Si Bungsu ingin menangis mendengar ucapan ayahnya. Namun dia tak ingin terlihat menjadi lemah. Dia tersenyum, kendati air mata membasahi pipinya. Kemudian dia bangkit, berjalan ke arah kakaknya. Dia duduk berlutut di depan kakaknya. Si kakak memeluk kepala adiknya.
"Ampuni adikmu ini, Kak. Yang tak bisa membelamu, ketika engkau dinistai serdadu Jepang itu…" bisiknya.
"Apa yang telah engkau lakukan, Adikku, lebih dari segala-galanya. Tentang apa yang mereka lakukan pada Ayah, Ibu dan Kakak, kelak akan tiba saatnya masa perhitungan. Biarlah Hakim Yang Maha Agung menimbangnya dan menghukum. Karena Dia memang Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Adil dan Maha Menghukum. Kakak bangga mempunyai adik seperti engkau. Kini tetaplah bersama kami di sini…" bisik kakaknya, sembari mencium kepala adik kesayangannya itu.
Bundanya mendekat. Kemudian kembali memeluk si Bungsu. Lalu membawa anak lelakinya itu berdiri.
"Marilah kita pergi bersama-sama…" ujar si ibu.
Si Bungsu dibimbing ibu dan kakaknya melangkah ke arah taman yang lain. Namun Ayahnya memanggil mereka perlahan. Mereka berhenti. Datuk Penghulu yang berwibawa itu menatap pada istri dan anak perempuannya. Dengan wajah yang amat jernih, perlahan dia memberi isyarat dengan gelengan kepala.
"Belum saatnya dia bersama kita sekarang. Masih banyak hal yang harus dia selesaikan di tempat lain…" ujar ayahnya.
"Tetapi…" ibunya ingin protes.
"Kita tak boleh melawan kodrat Yang Maha Pencipta. Kehadiran seseorang di suatu tempat dalam suatu peristiwa dan kejadian, sudah diatur ketika orang itu masih berada dalam rahim Bundanya. Dia harus menyelesaikan seluruh takdir yang sudah disuratkan untuknya. Mari kita antar dia ke gerbang darimana tadi dia datang…" ujar ayahnya perlahan dan dengan suara yang demikian teduh.
Dengan berat hati si ibu membimbing anaknya ke gerbang darimana si Bungsu tadi masuk ke taman yang amat indah itu.
"Di sini Bunda akan menantimu, Buyung sibiran tulang. Di sini Ayah dan Kakakmu menanti kedatanganmu kelak. Pergilah dengan doa dan kasih sayang yang tak bertepi dari kami. Terutama dari Bundamu ini, Buyung anakku… Pergilah. Jangan sekali-sekali engkau menoleh ke belakang… pergilah!" bisik bundanya, sembari untuk kali terakhir kembali mencium wajah anaknya, mencium kepalanya. Air matanya membasahi rambut, dan menyelusup ke ubun-ubun si Bungsu.
Hal pertama yang dirasakan si Bungsu saat siuman dari pingsannya yang panjang, dari masa kritisnya yang sudah berada di ambang maut, adalah rasa sejuk dan nyaman yang melenyapkan seluruh sakit di ubun-ubunnya yang kena tendangan itu. Air mata bundanya seperti menyelusup lewat ubun-ubunnya yang retak. Mengalir perlahan lewat pembuluh darah di otaknya. Mungkin tak banyak orang yang bisa percaya akan perjumpaan secara halusinasi seperti yang dia alami. Yang dalam dunia kedokteran disebut sebagai saat-saat 'transendental'.
Di alam metafisik itu secara ajaib dan amat luar biasa "air mata" seorang ibu mampu mengobati semua luka dan melenyapkan rasa sakit anaknya, yang sudah tak lagi punya harapan untuk hidup. Hanya beberapa orang, termasuk kaum sufi dan ulama, yang percaya bahwa hal-hal gaib seperti itu merupakan bahagian dari kebesaran Yang Maha Pencipta.
Namun kendati kejadian seperti itu bukanlah sesuatu yang khayali, lalu dibelokkan untuk melakukan ziarah dan memuja kuburan. Kejadian itu adalah salah satu cara dari Yang Maha Pencipta menunjukkan kebesaran-Nya.
Bahwa apa yang musykil bagi manusia, hanya sesuatu yang teramat mudah bagi-Nya. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. Karenanya, Allah menginginkan agar umat manusia lebih iman dan lebih tawakal.
