Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 248 - Ibu ini nampaknya turunan dari Jawa

Chapter 248 - Ibu ini nampaknya turunan dari Jawa

"Saya melihatnya ketika dia sembahyang Ashar setelah mandi sore tadi di tepi sungai…" ujar wanita itu, yang diteruskan oleh Lok Ma kepada si Bungsu.

"Sampeyan tiang Jawi…?" tiba-tiba wanita itu kembali mengejutkan si Bungsu, tatkala dia bertanya dalam bahasa Jawa apakah si Bungsu orang Jawa.

Tentu saja Lok Ma dan Bhun Dhuang tak faham apa arti pertanyaan wanita tersebut. Si Bungsu sampai dibuat ternganga. Buat sesaat dia tak bisa bicara sepatah pun.

"Ibu dari Jawa?' ujarnya dalam bahasa Indonesia.

Kali ini wanita itu yang ternganga.

"Ja… uwa… ya, Ja uwa…" ujarnya mencoba mengeja.

Si Bungsu menoleh pada Lok Ma, kemudian dia berkata.

"Ibu ini nampaknya turunan dari Jawa, salah satu pulau di Indonesia. Tolong tanyakan padanya, tentang asal usulnya, juga tentang keluarganya di sini. Barangkali ayah atau ibunya berasal dari Indonesia…"ujar si Bungsu.

Namun sebelum Lok ma menanyai wanita itu, si Bungsu teringat, bahwa dia harus mengobati tangan Kapten Bhun Dhuang. Dia minta maaf pada si kapten, dan menyuruh Lok Ma mengundurkan pertanyaannya. Namun Kapten itu menyuruh agar pembicaraan itu dilanjutkan, sementara dia membersihkan tangannya dengan air suam-suam kuku yang tadi dibawakan wanita tersebut. Lok Ma lalu menyampaikan pertanyaan si Bungsu kepada wanita itu. Dan bertuturlah wanita tersebut.

Kakeknya adalah seorang pelaut yang lahir dari perkawinan campuran, ibu Madura dan ayah Jawa. Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, kakek buyutnya itu merantau ke Thailand. Kemudian berdagang ke Vietnam Selatan, yang juga beberapa pedagang asal Indonesia dan Malaya. Di Vietnam ini lelaki itu tertarik pada seorang gadis setempat dari keluarga muslim. Mereka menikah dan menetap di Vietnam. Pasangan ini melahirkan dua anak lelaki dan seorang anak perempuan. Dia adalah anak perempuan itu.

Dia tak bisa berbahasa Indonesia karena ayahnya jarang sekali berbahasa Indonesia. Apalagi ayahnya sudah meninggal sekitar lima belas tahun yang silam. Dia hanya hafal beberapa potong bahasa Jawa yang pernah diajarkan ayahnya ketika dia masih berusia belasan tahun. Namun karena tak pernah dipergunakan lagi, bahasa itu berangsur-angsur lenyap dari ingatannya.

Si Bungsu menyalami wanita itu, setelah ceritanya dalam bahasa Vietnam itu diterjemahkan Lok ma ke dalam bahasa Inggris. Wanita berusia separoh baya itu menyambut uluran tangan si Bungsu dengan mata berkaca-kaca.

Sambil meramu obat, mereka lalu terlibat pembicaraan yang diterjemahkan oleh Lok Ma. Lok Ma menjadi penerjemah untuk kedua orang itu. Jika wanita itu yang bicara Lok Ma menerjemahkan bahasa Vietnam itu untuk si Bungsu ke dalam bahasa Inggeris. Sebaliknya si Bungsu yang bicara dalam bahasa Inggeris kemudian diterjemahkan untuk wanita itu oleh Lok Ma ke dalam bahasa Vietnam.

"Menurut kakek saya, Kota Jawa itu besar sekali, penduduknya juga amat ramai…" ujar wanita tersebut.

"Jawa itu nama pulau, Bu. Ada ratusan kota di sana. Jawa itu bahagian dari negeri yang bernama Indonesia. Ada ribuan pulau besar kecil di negeri itu…."

"Tuan juga berasal dari Jawa?"

"Tidak. Saya dari pulau Sumatera.…"

"Jauh dari Jawa?"

"Tidak juga…."

"Tuan pernah ke Jawa?"

"Pernah, ke Jakarta…."

"Jauh Jakarta itu dari Jawa?"

"Jakarta itu ibukota Indonesia, seperti Saigon ibukota Vietnam Selatan dulu. Jakarta itu terletak di Pulau Jawa…" ujar si Bungsu sambil mengoleskan ramuannya yang sudah selesai dibuat ke pergelangan tangan dan buku-buku jari Kapten Bhun Dhuang.

"Ada berapa keluarga muslim di kampung ini…?"

"Ada lima keluarga.…"

"Berapa keluarga di sini semuanya?"

