Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 238 - Kita akan pergi bersama, Ami.

Chapter 238 - Kita akan pergi bersama, Ami.

"Dia seorang yang amat perfect dalam pertempuran laut…."

"Sama perfectnya dengan pertempuran darat, Lee. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana dia mempergunakan samurai kecilnya untuk membunuh seorang Vietnam dari jarak sepuluh meter. Sebelumnya, saat kami akan keluar dari goa, dia membunuh sekaligus empat tentara dengan samurai kecilnya itu. Kemudian juga saat dia menghadang tembakan belasan tentara Vietnam, dalam upaya agar heli yang kami tompangi bisa lolos. Barangkali ada delapan atau sembilan tentara Vietnam yang dia rubuhkan sebelum akhirnya senjatanya kehabisan peluru, dan dia mengangkat tangan…."

"Apakah Vietnam langsung menangkapnya?"

"Tidak…."

"Apa yang terjadi?"

"Dari atas heli, kami melihat tubuhnya beberapa kali diterjang peluru. Setelah itu… dari ketinggian saya hanya melihat tubuh mereka seperti titik kecil di bawah. Saya rasa Vietnam menangkapnya. Jika dia masih hidup, untuk beberapa saat dia belum akan dibunuh, sampai Vietnam yakin tak ada rahasia apapun yang bisa dikorek dari mulutnya mengenai operasi yang dilakukan Amerika saat ini di Vietnam…."

"Saya rasa dia juga tak akan segera dibunuh Vietnam…" ujar Laksamana Lee.

Mereka sama-sama terdiam beberapa saat.

"MacMahon…."

"Ya, Lee…."

"Saya harus mengabarkan pada Ami Florence bahwa si Bungsu tak ada bersama kalian. Gadis itu kini berada dalam heli khusus yang saat ini sudah tak begitu jauh dari posisi kalian. Dia berharap lelaki dari Indonesia itu ada bersama kalian. Baiklah, kita bertemu di Subic kelak, MacMahon…."

"Terima kasih, Lee. Dan saya benar-benar menyesal, tidak bisa membawa si Bungsu bersama kami. Saya juga akan menyampaikan maaf saya pada Nona Ami…."

Hubungan dan percakapan di antara kedua teman lama itupun putus. Ada beberapa saat Laksamana Lee tegak mematung di anjungan USS Alamo. Dia harus menghubungi segera Ami Florence, namun bagaimana dia akan memulai percakapan, untuk memberitakan bahwa si Bungsu tak ada di antara orang-orang yang akan dia jemput itu?

Kalau saja dia sudah mendapat laporan dari Mayor Black sebelum Ami ikut dengan heli itu tadi, barangkali dia bisa memberitahunya. Tapi sampai gadis itu naik ke pesawat, hubungan antara USS Alamo dengan Mayor Black sengaja diputus untuk beberapa saat.

"Hubungkan saya dengan helikopter…" ujarnya perlahan.

"Yes, Sir…!" ujar perwira radio.

"Kapten John Gregor Sir…!" ujar pilot heli di radio.

"Kapten…."

"Yes, Sir…!"

"Sebentar lagi perwira navigasi akan memberikan koordinat di mana Anda harus melakukan embarkasi…."

"Yes, siap Sir…!"

"Bisa saya bicara dengan Nona Ami Florence?"

"Siap, bisa Sir!"

Pilot menolehkan kepala ke belakang. Ke arah Ami yang sedang berpeluk tangan dan menatap ke langit gelap lewat kaca di sampingnya.

"Nona Florence…."

Ami tersentak. Menatap ke arah pilot yang memanggilnya.

"Ya…?"

"Silahkan Anda menggeser duduk ke mari. Laksamana di USS Alamo ingin bicara dengan Anda, Mam…."

Ami Florence merasa jantungnya berdegup. Dia berjalan dengan menunduk di dalam heli itu, mendekat ke belakang tempat duduk pilot. Kemudian duduk di sebuah bantalan besar di sana.

"Sir, ini Nona Florence…" ujar pilot.

