Orang ini sudah berada di belakangnya ketika tadi dia memutar gerak. Dan yang membuat
bulu tengkuk Lok Ma merinding adalah kehebatan orang ini dalam mendekati dirinya. Dia adalah seorang andalan dalam mencari jejak dan memburu orang. Andalannya adalah firasat, penglihatan dan pendengaran.
Ternyata, jangankan suara langkah, dia malah tak mendengar suara apapun saat orang ini mendekatinya. Lok Ma sadar, orang ini bukan lawannya. Tiba-tiba orang itu mengulurkan tangan kanannya. Seperti akan bersalaman. Lok Ma kaget. Dia sampai tersurut selangkah saking kagetnya melihat orang itu ingin menyalaminya. Namun tak ada niat apapun terlihat pada wajah orang tersebut, selain keikhlasan semata.
Dan orang itu tiba-tiba tersenyum. Lok Ma menjadi salah tingkah. Tapi tatapan mata orang itu, yang demikian bersih dan bersahabat, wajahnya yang demikian jernih, seperti magnet yang membuat Lok Ma tak kuasa untuk tidak menyambut uluran tangannya.
Kedua orang yang sebelumnya saling mengintai dan saling memburu untuk saling berbunuhan, kini saling bersalaman dengan erat di tengah belantara Vietnam selatan tersebut. Lok Ma merasakan betapa genggam tangan orang asing di depannya itu demikian kukuh. Pertanda kekukuhan hati dan keramahan sikapnya.
"Anda bisa berbahasa Inggeris?" tiba-tiba orang itu yang masih menggenggam tangannya itu bertanya dalam bahasa Ingeris. Lok Ma mengangguk.
"Inggeris dan Perancis…" jawab Lok Ma.
"O, saya hanya bisa berbahasa Inggeris. Nama saya Bungsu…"
"Nama saya Lok Ma…"
Si Bungsu, orang yang menggenggam tangan Lok Ma itu, melepaskan genggaman tangannya. Dalam posisi tegak tak sampai sedepa itu, mereka saling bertatapan. Sebagai anak suku yang hidup secara tradisional dan penuh acara-acara magis di pegunungan, Lok Ma merasa orang yang di depannya ini benar-benar bukan orang sembarangan.
"Tuan dari Indonesia?" ujar Lok Ma.
Si Bungsu kaget. Buat pertama kali dalam hidupnya yang mengembara dari benua ke benua, dari negeri satu negeri lain, barulah sekali ini orang secara pasti menebak dan menyebut nama negerinya. Dia tatap tentara yang berpenampilan sederhana itu.
"Kenapa Anda menyangka saya dari Indonesia?"
"Ada dua bangsa yang saya kenal yang mampu mempelajari dan menguasai hal-hal supranatural dan metafisik. Bangsa India dan Indonesia. Anda memiliki kedua kekuatan ini. Saya sering bertemu orang India. Namun belum pernah bertemu orang Indonesia. Anda tidak memiliki spesifikasi khas orang India. Maka hanya ada satu pilihan, Anda adalah orang Indonesia…"
Lok Ma dan si Bungsu kembali saling menatap.
"Apa suku Anda Aceh, Banten, Minang, Riau atau Dayak?"
Si Bungsu kaget atas pengetahuan Lok Ma terhadap suku-suku di Indonesia. Tapi di sisi lain dia tak mengerti kemana arah pertanyaan itu.
"Kenapa Anda bertanya tentang suku?"
"Sepanjang cerita yang saya dengar, hanya lima suku itu yang memiliki kemampuan mempelajari dan menguasai hal-hal metafisik dan supranatural…."
Si Bungsu tersenyum.
"Saya orang Minang. Namun untuk Anda ketahui, saya tak memiliki kekuatan supranatural atau metafisik sebagaimana yang Anda sebutkan itu…."
Kini giliran Lok Ma yang tersenyum mendengar ucapan si Bungsu.
"Kemampuan Anda mempergunakan senjata rahasia, kemampuan Anda menguasai belantara, naluri Anda yang demikian tajam, merupakan bukti yang tak bisa Anda mungkiri bahwa Anda menguasai hal-hal yang tak dikuasai manusia biasa itu…"
"Saya menguasainya dengan berlatih secara fisik, bertahun-tahun. Bukan dengan doa dan jampi. Saya tak yakin ada orang yang bisa menguasai hal-hal dahsyat hanya dengan doa dan jampi. Selama ratusan tahun Belanda bermaha sirajalela, menjajah dan menganiaya bangsa kami, di mana kehebatan doa dan jampi itu?"
