Dia mencoba mencari kemungkinan di antara orang-orang Jepang, Cina dan Vietnam, atau orang Kamboja. Sebab, sepanjang yang dia ketahui, hanya orang-orang dari puak itulah yang memiliki kepandaian menerobos belantara dan sekaligus mahir mempergunakan senjata rahasia. Di Jepang mereka mengenal kelompok Jakuza. Kelompok penjahat yang amat ditakuti. Juga mereka mengenal kelompok Ninja. Kedua kelompok inilah yang biasanya amat mahir mempergunakan senjata rahasia.
Ninja! Apakah benar orang yang mereka buru ini adalah anggota Ninja? Benar atau tidak, yang jelas kini mereka sudah saling memburu, tanpa ada kepastian siapa memburu siapa.
Si komandan menatap keliling. Kemudian bersiul kecil memberi isyarat kepada anak buahnya agar siap-siap untuk melakukan gerakan mendadak. Tugas mereka semula, yaitu memburu tawanan yang melarikan diri, ternyata tersendat di sini. Mereka harus melayani satu atau mungkin paling banyak tiga orang. Kini orang itu tengah mengendap entah di pohon yang mana, entah di semak mana. Tapi yang pasti, orang itu masih berada di sekitar mereka. Orang itu pasti belum pergi dari sekitar sini. Nalurinya sebagai prajurit yang sudah kenyang berperang dalam rimba membisikkan hal itu.
Kini harus dia akui, orang yang mereka buru itu posisinya jauh lebih beruntung dari mereka. Orang itu tahu di mana posisi mereka, sedangkan dia dan pasukannya tak tahu di mana orang itu menyurukkan tubuhnya.
Si komandan berfikir, sudah sampai di mana tawanan, yang diantaranya ada para wanita itu, kini berada. Dia yakin, para pelarian itu pasti belum jauh benar. Untuk keluar dari belantara ini diperlukan pesawat udara. Dan pesawat udara yang bisa menjemput pelarian hanyalah helikopter. Sebab, di hutan perawan yang luas ini tak ada lapangan dimana pesawat terbang bisa mendarat.
Helikopter yang menjemput tawanan tak perlu mendarat. Pilotnya cukup menahan pesawatnya di atas pucuk belantara. Kemudian menurunkan tangga dari tali. Orang bisa naik melalui tangga itu. Itulah satu-satunya cara untuk melarikan diri. Tetapi, dia tak khawatir para pelarian itu akan dijemput helikopter. Helikopter mana pula yang berani melintasi wilayah Vietnam ini, yang setiap saat udaranya dijaga oleh pesawat tempur?
Dengan fikiran demikian, dia lalu memutuskan untuk segera menyergap orang yang telah membunuh beberapa anggota pasukannya itu. Cuma, putusan untuk menyergap orang yang sudah menyebar maut di tengah pasukannya itu dihadang oleh sebuah pertanyaan. Berapa sebenarnya jumlah orang yang kini mereka buru, atau yang tengah "memburu" mereka? Namun pertanyaan itupun tak memerlukan jawaban. Yang pasti orang itu merupakan ancaman yang serius. Kini, dia harus membuat jebakan, agar orang itu bisa dihabisi. Untuk menghabisi orang tersebut, dia mengandalkan pencari jejak yang berada di dekatnya.
"Sersan, engkau bersamaku dan sebahagian pasukan akan pura-pura melanjutkan pemburuan terhadap tawanan yang lari. Sementara Lok Ma dan dua tentara yang lain tetap di sini, menjaga bahagian belakang kami, sekaligus memasang jebakan terhadap orang yang kini sedang mengintai kita…" bisik si komandan kepada dua pencari jejak di sampingnya.
Sersan bernama Lok Ma itu segera merayap ke bahagian kanan, ke arah seorang kopral yang berlindung di balik sebuah pohon besar. Dia membisikkan rencana yang dipaparkan si komandan. Kemudian dia memberi isyarat pada seorang prajurit yang berada sekitar sepuluh depa dari tempatnya. Si Prajurit mengangguk, memahami isyarat yang disampaikan padanya. Si sersan lalu memberi isyarat kepada komandannya. Setelah itu dia merayap ke suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat pengintaian.
Si kapten lalu memberi isyarat kepada seluruh anak buahnya. Mereka kemudian bergerak meninggalkan lokasi tersebut, kecuali Sersan Lok Ma dan dua tentara lainnya, yang ditugaskan tinggal untuk menjebak orang yang sudah membunuh beberapa dari mereka, yang sampai saat ini tak mereka ketahui bentuk dan kesatuannya itu.
Belasan tentara Vietnam itu bergerak cepat dari balik pohon yang satu ke balik pohon yang lain. Mereka menuju danau besar yang memang menjadi tujuan tentara Amerika tersebut. Baik yang dahuluan bersama Duc Thio, termasuk para wanita, maupun yang kemudian bersama MacMahon dan terakhir diikuti Duval, Thi Binh dan Roxy.
