Siapapun tahu kalau mereka dibunuh di hutan-hutan atau ladang-ladang yang jauh terpencil, lalu dikubur secara masal.
Kendati perang sudah berakhir, namun tentara Vietnam yang seluruhnya adalah tentara utara, masih tetap melakukan pembersihan di kalangan rakyat. Semua mereka dilucuti dan disebar keratusan penjara dengan pengawalan ketat.
Pada minggu-minggu pertama kejatuhan selatan, data intelijen Amerika mencatat, belasan ribu dari sekitar sejuta tentara selatan tak sampai ke penjara. Mereka dibunuh sepanjang jalan, kemudian sebagian lagi mati setelah disiksa di kamp-kamp tawanan. Dimana pun didunia ini, tentara yang menang akan membalas dendam kepada tentara yang kalah, kendati tak satupun hukum didunia yang membenarkannya.
Namun, balas dendam yang dilakukan tentara utara terhadap tentara selatan luar biasa kejamnya. Sulitmembedakannya dengan yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja.
Pikiran si Bungsu terus menerawang sembari matanya menatap ke beberapa burung yang hinggap di dahan-dahan kayu di atasnya. Terawang pikirannya terhenti ketika melihat seekor burung terbang dari dahan yang agak rendah ke pohon yang lain yang lebih jauh.
Bagi orang lain mungkin tak ada yang aneh atas terbangnya burung itu. Namun bagi si Bungsu yang sudah hafal pada tingkah laku belantara dan segenap yang menghuninya, langsung arif bahwa ada sesuatu yang tak wajar pada cara burung itu terbang dari tempatnya. Dia tahu ,ada sesuatu yang membuat burung itu terbang lebih cepat dari semestinya. Sesuatu adalah yang tak lazim di belantara.
Dia berbaring diam. Inderanya yang amat tajam mengetahui ada yang bergerak di bahagian kanannya. Jaraknya paling jauh hanya sekitar sepuluh depa. Gerakan itulah yang menyebabkan burung tadi terkejut dan terbang lebih cepat dari semestinya. Si Bungsu tahu, salah seorang dari tentara yang memasang jebakan untuknya yang sampai kini belum dia ketahui berapa jumlahnya, kini semakin mendekati tempatnya.
Dia memejamkan mata. Meletakkan lengan kanan menutup matanya tersebut. Lewat pendengaran yang amat tajam, si Bungsu tahu orang yang ingin menyergapnya itu kini masih berada dalam jarak sekitar sepuluh depa dari dia. Dia mendengar suara digeser ditanah. Lalu suara bedil diangkat. Lalu suara tangan begeser di besi menuju pelatuk bedil. Bahkan dia bisa mendengar saat orang itu menarik dan menghembuskan nafasnya.
Dari cara orang itu menggerakkan kaki dan menarik nafas, si Bungsu tahu, orang tersebut sedikit gugup.
Tiba-tiba saja, entah mengapa. Dia kehilangan nafsu untuk membunuh. Dia menjadi bimbang, untuk apa dia membunuh tentara Vietnam selama beberapa hari ini? Perang ini bukan perang negerinya dengan Vietnam. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perang ini.
Lalu dia mendengar suara telunjuk menarik pelatuk bedil. Dia bergulingan ke kiri, tangan kanannya bergerak. Sebuah letusan menggema. Pelurunya menghujam persis ke tempat dimana tadi tubuhnya berada. Kalau dia masih berbaring menelentang di sana, peluru itu akan menghujam persis di dadanya.
Namun dia sudah berguling ke kanan. Peluru menghujam tanah. Pada saat bergulingan itu tangan kanannya yang tadi disilangkan menutup mata, bergerak. Samurai kecilnya meluncur.
Beruntung tentara Vietnam tersebut, karena si Bungsu memutuskan tidak lagi membunuh seorangpun tentara negeri ini. Samurai yang meluncur itu hulunya lebih dahulu. Sebelum si tentara sempat menarik pelatuk bedil untuk kali kedua, hulu samurai kecil tersebut menghantam bahagian tengh dadanya, persis di hulu. Karena yang melempar adalah seorang yang amat mahir. Hentakkan hulu samurai kecil tersebut membuat tentara berhenti bernafas sesaat, tubuhnya langsung limbung, dan ambruk ke tanah. Pingsan!
Si Bungsu tak bangkit sedikitpun. Dari posisinya yang menelungkup, dia menoleh ke arah datangnya suara tembakan. Beberapa pohon langsung menghalangi pandangannya kearah orang yang menembaknya. Namun pada bahagian kanan dari pohon yang menghalangi, dia lihat sebuah bedil tergeletak. Pada bahagian kanan dari pohon yang menghalangi, dia lihat sebuah kaki tertekuk. Popor bedil itu menghadap ke kaki yang tertekuk tak bergerak itu. Dia tahu kalau lemparan dia telah membuat orang itu jatuh pingsan.
Setelah itu sepi!.