Dia segera memberi isyarat pada copilotnya untuk membuka headphone di copilot agar menyerahkan head phonenya pada Florence.

Ami memasang headphone itu ke kepalanya. Kemudian membetulkan letak kap radionya di telinga.

"Yes, Laksamana…?" ujarnya membuka pembicaraan.

"Florence…?"

"Ya…."

"Maaf, saya tidak tahu harus memulai dari mana…."

Hati Florence makin berdebar. Firasat buruk merayapi hulu jantungnya. Ini pasti mengenai si Bungsu, bisik hatinya.

"Mengenai Bungsu…?" ujarnya antara terdengar dan tidak.

"Sekali lagi maaf, Florence. Ya, mengenai Bungsu…."

Florence merasakan tubuhnya tiba-tiba menggigil dan berkeringat dingin. Dia tak mampu bicara sepatah pun. Dia seperti menanti vonis hukuman mati.

"Florence…?" himbau Laksamana Lee.

Tak ada sahutan!

"Florence. Anda masih di sana, Mam…?"

"Yy.. Ya… Laksamana…."

"Dengan permintaan maaf saya harus menyampaikan pada Anda, Mam. Bahwa si Bungsu tidak berada di Sea Devil, kapal selam yang kini sedang Anda tuju…."

Ami Florence tak bicara. Namun masih ada sedikit harapan, si Bungsu dikatakan tidak berada di Sea Devil, tidak dikatakan sudah mati. Dia menunggu kepastian lebih lanjut.

"Dia tidak berada di Sea Devil, berarti masih berada di suatu tempat, Laksamana?"

"Ya, Mam. Dia masih berada di suatu tempat, di belantara Vietnam sana…."

"Masih… masih…."

"Ya Mam, dia masih hidup! Itu dipastikan oleh laporan Mayor Murphy Black, komandan gugus tugas khusus dari SEAL yang ditempatkan di Teluk Kompong Sam, yang menjemput dengan helicopter tawanan yang berhasil dibebaskan si Bungsu…."

Florence menghapus keringat di dahinya. Dia menarik nafas panjang. Kendati dia sangat kecewa orang yang dicintainya itu tidak berada di Sea Devil, namun dia bahagia lelaki itu kini masih hidup.

"Dia sendirian di Vietnam sana, Laksamana?"

Laksamana Lee tak segera menjawab.

"Laksamana?"

"Maaf. Dia tertawan oleh Vietnam. Namun Mayor Black memastikan bahwa dia masih hidup. Tubuhnya tidak terdapat di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di padang lalang di mana pertempuran terakhir pecah saat mereka akan dijemput helikopter…."

Sekali lagi Ami Florence menghapus peluh dingin di wajahnya.

"Dia tertawan oleh Vietnam?" ujarnya perlahan.

"Ya, Nak. Cerita lengkapnya bisa engkau tanya pada Kolonel MacMahon di Sea Devil, salah seorang dari 17 pasukan Amerika yang dibebaskan si Bungsu, termasuk Roxy Rogers…."

Ami Florence seperti tercekik sesuatu di kerongkongannya mendengar kabar dari Laksamana Lee. Dia masih terdiam sambil memegang radio yang hubungannya masih terbuka dengan USS Alamo. Lewat radio Laksamana Lee dapat mendengar gadis itu menarik nafas berat dan panjang.

"Saya sangat menyesal, Nak. Sepanjang laporan yang saya peroleh, baik dari Kolonel MacMahon maupun Mayor Murphy Black, Komandan SEAL yang menjemputnya, lelaki dari Indonesia itu sengaja menjadikan dirinya umpan. Agar para tawanan bisa lolos. Amerika tidak hanya berhutang budi padanya. Sekaligus benar-benar merasa malu, karena tak bisa mengeluarkan lelaki perkasa itu dari neraka Vietnam. Saya sangat menyesal…."

Tak ada jawaban apapun dari Ami Florence.

"Ami, Anda masih di situ, Nak?"

"Ya…."

