Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 252 - Ada apa?

Chapter 252 - Ada apa?

Lama si Bungsu terpana mendengar cerita tim Smith. Dia menatap PL Cowie, negro kurus berbibir tebal dan berambut kribo itu juga menatapnya. si Bungsu segera menyakini cerita Tim Smith kalau ada sesuatu yang lain pada diri negro yang satu ini. Nalurinya membisikkan itu. Sebaliknya, sejak awal-awal kedatangan si Bungsu, Cowie sudah merasakan bahwa lelaki itu bukan sembarang orang.

Si Bungsu tiba-tiba teringat pada Thi Binh. Gadis itu juga pernah melihatnya dalam mimpi. Mimpi itu, menurut penuturan thi Binh, datang berkali-kali saat dia diperkosa dan dipaksa menjadi budak nafsu di barak pasukan Vietnam.

Kini ternyata mengalami hal yang sama. Bedanya, jika Thi Binh melalui mimpi, Cowie melihatnya dalam bayangan Metafisik. Semaca halusinasi dan bayang samar, saat orang tertentu berkonsentrasi dan menghubungkan diri dengan alam ghaib.

"Anda pernah memiliki samurai ?"desak Smith.

Si Bungsu menatap pada Cowie. Cowie juga tengah menatap padanya dengan tajam. Demikian juga Smith dan kedua orang lainnya. Akhirnya si Bungsu mengangguk. Ketiga tentara itu pada terpana.

"Oh, my god..! Anda akan mempergunakannya?"ujar Smith dengan suara bergetar.

Si Bungsu tak segera menjawab. Namun di depan Cowie tak seharusnya dia menutup-nutupi siapa dirinya. Lelaki ini memiliki pandangan yang menembus ruang dan waktu. Yang dalam ilmu pengetahuan disebut alam metafisik, yang diwarisi dia dari leluhurnya dari belatara Afrika sana.

"Anda mahir memergunakan samurai?"kembali smith bertanya.

Keempat tentara dalam lobang itu kembali diingatkan kembali pada keaadaan mereka saat ini. Mereka juga menatap keliling, kemudian keatas. Ke Bambu yang silang menyilang yang dijadikan penutup lubang. Jerajak bambu yang dijadikan penutup lubang itu sebesar paha lelaki dewasa hanya sekitar empat meter di atas mereka.

Namun karena kukuhnya dan karena kondisi mereka seperti sekarang, tanpa alat apapun untuk bisa dipakai melarikan diri, atap bambu yang tingginya hanya empat meter itu terasa berada jauh di atas langit sana.

Kelima mereka hampir serentak memandang ke atas. Karena saat itu sayup-sayup mereka mendengar pekik wanita. Namun yang terlihat tetap saja bambu bersilang-silang empat segi, daun pepohonan yang ditimbunkan ke bambu itu, yang berfungsi sebagai kamuflase sekaligus atap lobang tempat mereka disekap.

Tak ada satu pun yang terlihat. Yang sampai ke tempat mereka hanya suara pekik dan erangan perempuan.

Suara pekik dan erangan itu memang berasal dari mulut seorang wanita, datang dari pondok penjagaan sekitar tiga depa dari mulut lobang tempat menyekap tawanan perang tersebut.

Karena dekatnya jarak antara mulut lobang dengan pondok itulah makanya mereka yang berada di dalam lobang tersebut tidak hanya mendengar pekik si wanita, tetapi juga erangannya. Bahkan sayup-sayup mereka menangkap suara nafas yang tersengal-sengal. Nafas memburu seperti berlari kencang yang keluar dari mulut lelaki, yang juga keluar dari mulut wanita.

Mereka menatap nanap ke atas dengan mata hampir melotot. Seolah-olah ingin mengetahui apa sebenarnya yang tengah terjadi di atas sana. Di atas sana, di pondok penjagaan itu, memang sedang terjadi sesuatu.