Sersan Lok Ma menanti dengan diam di tempat perlindungannya, di balik sebuah pohon besar. Beberapa saat sebelumnya kopral yang berada sekitar lima belas depa dari tempatnya bergerak, kemudian memberi isyarat, bahwa dia telah melihat tempat persembunyian orang yang mereka buru. Lok Ma memberi isyarat agar si kopral jangan terlalu mendekati tempat orang tersebut.
Namun ada dua hal yang mendorong si kopral untuk merangsek ke dekat tempat persembunyian si Bungsu. Pertama, rasa ingin menjadi hero. Kedua keinginan agar tembakannya tidak meleset. Dari tempat dia berada saat memberi isyarat kepada Sersan Lok Ma, dia hanya melihat bahagian kaki orang yang mereka buru.
Dengan kedua alasan yang saling atas mengatasi itu, si kopral menggeser tegak inci demi inci. Kemudian berlarian dengan cepat ke pohon kembar sekitar tiga depa di depannya, dengan jarak sepuluh depa dari tempat si Bungsu. Saat itulah seekor burung serindit yang berada di salah satu dahan di pohon kembar itu terkejut. Lalu terbang menjauh. Dan terbangnya burung itulah yang menjadi isyarat bagi si Bungsu, bahwa di bawah pohon dari mana burung itu terbang ada sesuatu yang tak biasa. Di bawah pohon itu pasti ada sesuatu yang menyebabkan burung itu terkejut dan terbang menjauh. Dugaan si Bungsu ternyata benar.
Kemudian, dari tempatnya tegak si kopral menembak. Hanya sebuah tembakan tunggal. Dan setelah itu Sersan Lok Ma maupun kopral yang seorang lagi, tak mendengar apapun dari mana arah tempat si kopral melepaskan tembakan. Tak mendengar apapun dan tak melihat apapun!
Mereka sama-sama menanti dalam diam. Ada beberapa saat dipergunakan si Bungsu untuk menunggu reaksi dari kelompok yang menyerangnya. Karena tak ada reaksi apapun, dia lalu bergerak.
Dia merayap hampir tanpa suara kearah tentara yang pingsan dihantam hulu samurai kecil yang dia lemparkan tadi. Pertama yang dia lakukan setelah sampai ke dekat tubuh prajurit yang terkapar pingsan itu adalah mengambil samurai kecilnya, yang tergeletak dekat topi wajah si prajurit. Dia sisipkan kembali ke sabuk karet tipis di balik lengan bajunya. Setelah itu, masih dalam posisi tiarap dia mengelupas kulit kayu besar yang tadi dijadikan si prajurit sebagai tempat berlindung.
Serat kulit kayu itu kenyal dan dan alot sekali. Kedua tangan tentara yang masih tak sadar diri itu dia ikat ke belakang dengan kulit kayu yang tak mungkin diungkai.
Usai mengikat si tentara, dengan membawa bedil prajurit pingsan yang magazinnya masih penuh dengan peluru, dia bergerak menjauhi tempat tersebut. Dia sengaja mengambil jalan melambung, menuju ke arah danau menyusul Kolonel MacMahon dan teman-temannya yang lain.
Seperti sudah dia duga, langkahnya pasti ada yang menyusul. Dan yang menyusul adalah Sersan Lok Ma dan seorang kopral lainnya. Ke dua orang itu tak lagi melihat temannya yang tadi melepaskan tembakan ke arah orang yang dia buru.
Mereka sudah merasa yakin, bahwa orang yang mereka buru ini telah menghabisi teman mereka. Sebab teman mereka itu tak bersuara atau tak memberi isyarat apapun usai menembak tadi.
Lok Ma baru menyadari orang yang mereka buru sudah pergi, setelah melihat beberapa burung di pohon-pohon yang agak jauh pada berterbangan dari dahan yang ada di bawah, pindah ke dahan yang di atas. Dia lalu memberi isyarat pada kopral yang berada sekitar sepuluh depa di kirinya. Mereka berdua kemudian bergerak menyusul si Bungsu.
Benar saja, sekitar beberapa menit melacak dalam belantara itu, Lok Ma menemukan jejak orang yang mereka uber. Jejak itu hanya terlihat amat samar di tumpukan dedaunan kering yang menutupi tanah.
Ada beberapa helai daun pada beberapa tempat dalam jarak yang hampir sama, yang bergeser letaknya. Sebagai pencari jejak yang sangat andal, Lok Ma tahu beberapa helai dedaunan kering itu bergeser karena tekanan kaki manusia.
Namun, betapapun Lok Ma merasa kagum sekaligus terkejut, melihat cara orang yang mereka buru ini menyelusup di dalam belantara. Jika bukan pencari jejak sekaliber dia, orang pasti takkan mampu menemukan jejak lelaki yang mereka buru ini. Sekarang saja jejak orang buruan mereka itu hanya terlihat di beberapa tempat. Setelah itu lenyap sama sekali, kendati tempat yang dilalui adalah tanah lembab. Tak ada bekas sama sekali.