Mereka kembali bertatapan.
"Di negeri Anda ini pun, Lok Ma, barangkali ada kepercayaan tentang hal-hal magis diiringi doa dan jampi itu. Tetapi, kenapa kalian tak bisa mengusir Perancis yang ratusan tahun menjajah negeri ini, kemudian tak bisa mengusir Amerika? Kenapa akhirnya perang belasan tahun dengan korban jutaan nyawa baru bisa menyelesaikannya?"
Lok Ma terdiam mendengarkan cecaran bukti yang diuraikan si Bungsu. Kembali mereka saling tatap.
"Kenapa Anda tidak membunuh saya?" tanya Lok Ma.
"Perang ini bukan perang saya…."
"Tapi Anda telah membunuhi banyak sekali tentara Vietnam…."
"Ada saat dimana orang berubah pikiran Atau paling tidak dia merasa bosan membunuh…."
"Yang mana yang merobah pikiran Anda. Karena bosan atau karena berubah fikiran?"
Si Bungsu tak menjawab. Lok Ma memang tak memerlukan jawaban. Dia tahu, lelaki di depan ini tak mau membunuhnya bukan karena bosan membunuh. Ada sesuatu di dalam hatinya, yang membuat fikiran berubah, tentang perang yang dimasukinya tanpa alasan yang jelas.
"Jika merasa tak ada kaitannya dengan perang ini, kenapa Anda membebaskan tentara Amerika yang kami tawan…."
"Karena salah seorang yang kalian tawan adalah perawat. Petugas yang oleh hukum perang harus dilindungi oleh pihak manapun. Karena mereka akan merawat tidak hanya anggota pasukannya yang terluka, tetapi juga merawat pasukan musuh yang tertangkap dan memerlukan perawatan…"
"Ada tiga perawat yang kami tawan. Yang mana yang Anda maksudkan?"
"Yang bernama Roxy…"
"Anak multimilyuner itu?"
Si Bungsu mengangguk.
"Kenapa tidak hanya dia yang Anda bebaskan?"
"Tak ada hukum yang melarang saya membebaskan semuanya, bukan?"
"Anda membebaskannya karena dia pacar Anda atau karena sebab-sebab lain?"
"Karena saya dibayar oleh ayahnya…."
"Anda pernah bertemu dengan ayahnya?"
"Ya…."
"Di mana?"
"Di Amerika…."
"Jadi, Anda datang ke belantara Vietnam ini langsung dari Amerika sana?"
"Ya…."
Mereka sama-sama terdiam. Si Bungsu kemudian teringat dia harus segera menyusul teman-temannya.
"Dua temanmu yang ingin membunuh saya, tidak kubunuh. Yang menembakku di tempat kalian menjebakku tadi dan senjatanya kubawa ini, hanya kubuat pingsan. Sekarang mungkin dia sudah sadar. Kopral di balik batu besar itu juga demikian. Dia hanya kutotok. Engkau juga sersan. Aku tak ingin ada korban berjatuhan lagi. Tidak di pihak kalian juga tidak di pihak pelarian itu. Beri mereka waktu untuk meninggalkan negeri kalian ini…."
Sehabis berkata tangan kanan si Bungsu bergerak. Lok Ma tak dapat mengikuti gerakan yang demikian cepat. Dia hanya merasa tubuhnya tiba-tiba lemas dan tak mampu bergerak.
Dia masih berada dalam keadaan sadar penuh. Namun totokan ke urat leher di bahagian kiri, membuat dia tak bisa menggerakkan bahagian manapun dari anggota tubuhnya.
Bedilnya jatuh, dan saat giliran tubuhnya yang akan jatuh, tangannya disambar si Buyung. Kemudian perlahan disandarkan ke kayu besar tempat dia tadi berlindung.
"Untuk beberapa saat engkau takkan pulih, Lok Ma. Begitu juga anak buahmu di balik batu besar itu. Saat itu saya harap tawanan Amerika yang melarikan diri tersebut sudah tak bisa lagi kalian kejar. Nah, barangkali kita masih akan bertemu di lain kesempatan, kawan…" ujar si Bungsu sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
Lok Ma hanya bisa menatap dengan diam kepergian orang tersebut. Aneh, dia justru merasa senang orang itu bisa pergi. Senang bukan semata-mata karena orang itu tak membunuhnya. Tapi karena hatinya diam-diam tertarik pada orang tersebut. Dia berharap orang itu bisa bebas dari buruan pasukannya. Aneh, diam-diam dia sungguh-sungguh berdoa, semoga orang Indonesia ini berikut orang-orang Amerika yang dibebaskannya, bisa lolos dengan selamat. Keanehan yang amat jarang terjadi dalam pertempuran, namun pernah terjadi!
