Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 230 - Tapi, siapa dia?

Chapter 230 - Tapi, siapa dia?

Kemudian pasukan yang lain membentuk sayap dikiri kanan dalam jarak yang satu dengan yang lain antara dua sampai lima depa. Mereka bergerak dari pohon ke pohon, dari palunan belukar yang satu ke palunan berikut di depannya.

Tentara yang berada di posisi paling ujung di bahagian kanan menyelusup dari balik pohon besar ke sebuah palunan semak dengan senjata siap ditembakkan. Begitu dia memasuki palunan semak itu tiba-tiba saja sebuah tangan membekap mulutnya dari samping.

Dia terkejut separoh mati, namun itulah kesempatan terakhir baginya untuk merasakan bagaimana terkejut semasa hidup. Sebab setelah itu, tangan orang yang membekap mulutnya, yang tak lain dari si Bungsu, menyentakkan tangannya yang membekap mulut si tentara itu dengan teknik yang amat khusus, yang hanya mampu dilakukan oleh ahli beladiri yang sangat terlatih. Begitu kepalanya diputar dengan teknik khusus itu, terdengar suara yang berderak dari dalam leher tentara Vietnam tersebut.

Matanya mendelik, dan kini benar-benar mati penuh. Tak ada kesempatan si tentara untuk berteriak memberi tahu teman-temannya. Padahal jarak temannya hanya sekitar lima depa didepannya. Apalagi untuk mempergunakan bedil. Padahal, tangan yang membekapnya tidaklah kukuh besar. Hanya gerakannya demikian terlatih dan demikian cepat. Tubuhnya sudah tak bernyawa tatkala dibaringkan si Bungsu perlahan di tanah.

Pada saat itu, tentara yang lain bergerak maju. Si Bungsu menunggu beberapa saat, kemudian dengan gerakan cepat dia bergerak pula dari palunan belukar itu ke balik pohon besar sekitar enam depa di depannya.

Orang ke dua di ujung sayap kanan itu menoleh ke kanan, ke kawannya yang berada di bahagian paling ujung sayap tersebut. Dia tak melihat ada gerakan di bahagian ujung itu. Sambil melangkah maju ke arah sebuah pohon besar di depannya, dia bersiul kecil ke arah temannya itu. Tak ada jawaban dan tak ada yang bergerak maju.

Dia masih belum curiga saat tubuhnya mencapai pohon besar tersebut. Dia masih menolehkan kepala ke bahagian kanan, berharap melihat teman yang dia siuli tadi.

Ketika tak ada gerakan dari arah kanannya, dia berniat memberi tahu temannya yang lain, yang berada di posisi kirinya. Namun matanya melotot, tatkala menolehkan kepala ke kanan.

Seorang lelaki tegak di bawah pohon yang sama dengannya.

Jantungnya hampir copot saking kagetnya. Dia sama sekali tak mendengar suara apa pun saat lelaki itu mendekati tempatnya. Ataukah lelaki ini sudah ada di bawah pohon itu saat dia datang? Kalau ya, kenapa dia tak melihatnya? Tapi apa pedulinya dengan bagaimana cara lelaki itu berada di bawah pohon tersebut. Jarak antara dia dengan lelaki itu hanya sejengkal. Mereka berada rapat di bawah pohon besar yang sama. Dia segera teringat pada ucapan komandannya tadi. "Siapapun orangnya yang menembakkan howitzer itu, yang kini tak kita temukan jejaknya, dia adalah tentara yang luar biasa. Dia pasti salah seorang yang sangat ahli dalam peperangan, ahli mencari dan menghilangkan jejak. Kita tidak tahu di mana dia kini, apakah dia di depan atau di belakang kita. Dia bisa saja menyerang dengan sangat tiba-tiba. Siapa pun dia, dia adalah lawan yang sangat tangguh. Kita akan bergerak cepat memburu ketiga orang yang jejaknya bisa dilacak ini. Tapi waspadalah…."

Tentara itu yakin inilah orang yang dimaksud si komandan. Ternyata orang itu bukan orang Amerika. Paling tidak bukan bule dan bukan pula Negro, sebagaimana lazimnya tentara Amerika yang selama ini mereka hadapi. Mungkin orang Vietnam dari salah satu suku di selatan. Orang ini juga tidak berseragam tentara. Atau barangkali orang ini orang Kamboja, pikir tentara Vietnam itu. Tapi peduli setan dan darimana asal usulnya, yang jelas inilah orang yang tadi dikatakan 'amat berbahaya' tersebut.

Si tentara yang belum habis rasa kagetnya itu segera membuka mulut, dia ingin berteriak memberitahu kawan-kawannya. Namun, sebelum mulutnya terbuka, tangan si Bungsu bergerak. Sebuah pukulan dari kepalan yang digenggam erat, yang ruas jari tengahnya menonjol dari ruas jari-jari yang lain, menghantam leher tentara itu persis di bahagian jakunnya. Terdengar suara berderak lemah, seperti suara kerupuk terinjak.

