kita ingin tetap berada di dalam lobang celaka ini selama-lamanya…" ujar si Bungsu sambil melangkah di dalam air, mendekati tempat Cowie dan kawan-kawannya.

"Kami sudah cukup lama di sini. Kalau ada yang harus tinggal lebih lama, lebih baik kau saja. Sebab pengalamanmu berada di dalam lobang seperti ini harus diperdalam. Makin lama engkau berada di sini makin banyak yang bisa kau pelajari….." ujar Cowie, disambut tawa cekikikan Smith.

"Sebaiknya Smith atau Graham saja yang diperpanjang masa tugasnya di lobang ini, jangan saya. Saya orang asing, bukan orang Amerika. Jadi tak ada manfaatnya bagi Vietnam…." ujar si Bungsu membalas guyonan Cowie.

Smith bercarut marut diiringi tawa. Senang juga hatinya mendengar senda gurau orang Indonesia ini. Mereka lalu menyambung lagi ujung tali yang ikatannya terlepas itu. Kemudian pengujian kembali dilakukan dengan menarik sekuat mungkin. Beberapa kali mencoba, tali itu memang kenyal dan alot sekali. Tak bisa putus meski ditarik kuat-kuat oleh empat lelaki dewasa. Mereka kini benar-benar punya harapan untuk bisa membebaskan diri. Mereka tak tahu bagaimana caranya. Belum pula pernah merencanakan apapun. Jadi mereka sebenarnya tak tahu, apa yang akan mereka lakukan.

Bisa melarikan diri memang menjadi idaman setiap tawanan. Namun risikonya adalah nyawa. Kendati belum ada rencana apapun, belum tahu kapan saatnya melarikan diri, namun memiliki tali yang amat kukuh dengan panjang sekitar lima depa itu benar-benar memberi dorongan semangat pada mereka. Hidup bebas di luar merupakan bayangan yang amat indah.

"Besok kita uji dengan bergantung di tali ini…" bisik si Bungsu yang bersandar di sisi Cowie.

"Saya yakin, engkau bisa membawa kami keluar dari lobang ini, Bungsu…" ujar Cowie perlahan, didengar dengan diam oleh Smith dan Graham.

"Saya tidak melihat bagaimana caranya. Lobang ini terlalu tinggi untuk dilompati. Kita tak memiliki senjata apapun…" ujar si Bungsu.

Kendati dia berkata perlahan, namun karena mereka berempat tegak berdekatan, semua bisa mendengar percakapan perlahan itu dengan cukup jelas.

"Engkau sudah memulainya kawan. Gagasan membuat tali dari kantong plastik itu tak pernah terfikirkan oleh kami sebelumnya. Kini engkau ternyata melihat hal itu. Kita tunggu saat yang tepat serta merencanakannya sebaik mungkin…" ujar Cowie.

Kemudian mereka lebih banyak berdiam diri. Tak lama setelah itu, si Bungsu memisahkan diri dari kelompok tersebut. Dia pergi ke bahagian lain dari dinding itu. Kemudian orang-orang hanya mendengar suara air bersibak. Cukup lama.

"Hei, kau belajar berenang?" tanya Smith perlahan, diiringi suara tawanya separoh terkekeh.

Tak ada jawaban dari si Bungsu. Suara air berkecipak itu tetap saja mereka dengar berkepanjangan. Akhirnya ketiga tentara itu hanya mendengar dengan diam. Mereka memang tak dapat melihat apapun di dalam lobang itu jika gelap sudah turun. Mungkin ada sekitar tiga atau empat jam suara air berkecipak itu mereka dengar. Setelah itu mereka dengar tarikan nafas, lalu sepi. Mereka lalu tertidur dalam pulas.

Paginya semua pada tersentak terbangun mendengar carut marut Smith. Cowie yang membuka mata duluan menatap ke arah Smith, lalu Graham.

Smith ternyata sedang melototkan matanya ke arah si Bungsu. Cowie dan Graham ikut memandang ke arah yang dipandang Smith. Dan mereka juga ikut melotot seperti Smith.

Betapa mereka takkan melotot, kalau di seberang sana, mereka melihat lelaki asal Indonesia itu tidur menyandarkan diri. Tapi yang membuat mereka melotot bukannya tidur si Bungsu, melainkan batas air yang terlihat di tubuh lelaki itu. Jika di tentang mereka ketinggian air tetap saja sebatas pangkal leher, di tentang si Bungsu air ternyata hanya sebatas perutnya!

Tidaklah mungkin air di ruangan yang sama, dengan kedalaman lobang yang sama, bisa dangkal di suatu tempat dan dalam sangat di tempat yang lain.