Milisi Vietnam, yaitu orang-orang sipil yang menjalani wajib militer, tidak hanya dikenakan pada kaum pria. Juga dikenakan kepada wanita. Itu pun tidak hanya kepada mereka yang dewasa, yang masih kanak-kanak pun demikian. Soalnya, sebelum pecah menjadi Vietnam Utara dan Selatan, negeri ini sudah menjalani peperangan yang sangat panjang. Sudah sejak zaman negeri ini dijajah Perancis selama 100 tahun.

Dalam perang yang amat panjang untuk merdeka, yang meremukkan hampir seluruh sendi kehidupan Vietnam itu, negeri tersebut sudah mengorbankan ratusan ribu, jika tidak jutaan orang.

Itulah sebabnya hampir semua penduduk, lelaki wanita, tua maupun muda, dihimbau untuk angkat senjata melawan penjajahan, atau siapa saja yang mencoba mengekspansi negeri mereka. Yang terakhir, dalam upaya menyatukan negeri itu di bawah kekuasaan komunis, mereka berusaha merebut kembali Vietnam Selatan yang dibeking habis-habisan oleh Amerika. Namun mereka, orang-orang utara, yang sebelum dan semasa penjajahan Perancis sebenarnya bersatu dengan selatan, kini tidak hanya berhasil menyatukan kembali selatan dengan utara, tetapi juga mengusir tentara Amerika.

Mengusir tentara dari negara paling super dan paling ditakuti, karena memiliki peralatan perang paling canggih di dunia. Jika akhir peperangan itu mendatangkan rasa bangga yang luar biasa bagi rakyat Vietnam Utara yang komunis, karena berhasil mengalahkan tentara dari negara terkuat di dunia, maka bagi Amerika akhir perang Vietnam adalah sebuah aib besar, yang takkan mungkin terhapus dengan apapun sepanjang zaman.

Wanita Vietnam yang ikut memanggul senapan tugasnya sama saja dengan pria. Dalam perang selama puluhan tahun, mereka sudah tertempa dengan berbagai kondisi.

Hari itu, saat kelima tawanan di dalam lobang sekapan mendengar suara jerit dan erang, adalah saat aplusan untuk menjaga lobang penyekapan tersebut. Saat si Bungsu pertama tiba, yang menjaga adalah dua milisi pria, maka kini yang menggantikan adalah seorang milisi wanita dan seorang milisi pria. Para milisi ini berpakaian hitam-hitam, semuanya tanpa tanda pangkat. Perang, sebagaimana terjadi di belahan bumi manapun, ternyata tidak hanya mendatangkan bencana secara fisik kepada negeri tempat terjadinya perang, tetapi juga memporak-porandakan moral dan nilai-nilai.

Yang paling menderita adalah para wanita. Ya musuh, ya orang kampung sendiri, asal dia ikut berperang tiba-tiba saja fi'ilnya berubah menjadi beringas. Kaum wanitalah yang senantiasa paling banyak menjadi korban kebuasan perang. Kebuasan tentara penyerang, maupun tentara pihak bertahan.

Begitulah kebuasan sebuah perang. Kebuasan yang tak mengenal batas moral dan agama. Tak mengenal batas buruk dan baik. Bila keberingasan dan nafsu sudah memanjat ke ubun-ubun, semua batas pun runtuh.

Dua milisi yang tegak berjaga di bawah pondok itu pun bersiap turun, manakala melihat penggantinya sudah tiba. Saat keduanya akan turun, tiba-tiba yang seorang matanya terpandang pada dada wanita milisi yang akan penggantikannya. Padahal baju seragam tentara berwarna hitam yang dikenakan wanita itu buahnya terkancing semua. Namun karena dada wanita itu memang demikian ranum dan sekal, ada celah terbuka di antara dua kancing bajunya. Dari celah baju yang tersingkap tak sampai seukuran kelingking itu, dia mengintip p*ngkal dada wanita tersebut. Putih dan memabukkan dan mengirimkan sentakan ke ubun-ubun.