Tulang rawan jakun-jakun lelaki itu remuk kena hantam ruas jari tengah si Bungsu. Matanya mendelik. Dari mulutnya perlahan meleleh darah, kemudian dari hidungnya. Kemudian dia mati. Namun kendati si tentara tak sempat berteriak, temannya yang berada di balik pohon sekitar enam depa dari tempat itu, melihat senjata si tentara yang kena pukul tersebut jatuh. Tentara itu semula merasa heran. Dia tak jadi bergerak ke depan, melainkan menatap dengan seksama, dengan bedil siap tembak.

Hanya beberapa detik kemudian, tubuh temannya itu melorot dan terkapar di bawah pohon besar tersebut. Si tentara sadar, ada sesuatu yang amat tak beres. Dia mengangkat bedil, kemudian melangkah perlahan mendekati pohon tersebut. Saat itu si Bungsu tiba-tiba muncul dari balik pohon besar itu. Tentara itu ternganga. Si Bungsu tak memberi kesempatan, tangannya bergerak. Sebuah samurai kecil meluncur dengan kecepatan tak terikutkan oleh mata. Melesak masuk ke mulut tentara yang sedang ternganga itu. Menancap di lehernya bagian dalam, tembus ke tengkuk!

Tentara itu harusnya bisa memekik, namun karena di dalam mulutnya ada samurai kecil yang menembus lehernya, suara yang keluar hanya seperti suara kerbau disembelih. Saperti suara air mendidih. Lalu tumbang. Namun saat tumbang tangannya masih di pelatuk bedil, tak sengaja pelatuk bedil itu tertarik. Bedil meletus, pelurunya menembus tanah. Dia rubuh. Lalu mati!

Suara tembakan tunggal dari bedil lelaki itu merobek kesunyian belantara. Si komandan yang berada sekitar lima puluh depa di depan, begitu juga belasan tentara lain, pada terkejut dan secara reflek mencari pohon terdekat untuk berlindung kemudian menjatuhkan diri di tanah.

"Darimana asal tembakan itu?" ujar si komandan pada kedua pancari jejak di sampingnya.

"Dari ujung sayap kanan…" jawab salah seorang pencari jejak yang ditanya.

Si komandan memberi isyarat agar lima anggota pasukannya yang terdekat segera memeriksa ke tempat letusan itu. Kelima mereka segera bergerak cepat dengan merayap ke arah yang ditunjukkan si pencari jejak. Mereka merayap dengan posisi menyebar. Hanya dalam beberapa saat, mereka segera melihat tubuh temannya yang bedilnya meledak itu tertelungkup di tanah. Kedua tangannya terhimpit di bawah tubuhnya, namun masih dalam posisi memegang dan menghimpit bedil yang tadi meletus.

Kelima mereka memeriksa dengan tatapan penuh selidik situasi hutan di sekitar mayat itu terkapar. Setelah yakin tak ada bahaya, komandan regu memerintahkan dua anggotanya untuk memeriksa mayat tersebut. Yang tiga orang tiarap dengan bedil siap tembak dan sikap penuh waspada, berjaga-jaga dari tempat mereka tiarap. Kedua tentara yang merayap itu sampai ke tubuh temannya. Yang seorang segera bangkit berjongkok, kemudian membalikkan tubuh temannya yang mati itu.

Namun saat itu pula ada sosok muncul dari balik kayu besar sekitar empat depa dari mereka. Sosok itu tak lain dari si Bungsu. Dia muncul mendadak sambil menembak dua tentara di dekat mayat tersebut. Kedua orang itu terkejut namun tak sempat berbuat apapun. Yang jongkok dan akan membalikkan tubuh temannya itu kena hajar kepalanya oleh peluru dari bedil rampasan si Bungsu. Sementara yang tiarap sekitar dua depa dari mayat itu, kena hajar persis di jidatnya. Sebab, begitu dia melihat ada sosok yang muncul dari balik pohon, dia mengangkat kepala dan siap menarik pelatuk bedilnya. Bedilnya memang meletus, namun pelurunya melenceng. Sebab jidatnya ditembus peluru!

Sesudah itu sepi.

Hutan itu dicekam kesepian yang menakutkan. Namun hanya sesaat. Setelah itu beberapa tentara menghambur serentak ke arah pohon besar dimana si Bungsu berlindung. Mereka maju sambil berteriak seperti orang histeris, sembari bedilnya memuntahkan peluru.

Dalam jarak sekitar lima sampai sepuluh depa, semua mereka berhenti mendadak. Ada yang berlindung di balik pohon, ada yang tiarap di tanah, ada yang jongkok dengan bedil diangkat setinggi dagu, siap ditembakkan. Pohon di mana tadi si Bungsu muncul terkelupas diterkam peluru di berbagai tempat setinggi lelaki dewasa.

Si komandan juga sudah berada di antara anak buahnya. Dia memberi isyarat. Lima orang segera menyiram sisi kiri dan kanan pohon besar itu dengan tembakan gencar. Semut pun tak bisa selamat jika dia berada di sisi kiri atau kanan pohon itu sampai jarak satu atau dua meter. Demikian rapat tembakan tersebut.