Selain rasa sejuk yang menjalar dari ubun-ubun ke seluruh pembuluh darahnya, hal lain yang pertama dirasakansi Bungsu, yang siuman dari pingsan dari masa kritisnya yang mencekam, adalah bau yang amat busuk. Bau yang menusuk hidung. Dia dengar dengus yang menjijikkan. Ketika membuka mata, yang pertama tertatap oleh matanya adalah jerajak bambu sebesar-besar lengan. Bambu yang seolah-olah menjadi loteng tempatnya berada dengan bermacam daun kering yang dijadikan atap.
Ada beberapa saat dia membiarkan dirinya tertelentang diam. Kemudian matanya melirik ke kanan. Tak sampai sedepa di kanan, dia lihat jerajak batang bambu yang sama. Dia melirik ke kiri, ke bawah kakinya, jejarak bambu yang sama tetap terlihat. Aku berada dalam kurungan yang terbuat dari bambu, bisik hatinya, sembari bangkit untuk duduk. Begitu dia duduk, dia segera melihat bahwa dirinya dikurung dalam kurungan yang kukuh.
Kurungan yang ditaruh dalam kandang babi. Suara dengus dan pekik babi yang belasan ekor itulah yang terdengar olehnya sebelum dia membuka mata.
Begitu juga bau busuk yang amat menusuk hidung, yang membuat dia ingin muntah. Bau apalagi kalau bukan bau taik, kencing dan makanan babi itu. Rasa dingin di punggungnya ternyata karena dia terbaring menelentang di atas lumpur di kandang babi itu. Babi-babi itu pada menjulurkan kepala dari sela-sela tiang bambu kurungannya. Menatap padanya, mungkin dengan perasaan heran. Sungguh suatu hal yang tak pernah terbayangkan olehnya, dalam hidupnya dia akan mengalami penghinaan seperti ini.
"Hei, kamu hidup kembali?"
Tiba-tiba sebuah suara serak dan lemah terdengar dari arah kanan. Dia menoleh, dan di kanannya, hanya berjarak sekitar tiga depa dari dia, ada lagi sebuah kandang bambu seperti yang dia tempati. Tidak, tidak sebuah, ada dua tiga buah. Masing-masing berisi seorang manusia. Dan semuanya jelas tentara Amerika. Itu dapat segera ditandai dari pakaian seragam compang-camping yang masih melekat di tubuh mereka.
Bedanya antara tempat dia ditahan dengan orang-orang itu adalah tinggi rendahnya tempat tahanan. Kurungan yang dia tempati ditaruh di atas tanah kandang tersebut. Sementara kurungan yang lain nampaknya sengaja digali sedalam satu meter. Semua kotoran kandang babi itu dialirkan ke tempat tawanan tersebut. Hal itu menyebabkan mereka berendam sepanjang hari di dalam air kotoran babi yang ketinggiannya mencapai perut. Nampaknya untuk sementara kurungan yang dia tempati lebih lumayan.
"Kami sangka kau takkan hidup. Kami dengar kapten gorilla itu menendang dada dan kepalamu. Sudah belasan tawanan tentara Amerika yang mati disiksa gorilla haus darah itu…" ujar tentara kurus kerempeng dan pucat, dari kubangan di sebelah si Bungsu.
Ada beberapa saat dimana semua yang dia lihat, yang dia dengar dan dia rasakan lewat seperti bayang-bayang. Matanya melihat apa yang ada di hadapannya, telinganya mendengar semua suara, indera penciumannya mengendus semua bau.
Namun hanya sampai di sana. Belum satupun yang masuk ke rekaman otaknya. Fikirannya masih berada di dalam impian dahsyat bertemu ayah, ibu dan kakaknya yang baru saja lewat. Impian itu demikian nyata dan demikian jelas. Perlahan dia raba kepalanya. Ada perban di sana, dililitkan dari ubun-ubun ke bawah dagunya.
Saat itulah dia baru sadar sepenuhnya, bahwa apa yang dia alami sebentar ini adalah sebuah mimpi. Mimpi yang amat luar biasa. Dia yakin, sekali pun yang baru dia alami adalah mimpi, namun dia amat bahagia. Dia bisa bertemu kembali dengan ayah, ibu dan kakaknya. Meski hanya dalam mimpi, namun mimpi itu seolah demikian nyata.
Dua hari setelah itu, dia melihat dua tentara Vietnam datang dari arah depan kandang babi itu ke tempatnya. Salah seorang di antara mereka nampak menjinjing sebuah ransel dengan tanda palang merah. Kedua tentara itu tak dapat menyimpan rasa kagetnya, ketika melihat lelaki yang biasanya secara rutin mereka beri obat dengan cara injeksi itu sudah duduk dan kelihatan demikian sehatnya. Padahal, hampir tak seorang pun yang meyakini bahwa lelaki ini akan bisa hidup. Kalaupun hidup, dia akan cacat seumur hidup.