Anggota milisi yang akan turun itu mendagut liurnya. Lalu dengan kaki separoh menggigil menuruni tiga buah anak tangga pondok tersebut. Sambil melangkahi tiap anak jenjang, matanya melotot ke dada wanita tersebut. Dia masih menahan diri. Tapi pikirannya merayap kemana-mana.

Bukan, bukan kemana-mana. Pikirannya merayap hanya ke satu tempat, yaitu ke balik baju wanita itu. Kesela dadanya yang ranum dan sekal. Nafasnya memburu ketika dia sampai di bawah. Perempuan itu lalu naik. Si milisi menoleh ke belakang. Dan… ampun, ketika perempuan itu naik, pinggulnya yang besar membayang jelas.

Terbungkus oleh celana hitamnya yang ketat. Tubuhnya agak kurus. Namun dada dan pinggulnya yang amat sintal membuat lutut lelaki yang melihat goyah gemertak. Senyum dan tatap matanya amat mengundang selera buruk lelaki.

Itulah yang terjadi begitu dia menaiki anak tangga di pondok pengawalan tersebut. Dia baru saja akan menghenyakkan pinggulnya di lantai beralas tikar, ketika anggota milisi yang baru turun itu tiba-tiba saja sudah berada di sisinya.

"Ada apa?" ujarnya kaget sambil menatap ke arah milisi tinggi kurus bermata juling yang tegak di depannya.

Perang panjang sering membuat manusia kehilangan akal sehat. Dan akal sehat itulah yang hilang dari tempurung kepala anggota milisi kurus tinggi di pondok penjagaan itu. Dia langsung saja menyergap wanita itu.

Si wanita yang kaget bukan main, berusaha berontak dan berteriak. Namun teriaknya tersumbat di tenggorokan. Mulut milisi kurus itu sudah menyumpal mulut si wanita dengan rakus. Berontaknya hanya berupa gelinjang tanpa daya, karena si kurus sudah dikuasai nafsu.

Satu-satunya harapan adalah dua milisi lelaki yang kini berada di bawah pondok. Yang satu adalah yang sama-sama datang dengannya ke pondok ini untuk menggantikan tugas penjagaan. Yang satu lagi adalah teman si kurus, yang akan mereka gantikan. Namun reaksi kedua lelaki itu justru bertolak belakang dengan yang diinginkan si wanita. Kedua mereka justru mengawasi jalan setapak ke arah kampung. Melihat kalau-kalau ada yang datang. Tentu saja takkan ada yang datang.

Tempat penyekapan itu terletak di tengah pepohonan dan hutan bambu. Jarak ke perkampungan ada sekitar 500 meter. Memekik kuat pun si wanita tetap takkan terdengar ke kampung. Apalagi pekiknya tertahan di tenggorokan.

Angin bertiup kencang. Atap penutup lobang penyekapan di depan pondok itu terkuak-kuak. Cahaya terang menerobos masuk ke lobang itu. Bau busuk segera menerobos ke atas.

Para milisi tersebut segera pada menutup hidung mereka dengan kain. Salah seorang segera melemparkan tali yang tadi dia sandang di bahunya. Si wanita yang masih berpeluh hanya menatap dari tempat duduknya di atas pondok. Dia seperti kehabisan tenaga untuk bergerak.

"Ikat mayat itu dengan tali ini…" ujar pimpinan milisi Vietnam itu dalam bahasa Inggris.

Kendati bahasa Inggrisnya tak begitu baik, namun mereka yang berada dalam lobang sekapan itu faham apa yang disuruh. Letnan PL Cowie maju dan mengikatkan tali sebesar empu jari kaki itu ke pinggang mayat yang sudah tiga hari mengapung di dalam lobang itu.

