"Dari Bungsu, saya mendengar banyak sekali cerita tentang Kakak…" ujar Thi Binh.
Dug!
Lagi-lagi jantung Ami berdegup.
"Ya… saat pertama dia datang ke rumah kami, dia bercerita tentang Kakak. Bahkan ketika di perjalanan pun, saat melewati danau yang banyak buayanya, di rakit dia juga bercerita tentang Kakak…" ujar Thi Binh separoh membual.
Ami terperangah. Dia tahu gadis centil yang cantik ini separoh membual. Namun dia tak kuasa mencegahnya. Dia dibuat geram, marah, gondok, jengkel, senang dan gemas. Semua campur aduk jadi satu. Namun dia memang datang untuk mencari cerita tentang keberadaan si Bungsu di Vietnam setelah berpisah dengannya di USS Alamo.
Ami Florence mengumpulkan semua cerita, menyimak dengan diam sambil menyimpan dalam memorinya segala data dan detil yang penting tentang si Bungsu saat-saat terakhir lelaki yang dicintainya itu di Vietnam.
Cerita tentang itu dia dapat dari tiga orang, yang memang berada bersama si Bungsu pada saat-saat terakhir. Ketiga mereka adalah Letnan Duval, Roxy dan Thi Binh. Sebab dengan ketiga orang inilah si Bungsu bersama-sama bertempur tak jauh dari barak tentara Vietnam, sebelum dia menyuruh Duval, Roxy dan Tin Binh berangkat duluan menyusul rombongan Kolonel MacMahon.
Kemudian Ami mencari informasi tentang pasukan SEAL di bawah pimpinan Mayor Murphy Black di Teluk Kompong Sam. Yaitu orang yang kali terakhir kembali ke tempat pertempuran guna mencari si Bungsu. Namun dari seluruh cerita yang dia himpun, muaranya tetap satu. Si Bungsu hilang atau tertawan dalam pertempuran terakhir itu. Artinya lelaki itu masih hidup di salah satu tempat di belantara Vietnam di sana.
Kini dia berada di sisi pembaringan Thi Binh. Dia ingin mendengar cerita yang lebih lengkap tentang si Bungsu dari gadis kecil ini. Setelah lama saling menatap, akhirnya Thi Binh bicara perlahan kepada Ami Florence.
"Sebenarnya, sayalah yang banyak bercerita dan bertanya tentangmu pada si Bungsu, Ami…."
"Kau bertanya tentang diriku kepada si Bungsu?
"Ya…."
"Darimana engkau mengetahui aku mengenal si Bungsu…."
"Dari mimpiku…."
Ami tersenyum. Merasa kena diakali oleh gadis kecil nakal ini.
"Ami, kau pernah merasa datang ke dalam mimpiku?"
Ami Florence menggeleng. Thi Binh menatapnya.
"Berbulan-bulan saya, juga belasan wanita Vietnam lainnya, dijadikan budak pemuas nafsu oleh puluhan tentara Vietkong. Suatu hari saya mulai diserang Vietnam Rose, sipilis! Saya demam dengan panas yang amat tinggi. Dalam sakit dan hampir mati itu, saya berdoa meminta Tuhan membantu saya, membunuh orang-orang yang memperkosa saya…."
Thi Binh terhenti, air mata mengalir di pipinya. Ami Florence tertegun mendengar derita dahsyat yang dialami gadis kecil ini.
"Suatu malam, dan malam-malam berikutnya, ke dalam mimpi saya datang seorang lelaki yang memakai senjata seperti ninja. Di malam yang lain, lelaki itu saya lihat lagi di dekat sebuah kapal perang yang besar bersama seorang gadis indo-Vietnam yang cantik dan abangnya. Gadis indo itu menangis tatkala pemuda ninja dari Indonesia itu tidak naik ke kapal perang besar itu bersamanya, melainkan pergi dengan boat kecil dan saat itu dia berkata 'sabarlah Thi-thi… saya akan datang membantumu' Gadis indo di dalam mimpi saya itu adalah engkau Ami. Saya sudah meilhatmu dan abangmu dalam mimpi saya, Ami…" tutur Thi Binh.
Ami Florence ternganga mendengar cerita yang dahsyat itu. Dia hampir-hampir tak mempercayai pendengarannya.
"Bukan hanya engkau yang tak percaya, Nona. Semula si Bungsu pun tak percaya atas apa yang dituturkan Thi-thi tentang mimpinya. Tapi dari mana dia tahu tentang ninja, tentang Indonesia, tentang kapal perang besar, gadis indo yang cantik yang ternyata dirimu, jika mimpi itu tak pernah ada?"
Ami menoleh ke arah suara di belakangnya. Ternyata tanpa diketahui sejak tadi di ruangan itu sudah ada Duc Tio dan Han Doi.
"Aku tahu, engkau mencintainya. Aku juga…."
Dug!
Hati Ami Florence bedegup mendengar pernyatan Thi Binh.
