Si overste yang mendengar ramai-ramai segera keluar. Dia terheran-heran melihat semua
penduduk berkumpul di depan markasnya. Dan semakin heran melihat ikan demikian banyak dan yang seekor alangkah besarnya. Lok Ma segera menceritakan bagaimana ikan-ikan itu didapat.
Kemudian seorang lelaki tua, pimpinan desa itu maju. Dia bicara kepada si komandan. Si Komandan mendengar pembicaraan pimpinan desa itu dengan seksama. Kemudian dia mengangguk. Lalu bicara pada masyarakat dan belasan tentara yang ada di depan rumah besar itu.
Semua mereka bertepuk tangan usai si komandan berbicara. Di dalam rumah, kepada si Bungsu si overste bercerita, besok kebetulan Hari Raya Tet. Salah satu hari raya besar di antara belasan hari raya orang Vietnam tiap tahunnya. Penduduk ingin merayakannya dengan mengadakan hiburan sambil makan-makan bersama. Selain seluruh ikan yang baru diperoleh itu, juga akan dipanggang dua ekor babi sumbangan penduduk.
"Tuan suka babi…?" tanya overste tersebut.
Si Bungsu menggeleng.
"Saya seorang muslim…" ujarnya menjelaskan.
"Oo, moslem. Islam… ya agama Islam melarang makan babi…" ujar overste itu mengingat pelajarannya di Akademi Militer.
"Siang tadi Tuan mengatakan saya menderita penyakit paru-paru yang sudah berat. Dari mana Tuan tahu?"
"Dari wajah dan warna ludah Anda, Overste…" jawab si Bungsu perlahan sambil menatap wajah letnan kolonel itu.
Overste itu menatap si Bungsu beberapa saat, tanpa berkata sepatah pun. Kemudian menunduk. Dan tiba-tiba matanya basah. Dia berusaha menghapusnya. Seperti tak ingin dilihat menangis di depan orang. Namun betapapun dia tak mampu menahan agar matanya tak basah.
"Saya telah membunuh anak-anak saya yang paling saya cintai dengan menularkan penyakit celaka ini. Usia mereka masih terlalu muda untuk mampu bertahan…" ujarnya perlahan dengan suara terdengar bergetar.
"Saya ikut berduka…" ujar si Bungsu perlahan.
"Saya sudah berobat kemana-mana. Tetapi, rokok, minuman keras, heroin dan perang celaka ini tidak hanya menghancurkan hidup saya, juga anak-anak saya yang tertular…" ujar si overste.
"Saya pernah belajar membuat ramuan obat, tatkala saya sendirian selama dua tahun dalam belantara di kampung saya. Semula ramuan obat itu saya buat asal-asalan, untuk mempertahankan hidup. Namun setelah mencoba berbagai jenis daun, kulit, akar, getah kayu rumput dan lumut yang ternyata berkhasiat untuk obat.
Lalu ketika saya di Amerika, seorang Indian menambah banyak sekali pengetahuan saya tentang ramuan obat dari lumut, rumput, akar, daun dan getah beberapa jenis kayu lagi. Jika Anda mau mencoba Overste, di sungai tadi saya telah mengumpulkan lumut yang baik sekali untuk obat, berikut beberapa jenis rumput dan daun kayu…."
"Berapa lama ramuan itu bisa se…" pertanyaan overste itu terhenti oleh sedakan batuk yang mula-mula ringan.
Namun batuknya makin lama makin keras dan membuat dia sulit bernafas. Si Bungsu tahu, jika siang hari orang yang menderita penyakit seperti overste ini takkan begitu merasakan penyakit yang menggerogotinya. Sebab siang hari udara panas. Namun begitu malam mulai turun, seperti sekarang, penyakit itu kambuh. Makin dingin hari, makin dahsyat serangannya.
"Saya akan kembali ke pondok saya, akan saya buatkan ramuan itu segera…" ujar si Bungsu sambil berdiri
Overste itu hanya mampu mengangguk, sementara batuknya kemudian menyerang berkali-kali. Lok Ma yang ada dalam rumah itu segera membantu komandannya. Mengambilkan sebaskom air panas dari periuk di tungku, kemudian sebuah handuk kecil yang bersih.
Di luar rumah, si Bungsu melihat kesibukan penduduk dan tentara mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan Hari Raya Tet malam nanti. Mereka membuat dua perapian untuk membakar ikan dan babi. Kemudian sebuah lagi untuk menanak nasi. Melihat si Bungsu muncul, beberapa lelaki datang menyalaminya.
Beberapa wanita saling berbisik. Para tentara menatapnya dengan diam. Dia masuk ke pondoknya. Mengambil lumut dan beberapa jenis daun yang dia bungkus dengan daun pisang senja tadi. Di daun pisang itu bahan-bahan tersebut dia remas menjadi satu. Saat dia keluar kebetulan Lok Ma datang.
