Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 250 - Saya orang sipil, nama saya Bungsu….

Chapter 250 - Saya orang sipil, nama saya Bungsu….

Yang satu jelas sudah mati, sementara yang dua lagi sudah demikian lenyai. Dia membuka

mata karena merasa sangat kedinginan. Yang pertama dia rasakan selain rasa dingin, adalah kepalanya yang berdenyut-denyut. Kemudian rasa lapar luar biasa. Kemudian rasa tekanan pada dadanya. Saat matanya terbuka kepalanya masih tunduk terkulai. Dia melihat sebuah tangan pucat dan berbulu menahan dadanya. Ketika dia membuka mata dan menolehkan kepala ke arah pangkal tangan yang menahan dadanya itu, dia segera menampak sebuah wajah berjambang lebat.

Rambutnya gondrong, wajahnya pucat dan kotor sekali. Dari pakaian lorengnya yang sudah menguning karena lumpur, dia tahu orang ini adalah tawanan Amerika. Dia terbatuk tiba-tiba. Masih ada sisa air di dadanya saat dia jatuh tercebur.

"Hei, selamat datang di neraka…" ujar orang yang dia tatap sambil melepaskan pegangan tangannya di dada si Bungsu.

Begitu tekanan tangannya dia lepas, tubuh si Bungsu tiba-tiba melorot masuk ke air. Tentara itu menjambak rambut si Bungsu, persis sebelum hidungnya masuk ke air...

"Hei orang asing, itu kali terakhir aku menolongmu. Setelah itu kau harus menolong dirimu sendiri. Sudah dua hari kau kupegangi agar tak mampus lemas…" ujar tentara itu menyumpah.

Si Bungsu memperkuat tegaknya di dalam air. Kemudian dia mengangguk, lalu jambakan pada rambutnya dilepaskan. Tubuhnya masih doyong dan jatuh berlutut, kepalanya segera tenggelam. Dia cepat menyesuaikan diri. Sesaat kepalanya muncul, dia kembali terbatuk.

Kedua tentara Amerika yang sudah hampir dua hari memegangi ketiga orang itu hanya menatapnya dengan diam. Si Bungsu dengan susah payah melangkah di dalam air kuning kental yang hampir setinggi leher dan lumpurnya ternyata tebal sekali di dasar kurungan tersebut. Kemudian dia bersandar ke dinding tanah.

Cahaya matahari siang yang menerobos masuk dari celah dedaunan kering, yang selintas kelihatan hanya seperti timbunan sampah yang menutup bahagian atas kurungan itu, membantu si Bungsu mengenali 'rumah baru-'nya tersebut. Sambil bersandar dia mengurut beberapa urat di tengkuknya. Kemudian di perutnya. Dalam waktu tak begitu lama, semua rasa sakit akibat hantaman popor itu lenyap. Kemudian dia menoleh pada mayat yang mengapung tertelungkup hanya semeter dari tempatnya tegak. Dia segera tahu, mayat ituadalah mayat tentara yang kena malaria tropikana itu.

Kemudian matanya menatap kepada dua tentara yang masih terkulai yang dipegang oleh dua temannya. Dia tahu, kedua tentara itu adalah yang sama-sama diangkut dengannya dengan truk. Dia juga tahu, kedua mereka pingsan akibat pukulan popor senapan di belakang kepalanya, seperti yang dia terima sebelum jatuh ke lobang ini.

Si Bungsu melangkah ke arah mereka. Di bawah tatapan kedua tentara itu dia mengurut perlahan urat di belakang tengkuk dan pada bahagian tertentu dekat pusar kedua tentara yang masih pingsan tersebut.

Tak lama kemudian kedua tentara yang pingsan itu terdengar mengerang. Kemudian nafas mereka mulai normal. Kemudian membuka mata. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Kedua tentara yang tadi memegang mereka menyumpah dan menatap heran pada si Bungsu.

"Pantat kurap! He.. orang asing, apakah kamu punya ilmu sihir makanya bisa membuat orang sembuh secepat itu?" ujar yang rambutnya hampir botak.

"Terimakasih, kawan. Kalian sudah menyelamatkan nyawa saya dan orang-orang ini dengan memegang kami agar tak mati terbenam selama….. berapa lama tadi kau katakan?" ujar si Bungsu.

"Pantat kur…."

Sumpah serapahnya terhenti karena disikut temannya yang seorang lagi.

"Hei…. Hei..! Kenapa kau main sikut. Karena kau letnan dan aku sersan, he? Tak kau lihat keanehan yang dia lakukan? Hanya dengan menjilat tengkuk dan pusat si kerempeng yang berdua ini, dia bisa membuat mereka bangkit dari liang kubur. Tak kau lihat keanehan itu…?"

Si rambut hampir botak itu benar-benar mencerocos seenak udelnya. Mengatakan si Bungsu menjilat tengkuk dan pusar kedua orang itu. Padahal yang dilakukan si Bungsu adalah mengurut dengan jari-jarinya. Kemudian dia mengatakan kedua orang yang baru ditolong si Bungsu itu sebagai dua orang yang 'kurus kerempeng'. Seolah-olah tubuhnya gemuk benar, padahal hanya tinggal tulang belulang.

