Mereka saling berbisik atau bicara, mengatakan tawanan itu sudah sadar. Tiga tentara berjalan ke arahnya. Dia tahu jumlahnya tiga orang karena pendengarannya masih berfungsi dengan amat baik.
Jarak antara tempat dia digantung dengan ketiga orang yang melangkah itu sekitar dua puluh depa. Dua di antara yang datang itu memakai sepatu tentara. Yang satu lagi, memakai sepatu karet. Dia bisa menandai perbedaan dari geseran langkah ketiga orang tersebut. Dia menarik nafas, mensyukuri pendengarannya masih bisa diandalkan. Dibukanya mata, namun yang terlihat hanya bayangan yang amat kabur. Darah masih tetap menutupi kornea matanya.
Seseorang bicara kepadanya. Dia tak faham karena orang itu bicara dalam bahasa Vietnam. Sebenarnya orang itu tidak bicara, melainkan membentak. Dia mencoba untuk tersenyum.
Apakah pula gunanya orang ini membentak dirinya, pikirnya. Orang itu nampaknya memang seperti sepakat dengan apa yang difikirkan si Bungsu. Tak ada gunanya membentak, lebih baik menerjang!
Si Bungsu mendengar desahan angin ke arah tubuhnya, sebelum tendangan sepatu tentara itu menghajar dadanya. Darah segar segera menyembur dari mulutnya akibat tendangan itu. Dia tak tahu apakah ada tulang dadanya yang patah. Namun sakitnya luar biasa. Seseorang dia dengar berbicara, bukan orang yang menendangnya. Dia kenal suara itu. Suara Lok Ma!
Orang yang menendangnya itu kemudian membentak lagi. Kali ini bentakkan bukan ke arahnya, melainkan pada Lok Ma. Lok Ma mendekat, menjambak rambutnya, lalu bicara padanya dalam bahasa Inggris.
"Kawan, saya harus melakukan ini padamu. Jangan sebut namaku. Jangan sampai orang-orang ini mengetahui engkau mengenalku. Tetaplah pura-pura pingsan…."
Si Bungsu tiba-tiba merasa punya 'teman' dalam kondisi yang kritis itu. Dia tahu, Lok Ma bicara dalam bahasa Inggris tentu karena kedua orang lainnya itu tak mengeri bahasa Inggris. Dia membuka mata. Namun yang kelihatan hanya bayang-bayang kabur. Jika dia melihat dengan jelas wajah Lok Ma, bukan karena penglihatannya sudah menjadi terang, tetapi wajah lelaki itu menjadi jelas karena rekamannya ada dalam ingatannya.
"Tolong hapus darah di mataku…" ujarnya dengan suara bergetar menahan sakit.
Lok Ma bercarut kesal. Orang ini disuruh agar terus pura-pura pingsan agar tidak disiksa, malah ngomong minta tolong. Namun Lok Ma merasa kasihan juga melihat darah yang mengalir dari hidung dan mulut lelaki tangguh ini. Dia berteriak ke arah barak. Bicara dalam bahasa Vietnam. Tak lama kemudian seorang kanak-kanak datang membawa sebuah panci alumunium putih yang biasanya dipakai tentara sebagai tempat ransum yang sudah penyok-penyok, berisi air dan sebuah kain lap yang sudah compang camping.
Lok Ma membasahkan kain lap compang camping itu ke air di tempurung kelapa tersebut. Kemudian dengan kain lap yang sudah dibasahi itu dia bersihkan darah yang mengalir dari hidung dan mulut si Bungsu. Dengan hati-hati dia bersihkan darah yang menempel di mata lelaki tersebut. Beberapa saat kemudian si Bungsu bisa melihat ketiga lelaki yang berada di depannya.