Kepada Lok Ma dia minta dicarikan air kelapa muda. Kemudian anak pisang. Dalam waktu yang tak begitu lama bahan-bahan itu diantarkan Lok Ma kepadanya. Dia meminta sebuah baskom alumunium, atau periuk kecil. Ramuan itu dia masukkan ke periuk kecil.
Bersama anak pisang yang dicencang halus, ramuan itu dia rebus dengan air kelapa, sampai airnya tinggal sedikit sekali. Ramuan yang sudah direbus itu diletak kannya ke selimut rombeng yang diberikan Lok Ma untuk selimut tidurnya.
Karena dia merebus ramuan itu di luar pondok, banyak penduduk dan tentara yang melihat apa yang dia lakukan.
"Sekarang carikan sebuah mangkuk…" ujarnya pada Lok Ma, sembari menyisihkan umbut anak pisang ke sebuah piring.
Lok Ma bicara pada seorang gadis. Gadis itu segera berlari-lari kecil ke rumahnya. Kemudian datang lagi membawa sebuah mangkuk porselen yang sudah sumbing di beberapa tempat. Si Bungsu meremas ramuan itu, memasukkan pati remasannya ke dalam mangkuk porselen. Hasilnya didapat hampir semangkuk penuh.
"Mari kita ke komandanmu. Mudah-mudahan ramuan ini tepat campurannya…" ujar si Bungsu pada Lok Ma.
Ketika mereka masuk ke rumah besar berlantai tanah yang dijadikan sebagai markas tentara itu, si overste ternyata sudah terbaring lemah. Tubuhnya memanas, wajahnya pucat. Dia ditunggui oleh Kapten Bhun Dhuang, yang duduk di sebuah kursi di dekat pembaringannya.
"Dua bulan yang lalu, ketika saya di Da Nang, dokter mengatakan nyawa saya hanya bisa bertahan selama lima bulan. Menurut dia, paru-paru saya sudah tak berfungsi…" tutur overste itu ketika si Bungsu dan Lok Ma duduk di sisi pembaringannya.
"Dia mengatakan apa penyakit Tuan, Overste…?" tanya si Bungsu.
"Seperti yang Tuan katakan, paru-paru…."
"Maaf, paru-paru Tuan digerogoti kanker, Overste…" ujar si Bungsu perlahan.
Overste itu, si kapten dan Lok Ma, tertegun dan pada menatap si Bungsu.
"Maaf, saya hanya ingin Tuan mengetahui apa penyakit yang menggerogoti Tuan, Overste…" sambung si Bungsu.
"Apakah Anda seorang dokter?" tanya si overste.
Si Bungsu menggeleng.
"Lalu bagaimana Anda bisa menebak bahwa penyakit saya adalah kanker…?"
"Guratan hijau halus di mata Tuan, kuku Tuan yang juga menghijau, kendati amat samar-samar, adalah tanda yang amat jelas bahwa paru-paru Tuan diserang kanker. Saya belajar tentang itu dari Indian tua di Amerika, sebagaimana pernah saya ceritakan pada Tuan…" tutur si Bungsu, seraya meminta Lok Ma menyediakan segelas air putih.
"Kapten Bhun, kamu yang memimpin perayaan Tet di luar. Saya tak mungkin bisa berdiri…" ujar overste itu dengan suara mulai menggigil.
"Pertama Tuan harus memakan habis anak pisang ini. Kemudian Tuan minum cairan ini setengah gelas. Obat ini hanya untuk tiga hari. Namun untuk melihat apakah ramuannya tepat atau tidak. Tuan tidak perlu menunggu sampai tiga hari. Reaksi pertama setelah Tuan memakan habis rebusan anak pisang dan meminum cairan ini, panas tubuh Tuan akan turun. Lalu Tuan akan tertidur. Jika Tuan merasa lebih segar saat bangun berarti obat ini bisa diharap menyembuhkan penyakit Tuan. Sembuhnya bisa berbulan-bulan, namun asal Tuan bisa istirahat total, nyawa Tuan ada harapan bisa tertolong…" tutur si Bungsu perlahan.
Overste itu tersenyum lemah. Mungkin karena memang makan atau tak makan obat itu sama saja baginya, dia pasrah saja.
Dikunyahnya rebus anak pisang itu. Mula-mula dia meringis, merasakan betapa tak sedap dan kelatnya rebus anak pisang itu. Karena susah menelannya, beberapa kali dia dorong untuk meneguk sedikit cairan di dalam gelas tersebut. Tiap meneguk cairan itu dia kembali meringis.