Senja sudah hampir turun, ketika para pelarian yang kini berada di dekat danau alam itu mendengar suara deru pesawat helikopter. Kolonel MacMahon menyuruh dua anak buahnya untuk tegak ke padang lalang yang tak begitu luas, tak jauh dari bahagian tepi danau. Helikopter itu datang karena isyarat yang dipancarkan dari gelombang pendek di jam tangan si Bungsu, yang dia berikan pada sersan anggota SEAL yang pergi bersama Duc Thio.
Isyarat itu ditangkap oleh kapal perang USS Alamo. Kapal yang ditompangi Ami Florence dan abangnya Le Duan, setelah lolos dalam perang laut bersama si Bungsu. Ami lah yang memberikan jam tangan dengan berbagai kegunaan itu kepada si Bungsu. Tapi gadis itu sudah tidak lagi berada di kapal ketika isyarat dari jam tangan tersebut ditangkap oleh radar USS Alamo. Ami Florence dan Le Duan dikirim ke Manila. Kemudian untuk sementara ditempatkan di sebuah hotel. Hanya setiap hari dia menelepon ke kapal besar tersebut dengan fasilitas khusus. Dia menelpon menanyakan apakah sudah ada isyarat dari si Bungsu. Selama ini, yang dia terima selalu jawaban 'zero'. Belum ada berita apapun dari Vietnam!
Siang tadi dia juga menelepon. Namun karena memang belum ada isyarat, perwira navigasi hanya bisa memberi jawaban yang sama padanya: 'zero'!
Ami bertekad belum akan meninggalkan Manila, menuju tempat adaptasi yang dia pilih, sebelum ada kabar tentang si Bungsu. Dan sore itu, ketika perwira navigasi menerima pemberitahuan dari bintara bahagian radar ada sinyal dari daratan Vietnam, nakhoda kapal tersebut buru-buru ke ruang komando. Mereka melihat sinyal itu di layar komputer.
"Pastikan koordinatnya, segera!" perintah nakhoda.
Enam orang perwira dan bintara yang biasanya mengolah data posisi di peta, segera sibuk dengan peralatannya masing-masing. Sebuah peta Vietnam segara muncul di kaca besar yang selalu stanby di ruang komando itu.
"Munculkan di peta, cari desa terdekat segera!' perintah nakhoda sambil menatap peta di kaca.
Semua kembali sibuk… menghitung dan menekan berbagai perangkat komputer. Hanya beberapa detik kemudian…
"Isyarat itu berasal dari sebuah danau di tengah belantara. Sekitar 400 kilometer di selatan Kota Saigon, kota terdekat dengan belantara itu sekitar 100 kilometer, yaitu Kota Can Tho, Sir!" lapor perwira bahagian peta.
Nakhoda kapal tersebut memperhatikan peta di kaca bening tembus pandang. Semua posisi berdasarkan keterangan yang dilaporkan si perwira segera tampil di kaca besar dalam ruang komando tersebut.
"Cari gugus pasukan kita dengan fasilitas helikopter terdekat dengan tempat itu!" ujar Nakhoda.
Peta di kaca itu diperbesar dan bahagian Laut Cina Selatan di penggal, lalu ditarik ke arah barat. Segera tampil di sana sebahagian peta Kamboja yang berbatasan dengan Vietnam bahagian selatan. Semua staf peta dan koordinat ini menghitung dan menganalisa.
"Sir, menurut data, satu regu pasukan SEAL dengan kapal selam dan dua buah heli ada di salah satu tempat tersembunyi di Teluk Kompong Sam, di bahagian paling selatan Kamboja. Jarak dari posisi pasukan SEAL itu ke tempat isyarat yang dipancarkan hanya sekitar 100 kilometer. Hanya mereka yang terdekat dengan posisi isyarat yang dikirim itu, Sir…."
"Hubungkan saya dengan pasukan itu!" ujar Nakhoda kepada perwira telekomunikasi.
"Yes, Sir!"