"Aku menyayangi Thi-thi. Aku tahu dia mencintaimu. Aku tak peduli engkau mencintai dia atau tidak. Aku tahu apa yang aku lakukan ini tidak pantas, apalagi aku dan Thi-thi sudah saling mengakui bersaudara .Namun tak seorangpun yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi setelah ini. Sesal akan kubawa mati, jika aku tak menyampaikan padamu kalau aku mencintaimu. Mungkin terasa konyol dan bodoh. Kenalpun kita baru sehari tapi aku mencintaimu Bungsu…."
Demikian cepat kata-kata itu dia ucapkan, setelah itu dia berbalik badan dan berjalan menunduk-nunduk menuju sungai menyusul Duval dan Thi Binh.
"Apakah si Bungsu tertembak mati?"tiba-tiba Roxy di kejutkan dari lamunannya dengan bisikan Thi Binh yang ada dalam pelukannya.
Roxy mengangkat kepala menatap orang-orang yang berada di kapal selam kecil itu. Semua pada menatap padanya dengan tatapan kosong. Diusapnya rambut thi Binh kemudian berbisik.
"Kita tak tahu apakah dia sudah mati atau bagaimana, kita semua menginginkan dia masih hidup adikku. Namun selain tuhan, tak seorangpun diantara kita, yang tahu bagaimana nasibnya kini…"
"Mengapa dia tidak ada diantara kita, apakah…?"
"Keadaan waktu demikian kritisnya, Thi-thi. Demikian kritisnya. Si Bungsu menghadangkan dirinya pada tentara Vietnam untuk memberi kesempatan kita lolos.."
"Dan kita semua selamat, karena dia mengorbankan dirinya…"bisik Thi Binh.
Roxy tak menjawab. Ada nada protes dalam pernyataan gadis itu. Dia ingin menjawab 'ya', karena memang begitulah adanya. Tapi jawaban 'ya' sekaligus akan mengungkapkan semua yang ada dalam kapal selam ini hanya mementingkan diri sendiri. Meninggalkan orang menyelamatkan mereka sendirian menghadapi maut, Dalam Neraka Vietnam di padang lalang itu.
"Terima kasih Roxy, engkau telah menyelamatkan aku dengan membawa ke helikopter, setelah aku tertembak.." bisik Thi Binh, yang masih memeluk Roxy. Roxy tak menjawab. Dia membelai rambut Thi Binh.
"Dua kali engkau menyelamatkan nyawaku. Pertama di belantara saat kita bertempur melawan tentara Vietnam, tak jauh dari barak mereka yang kita hancurkan itu. Kemudian ketika aku tertembak di dekat danau, dalam pertempuaran terakhir itu. Terimakasih, hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikanmu padaku Roxy. Aku juga berhutang nyawa pada Bungsu, dia juga yang telah menyembuhkan aku dari sipilis…."ujar Thi Binh perlahan.
"Kita semua berhutang nyawa dan mencintainya, adik ku…"ujar Roxy perlahan.
"Kenapa tak kau biarkan saja aku tinggal, setelah tertembak. Agar aku bisa mati bersama dia.."ujar thi Binh.
"Aku tak ingin kau mati adikku…"jawab Roxy.
"Tanpa si Bungsu, Sebenarnya aku sudah mati…"Roxy menarik nafas. Diciumnya kepala Thi Binh dengan lembut.
"Kita akan kemana, Roxy?"tanya Thi Binh setelah beberapa saat sepi.
"Menuju dunia bebas, Thi-thi…"
"Amerika…?"
"Ya, ke Amerika..!"
"Apakah disana tak ada peperangan?"
"Ada, tapi hanya peperangan antara polisi dengan para bandit dijalanan adikku…"
Thi Binh berdiam diri beberapa saat. Lalu dia meminta dirinya kembali dibaringkan di tempat tidur yang ditempelkan di dinding dengan engsel khusus. Roxy membaringkan tubuh gadis Vietnam cantik itu perlahan. Thi Binh menggenggam tangan Roxy.
"Apakah engkau memang mau menjadi kakakku?"bisik Thi Binh perlahan.
Roxy tak menjawab. Dia sangat terharu. Di ciumnya kening dan mata gadis berusia enam belas tahun itu dengan lembut. Kemudian dia duduk dan memandang lurus pada Thi Binh.
"Di hutan Vietnam itu kita sudah berjanji untuk menjadi kakak adik yang saling mencintai. Kau ingat adikku…?"ujar Roxy.
Thi Binh mengangguk.
"Tak ada yang akan berubah dengan perjanjian kita itu, adikku.."ujar Roxy.