Sersan Lok Ma menatap dengan perasaan heran kepada prajurit yang tadi memperlihatkan kepada si komandan samurai kecil yang dia cabut dari leher teman mereka yang mati itu. Tentara itu masih tetap tiarap, tak bergerak sedikit pun. Yang membuat dia heran, wajah si tentara membenam ke dedaunan kering di bawah tubuhnya.
Lok Ma segera menyimpulkan bahwa tentara itu sudah mati. Dia segera teringat, sesaat setelah memperlihatkan samurai kecil itu kepada si komandan, prajurit itu segera tiarap. Namun gerakannya tidak seperti biasa. Tubuhnya jatuh ke tanah seperti tanpa tenaga sedikit pun. Lok Ma merasa tak perlu datang memeriksa. Dia yakin tentara itu juga mati dihantam senjata rahasia.
Senjata rahasia itu bisa saja berbentuk samurai kecil seperti yang dia perlihatkan kepada si komandan, bisa saja dalam bentuk yang lain. Lok Ma juga tahu, orang yang ahli mempergunakan senjata tajam bisa saja memiliki lebih dari satu bentuk senjata rahasia.
Dugaan Lok Ma bahwa tentara yang 'tiarap' itu sudah mati memang benar. Si Bungsu yang berada sekitar sepuluh depa dari tempat si tentara yang sedang memperlihatkan samurai kecilnya itu, segera memanfaatkan peluang tersebut. Dia menunggu si tentara selesai memperlihatkan samurai itu. Saat tentara itu menggerakkan badan akan menurunkan bahagian atas tubuhnya untuk tiarap, tangan kanannya bergerak.
Sebuah besi baja pipih dengan beberapa bahagiannya yang amat runcing, meluncur dengan kecepatan penuh dan menancap di urat besar pada bahagian kanan leher tentara tersebut. Urat besar itu, berikut beberapa urat saraf ke kepala, langsung putus ketika lempengan besi pipih sebesar jari itu menancap hampir separohnya, tiga jari di bawah telinga tentara tersebut. Wajahnya langsung membenam ke tumpukan daun kering di tanah.
Dia memang tak sempat menggelepar, karena saraf-saraf yang menghubungkan pusat gerak di otak ke berbagai bahagian tubuh sudah terputus. Itu pula sebabnya si komandan dan teman-temannya tak tahu, bahwa nyawanya sudah melayang, beberapa detik sebelum tubuhnya yang akan tiarap itu sempurna mencapai tanah.
Si Bungsu ternyata masih berada di tempat darimana dia tadi melemparkan besi pipih kecil dan tajam, yang merenggut nyawa tentara Vietnam itu.
Dari tempatnya berada dia bisa mengawasi sebahagian lokasi di sekitarnya. Dia memang tak dapat melihat di mana komandan tentara Vietnam itu berada. Namun dia dapat melihat ketika hampir semua pasukan itu bergerak meninggalkan tempat masing-masing. Semua menuju ke arah yang sama. Dan si Bungsu tahu, mereka sedang menuju ke arah danau besar di balik bukit-bukit sana. Memburu para pelarian tentara Amerika itu. Si Bungsu juga tahu, tidak semua tentara Vietnam itu meninggalkan lokasi ini. Beberapa di antara mereka tetap tinggal.
Mereka yang tinggal bertugas memasang jebakan untuknya. Hanya dia tak tahu dengan pasti, berapa orang tentara yang ditinggal untuk menjebaknya itu. Lebih celaka lagi, dia juga tidak tahu di mana saja orang-orang yang ditinggalkan itu menunggunya. Si Bungsu tahu, di antara tentara Vietnam itu ada pencari jejak yang mahir. Dia sudah mendapat cerita dari beberapa pensiunan tentara Amerika, ketika dia masih di Dallas maupun saat bepergian bersama Alfonso Rogers dan Yoshua ke Los Angeles dan New York, tentang beberapa warga suku pegunungan di bahagian utara Vietnam, yang menjadi pencari jejak yang tangguh di dalam hutan belantara.
Dia tak boleh gegabah. Untuk sementara, menjelang dia mengetahui berapa orang yang tinggal dan di mana posisi bertahan, dia harus memaksa mereka yang duluan membuat gerakan. Dengan fikiran demikian, perlahan dia merobah posisi. Jika tadi dia berjongkok, kini perlahan dia duduk di tanah. Lalu menengadah dan menarik nafas panjang. Menatap ke daun pohon-pohon raksasa yang membatasi pandangannya ke langit di atas sana. Beberapa ekor burung serindit berwarna indah, kuning tentang dada dan hijau di bahagian tubuh yang lain, kelihatan terbang dan hinggap dari dahan ke dahan.