"Kira-kira lima puluh keluarga…."

"Saya bahagia sekali bisa bertemu dengan orang seagama dan dengan orang yang sekampung dengan ayah saya. Saya ingin sekali datang ke Jawa. Mungkin suatu hari kelak, saya akan datang ke sana bersama anak-anak saya…" ujar wanita itu dengan mata berlinang.

Lalu dia membungkukkan badan, memberi hormat. Kemudian minta izin meninggalkan pondok itu. Si Bungsu berdiri, menyalami wanita tersebut. Dia mengantarkannya ke pintu.

"Saya doakan niat Ibu untuk datang ke Jawa disampaikan Tuhan. Saya senang di sini bisa bertemu dengan keturunan orang Indonesia…" ujar si Bungsu.

Si Bungsu lama berdiri di pintu. Menatap wanita itu berbaur dengan penduduk lainnya di halaman rumah besar di ujung sana. Dari kejauhan dia lihat wanita itu dikerubungi beberapa wanita dan anak-anak. Nampaknya dia bercerita tentang pertemuan mereka sebentar ini. Kemudian bersama Lok Ma yang tadi menjadi juru bahasanya dia kembali masuk ke pondok. Melihat tangan si kapten yang sudah dia olesi ramuan obat.

"Terimakasih, kawan, ramuan obatmu manjur sekali…" ujar Kapten Bhun Dhuang ketika melihat si Bungsu masuk bersama Lok Ma.

Si Bungsu memeriksa kedua kepalan tangan perwira tersebut. Bengkaknya sudah jauh menyusut. Warna merah kehitam-hitaman yang tadi terlihat dari pergelangan tangan sampai ke batas siku, kini sudah lenyap sama sekali. Kedua pergelangan tangan yang retak dan membengkak sebesar telur ayam, kini sudah hilang bengkaknya. Si Bungsu lalu meminta perban kepada Lok Ma. Lalu membalut kedua tangan si kapten mulai dari pergelangan tangannya ampai ke ujung lima jarinya.

"Maaf, untuk sementara bila lapar Anda terpaksa disuapkan. Tapi, jika obat ini manjur besok pagi Anda bisa memegang sendok. Hanya saya kurang yakin…" ujar si Bungsu.

"Bila Anda kurang yakin saya justru sangat yakin…" ujar si kapten sambil tersenyum.

Namun besok yang diucapkan si Bungsu merupakan hari yang tak pernah terbayangkan sedikitpun, baik oleh si Bungsu maupun oleh semua tentara Vietnam yang bermarkas di kampung tersebut.

Subuh sekali, tatkala malam perayaan Hari Raya Tet baru saja usai, dan hampir semua penduduk serta tentara pada bergelimpangan tidur karena kenyang dan lelah menari, dua peleton pasukan khusus tentara Vietnam, ditambah tiga perwira dari korp polisi militer, yang dikirim langsung dari Kota Ben Hoa, menyelusup masuk.

Tanpa banyak bicara mereka mengambil alih tawanan. Termasuk si Bungsu, yang karena lelah sedang tidur lelap. Dia tersentak bangun ketika merasa ada yang menindih tubuhnya yang sedang menelungkup. Dia tak sempat bergerak banyak karena dua orang ternyata sudah menginjak tengkuk dan pinggangnya. Lalu dia merasa tangannya kembali diikat ke sebuah kayu pendek yang disandangkan ke bahunya. Nasib seperti siang kemarin ternyata kembali terulang. Sebuah kayu diletakkan di bahunya. Kedua tangannya diikat ke kayu sebesar lengan lelaki dewasa itu. Subuh belum bersambut dengan pagi, pasukan khusus itu kemudian menggelandang tawanannya.

Si Bungsu baru tahu, ternyata masih ada tiga orang tentara Amerika yang disekap di desa tersebut. Dia tak tahu di mana mereka disekap. Namun melihat tubuh mereka, dia menduga mereka disekap dalam kerangkeng dalam air. Atau mereka disekap dalam rawa atau di dalam sungai. Itu dapat dilihat di kaki mereka yang pucat dan berkerut. Ada kudis dan lintah di beberapa bagian kaki mereka. Mata mereka amat cekung, wajahnya amat pucat.

Tentara dan penduduk desa yang tersentak bangun oleh kedatangan pasukan khusus itu, hanya tegak termangu melihat para tawanan diikat, kemudian digelandang di bawah todongan bedil bersangkur. Beberapa orang diantaranya termasuk si Bungsu, tanpa sebab yang jelas dihajar dengan popor senjata.