Dari posisinya sekarang, ketiga lelaki itu dia lihat seperti anak-anak sedang dalam posisi senam standen di sekolah. Kaki di atas, kepala di bawah. Kendati dalam keadaan sekarat dan nyawanya di ujung tanduk, namun rasa geli melihat seolah-olah ketiga orang itu kakinya berada di bahagian atas, si Bungsu tak dapat menahan senyumnya. Yang dia gelikan sebenarnya bukan ketiga orang itu, melainkan dirinya sendiri. Apa yang dikhawatirkan Lok Ma segera terjadi. Lelaki tinggi besar berpangkat kapten, yang tadi menghantam dadanya, hingga dia muntah darah, kini menjadi berang melihat tawanan tersebut senyam-senyum segala. Kaki kanannya yang besar itu terhayun. Lok Ma terpaksa memiringkan tubuhnya ke kanan, agar tak terkena tendangan si kapten.
Akibatnya bukan main, kaki bersepatu besar itu menghajar kepala si Bungsu dari bawah. Seperti orang menendang bola yang sedang jatuh dari operan. Tendangan itu menghajar persis di ubun-ubun si Bungsu. Saking kerasnya tendangan itu, seiring suara berderak, mungkin dari tulang leher, tubuh si Bungsu yang tergantung terangkat sampai setengah meter.
Saat jatuh usai ditendang itu membuat cengkeraman tali pengikat kaki dan tangannya semakin mengencang. Tubuh si Bungsu tak sempat berkelonjotan. Lok Ma melihat mata lelaki itu hanya tinggal putihnya. Wajahnya sudah seperti mayat.
Lok Ma, sersan pencari jejak itu merasa bulu tengkuknya merinding melihat demikian kuatnya tendangan si kapten. Suara berderak akibat tendangan itu dipastikan dari salah satu sumber. Jika tidak tulang leher yang patah, pastilah tempurung kepala si Bungsu yang pecah. Yang manapun di antara kedua kemungkinan itu yang terjadi, akibatnya sama saja. Mati!
Belasan tentara Vietnam yang sedang membersihkan senjata di depan pondok-pondok, maupun belasan penduduk sipil lelaki dan wanita serta anak-anak menyaksikan peristiwa itu. Mereka berdiam diri. Lok Ma menggertakkan gerahamnya. Dia berdiri menatap pada si kapten dengan mata berapi dan berkata dengan nafas sesak.
"Kita diperintahkan untuk menjaga orang ini tetap hidup, agar komandan bisa menanyainya. Saya rasa dia sudah harus dikubur sekarang. Saya tak ikut bertanggung jawab!" ujar Lok Ma sambil meninggalkan tempat itu.
"Binatang seperti ini tak boleh dibiarkan hidup. Lebih cepat dia mati lebih baik…" sergah si kapten.
Nada suara perwira bertubuh tinggi besar itu terdengar memancarkan kepuasan setelah dia melihat tubuh lelaki yang sudah menimbulkan banyak sekali korban di pihaknya itu hanya terayun-ayun kecil, dan matanya hanya kelihatan bahagian putihnya.
Kapten sadis yang tadi menendang dada si Bungsu, sehingga dia muntah darah itu, dan yang sebentar ini menendang kepalanya sehingga dia semaput, adalah kapten yang memburunya seusai dia bertahan bersama Letnan Duval, Roxy dan Thi Binh. Yang memerintahkan agar Lok Ma bersama dua orang lainnya membuat jebakan untuk membunuh si Bungsu.
++00++
Usai pertempuran di padang lalang dekat rawa luas itu, di mana para pelarian lolos bersama helikopter karena si Bungsu memberikan perlindungan, sisa pasukan Vietnam itu menyingkir jauh sekali. Mereka sungguh terkejut tatkala mendapati masih ada pasukan Amerika yang menusuk ke jantung Vietnam dan melibatkan diri dalam peperangan. Padahal negara ini kini sudah sepenuhnya milik Vietnam. Artinya, kehadiran tentara Amerika tanpa izin di wilayah tersebut merupakan suatu pelanggaran atas kedaulatan Vietnam. Apalagi jika mereka datang lagi memerangi Vietnam.
