Perempuan itu sedang berada dalam posisi berbaring menelungkup di lantai pondok. Di bahagian depan, agak ke samping kanan, duduk temannya yang lelaki. Sesekali memandang ke arah timbunan semak belukar yang menutupi lobang penyekapan. Namun matanya lebih sering menatap bongkol pinggul perempuan yang menelungkup itu. Atau ke dadanya yang seakan-akan mau pecah karena tertekan ke lantai. Nampaknya si lelaki sedang membicarakan peristiwa tadi, yang membuat wanita itu terpekik-pekik.
Si wanita nampaknya memang centil, atau katakanlah dia termasuk wanita jongkek. Sebab tiap sebentar, bila ada yang agak lucu atau yang tak dapat dia komentari, tangannya mencubit paha lelaki tersebut. Akan halnya lelaki, yang masih berusaha bertahan duduk, nampaknya berprinsip "Bukan kaba sambarang kaba, kaba dibao mantiko muncak. Bukan saba sambarang saba, saba mananti kutiko rancak".
Dan saat kutiko rancak itu tiba, yaitu saat darahnya sudah naik ke ubun-ubun, dia menjerembabkan diri ke atas tubuh perempuan jongkek yang sok-sok menelungkup itu. Perempuan itu terpekik kecil. Bukan pekik terkejut apalagi pekik marah. Dari pekiknya saja orang pasti bisa menebak dia memang jongkek. Sebab pekiknya hanya perlahan, diiringi erangan, entah apa yang dierangkannya. Pokoknya dia mengerang. Si lelaki yang juga bertubuh agak kurus, segera membuat pekerjaan tangan.
Maksudnya tangannya bekerja ke bawah, ke atas. Meraba meremas. Dan si perempuan nampaknya memang mengharapkan semua yang diperbuat si lelaki. Dia menelentangkan diri. Kemudian dia pula yang mendahului membuka baju si lelaki.
"Suara seperti itu pasti suara poyok…" ujar Tim Smith menggerendeng.
Ke empat lelaki lain dalam lobang sekapan itu hanya berdiam diri. Dari atas sana makin jelas terdengar suara wanita dan lelaki. Mengerang, mendesah. Makin lama makin keras, makin lama makin cepat. Kemudian suara pekik panjang perempuan, kemudian suara pekik panjang lelaki. Lalu diam.
"Ayo main tebak-tebakan. Kenapa mereka memekik?" tiba-tiba kesunyian di dalam lubang itu dipecahkan oleh suara Tim Smith, sersan yang rambutnya hampir botak dan tukang carut itu.
Pertanyaan yang dia lontarkan mau tak mau membuat semua yang ada dalam lobang itu nyengir. Jarang sekali mereka bisa tersenyum. Hal itu disebabkan tak satupun yang bisa dianggap lucu, atau tak satupun bisa menghibur hati mereka selama berada dalam lobang terkutuk itu. Namun ucapan yang dilontarkan Tim Smith sebentar ini, ajakan untuk main tebak-tebakan kenapa kedua orang di atas sana memekik-mekik, benar-benar memaksa mereka untuk tersenyum.
Meski senyum yang lebih tepat disebut nyengir. Sebab, betapapun bentuk senyum yang tergurat di wajah orang-orang seperti mereka, yang kelihatan adalah guratan muram. Segala bentuk ekspresi, termasuk ekspresi marah, menjadi berbeda tampilnya di wajah, karena dirobah oleh ketegangan dan derita selama bertahun di dalam penyekapan.
"Ayo, siapa bisa menerka. Kenapa mereka memekik?" kembali Smith melontarkan pertanyaan.
Tak ada yang menjawab, selain senyum tergurat di wajah setiap orang dalam lobang itu, termasuk si Bungsu. Sampai akhirnya Kopral Jock Graham, petugas bahagian radio yang sama-sama diangkut dengan truk bersama si Bungsu, memberikan jawaban.
"Mereka dicekik hantu…" ujarnya.
Jawaban itu membuat senyum semakin lebar di wajah kelima lelaki tersebut.
"Mereka bukan dicekik hantu, tapi pekik menyindir. Kau yang disindirnya, Smith…" ujar Sersan Mike Clark.
Mereka tersenyum lagi. Smith yang semula tertegun, tiba-tiba terkekeh.
"Bukan, bukan aku yang mereka sindir dengan pekiknya itu. Mereka menyindir kita semua…" ujar Smith.
Mereka kemudian pada tertawa. Tetapi setelah itu, hari-hari mereka lalui dengan kesunyian dan derita panjang. Memang tak ada penyiksaan dalam bentuk pemukulan. Tapi apa yang mereka alami dalam lobang itu tak kalah dahsyatnya dari penyiksaan dalam bentuk sepak dan terjang.