Menatap burung-burung itu hinggap dari dahan ke dahan, si Bungsu tiba-tiba terperangah. Dia tertunduk tatkala perasaan galau menjalar perlahan ke hulu jantungnya. Jika burung saja memiliki dahan untuk hinggap, bagaimana dengan dirinya?
Diibaratkan dirinya adalah seekor burung, ke dahan mana dia akan hinggap? Bertahun-tahun sudah meninggalkan kampung halamannya, Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung Sago di Luhak 50 sana. Di sana darahnya tertumpah ketika dilahirkan ke dunia. Di sana ayah bunda dan kakaknya berkubur, mati dibunuh dan dianiaya balatentara Jepang di bawah komando Saburo Matsuyama.
Jika burung saja memiliki dahan untuk hinggap, kampung dan negeri mana yang bisa dia jadikan sebagai 'dahan' untuk hinggap? Situjuh Ladang Laweh, adakah anak negeri itu masih ingat padanya, dagang yang larat di rantau ini? Di kampung nya, pengakuan terhadap seseorang diukur dari harta dan pusaka yang dimiliki.
Di Minangkabau ada bidal: Hilang rono dek cahayo, hilang bangso dek harato. Dia faham benar makna bidal itu, yang berlaku secara umum di tanah Minangkabau. Sejak dahulu, sampai kini. Seseorang tak lagi di pandang karena ilmu dan budinya, tapi di hitung ada jika dia memiliki harta, lagi pula, kini di minangkabau tempat orang berunding dan meminta kata putus tidak lagi ninik mamak. Bahkan gelar datuk, sutan, bagindo, sidi dan gelar lainnya, tak lagi memerlukan keabsahan ranji dan garis keturunan. Uang bisa menciptakan ranji dan garis keturunan, sesuai dengan keinginan pembeli. Dengan uang bisa di suruh membuat ranji baru. Maka dengan ranji tersebut dia bisa mendapat gelar datuk, rajo, sidi, sutan atau bagindo.
Hutan, tanah ulayat, dan tanah kaum bukan lagi hanya di bawah kendali ninik mamak kepala kaum. Dengan uang kendali atas hutan dapat berpindah pada cina misalnya, pindahnya itu bisa karena ninik mamak telah mendapat uang, bisa pula karena yang mendapatkan uang orang-orang di pemerintahan, yang putusannya harus di patuhi oleh ninik mamak di desa-desa.
Ranji dan marwah adat begitu kusut masai. Tak tahu apakah penyebabnya terlalu jauh memasuki wilayah kekuasaan adat atau ninik mamak begitu mudah tergiur uang yang ditawarkan, atau gabungan keduanya.
Yang jelas, yang bernasib malang adalah anak kemanakan. Sebagian besar di antara mereka tak tahu siapa sebenarnya yang menjadi nahkoda di biduk adat mereka, dan ke pulau manan biduknya itu dilayarkan.
Karena takut atau kerana uang mereka terpaksa patuh pada penghulu adat mereka, kendati penghulu adat itu menjual ulayat mereka. Padahal terhadap ulayat ada hukum adat yang tertera dalam bidal:"Gadai tak makan pagang-Jua tak makan bali". Maknanya adalah, ulayat tak boleh di perjual belikan. Kecuali untuk yang tertera juga di bidal "mayik tabujua di tangah rumah, gadih gadang alun balaki" Meski tak semua adat di kampungnya kusut masai oleh perangai ninik mamak, namun sebagian besar itulah yang terjadi.
Pikiran si Bungsu akhirnya menerawang kepada tentara Vietnam yang kini tengah memasang jebakan untuknya. Dia tahu, tentara itu juga menanti dengan diam. Sama dengan dirinya, mereka juga nyaris tak bergerak. Si Bungsu tahu, lawan yang kini mengintai dirinya adalah orang-orang yang masih mampu bertahan dan lolos dari maut yang ribuan kali mengintai lewat ribuan kali pertempuran, besar maupun kecil, melawan tentara Amerika.
Hanya saja, mereka yang memenangkan peperangan dan menguasai Vietnam sekarang adalah tentara yang amat kejam dan sadis. Dia sebenarnya akan menaruh hormat, kalau saja Vietkong adalah tentara yang melindungi rakyat, tapi justru perbuatan tentara Vietkong tidak bisa diterima akal sehat.
Mereka mengumpulkan wanita-wanita cantik dari kota maupun desa-desa, kemudian di giring ke kamp-kamp untuk dijadikan pemuas nafsu tentara-tentaranya. Sebagaimana di negeri komunis lainnya, di Vietnam selatan pun diberlakukan undang-undang yang sama dengan utara. Ribuan orang yang diduga terlibat membantu Amerika ditangkap dan dibunuh atau lenyap tanpa kabar berita.