Bersamaan dengan payung tembakan itu, empat orang diperintahkan si komandan untuk membuat lingkaran, dari kiri dan kanan, mendekati pohon besar tersebut. Namun tak seorang pun di sana. Tembakan dihentikan secara mendadak. Mereka saling menatap. Si komandan masih jongkok di balik pohon perdu rindang setinggi setengah meter.

Dia menatap anak buahnya yang berada dalam jarak tiga atau empat meter di sekitarnya. Dari anak buahnya dia menatap ke pohon-pohon besar disekitarnya. Ke dahan-dahan dan dedaunan yang rimbun di atas mereka. Tak ada sesuatu yang bergerak. Bahkan angin pun seperti berhenti bertiup.

Si Komandan memberi isyarat dengan gerak tangan, agar anak buahnya bergerak ke berbagai arah dalam jarak sekitar dua puluh lima meter untuk mencari orang yang mereka buru.

"Orang itu masih berada di sekitar ini…" ujarnya melalui isyarat tangan.

Anak buahnya segera maju dengan menunduk-nunduk, menatap dengan seksama setiap pohon dan setiap semak-semak.

Si komandan bersama dua pencari jejak yang juga penembak mahir, tetap berada di tempatnya. Siaga dengan bedil, siap memuntahkan peluru. Antara dia dengan kedua penembak mahir di sebelah kanannya, hanya dibatas jarak tiga meter.

Kedua orang itu berada di balik dua pohon besar yang tumbuh sangat rapat. Seorang tentara yang berada di bahagian kiri, sekitar sepuluh meter di depan si komandan, tiba-tiba terkejut karena ada yang bergerak di balik semak dua depa di depannya. Dia, dan dua temannya di kiri kanannya, segera menghamburkan peluru ke arah semak tersebut.

Sepi!

Mereka kembali menghujani semak itu dengan peluru sambil berlari mendekat. Saat sampai di semak itu mereka tertegak diam. Di balik semak itu, tergeletak sosok bersimbah darah, tanpa nyawa. Anak rusa!

Tubuh anak rusa itu seolah-olah tak ada yang tidak ditembus peluru. Salah seorang di antara mereka surut, dan menoleh ke arah si komandan. Lalu memberi isyarat dengan tangan, bahwa yang berada di balik semak itu hanya seekor anak rusa.

Namun tangan si tentara belum turun setelah memberi isyarat, tubuhnya tiba-tiba mengejang, matanya mendelik. Teman-temannya menatap dengan kaget, juga si komandan. Lalu, tubuh tentara itu rubuh tertelungkup. Padahal tak ada suara tembakan satu pun!

Dua tentara lagi, yang berada di dekat tentara yang rubuh itu, segera menjatuhkan diri, tiarap. Yang seorang, yang berada di kanan mayat yang terhantar itu, menatap dengan heran bercampur takut ke arah temannya yang tiba-tiba saja rubuh tanpa sebab tersebut. Matanya membesar, tatkala melihat ada benda kecil menancap di leher temannya yang rubuh itu. Dia merayap dengan cepat mendekati mayat tersebut. Menatap dengan nanap benda kecil yang menancap itu. Lalu mencabutnya. Benda itu ternyata sebuah samurai dalam ukuran tak lebih dari sepanjang jari, namun runcing dan kedua sisinya tajam bukan main. Panjang samurai kecil itu sekitar sejengkal. Gagangnya terbuat dari sejenis gading. Samurai itu menancap sampai sebatas gagangnya.

Dengan masih dalam posisi tiarap, dia mengangkat bahagian dadanya dari tanah untuk menoleh ke arah si komandan.

Komandan tentara Vietnam yang berada dalam jarak sekitar lima belas depa dari tentara yang memegang samurai kecil itu, dapat melihat si tentara di antara sela-sela pohon besar antara dia dengan si prajurit.

Si prajurit mengangkat samurai kecil itu, memperlihatkannya pada si komandan. Si komandan mengerenyitkan keningnya. Dari kejauhan dia menatap senjata kecil itu nanap-nanap. Si komandan segera mengetahui benda yang membunuh anak buahnya itu ternyata sebuah miniatur samurai.

Sebagai seorang yang juga lahir dari puak Cina, si komandan tahu bahwa senjata itu merupakan senjata rahasia kelompok penjahat atau pesilat Cina atau Jepang.

Dia mengenal hal itu tidak hanya dari cerita-cerita. Tapi pernah melihat demonstrasi kemahiran mempergunakan senjata sejenis itu, yang oleh orang Cina disebut sebagai'piaw' atau senjata rahasia. Piaw biasanya berbentuk pisau kecil, bukan miniatur samurai sebagaimana tadi diperlihatkan padanya.

Dia mulai merasa curiga terhadap orang yang sejak tadi mereka buru, dan kini balik 'memburu' mereka. Hampir bisa diyakini, orang yang mempergunakan senjata dalam bentuk samurai kecil itu bukanlah orang Amerika. Juga bukan orang Eropah manapun.

Dia mulai menduga-duga. Orang itu pasti dibayar oleh Amerika untuk mencari dan membebaskan sandera. Jika Amerika menyerahkan tugas seperti itu kepadanya, maka orang itu tentulah bukan sembarangan orang. Tapi, siapa dia?