Si letnan, seorang Negro dengan bibir tebal dan rambut benar-benar kribo saking lamanya tak bertemu tukang pangkas, yang menyikut si sersan hampir botak itu, tersenyum mendengar cerocos kawannya.

"Hai, kawan Anda bisa bahasa Inggris?" tanya letnan Negro tersebut dengan sikap sopan.

Si Bungsu mengangguk. Kemudian menatap jerajak bambu yang di atasnya ditimbuni sampah, jauh di atas kepala mereka. Saat itu seekor cecak jatuh dari sela-sela timbunan dedaunan tersebut. Belum sampai sedetik tubuh cecak kecil itu terhempas ke air, si Bungsu dibuat terkejut oleh apa yang dilakukan kedua tentara tersebut. Mereka hampir serentak, melompat ke arah jatuhnya cecak tadi dengan tangan terulur dan jari-jari terkembang siap menangkap cecak, itu. Ternyata si hampir botak lebih cepat. Si Bungsu dapat melihat dengan jelas tangan kanan sersan itu menyambar cecak yang baru jatuh itu. Namun si hampir botak tak segera berdiri. Dia justru langsung menyelam. Si letnan menarik nafas, kemudian melangkah lagi ke dinding. Lalu matanya menatap ke atas, ke arah bambu yang menjadi atap lobang seperti mengharapkan sesuatu jatuh lagi dari atas sana. Saat itulah si hampir botak timbul lagi dari menyelam.

Si Bungsu merasa mual tatkala melihat ujung ekor cecak itu masih tersembul sedikit di antara bibir si hampir botak. Ekor cecak itu masih bergerak-gerak. Namun dengan cepat lidah si hampir botak terjulur keluar, mulutnya ternganga sedikit, dan ekor cecak itu lenyap!

Kemudian kelihatan si hampir botak menelan dengan luar biasa nikmatnya. Si letnan, dan dua tentara yang tadi datang bersama si Bungsu hanya melihat dengan diam. Malah selera mereka seperti ikut terangsang melihat si hampir botak itu menikmati cecak sebesar telunjuk tersebut. Si Bungsu menahan rasa mualnya dengan menatap dinding kurungan yang seluruhnya terdiri dari tanah napal.

Nampaknya lumpur yang ada di bawah kaki mereka sengaja dimasukkan, begitu juga airnya. Sebab air yang kedalamannya hampir mencapai leher mereka itu, kuning dan bau sekali.

Hal itu tentu berbeda kalau air ini berasal dari dalam tanah. Saat itu si sersan yang tadi bertanya apakah si Bungsu bisa berbahasa Inggris kembali bersuara.

"Saya tahu bangsa Amerika berasal dari berbagai suku bangsa. Anda dari tentara reguler atau wajib militer?" tanya letnan tersebut.

Si Bungsu menatap letnan itu beberapa saat. Kemudian menatap sersan yang hampir botak kepalanya itu. Lalu dua tentara lainnya, yang sama-sama diangkut bersama dia dengan truk. Keempat orang itu, semuanya berpakaian loreng yang sudah kehilangan bentuk, lusuh dan robek hampir di seluruh tempat, menatapnya dengan diam.

"Tidak, saya bukan dari ketentaraan Amerika…" jawab si Bungsu perlahan.

Si Letnan dan ketiga tentara lainnya terdiam sembari menatap si Bungsu beberapa saat.

"Well, kalau begitu Anda tentu bertugas sebagai mata-mata bayaran?" tanya si letnan, namun ucapannya segera disambar si kepala hampir botak.

"Sudah kukatakan tadi, dia tukang sihir.…"

Namun si letnan dan kedua tentara yang lainnya tak ambil peduli dengan ucapan si sersan.

Begitu juga si Bungsu.

"Saya orang Indonesia. Saya tidak berkerja untuk dinas rahasia mana pun, termasuk yang tadi Anda sebutkan…" ujar si Bungsu perlahan.

"Pantat kudis! Kalau begitu dia ini mata-mata Vietnam, yang sengaja diselusupkan.…"

Ucapannya terhenti lagi oleh tepukan tangan si letnan di tengkuknya.

"Pantat! Kau tak percaya dia mata-mata Vietnam? Dia sudah mengatakan tidak bekerja untuk Amerika, lalu untuk siapa lagi dia bekerja, kalau bukan untuk Vietnam? Dia mengatakan orang In…. apa itu tadi? Mana ada negara yang dia sebutkan tadi…" ujar si sersan, yang seumur hidup memang tidak pernah mendengar ada negara bernama Indonesia.