Akan halnya sepak, terjang atau cabut kuku, itu mereka alami di tahun pertama mereka tertangkap. Cowie misalnya, giginya copot dua buah akibat dihajar popor senapan. Smith kalau berjalan pasti tak lurus. Tulang kering kaki kanannya patah dihajar, juga dengan popor bedil. Kini memang sudah sembuh, tapi tulang keringnya itu bertaut secara tak benar. Kalau dia berjalan, jalannya tak normal. Setelah si Bungsu berada di hari kelima di dalam kurungan itu, barulah orang Vietnam memberi mereka makanan. Makanan berupa sisa yang terdiri dari rebus ubi kayu, keladi dan ikan asin itu dimasukkan ke dalam sejenis kambut. Kemudian dilempar begitu saja ke dalam lobang penyekapan tersebut. Cowie yang pangkatnya memang tertinggi, mengatur agar semua mereka tidak berebutan.
Sebab pengalaman sudah mengajarkan, ketika bulan-bulan pertama disekap, sebahagian dari mereka babak belur saling pukul karena berebut makanan, yang selain tak memenuhi syarat, jumlahnya pun amat sedikit.
"Makanlah, karena mana tahu ini adalah makanan terakhir bagi salah seorang di antara kita…" ujar Cowie.
Mereka makan dengan diam tapi dengan cepat. Hanya beberapa saat, makanan yang menjadi bahagian masing-masing itu habis. Smith malah menjilati tangannya, merasakan nikmatnya rasa asin ikan yang tertinggal di jari-jarinya. Kemudian mereka meminum air yang dikirim bersama makanan itu. Air mentah, tapi jernih, barangkali air sungai atau air sumur, yang dibungkus dengan kantong plastik. Cowie memberi jatah air dua teguk seorang, kemudian tempat air digantung pada sebuah ranting yang ditancapkan di dinding tanah napal itu.
Tak ada yang membantah aturan yang ditetapkan Cowie, karena aturan itu amat mereka perlukan. Mereka tak mungkin meminum air setinggi dada dalam lobang dimana mereka disekap. Selain airnya kuning dan kental karena lumpur, air itu juga sudah kotor dan bau sekali. Maklum, di lobang tersebut sudah lebih dari enam atau tujuh orang yang mati. Setiap ada yang mati, mayatnya tak segera diangkat orang Vietnam. Ada yang sehari, ada yang dua hari, malah seperti mayat terakhir baru pada hari ketiga diangkat. Namun makanan yang mereka terima itu ternyata tak bisa menolong Sersan Mike Clark.
Kondisi sersan itu sudah demikian buruknya sebelum dipindahkan ke lobang laknat ini. Kondisi kesehatannya yang buruk itu diperburuk oleh bau mayat selama tiga hari di dalam lobang 4 x 4 meter itu. Tak lama setelah usai makan, dia diserang demam. Nampaknya dia terkena tularan kawannya dua minggu yang lalu. Dia menggigil dan mengigau. Tiap sebentar tubuhnya melorot dan terbenam ke dalam air. Cowie sudah berkali-kali menyangga badan temannya itu agar tak terbenam. Si Bungsu menyesal kehabisan ramuan tradisionalnya.
Kalau saja dia mendapat sedikit dedaunan atau lumut yang cocok untuk obat, dia yakin dia bisa menolong Mike Clark. Namun dalam kondisi seperti sekarang kemana dia harus mencari dedaunan atau lumut? Tubuh sersan itu dipegangi Jock Graham. Mereka tak berusaha berteriak meminta bantuan kepada dua penjaga yang ada di atas.
Teriakan atau panggilan dalam bentuk apa pun takkan pernah diacuhkan. Memanggil atau berteriak hanya akan menghabis-habiskan tenaga. Mereka sudah berkali-kali mengalami hal seperti itu.
Berkali-kali pula yang sakit di dalam lobang penyekapan ini harus menyerahkan nyawa mereka benar-benar pada takdir Tuhan. Hanya ada satu di antara dua kemungkinan yang harus mereka tunggu. Sembuh dengan sendirinya, atau mati. Untuk kemungkinan pertama, bukannya tak ada. Baik Cowie maupun Tim Smith pernah menderita demam berhari-hari. Namun karena demam mereka stadiumnya masih rendah, akhirnya mereka sembuh sendiri. Tetapi sebahagian besar lainnya, demam memang mengantar mereka ke pintu kubur.