"Dia memang patut mendapat cinta banyak orang, Thi-thi…."
"Termasuk kita…?"
"Termasuk kita…!"
"Kau tidak marah aku mencintainya, Ami?"
Ami Florence menggeleng. Kemudian memeluk gadis kecil itu. Air matanya merembes, mengingat entah bagaimana nasib lelaki yang sedang mereka bicarakan. Entah masih hidup, sedang disiksa, entah sudah mati.
+++00+++
Si Bungsu membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah dunia yang serba terbalik. Ada orang-orang, api unggun, rumah-rumah bambu semuanya berada dalam posisi terbalik. Selain itu ada rasa sakit yang si Bungsu rasakan di seluruh tubuhnya. Ada suara orang berbicara lambat-lambat.
Masih dalam mata terpejam, dia akhirnya tahu kalau dia berada di tengah-tengah orang Vietnam. Karena pembicaraan yang sampai ke telinganya itu dalam bahasa Vietnam.
Perlahan dia membuka mata. Ada api unggun yang terbalik, sekitar sepuluh depa dari tempatnya dia berada. Saat membuka mata kedua kalinya inilah dia baru tahu kalau yang terbalik bukanlah orang-orang, api unggun atau rumah. Tapi dirinyalah yang terbalik, kepala kebawah kaki diatas.
"Aku masih hidup.."bisik hatinya.
Dia kembali memejamkan mata. Untuk sementara tak ingin membuka mata. Biar orang-orang Vietnam itu menyangka kalau dia masih pingsan. Dari penglihatannya yang sepintas tadi, dia tahu kalau dia kini berada di daerah barak yang dia hancurkan tadi pagi.
Pagi tadi? Apakah peristiwa itu tadi pagi, atau….? Si Bungsu mencoba kembali menyusun ingatannya. Dimulai saat dia meninggalkan Lok Ma, Sersan pencari jejak Vietnam yang dia totok sehingga tak bisa bergerak tanpa menciderai orang tersebut. Dengan cepat dia melangkah kearah danau yang pernah dia tempuh, yang menurut rencana, akan mereka pakai tempat berkumpul untuk meloloskan diri. Dia harus dengan cepat menyusul rombongan
MacMahon dan Duval yang datang kemudian bersama Roxy dan Thi Binh. Ada yang dia khawatirkan kalau-kalau regu pemburu yang lain mengejar dari arah danau itu. Dia yakin, bahaya menghadang rombongan MacMahon.
Kekhawatirannya terbukti saat dia berada tak jauh dari danau tempat berkumpul pelarian itu. Masih di dalam belantara, dia sudah mendengar tembakan sahut bersahut. Saat sampai di pinggir padang lalang dia melihat heli yang sedang menaikan pelarian itu. Beberapa dekat heli dia lihat terjungkal.
Dia berlari dan menghamburkan tembakan kesegala penjuru, ke arah tentara Vietnam. Dia tak berusaha berlindung, karena ingin mengalihkan semua perhatian tentara Vietnam itu kepadanya, agar heli itu bisa mengudara, menyelamatkan para pelarian. Beberapa tentara Vietnam yang mendekati heli itu terjungkal kena pelurunya.
Taktiknya berhasil, belasan tentara Vietnam itu berbalik arah padanya, hingga mereka lupa kalau heli itu bisa lolos. Tapi mereka harus menembaki lelaki yang baru datang itu agar mereka tak kena tembakan dan mati konyol. Dia makin merengsek kearah tengah padang itu. Dia menjadikan dirinya umpan peluru.
Dan saat itu heli itu berhasil mengudara. Namun heli itu masih dalam jangkauan tembakan dan belum aman. Dan dia kembali berhasil menembak beberapa tentara Vietnam yang mencoba menembaki heli itu. Namun bahunya kena tembakan sebuah peluru, dia tersentak kebelakang. Tapi dia berusaha untuk tidak rubuh, dan kembali menembak. Heli itu berhasil meloloskan diri, tapi kembali perutnya dihajar peluru. Dia tersentak lagi kebelakang dan masih berusaha untuk menembak, tapi 'klik' pelurunya habis.
Dia melemparkan senjatanya dan mengangkat tangan tinggi-tinggi keudara, tapi perang kali ini Dalam Neraka Vietnam, yang sangat buas. Meski sudah menyerah tetap saja dua peluru menghantam perut dan bahunya, dia tersentak-sentak kebelakang.
Kepalanya terdongak kelangit dan sepintas dia melihat heli sudah jadi sebuah titik di langit merah bagian selatan sana. Lalu belasan tentara itu mengepungnya dengan senapan mengarah padanya. Dia masih manusia biasa, walau tadi beberapa peluru telah menghantam tubuhnya. Dia bisa bertahan mungkin karena dua hal.
Pertama, karena tubuhnya amat terlatih, kenyal dan liat. Kedua, dia tahu tawanan yang dia tolong membebaskannya itu lolos dari maut. Lalu setelah dia melihat heli itu lolos, daya tahan tubuhnya sampai ke batas, dia rubuh bagaikan batang pisang yang ditebang.