Lok Ma bisa terus memburu arah matahari terbit, hanya dengan keyakinan bahwa orang yang mereka buru ini menuju arah yang sama dengan para pelarian tentara Amerika itu. Yaitu sama-sama menuju ke danau luas dan angker di balik bukit-bukit batu sana.
Jarak antara Lok Ma dengan kopral yang seorang lagi ada sekitar sepuluh depa. Mereka bergerak dalam posisi sejajar. Setiap saat setelah melewati batu-batu atau pohon besar, mereka bisa saling mengawasi.
Saat itu Lok Ma harus melewati sebuah pohon tumbang, sementara kopral di sebelah kirinya harus melewati sebuah batu yang tingginya tak lebih dari setinggi tegak lelaki dewasa. Lok Ma dengan cepat membungkuk di bawah kayu besar yang tumbang itu, kemudian melanjutkan pengejaran dengan langkah lebar. Dia menoleh ke arah kopral di bahagian kirinya, yang tadi akan melewati sebuah batu besar setinggi tegak. Si kopral belum kelihatan. Batu besar itu seperti penjaga hutan yang tegak patuh zaman demi zaman.
Lok Ma masih meneruskan langkahnya empat lima langkah lagi. Kemudian menoleh ke arah batu besar yang di lewati si kopral itu. Tetap tak kelihatan. Kopral itu tentu tidak di balik batu itu lagi, pasti sudah bergerak ke depan sekitar sebelas atau lima belas langkah.
Sambil bergerak terus maju, Lok Ma memperhatikan belantara di bahagian kanan, yang sejajar dengan posisinya sekarang. Tak ada satupun benda yang bergerak. Dia memberi isyarat dengan siulan. Tak ada sahutan. Dia bersiul sekali lagi, agak panjang dari yang pertama.
Tetap tak ada sahutan, Lok Ma tiba-tiba berhenti. Tiba-tiba dia sadar kopral itu pasti sudah celaka. Dia berlindung di balik sebuah batu besar, menatap ke arah batu besar di mana kopral itu dia lihat kali terakhir.
Lok Ma tak melihat gerakan apapun dari sekitar batu besar itu. Lalu kenapa kopral itu lenyap seperti ditelan bumi saat melintas di balik batu besar itu? Apakah di balik batu itu ada lobang yang amat dalam, sehingga si kopral terperosok ke dalamnya? Atau di balik batu itu orang yang mereka buru menunggu? Lok Ma benar-benar merasa curiga.
Dia ditugaskan untuk memasang jebakan pada orang yang mengacau balaukan pasukan mereka. Tapi kini merekalah justru yang terjebak ke dalam jebakan. Lok Ma memutuskan untuk langsung saja ke arah batu besar tersebut. Apapun yang terjadi harus dia hadapi dan diselesaikan dengan segera.
Dia lalu memutar badan untuk melangkah ke arah lenyapnya si kopral. Namun saat dia memutar badan itu tiba-tiba jantungnya seperti akan copot.
Ada orang berdiri hanya dalam jarak sehasta dari tempatnya. Orang itu tak memakai seragam militer manapun. Juga tak ada tanda-tanda pangkat atau tanda lain yang mengisyaratkan dia adalah seorang tentara.
Juga bukan orang Amerika seperti yang dia duga. Kalau pun ada benda yang biasanya menjadi milik tentara pada orang itu, maka benda tersebut adalah sebuah bedil otomatis.
Lok Ma segera mengenali senapan itu sebagai senapan kopral yang tadi menembak di balik pohon besar, kemudian lenyap begitu saja.
Bedil itu adalah bedil standar milik tentara Vietnam, yang sama bentuk dan kalibernya dengan senapan yang kini dia pegang.
Orang yang berada sehasta dari tempatnya itu memegang bedil tersebut dengan tangan kirinya. Tak ada ancaman sama sekali. Ujung bedil di tangan orang tersebut mengarah ke tanah. Kalau orang ini akan menembak, harus mengangkat bedilnya setinggi pinggang, kemudian bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak pula ke arah popor. Lalu jari telunjuknya menyentuh pelatuk. Semua gerakan tersebut, sampai peluru pertama bisa ditembakkan, jika orang yang melakukannya demikian mahir, dibutuhkan waktu paling tidak dua atau tiga detik.
Lok Ma yang memegang bedil dengan kedua tangannya, dan telunjuk tetap siaga di pelatuk, yakin dia bisa menghujamkan peluru empat atau lima buah ke tubuh lelaki di depannya ini, saat orang itu baru akan menembak.
Lok Ma sudah berniat melakukan hal tersebut, ketika tiba-tiba dia teringat bahwa teman-temannya yang terbunuh tidak hanya oleh peluru. Tetapi juga oleh samurai kecil atau baja tipis yang amat tajam. Ingat akan hal itu, Lok Ma mengurungkan niatnya menembak orang yang di depannya ini. Dia tahu, orang ini memiliki ketangguhan yang luar biasa. Jika orang ini mau, Lok Ma yakin dia sudah mati sejak tadi.