Sersan Mike Clark sudah benar-benar tak sadar pada dirinya. Tubuhnya menggigil terguncang-guncang. Setiap satu jam mereka bergiliran memegang tubuh sersan itu agar tak tenggelam. Dan menjelang larut malam, hanya sekitar enam jam setelah mereka mendapat jatah makanan, tubuh sersan itu sudah tak bergerak.
Kebetulan saat itu yang mendapat giliran untuk memegangi tubuh sersan tersebut adalah si Bungsu dan Tim Smith. Si Bungsu memegangi Clark pada bahagian kepala dan punggung, sementara Smith memegangi bahagian pinggul dan paha.
Dengan kedua tangan berada di bahagian bawah tubuh yang ditelentangkan itulah mereka menjaga agar si sakit tidak tenggelam. Sebenarnya, dengan bantuan air menahan tubuh orang agar tak tenggelam tidaklah begitu berat. Apalagi semua mereka di dalam lobang itu, kecuali si Bungsu, badannya pada kurus kerempeng. Kalau saja dinaikkan ke timbangan, beratnya rata-rata mungkin hanya sekitar 40an kilogram. Dengan tubuh di atas 175 cm, berat badan sekian membuat mereka seperti kerangka hidup.
Menjelang larut malam itu, si Bungsu merasa tak ada gerakan apapun lagi pada tubuh Clark. Perlahan tangannya yang memegang kepala Clark, meraba nadi di leher sersan itu. Tak ada gerakan, tak ada denyut sehalus apa pun. Dia tak perlu meraba atau mendengarkan degup jantung sersan itu untuk memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau masih hidup.
Tidak, dia sudah belasan kali menghadapi orang yang berada dalam keadaan sakratul maut. Dari pengalaman itu dia sangat yakin sersan ini sudah mati. Dan dia yakin, bagi mereka yang sudah bertahun dalam sekapan ini, kematian merupakan anugerah, dibanding harus mati setelah menderita dalam waktu yang amat panjang.
Si Bungsu kembali meluruskan badannya bersandar ke dinding. Dia menoleh ke arah Smith. Tak ada yang kelihatan, kendati jarak antara mereka berdua hanya sehasta. Kegelapan yang kental menyebabkan suasana di dalam lobang itu tenggelam dalam kelam yang tak terbayangkan.
Namun dia tahu Smith masih tegak di sisinya, juga bersandar ke dinding. Suara nafas lelaki itu dia dengar teratur. Dia juga tahu Smith sedang tidur. Hampir dua tahun disekap seperti ini, membuat tentara Amerika itu benar-benar terlatih dan tahu bagaimana tidur dalam segala kondisi.
Pendengarannya yang tajam juga menangkap dengkur perlahan Letnan Cowie dan Kopral Jock Graham. Perlahan dia berbisik, memanggil Smith yang tegak di sisinya.
"Smith…."
"Ya…." jawab Smith, juga berbisik tanpa membuka mata.
"Orang ini sudah mati…."
Tak ada jawaban. Dari kegelapan di atas sana sayup-sayup terdengar suara burung malam.
"Apa…?"
"Clark sudah mati…." Smith menarik nafas panjang.
"Kau yakin?"
"Ya…"
Tak ada jawaban dari Smith. Yang dia lakukan, justru melepaskan pegangan kedua tangannya di paha Mike Clark yang tubuhnya mengapung di permukaan air.
"Lepaskan saja…" ujar Smith perlahan sambil menggeliat.
Saat si Bungsu melepaskan pegangannya pada punggung bahagian atas tubuh Clark, juga pegangan di bahagian kepala. Smith masih menggeliat panjang. Dia meregangkan kedua tangannya yang hampir kesemutan tinggi-tinggi ke atas. Lalu dia melemaskan jari-jarinya.
Menarik jari itu bergantian satu demi satu, sehingga buku-buku jarinya memperdengarkan bunyi gemeletuk. Kemudian dia menguap panjang dan menegakkan tubuhnya yang bersandar hampir sepanjang malam. Lalu memutar badan bahagian atasnya, melemaskah pinggang dan otot-ototnya yang semua terasa kaku.
Si Bungsu juga melakukan hal yang sama. Meluruskan tegak dari posisi bersandar. Menggeliat dengan meregangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Lalu memutar tubuh bahagian atasnya ke kiri, ke kanan dan sedikit membungkuk. Mereka jelas tak bisa membungkuk benar, karena air di dalam lobang itu tingginya hampir mencapai leher mereka masing-masing. Dalam kegelapan yang kental tersebut, mayat Clark yang mengapung perlahan ke bahagian tengah lobang penyekapan itu, tak kelihatan sama sekali.