Mungkin atau tak mungkin, bukti yang kini mereka saksikan dengan mata kepala sendiri memang begitu. Ketiga mereka lalu perlahan ke arah tempat si Bungsu, yang masih saja tidur pulas. Smithlah yang pertama terhenti langkahnya. Langkahnya terhenti karena tiba-tiba saja tubuhnya kejeblos ketempat yang lebih dalam. Kepalanya tiba-tiba lenyap dari permukaan air. Dia kaget dan sempat kelelep sebelum akhirnya menggerapai mundur.

"Setan… pantat kurap! Apa-apaan ini?" rutuk Smith begitu kembali berdiri di tempat yang datar.

Si Bungsu terbangun. Dia membuka mata dan segera tertawa sambil menatap kepada tiga teman-temannya yang kurus kerempeng itu. Ketiga mereka kini berada di tengah lobang, sekitar dua meter dari tempatnya.

"Hai…" ujarnya sambil tersenyum.

Ketiga tentara Amerika itu masih melongo menatapnya, yang seolah-olah berada di atas air. Si Bungsu menggapaikan tangannya ke depan, ke bahagian bawah tempat duduk tersebut. Lalu memperagakannya pada ketiga tentara Amerika itu. Mereka masih terlongo, sebab yang diperagakan si Bungsu hanyalah sekepal lumpur.

Cowie yang pertama menyadari kenapa orang Indonesia itu kini seolah-olah berada di ketinggian. Hal itu berkaitan erat dengan apa yang dilakukan orang Indonesia itu tadi malam. Dia memang berada di posisi lebih tinggi dibanding posisi mereka kini.

Tadi malam, kecipak air yang mereka dengar selama berjam-jam itu adalah akibat lelaki dari Indonesia ini bekerja keras. Menyelam mengumpulkan lumpur. Lalu menumpuknya di salah satu dinding tahanan. Berjam-jam melakukan penumpukan, tentu saja lumpur itu makin lama makin tinggi. Dan kini, dia tak perlu berdiri lagi. Pekerjaannya malam tadi menghasilkan sebuah 'kursi' yang terdiri dari unggukan lumpur. Di kursi itulah dia kini duduk, sehingga air seolah-olah sebatas perutnya.

Ketiga tentara Amerika itu kemudian berdatangan ke 'kursi' si Bungsu. Lalu mereka menjadi seperti anak-anak yang mendapat permainan baru. Bergantian naik ke 'kursi' lumpur tersebut. Sersan Tim Smith kemudian tak mau kalah. Dia segera melangkah ke sisi dinding yang lain. Kemudian menyelam. Lalu dari kedalaman air itu dia meraup lumpur dengan tangannya. Mengungguk lumpur sedikit demi sedikit ke tepi dinding. Dia juga ingin membuat sebuah 'kursi' untuk tempatnya duduk. Malah kalau bisa, dia ingin membuat tempat tidur. Dengan demikian dia tak usah lagi harus berdiri. Dia berharap bisa berbaring-baring di tempat tidurnya yang baru itu. Cowie dan Kopral Jock Graham hanya menatap dengan diam.

Namun lewat tengah hari, mereka dikejutkan dengan dibukanya penutup lobang tersebut. Empat tentara Vietnam dan dua milisi berjejer di atas dengan bedil ditodongkan ke bawah.

"Hei, Negro…" ujar salah seorang di antara tentara yang tidak menodongkan bedil, yang bersenjata pistol di pinggang, ke arah Cowie dalam bahasa Inggris.

Cowie menatap dengan diam ke atas.

"Sambut ini…" ujarnya sambil memperlihatkan sebuah gari.

Sebelum habis ucapannya dia sudah melemparkan belenggu terbuka itu, yang disambut oleh Cowie.

"Pasangkan pada kedua tangan orang itu…" ujar tentara tersebut sambil menunjuk pada si Bungsu.

Cowie segera berjalan dalam air kental itu ke arah si Bungsu. Dia faham benar tak ada gunanya memperlambat melaksanakan perintah tentara Vietnam tersebut, apalagi membantahnya.

Cowie, dan siapapun tentara Amerika, yang pernah merasakan tertangkap oleh Vietnam tahu benar bahwa terhadap tawanan tentara Amerika tentara maupun milisi Vietnam tak memiliki kata iba, kasihan atau bentuk timbang rasa apapun. Mereka dengan segala senang hati akan menghamburkan peluru dengan sedikit alasan saja. Bahkan dengan alasan yang kadang-kadang tak masuk akal.