Si Bungsu kembali memperhatikan lobang besar tempat mereka dikurung, kemudian menatap ke atas. Dari semua yang dia perhatikan, dia yakin siapapun yang disekap di lobang ini, termasuk dirinya, takkan bisa melarikan diri tanpa bantuan orang yang berada di atas sana. Dia yakin, kalaupun mereka bisa mencapai bambu yang menutup lobang ini, misalnya dengan cara yang satu berdiri di bahu yang lain, agaknya tiga atau empat orang sambung bersambung, pintu bambu itu takkan bisa mereka buka. Dari bawah kelihatan tiga kayu sebesar manusia gemuk, dibelintangkan di "atap" bambu.

"Di mana Indonesia itu? Salah satu negara di Afrika atau Asia Tengah?" ujar si letnan yang seumur hidup juga belum pernah mendengar nama Indonesia.

"Antara Singapura dengan Australia…" ujar si Bungsu.

"Oo… sebelah mana Bali…?" tanya si letnan.

Si Bungsu balas menatap si letnan.

"Anda pernah ke Bali…?"

"Tidak, tapi negara itu kabarnya indah sekali. Sebuah sorga di laut Pacific, kata orang…" ujar letnan tersebut.

Si Bungsu menarik nafas. Bagi dia, yang hampir setahun berada di Amerika, menjelajahi belasan kota di sana, antara lain New York, Dallas, Los Angeles, Washington DC dan San Fransisco, ucapan si letnan bukanlah hal yang aneh. Sebagian besar orang yang dia kenal di Amerika memang tak pernah mengenal nama Indonesia. Sebagian kecil di antaranya hanya mengenal nama Bali.

Bahkan beberapa di antara yang dia kenal justru pernah datang ke Bali. Tapi sebahagian dari mereka yang pernah ke Bali juga tak tahu bahwa Bali itu hanyalah sebuah pulau yang amat kecil di negara bernama Indonesia.

Dia tak tahu kenapa kejanggalan seperti itu, tak dikenalnya nama Indonesia oleh kebanyakan orang Amerika, bisa terjadi.

"Bali itu adalah bahagian dari Indonesia…" ujar si Bungsu perlahan sambil jari-jari kaki kanannya menggaruk betis kaki kirinya di dalam air, yang terasa gatal sekali. Matanya kembali menatap loteng bambu di atas sana.

"Ingin mencoba lari…?" ujar si Letnan.

Si Bungsu menatapnya.

"Kami sudah lebih dari setahun di sini, kau lihat dinding itu?" ujar si letnan sambil menunjuk ke dinding yang berada di sebelah kanannya.

Si Bungsu menoleh ke arah yang ditunjuk letnan tersebut. Dinding itu, setinggi yang bisa dijangkau tangan, penuh goresan pendek-pendek. Nampaknya tiap sembilan goresan pendek ditutup dengan sebuah garis menyilang. Goresan menyilang di dinding itu menjadikan tiap satu ikat goresan tersebut genap sepuluh. Ada puluhan ikat goresan memenuhi dua dinding tanah napal tersebut.

"Satu goresan adalah satu hari. Kami berhenti pada goresan ke lima ratus. Semula pada setiap goresan kami memiliki harapan untuk bebas. Baik dibebaskan teman, dibebaskan karena perang usai dan kesepakatan penukaran tawanan perang diperoleh antara Amerika dan Vietkong, atau bebas karena melarikan diri.

Namun, barangkali sudah beberapa bulan yang lalu kami berhenti menggores. Tak ada gunanya membuat goresan lagi. Kami berhenti berharap. Dahulu jumlah kami tujuh orang. Lihat dinding itu, ada tujuh nama di sana. Yang lima yang diberi tanda sudah mati di lobang ini. Yang terakhir mati adalah Sersan Matley, barangkali dua bulan yang lalu…" tutur si letnan perlahan.

Keadaan menjadi sunyi saat si Bungsu menatap ke arah tujuh nama di dinding tersebut. Menatap lima tanda di ujung lima nama. Dari dua nama yang tertoreh di sana, yang belum diberi tanda, si Bungsu menjadi tahu nama kedua orang yang masih hidup ini. Sebab di akhir tiap nama mereka dicantum kan pangkat yang bersangkutan. Si letnan ternyata bernama PL Cowie. Dia tak tahu apa kepanjangan PL tersebut. Kalau Cowie pasti nama klan atau nama ayah. Sementara si sersan yang rambutnya hampir habis, sehingga kepalanya hampir botak, yang kalau bicara suka menyumpah dan memaki, bernama Tim Smith.

"Well, kalian yang berdua, apa pangkat kalian dan dari kesatuan mana kalian?" ujar si letnan kepada dua tentara Amerika yang datang bersama si Bungsu.

"Yes, Sir. Sersan Mike Clark dari Divisi Enam Kompi Senjata Bantuan, pasukan infrantri…" ujar yang seorang.

"Kopral Jock Graham dari Divisi Enam Kompi Senjata Bantuan, bahagian radio…" ujar yang seorang lagi.

"Dan Anda, Tuan?" ujar Letnan Cowie pada si Bungsu.

"Saya orang sipil, nama saya Bungsu…."

Semua mata menatap ke arahnya.