Tali itu segera ditarik. Masih untung mayat itu belum berulat. Udara dingin di dalam lobang tersebut membuat mayat itu tak cepat menjadi rusak. Lalu di bawah todongan bedil salah seorang milisi, dua milisi lain segera menarik mayat itu ke atas. Diperlukan kerja yang cukup menguras tenaga untuk menarik mayat gembung itu.

Si wanita yang masih duduk tersandar menutup hidungnya dan membuang pandangannya ke tempat lain. Betapapun sudah seringnya dia ikut dalam pertempuran dan menyak sikan mayat bergelimpangan, namun melihat mayat gembung yang baru saja diangkat itu tetap saja membuat perutnya mual.

Setelah mayat diangkat, bambu-bambu kembali ditutupkan ke lobang tersebut. Kemudian semak-semak ditimbunkan kembali di atasnya. Setelah itu, mayat tersebut mereka bawa kearah hutan. Dan dikubur di sebuah lubang dangkal. Lalu ketiga milisi itu kembali ke perkampungan.

Kini di pondok penjagaan wanita itu hanya tinggal bersama seorang milisi lelaki. Di dalam lobang penyekapan, kelima lelaki yang terkurung di sana bisa agak bernafas lega. Kendati bau bangkai masih saja memenuhi lobang tersebut. Mereka bersandar dengan diam. Air dalam lobang itu nampaknya agak menyusut. Jika semula sebatas dada, kini sudah turun sedikit.

Namun masalah mereka untuk bertahan hidup tidak hanya harus berjuang melawan lapar, tapi harus mampu berdiri terus menerus. Tidak satu pun batang atau ranting yang bisa dijadikan tempat berpegang. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah bersandar ke dinding. Penat bersandar mereka berjalan di dalam air berlumpur itu.

Si Bungsu menjadi faham cerita Cowie, bahwa sebahagian dari tentara Amerika yang ditawan dalam lobang ini mati karena tak kuat berdiri. Mereka terbenam dan mati lemas. Ini adalah cara menyiksa yang luar biasa. Tentara Vietnam tak perlu rugi sebutir pelurupun untuk membunuh tawanannya. Satu persatu tawanan mati karena lapar, gila atau sakit, kemudian terbenam.

Mereka harus berjuang untuk bisa tetap tegak, dengan kaki yang makin melemah. Semakin lama mereka mampu bertahan untuk berdiri, makin lama pula mereka bisa bertahan hidup.

Siapa pun yang berada dalam lobang penyekapan itu pasti takkan pernah membayangkan apa yang mereka hadapi kini. Yaitu kala mereka hidup di kota di Amerika sana, saat mereka masih belum mendaftar menjadi tentara. Saat sebahagian dari mereka masih mengisi hidupnya dengan masuk bar keluar bar. Masuk nightclub yang satu ke nightclub yang lain. Menenggak bir atau wisky, melahap lezatnya hamburger atau sandwich, berjoget dan kemudian main perempuan.

Kini, dalam lobang neraka segi empat berair kuning dan berbau bangkai ini, mereka kembali mendengar cekikikan perempuan. Mereka pada memasang telinga. Suara cekikikan itu suara siapa lagi, kalau bukan suara milisi wanita bertubuh agak kurus tapi berdada dan berpinggul bahenol, yang bisa membuat mata lelaki jadi juling dan lemas kelelep itu.

Dia memang sedang terlibat pembicaraan dengan teman lelakinya yang sama-sama menjaga di pondok pengawalan tersebut. Penempatan pengawalan di pondok itu nampaknya hanya sebagai sikap berjaga-jaga. Lobang itu memang tak perlu diawasi benar. Sebab, hampir bisa dipastikan orang yang disekap di dalamnya, takkan bisa melarikan diri.

Tapi begitulah, namanya saja tawanan perang. Kan aneh kalau tak ada yang menjaga tempat mereka ditawan. Itulah sebabnya setiap 12 jam pengawalan ditukar.