"Saya rasa yang Anda berikan ini bukan obat, tapi racun…" rutuk overste itu dengan muka masam, sembari terus mengunyah dan menelan sisa rebus anak pisang di mulutnya.
"Racun yang kadarnya di atas cianyda sedikit…" ujar si Bungsu, yang disambut dengan senyum si overste, juga Sersan Lok Ma dan Kapten Bunh Dhuang.
Setelah itu perwira tersebut kembali berbaring. Beberapa kali dia menguap. Lok Ma meraba tangan Overste itu.
"Panasnya turun drastis…" ujar Lok Ma takjub.
Kapten Bhun Dhuang ikut-ikutan meraba tangan si Overste, dan dengan heran dia menatap pada si Bungsu.
"Obat Anda amat manjur. Cepat sekali…" ujarnya.
"Masih harus kita buktikan beberapa jam lagi, apakah dia bisa bangun atau langsung mati…" ujar si Bungsu, yang kembali disambut dengan senyum masam oleh overste yang sudah mulai mengantuk itu.
Mereka lalu meninggalkan perwira itu sendirian di kamarnya. Si Bungsu diantarkan Lok Ma ke pondoknya. Namun ketika akan keluar dari rumah besar itu, si Bungsu menoleh pada Kapten Bhun Dhuang. Dia lihat kedua tangan kapten itu, mulai dari pergelangan hingga seluruh jari-jarinya dibalut dengan perban.
"Maaf saya sudah mencederai Anda, Kapten…" ujarnya.
Si Kapten menjawabnya dengan senyum.
"Saya tidak tahu, apakah obat yang Anda pakai di balik perban itu cukup manjur atau tidak. Jika Anda tak keberatan, saya punya ramuan di pondok…" ujar si Bungsu.
Kapten itu menatap kedua tangannya yang berbalut perban mirip orang akan bertanding tinju.
"Saya berminat juga mencoba obat Anda, dokter…" ujar Bhun Dhuang, sambil mengikuti si Bungsu dan Lok Ma ke pondoknya.
Di luar, di halaman yang cukup luas untuk berkumpul seratus orang, yang merupakan alun-alun di desa tersebut, orang semakin sibuk mempersiapkan tempat perayaan Hari Raya Tet.
Tentara bekerja membuat meja panjang dan kursi darurat. Karena desa itu memang berada jauh di tengah hutan belantara, dengan mudah mereka mendapatkan pohon-pohon yang diperlukan untuk dijadikan tiang meja dan kursi.
Untuk alas tempat duduk dan daun meja, mereka memotong bambu, yang disusun menjadi bidang luas. Beberapa lelaki kelihatan tengah membersihkan dua ekor babi.
Kedua hewan itu dibunuh dengan terlebih dahulu mengikat kedua kakinya. Lalu digantung dengan kepala menghadap ke bawah. Lehernya ditusuk dengan sebilah pisau yang amat runcing dan tajam. Darah yang mengalir dari leher babi itu ditampung dengan sebuah tong kayu yang cukup besar. Darah tersebut dicampur dengan semacam asam sehingga mengental mirip hati. Darah beku yang digoreng atau dibakar merupakan makanan yang luar biasa nikmatnya bagi orang-orang Vietnam.
"Bisa minta air yang agak panas?" ujar si Bungsu pada Lok Ma, saat mereka akan masuk ke pondoknya bersama Kapten Bhun Dhuang.
Lok Ma segera mengambil baskom tempat si Bungsu meremas ramuan obat tadi. Kemudian memanggil seorang wanita. Menyuruh bersihkan baskom tersebut dan mengisi nya dengan air panas. Ketika wanita itu kembali dengan air panas, dia menatap si Bungsu.
"Assalamualaikum…" sapa wanita itu perlahan.
Si Bungsu, Lok Ma dan Bhun Dhuang menatap pada wanita itu. Jika kedua Vietnam itu menatap dengan heran, si Bungsu justru terkejut.
"Wa'alaikummussalam…" ujar si Bungsu perlahan, sambil menatap hampir tak percaya pada wanita itu.
"Ana anta Islam…" ujar wanita separoh baya itu dalam bahasa Arab yang ala kadarnya.
Si Bungsu ternganga. Dia menoleh pada Lok Ma.
"Suruh dia masuk dan duduk. Tanyakan padanya darimana dia tahu saya seorang Islam…" ujar si Bungsu dalam bahasa Inggris pada Lok Ma.
Sersan itu menyuruh si wanita masuk dan duduk di tikar bambu di depan si Bungsu dan Bhun Dhuang. Dengan takut-takut dia mendekat, namun tetap berdiri. Dia baru duduk dengan amat sopan setelah Kapten Bhun Dhuang ikut menyuruh dia duduk. Lok Ma kemudian menanyakan darimana dia tahu si Bungsu seorang Islam.