Benar-benar sebuah pelanggaran hukum internasional yang amat berat. Tapi karena mereka tidak memiliki radio, karena radio yang berada di barak sudah dihancurkan oleh si Bungsu dan teman-temannya, diperlukan waktu yang cukup lama untuk bisa melaporkan kasus pelanggaran berat pihak Amerika itu ke ibukota.
Ketika laporan itu akhirnya sampai ke kota Ho Chi Minh, nama baru untuk Hanoi, Amerika sudah mempunyai jawaban. Jawaban pihak Amerika justru membuat pemerintah Hanoi kebakaran jenggot. Pentagon, markas besar angkatan bersenjata Amerika, yang sudah dilapori oleh Laksamana Lee, Komandan USS Alamo, justru menyerang balik penguasa di Hanoi.
Amerika memasuki Vietnam untuk membebaskan tentara dan warga negaranya yang ditawan secara semena-mena dan tidak berkeperimanusiaan. Vietnam ternyata melakukan kebohongan besar, mengatakan mereka tidak menawan seorang pun tentara Amerika.
Kasus ini membuktikan secara amat konkret kebohongan Vietnam tersebut. Amerika tidak hanya melakukan protes keras, tetapi tetap akan melakukan segala tindakan yang diperlukan. Akan terus mencari, dan membebaskan tentara dan warga negaranya yang hilang selama peperangan, selama Vietnam tetap melakukan kebohongan seperti sekarang.
Dalam pernyataan berikutnya, diuraikan pengalaman tawanan perang tersebut, bersumber dari penuturan MacMahon dan kawan-kawannya, yang direkam di rumah sakit militer di pangkalan Subic. Sebuah cerita yang menegakkan bulu roma, tentang kekejian dan kebiadaban Vietnam menyiksa para tawanan, lelaki dan perempuan.
Pernyataan di atas sebenarnya tidak disetujui oleh Kementerian Luar Negeri Amerika. Namun para jenderal tak peduli, terutama dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Mereka yang belum habis marahnya akibat pukulan yang mereka terima di Vietnam itu, mengancam Kementerian Luar Negeri AS, agar mengirim pernyataan yang amat di luar kezaliman dan tatakrama diplomatik itu.
Namun pernyataan itu pula yang menyebabkan penguasa Vietnam yang memang sengaja menyembunyikan ratusan tentara Amerika yang mereka tawan selama peperangan, segera memindahkan tempat-tempat tahanan dan memperketat penjagaan.
Bersamaan dengan itu, Kolonel MacMahon dan Laksamana Lee secara rahasia ditempatkan di Teluk Kompong Sam di selatan Kamboja untuk melakukan penerbangan dan operasi intensif mencari tempat disekapnya lelaki Indonesia bernama si Bungsu itu. Mayor Black diperintahkan untuk berusaha maksimal membebaskan lelaki yang sudah membebaskan belasan tentara Amerika tersebut.
Pada saat itu nyawa si Bungsu seperti tergantung di sehelai benang yang amat rapuh. Luka yang belum sembuh akibat lima peluru yang bersarang di sekujur tubuhnya diakhiri dengan dua tendangan kapten Vietnam bertubuh besar itu.
Terutama tendangan ke ubun-ubunnya benar-benar mengantarkan nyawa lelaki dari Situjuh Ladang Laweh itu ke bibir liang lahat. Dia tidak pernah sadar sejak dihantam tendangan maut kapten Vietnam tersebut.
Pada puncak kritis, dia mengalami mimpi atau mungkin sebuah halusinasi yang dahsyat. Yang kalau saja dialaminya ketika dia berada dalam kesadaran penuh, pasti akan mengguncang jiwanya. Dalam mimpi atau halusinasi itu, rasanya dia memasuki sebuah taman indah yang amat semerbak dan dihiasi bunga serba putih.