"Saya sangat menyesal, Nak…."

"Terimakasih, Laksamana…" ujar Ami nyaris tak terdengar, sembari memutuskan hubungan radio.

Kolonel MacMahon masih menanti beberapa saat. Dia tahu hubungan dengan Ami sudah diputus gadis itu. Dia benar-benar ikut menyesal.

"Kapten Gregor…" ujarnya Laksamana Lee perlahan memanggil pilot heli tersebut.

"Yes, Sir!"

"Nona Florence masih di sana?"

Pilot heli menolehkan kepalanya sedikit ke belakang melihat Ami masih menunduk sambil memegang radio yang tadi diberikan co-pilot kepadanya.

"Ya, dia masih di sini, memegang radio, Sir!"

"Baik, jangan ganggu dia. Gunakan radio pada Anda saja. Perwira navigasi akan memberi petunjuk di mana Anda harus menjemput para bekas tawanan itu…."

"Yes, Sir!"

Namun saat itu Ami Florence mengulurkan radio di tangannya kepada co-pilot.

"Terimakasih…" ujarnya pelan.

"Yes, Mam…" jawab co-pilot.

Ami masih duduk di belakang pilot. Tatapannya kosong.

"Saya ikut menyesal mengenai Bungsu, Mam…" ujar pilot kepada Ami yang sejak tadi memang ikut mendengar percakapan antara Laksamana Lee dengan Ami Florence lewat headphone di kepalanya. Ami menatap ke arah pilot tersebut.

"Terimakasih…" ujarnya perlahan.

Gadis itu berusaha untuk tersenyum. Namun dia tak mampu menahan air matanya untuk tidak mengalir. Dia dan abangnya, Le Duan, sebenarnya sudah harus menjalani program khusus di Amerika. Setelah mengikuti program khusus antara tiga sampai empat bulan itu, dia akan ditempatkan di salah satu negara bahagian Amerika atau bisa saja di suatu negara lain yang dia pilih.

Program khusus itu antara lain menyangkut pekerjaan yang cocok, dan latihan di program tersebut. Bisa saja dia ditempatkan di kemiliteran atau polisi. Atau menjadi intelijen di FBI atau CIA yang memang sudah amat dia kuasai. Namun dia sudah bertekad, begitu keluar Vietnam dia akan meninggalkan dunia spionase. Akan hidup sebagai dosen atau penerjemah atau mungkin sekretaris eksekutif. Masa program itu dia minta undur. Dia ingin jika dia pergi ke Amerika, atau ke ujung dunia manapun, si Bungsu ada bersamanya. Atau lebih konkret lagi, dia ingin pergi kemana pun si Bungsu pergi.

Dia sudah meminta agar abangnya pergi duluan ke Amerika untuk mengikuti program khusus itu. Kepada Le Duan dia katakan terus terang, bahwa dia hanya mau pergi kalau bersama si Bungsu. Le Duan hanya menarik nafas panjang mendengar ucapan adiknya. Dia tahu sikap adiknya yang bengal dan kadang-kadang bikin pusing. Susah sekali jatuh hati.

Namun begitu ada lelaki yang mampu menaklukkan hatinya, maka jatuh hatinya separoh mampus. Kini saat itu nampaknya tiba. Hati adiknya kepincut separoh mampus kepada lelaki dari Indonesia itu.

"Kita akan pergi bersama, Ami. Saya akan menunggumu…" ujar Le Duan di salah satu hotel di Manila, saat Ami menawarkan dia pergi duluan ke Amerika.

"Tapi, saya akan menunggu si Bungsu…."

"Ya, kita sama-sama menunggunya…" ujar Le Duan sambil tersenyum. Ami membalas senyumnya.

"Ami…."

"Ya…?"

"Apakah kau yakin dia juga mencintaimu?"

Ami tertegun. Tak bisa segera menjawab.

"Kau yakin dia juga mencintaimu, seperti engkau mencintainya, Ami?"

"Aku.. aku ingin menjawabnya 'ya', Le…."