Beberapa langkah sebelum memasuki kandang mereka berhenti. Bicara sebentar. Kemudian yang seorang kembali ke arah barak. Yang membawa ransel dengan tanda palang merah masuk ke kandang setelah terlebih dahulu menutup hidung dan mulutnya dengan kain seperti yang dipakai para dokter ketika melakukan pembedahan di rumah sakit.
Tentara yang baru datang itu tak masuk ke kurungan penyekapan si Bungsu. Dia hanya tegak menatap dari jarak sekitar dua depa dari kurungan. Beberapa ekor babi yang semula bertemperasan ketika dia masuk ke kandang itu, kini pada mendekat. Berseliweran di sekitar dirinya. Lalu saat itu datang empat orang tentara lainnya. Selain masing-masing membawa bedil, salah seorang dari mereka membawa sebuah tongkat pendek dan seutas tali.
Ketika mereka masuk, mereka menendangi dan memukul babi-babi yang mencoba mendekati mereka. Lalu yang seorang memerintahkan si Bungsu untuk keluar, dengan menghardikkan satu-satunya kata dalam bahasa Inggris yang dia kuasai, yaitu kata "out!".
Di bawah tatapan mata empat sampai lima tawanan Amerika, yang berada dalam kurungan bambu dan berjejer dalam kandang babi itu, si Bungsu berdiri perlahan. Dia merasa dirinya amat enteng dan sehat sekali. Sebenarnya, "mimpi dan air mata" ibu yang menyebabkan dia sadar, setelah puluhan hari berada dalam keadaan koma, secara ilmiah bisa ditelusuri.
Selama dia koma, tentara Vietnam tetap memberinya semacam obat agar dia tetap bertahan hidup untuk dikorek keterangannya. Obat-obat itu hari demi hari bekerja menyembuhkan bahagian-bahagian dalam tubuhnya yang cedera. Baik karena luka bekas tembakan peluru maupun bekas hantaman kaki kapten gorilla itu. Hanya saja, semua obat yang diberikan dan diterima oleh tubuhnya, secara psikologis ternyata ditolak oleh jiwanya. Penolakan jiwa bawah sadar inilah yang membuat obat-obat kedokteran tidak berdaya.
Secara kejiwaan, ada beberapa faktor yang menyebabkan tubuh orang-orang sakit parah melakukan penolakan terhadap obat. Ada yang karena hidupnya tertekan berkepanjangan. Tergeletak sakit, atau mati sekalipun, merupakan istirahat atau pembebasan dirinya dari rasa tertekan. Kesembuhan fisik baginya tak lain dari kembalinya dia ke dalam hidup yang penuh tekanan. Karenanya, kendati dia tetap diobati, diinjeksi, diinfus, proses kesembuhannya sangat lama. Karena jiwa dan bawah sadarnya memang tak menginginkan kesembuhan.
Ada pula yang alam bawah sadarnya tidak menginginkan kehidupan, karena dia tak tahu untuk apa dia hidup. Orang dari kelompok ini bisa saja dari kalangan orang-orang berada, namun tak punya landasan agama yang kuat. Hari-hari dalam hidupnya berlalu tanpa manfaat untuk siapapun. Begitu dia jatuh sakit, dia merasa mendapat jalan keluar dari perasaan hidup tanpa guna. Makin lama dia tergeletak sakit, makin tenteram perasaannya. Karena sebagai orang sakit, dia merasa memang layak tak bisa mendatangkan manfaat untuk siapapun.
Ada yang alam bawah sadarnya melakukan penolakan terhadap obat, karena dia memang tak mampu lagi menahan rasa sakit berkepanjangan. Daripada menderita menjadi langganan rumah sakit terus, lebih baik mati. Akan meringankan beban keluarganya dan membebaskannya dari rasa menderita berkepanjangan.
Akan halnya si Bungsu entah ke kelompok mana dia masuk. Atau barangkali ada kelompok lain, yang memang beragam alasan, alam bawah sadar seseorang menolak obat-obat.
Hanya saja ketika alam bawah sadarnya berada di titik tertinggi penolakan, saat mana nyawanya berada di ujung tanduk, sebab jika masih terjadi penolakan maka kemungkinan yang terbuka baginya hanya satu, yaitu terhentinya semua sistem dan mekanisme kehidupan pada tubuhnya. Jika itu yang terjadi, manusia menyebutnya sebagai suatu kematian.
Pada saat berada di titik kritis tertinggi itulah, mimpi yang hanya Tuhan yang tahu itu terjadi pada dirinya. Air mata sang ibu, merupakan 'obat' yang mendorong daya hidupnya kembali menyala.