Overste yang jadi komandan pasukan di desa itu, mendapat penjelasan pendek dari salah seorang polisi militer itu yang berpangkat kapten. Si Overste yang sebenarnya keberatan si Bungsu di bawa. Tapi dia terpaksa berdiam diri melihat ketiga polisi militer itu, berikut mayor yang mengomandani pasukan khusus itu, menatap padanya dengan tajam. Baik dari cara polisi militer itu berbicara pada overste, juga sikap overste yang hanya berdiam diri, dapat ditebak bahwa pasukan khusus yang datang ini membawa wewenang dari politbiro partai komunis dan dengan kekuasaan yang tak bisa di bantah siapapun.

Dalam sebuah negara yang kacau, juga disebuah negara otoriter, hukum dan kekuasaan ditentukan oleh ujung bedil. Fakta itu tak bisa di bantahkan.

Bukanlah hal yang aneh, di kalangan sesama tentara juga terjadi persaingan dan pamer kekuasaan. Namun, di negara manapun dan dalam kondisi apapun, perang atau damai, polisi militer dan pasukan khusus tetap saja merupakan pasukan yang amat disegani. Bahkan dalam keadaan tertentu, ditakuti oleh tentara, apapun pangkatnya.

Si Overste terpaksa berdiam diri, karena menurut komandan polisi militer yang datang, perintah pemindahan tawanan perintah langsung dari komite sentral partai komunis Vietnam yang berkedudukan di hanoi, ibukota Vietnam.

Laporan tentang lolos nya tawanan Amerika dan terbantainya pasukan yang menjaganya, berikut kolonel yang menjadi komandannya, ternyata sudah tersebar luas di Vietnam.

Dan laporan yang disampaikan ke Hanoi memang tidak disebut-sebut nama si Bungsu sebagai penyebab lolosnya tentara Amerika, salah seorangnya berpangkat kolonel dari SEAL. Yang disebut menyebabkan lolosnya tentara Amerika dan infiltrasi dari beberapa helikopter tempur yang canggih.

Kendati yang menyerang hanya satu heli, itu sudah cukup bagi mereka untuk 'memperbanyak' jumlah heli yang menyerang. Para jendral Vietnam tentu takkan bisa menerima kalau yang menyapu bersih satu pasukan hanya 17 orang pelarian dan satu orang sipil yang belum pernah latihan militer.

Pemalsuan berita itu sudah dimulai dari tingkat paling bawah dan hal itu tentu menyelamatkan si Bungsu, paling tidak untuk sementara. Dia hanya di kenal salah seorang mata-mata yang ikut dalam penyerangan oleh helikopter Amerika yang disebut sampai enam buah.

Polisi militer itu bukan pm biasa. Mereka di rekrut dari kader pilihan partai komunis. Mereka tidak memakai helm putih, sebagaimana jamak di negara lain. Tanda mereka sebagai polisi militer adalah ban merah yang diikat di lengan kanan bertuliskan aksara Vietnam.

Mereka bukan tentara biasa, mereka adalah pilihan dari komite partai sentral. Tentara tak bisa melakukan apapun tanpa persetujuan partai. Anggaran untuk tentara juga ditentukan oleh partai. Dan siapa-siapa yang naik pangkat juga ditentukan partai. Kekuasaan tertinggi berada di tangan partai, bukan di tangan presiden atau panglima-panglima tentara.

Partai komunis dimanapun di dunia, mengontrol semua yang berlaku di negara bersangkutan. Baik pemerintahan militer, politik, sosial kemasyarakatan, juga seni dan budaya.

Semua sistem harus mendukung,membesarkan partai. Karena itu, polisi militer itu selain dibenci juga ditakuti tentara reguler yang bukan berasal dari partai. Kendati mereka sama-sama komunis.

Pimpinan komunis di Hanoi nampaknya kuatir, tentara Amerika melakukan operasi besar-besaran membebaskan tentara mereka yang ditawan di Dalam Neraka Vietnam. Dari laporan mengenai helikopter Amerika datang dari arah barat dan kembali kearah itu, para petinggi militer segera bisa menebak. Bahwa pasukan rahasia Amerika, mungkin dalam unit-unit kecil, membuat markas tersembunyi di Kamboja. Oleh karena itu para tawanan dipindahkan ke tempa rahasia yang berdekatan dengan perbatasan Kamboja, agar sesegeranya dipindahkan dari arah itu.

Mereka harus dipindahkan ketempat rahasia di wilayah yang cukup jauh dari lokasi semula. Partai mengerahkan pasukan khusus yang terpercaya untuk mengambil dan membawa para tawanan ke berbagai tempat. Kemudian menyekap mereka di tempat-tempat yang sudah ditentukan.

Para tawanan itu tidak pernah diberitakan penangkapan mereka apalagi identitas mereka. Itu sebabnya disebut (Missing In action) MIA personel yang hilang di peperangan. Bagi vietnam, semakin lama mereka menahanan tentara Amerika, yang mereka tawan dalam peperangan semakin baik.