Di taman itu ada ayah, ibu dan kakaknya. Ketiga mereka berpakaian sutera serba putih yang amat indah. Ibunyalah yang pertama datang menyongsongnya dengan pelukan dan deraian air mata. Dipeluknya anak bungsunya itu seperti takkan dia lepas. Ayah dan kakaknya menatap dia dengan senyum namun berdiam diri.
"Lama benar engkau merantau dan menderita seorang diri, Bungsu anak Bunda. Sekarang, janganlah pergi lagi dari ibu, ayah dan kakakmu, Nak. Di sinilah bersama kami. Di luar sana, di rantau-rantau yang jauh entah di ujung dunia mana, engkau berkelana seorang diri.
Tanpa ibu dan ayah, tanpa kakak dan sanak saudara. Engkau anak seorang penghulu pucuk di kampungmu, keluargamu dihormati orang negeri. Namun lihatlah keadaanmu kini, Bungsu mata hatiku. Tak ada yang menanakkan nasi untukmu, tak ada yang akan mengurut kepalamu jika engkau pening dan demam. Tak ada yang menungguimu kala engkau sakit. Tak ada tempatmu mengadu, Anakku. Tetaplah disini bersama Bunda, Ayah dan Kakakmu, buyung buah hatiku…" ujar bundanya.
Si Bungsu tak mampu berbicara sepatah pun. 'Pertemuan' itu amatlah dahsyat baginya. Saat berada dalam pelukan bundanya, saat berada di antara ayah dan kakaknya, dia seperti mendapatkan kembali masa kecilnya yang hilang. Separoh lenyap karena perangainya sendiri. Sementara yang separoh lagi lenyap direnggut kekejian balatentara Jepang.
Belasan tahun hidup sendiri, dia tak pernah tahu bagaimana rasanya meneteskan air mata. Air matanya seperti sudah kering dihisap gurun derita sepanjang jalan hidupnya yang sunyi. Terpental dari suatu negeri ke negeri lain. Terhempas dari muara nasib yang satu ke muara nasib yang lain.
Kini, dalam dekapan bundanya yang penuh kasih sayang, dia merasakan betapa air matanya merembes, membasahi lengan baju sutera bundanya. Tubuhnya terguncang menahan isak yang tak mampu dia bendung. Tangis haru dan bahagia yang belum pernah dia rasakan selama puluhan tahun.
"Oo, betapa rindunya Bunda padamu Buyung sibiran tulang. Betapa rindunya kakak dan ayahmu, ingin bersua denganmu…" bisik bundanya dengan suara bergetar.
"Kemahiranmu mempergunakan samurai, membuat Ayah bangga. Kendati tak pernah kuajar, kini engkau adalah pesilat tangguh, yang puluhan kali lebih hebat dari ayah. Kami bangga padamu, Nak…" bisik ayahnya dengan suara yang benar-benar menggambarkan rasa bangga dan bahagia.
Dengan mata basah si Bungsu menatap wajah ayahnya. Yang menatapnya dengan senyum dan mata yang juga basah.
"Jangan katakan bahwa Ayah tak pernah mengajar saya bersilat. Semua yang saya ketahui tentang samurai dan gerak silat yang hanya separoh-separoh, saya pelajari dari gerakan yang ayah lakukan tatkala ayah bertarung dengan Saburo Matsuyama. Semuanya. Ayahlah satu-satunya guru saya. Darah yang mengalir dalam tubuh saya adalah darah Ayah…" ujar si Bungsu.
Ayahnya tertawa renyah. Suaranya yang bernada bariton, berat berwibawa, membuat si Bungsu merasa sangat bangga dan terlindungi.
"Ternyata engkau tak hanya pandai bersilat dan bersamurai, tapi juga pandai membawa diri. Mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah, Buyung. Ayah bangga mempunyai anak seperti engkau…" ujar ayahnya sembari mengusap kepala si Bungsu.