Thi Binh tersenyum, kemudian dia memejamkan mata.
Kapal selam Sea Devil milik SEAL, pasukan khusus Angkatan laut Amerika itu bergerak dengan cepat membelah air, dibawah permukaan laut China Selatan. Akan halnya Thi Binh, rasa lelah dan pengaruh bius yang di berikan padanya membuat dia terjatuh kedalam tidur yang pulas. Lelah dan kantuk juga menyerang Roxy dalam posisi duduk dekat pembaringan Thi Binh, dia menelungkupkan bagian atas tubuhnya disisi pembaringan, tak lama kemudian dia juga tertidur.
++00++
Ketika Sea Devil sedang berlayar di bawah laut luas, dan ketika Ami Florence dalam penerbangan dengan heli menuju titik pertemuan untuk melakukan embarkasi para tentara yang dibebaskan itu, Mayor Murphy Black yang semula gagal mengontak USS Alamo, akhirnya mendapat sambungan radio. Dengan permintaan maaf dan rasa menyesal yang amat mendalam, dia melaporkan tidak menemukan si Bungsu di padang lalang Vietnam itu. Di mana pertempuran terakhir terjadi antara pasukan Vietnam dengan pelarian itu.
Black juga menuturkan kondisi kritis saat menentukan pilihan, antara turun menjemput si Bungsu dengan peluru hanya beberapa butir, dan harus menghadapi gempuran belasan tentara Vietnam. Yang risikonya jelas semua awak heli maupun tentara yang sudah dibebaskan itu akan tertawan kembali, atau terlebih dahulu menyelamatkan belasan pelarian yang sebagian dalam keadaan terluka.
"Orang Indonesia itu nampaknya sengaja memancing tembakan ke arahnya, agar kami bisa lolos dari serangan maut. Saya sudah kembali ke lokasi itu, namun kami hanya menemukan dua mayat tentara Amerika dan beberapa mayat di padang lalang itu. Tak ada tanda-tanda sama sekali tentang nasib si Bungsu. Menurut analisa saya, kendati tertembak beberapa kali, namun lelaki tangguh itu masih hidup. Paling tidak, tentara Vietnam akan berusaha menyelamatkan nyawanya untuk mengorek keterangan. Siapa saja dan dimana pasukan yang mencari anggota MIA saat ini berada. Saya rasa, dia sekarang berada di suatu tempat yang amat dirahasiakan dan dijaga dengan amat ketat untuk diinterogasi," papar Mayor Black.
Laksamana Lee tak menjawab sepatah pun. Selain mengatakan 'oke' kemudian mematikan radio.
Lama Laksamana ini terdiam sambil tangannya masih memegang handel radio. Matanya menatap ke arah layar komputer besar, yang memperlihatkan posisi kapal selam Sea Devil yang tengah membawa bekas tawanan yang selamat dan posisi helikopter yang akan menjemput mereka, yang di dalamnya terdapat Ami Florence. Salah seorang di antara tak banyak mata-mata kelas satu Amerika semasa perang Vietnam yang panjang itu, yang besar sekali jasanya untuk Amerika.
Laksamana Lee teringat pada Kolonel MacMahon, adik kelasnya semasa di West Point, Akademi Militer Amerika. Lenyapnya MacMahon, Komandan SEAL di Vietnam dalam pertempuran laut di lepas pantai Da Nang menyebabkan heboh di kalangan angkatan bersenjata Amerika. Kini kolonel itu termasuk salah seorang yang berhasil dibebaskan si Bungsu. Dia lalu meminta dihubungkan ke Sea Devil.
"Komandan Sea Devil di sini, Sir!" ujar Kapten Callahan, begitu diberitahu perwira radio USS Alamo bahwa Laksamana Lee akan bicara.
"Ada gangguan dalam pelayaran Anda, Callahan?"
"No, Sir! Sejauh ini aman. Radar kami juga tidak menangkap adanya kapal perang Vietnam dalam jarak lima puluh kilometer dari posisi kami, Sir…."
"Baik, saya harap juga begitu…."
"Thanks, Sir…."
"Apakah Kolonel MacMahon di kapal Anda, Callahan?"
"Yes, Sir! Kolonel MacMahon ada di kapal ini…!"
"Saya dengar dia tertembak. Kalau dia tidak sedang istirahat, saya ingin bicara dengannya, bisa?"
"Yes, Sir! Saya bisa antarkan radio ke tempat tidurnya agar Anda bisa bicara langsung padanya. Harap Anda menunggu, Sir…."