Di sinilah dia kini, di suatu tempat yang tak pernah dia kenal sebelumnya, Dalam Neraka Vietnam.
Dia merasa kalau pasti ada sesuatu yang akan dilakukan tentara Vietnam itu terhadap dirinya sehingga dia masih di biarkan hidup. Jika tak salah ada empat atau lima peluru yang menghajar tubuhnya dalam pertempuran senja itu. Kendati tidak ada yang mengenai tempat mematikan, namun dia sebanarnya tak mungkin hidup. Mengingat begitu banyak peluru dan darah yang keluar. Dia yakin pasti tentara Vietnam itu menginginkan sesuatu dari dia. 'Sesuatu' itu di pastikan informasi. Mereka pasti ingin mengorek informasi tentang tentara Amerika dari dia.
Mungkin mereka menyangka kalau dia di tugaskan untuk membebaskan tentara-tentara Amerika yang ditawan tentara Vietnam. Tapi ada untungnya juga dia diduga bagian dari tugas itu. Jika tidak, pasti dia sudah dihabisi, atau ditinggalkan saja bergelimpang di padang lalang tersebut. Dan akan mati kehabisan darah, kemudian akan jadi santapan harimau atau biawak di padang lalang dekat danau itu.
Dia tidak tahu, apakah lebih baik dimakan harimau dan habis disantap belatung di padang lalang itu, atau tergantung disini. Sebab dia sudah mendengar akan kebuasan dan sadisnya tentara Vietnam memperlakukan tawanan mereka. Sehingga tentara Amerika yang berhasil dibebaskan, banyak yang mengalami cacat fisik dan cacat jiwa.
Kini dia berada di tengah tentara Vietnam itu, yang tengah penuh amarah karena tawanan mereka berhasil meloloskan diri.
Hanya sejauh manakah pemahaman tentara Vietnam itu, kalau dia bukanlah bagian dari misi atau operasi pembebasan tentara Amerika. Dia tak tahu mana yang terbaik. Kalau tentara Vietnam itu mengetahui kalau dia bagian dari operasi itu atau datang sendirian. kalau orang-orang ini menyangka dia bagian dari operasi, pasti mereka akan mengorek informasi sebanyak mungkin. Untuk itu dia haqqul yakin kalau siksaan berat akan dia terima. Dan kalau mereka tahu dia datang sendirian, pasti amarah tentara-tentara Vietnam itu telah diubun-ubun. Karena melalui dua tangannya lah para tawanan itu berhasil meloloskan diri dan menghancurkan barak-barak mereka. Dan terbunuh juga Komandan mereka yang berpangkat Kolonel.
Sungguh sulit membayangkan siksaan seperti apa yang akan dia terima. Perlahan dia membuka mata, dan memandang kakinya yang terikat di sebuah kayu sebesar paha, dan kedua tangannya juga terikat terpentang kekiri dan kekanan yang diikatkan kedua buah pohon. Tali yang mengikatnya adalah tali dari kulit kayu khusus yang dipintal. Kukuh dan kenyal.
Setiap dia menggerakkan kaki atau tangan, ikatannya kian mencengkam dan semakin menyakitkan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat dia memejamkan mata dan tertidur, lebih tepatnya dia pingsan lagi dari pada dibilang tidur. Sebab digantung dengan posisi itu, mungkin tak seorangpun akan bisa tidur betapapun lelahnya.
Si Bungsu tidak menyadari kalau darah sudah menetes dari hidung, telinga dan mulutnya. Panas yang menyengat dan suara burung yang bersahut-sahutan membuat dia kembali membuka matanya, tapi setelah matanya terbuka kembali dia memejamkannya karena tak tahan silau cahaya matahari.
Kaki dan tangannya telah menjadi mati rasa. Ketika dia kembali berusaha membuka matanya pelan-pelan, dia tak melihat apa-apa selain silau cahaya. Dia buka matanya agak lebar, ada sedikit bayangan rumah dan pohon, kemudian orang berjalan, namun amat samar-samar. Saat dia menarik nafas dia rasakan sesuatu di hidungnya. Saat itulah dia menyadari kalau ada yang melapisi selaput matanya, sehingga dia tak bisa melihat dengan jelas adalah darah yang mengalir dari hidungnya.
Di mulutnya dia rasakan sesuatu yang kental dan asin. Dia coba merasakannya dengan ujung lidah. Darah ternyata tidak hanya mengalir dari hidung, tetapi juga dari mulutnya. Si Bungsu menarik nafas. Dia menyadari siksaan yang dialaminya sekarang baru "tahap pembukaan". Siksaan yang lebih dahsyat akan menantinya setelah ini. Dia yakin akan hal itu. Dia terbatuk, nafasnya sesak. Dan orang-orang Vietnam yang berada di rumah-rumah yang terbuat dari bambu, yang berada di sekitar tempat si Bungsu digantung pada menoleh.