Kapten menyuruh seorang letnan navigasi untuk menghantarkan radio kepada MacMahon. Kolonel itu sedang berbaring dan sejak tadi hanya diam menatap ke arah pembaringan Thi Binh dan Roxy di ujung sana, melihat seorang letnan SEAL mendatanginya. Letnan itu memberi hormat kepada komandan tertinggi mereka, yang sudah dua tahun lenyap dan baru saja dibebaskan.
"Komandan USS Alamo ingin bicara dengan Anda, Sir…" ujar letnan itu sambil menyerahkan radio kecil tanpa tali.
"Laksamana Lee…?" ujar MacMahon perlahan mengambil radio dari tangan si kapten.
Tak lama kemudian Laksamana Lee mendengar suara di radio.
"MacMahon di sini, Laksamana…!"
"Hei MacMahon, senang mendengar lagi suaramu…!"
MacMahon tertawa renyah.
"Senang juga mendengar suaramu, Lee…."
"Bagaimana kondisimu, MacMahon?"
"Agak membaik Lee…."
"Luka di bahu dan dadamu membaik?"
"Ya, agak lebih baik…."
"Masih sempat bermain catur?"
MacMahon tertawa perlahan mendengar pertanyaan kakak kelasnya itu. Soalnya, ketika di West Point dulu, bahkan setelah sama-sama bertugas pun, mereka sering bertanding catur.
"Saya harap bisa segera bertemu Anda, untuk main catur lagi, Lee…."
"Ya saya harap juga begitu. MacMahon…!"
"Ya…?"
"Engkau kenal seorang lelaki Indonesia bernama si Bungsu?"
"Dia yang membebaskan kami, Lee…."
"Apa yang terjadi dengan dia?"
MacMahon tak segera bisa memberikan jawaban. Dia menatap ke pembaringan Thi Binh dan Roxy. Kedua gadis itu masih tidur pulas.
"Dia tertinggal di medan tempur, Lee…."
"Nampaknya keadaan demikian kritis, sehingga dia tak sempat kalian bawa bersama…."
"Maaf Lee. Kondisi saat itu memang sangat kritis…. Engkau juga mengenalnya, Lee?"
"Tidak. Sebulan yang lalu dia mengantarkan Ami Florence, kau ingat dia?"
"Ya, orang kita yang di Da Nang…."
"Nah, setelah terlibat pertempuran yang amat tak seimbang dengan beberapa kapal patroli Vietnam, dia berhasil merebut sebuah kapal patroli. Kemudian mengantarkan Ami dan abangnya ke USS Alamo tapi dia tidak naik ke kapal saya. Begitu Ami turun dia langsung pergi. Lewat radar kami melihat dia menghancurkan tiga kapal patroli Vietnam lainnya.
Dari Ami saya mendapat cerita, bahwa dia datang ke Vietnam atas permintaan milyader AR. Anda masih ingat AR, MacMahon?"
"Alfonso Rogers, milyader yang ikut menyumbang pembelian kapal-kapal Angkatan Laut. Satu diantaranya kapal yang kini Anda komandani, Lee…."
"Anda benar, MacMahon. Anda ingat siapa nama anak tunggal milyader itu?"
"Roxy Rogers. Dia ada bersama saya di kapal ini. Hanya saja saya baru tahu bahwa Roxy adalah anak Alfonso Rogers dari penjelasan si Bungsu, saat membebaskan kami dari tahanan Vietnam. Kami beruntung berada satu tahanan dengan Roxy. Jika tidak, kami tentu belum akan bebas…" ujar MacMahon.
"Well, berapa hari Anda mengenal si Bungsu, Mac Mahon?"
"Satu hari, Lee…."
"Satu hari?"
"Efektifnya hanya beberapa jam…."
"Maksudmu?"
"Dia datang ke goa tempat kami disekap subuh hari. Kemudian membawa kami ke tempat tiga teman Vietnamnya yang menanti sekitar satu kilometer dari barak tentara Vietnam.
Kemudian kami berbagi regu. Satu regu disuruhnya duluan bersama wanita-wanita yang bertugas di ketentaraan sebagai anggota palang merah dan bahagian logistik, untuk menuju ke danau dan membawa jam tangannya yang bisa memancarkan isyarat. Kemudian dia bersama tiga orang lainnya, Letnan Duval, Roxy dan seorang gadis Vietnam bernama Thi Binh menyelusup ke barak-barak Vietnam.
Mereka berhasil menghancurkan gudang senjata dan membunuh komandannya, seorang kolonel. Saya sendiri bertugas mencegat Vietnam yang memburu rombongan pertama.
Artinya, saya hanya mengenal lelaki dari Indonesia itu sekitar tiga atau empat jam, Lee…" tutur MacMahon.