"Ledakan apa itu, granat?" desis Thi Binh dengan air mata mulai mengalir di pipinya.
Dia membayangkan tubuh si Bungsu hancur berkeping karena ledakan granat yang dilemparkan tentara Vietnam ke tempat pertahanan si Bungsu.
"Tidak. Itu ledakan peluru howitzer…" ujar Duval.
"Siapa yang menembak, siapa yang tertembak?" suara Thi Binh kembali mendesis dan menggigil.
"Si Bungsu yang menembak…."
"Tidak, tidak mungkin…."
"Dalam operasi di hutan, tentara tidak membawa peluncur roket, Nona…."
Duval yang faham benar seluk-beluk peperangan mencoba menjelaskan kepada Thi Binh. Penjelasannya bukan sekedar bujukan. Dia tahu benar, tentara Vietnam yang memburu mereka takkan membawa-bawa howitzer. Tank mana pula yang harus dihancurkan dengan howitzer di dalam belantara lebat ini? Thi Binh menatap letnan dan pasukan SEAL Amerika itu.
"Anda boleh yakin kepada penjelasan saya, Nona. Saya sudah terjun ke kancah peperangan selama lima belas tahun. Anda juga boleh yakin kepada saya, bahwa orang Indonesia itu terlalu tangguh untuk dikalahkan tentara Vietnam yang mengepung kita tadi…" tutur Duval.
Hati Thi Binh sedikit terhibur. Dia menatap pada Roxy. Roxy mendekat dan memeluk bahunya. Thi Binh balas memeluk perawat Amerika tersebut.
"Engkau sengaja bersembunyi, kemudian menemuinya sendirian, ketika kita mulai berangkat tadi, bukankah begitu, Kak?" bisik Thi Binh saat berada dalam pelukan Roxy.
Dug! Jantung Roxy rasa mau copot mendengar pertanyaan yang amat tiba-tiba dan sangat tepat itu. Dia tak segera bisa memberikan jawaban. Dia sungguh tak tega melukai hati Thi Binh. Namun dia juga tak ingin berbohong.
"Engkau juga mencintainya, bukan?" kembali Thi Binh berbisik perlahan.
Dug lagi!
Jantung Roxy kembali hampir copot oleh pertanyaan yang amat langsung, amat terus terang dan amat tepat itu. Ibarat bermain catur, dia benar-benar mati langkah akibat pertanyaan-pertayaan yang dilontarkan Thi Binh.
Thi Binh melepaskan pelukannya, kemudian menatap pada Roxy. Perawat Amerika itu tak bisa menjawab, bahkan hampir saja dia tak berani membalas tatapan mata Thi Binh.
"Dia memang lelaki yang pantas dicintai siapa saja…" ujar Thi Binh perlahan.
Suaranya demikian jernih, demikian datar dan demikian bersahabat. Tak ada nada menyindir sedikit pun. Tiba-tiba saja Roxy merasa demikian kecil di hadapan gadis kecil ini. Dia raih kembali gadis itu ke dalam pelukannya.
"Ya, aku bersembunyi ketika engkau lewat. Kemudian menemuinya sendirian. Aku khawatir tak lagi akan bertemu dengannya. Aku… aku memang mencintainya. Maafkan aku, Adikku…" bisik Roxy terbata.
Sesaat Thi Binh mempererat pelukannya pada tubuh Roxy. Kemudian melepaskannya perlahan. Kemudian menatapnya tepat-tepat. Kemudian bibirnya mengukir senyum.
"Engkau menciumnya?"
Lagi-lagi, dug!
Pertanyaan yang di ajukan dengan lembut dan dengan bibir tersenyum itu justru membuat Roxy kepanasan dan salah tingkah. Namun senyum gadis itu demikian lugu. Roxy akhirnya terpaksa mengangguk.
"Curang, kenapa tidak mengajakku?" ujar Thi Binh sambil mencubit pipi Roxy.
Roxy gelagapan. Thi Binh tertawa kecil, akhirnya roxy tersenyum lalu ikut tertawa renyah. Mereka lupa bahwa mereka sedang diburu. Bahwa nyawa mereka di tentukan oleh secepat apa mereka bisa bergerak menyusul kolonel MacMahon.
"Kalau perundingan kalian sudah selesai, kita harus bergerak cepat menyusul MacMahon…"ujar Duval yang Sejak tadi terpaksa memasang telinga dan mata, menjaga kedua gadis itu, sekaligus berwaspada terhadap kemungkinan munculnya secara tiba-tiba pasukan Vietnam.
Roxy dan Thi Binh yang tersadar bahwa mereka sedang dalam upaya menyelamatkan diri. Mereka sama-sama tersenyum dan segera mengikuti Duval yang mulai bergerak cepat menerobos belantara. Saat mereka mulai bergerak menuju tempat MacMahon, kolonel yang mereka tuju itu sudah bergerak pula meninggalkan tempatnya.
Dan ketika Duval, Thi Binh dan Roxy sampai ketempat MacMahon memasang jebakan, mereka bertiga tertegak diam.
Yang mereka temukan hanyalah belasan mayat tentara Vietnam, terserak diberbagai tempat di areal yang tak begitu luas.
"Mereka tertangkap atau meloloskan diri?"desis Roxy.
Tak ada yang menjawab. Duval berusaha meneliti dan mencari sesuatu di beberapa tempat. Dia yakin, MacMahon pasti meninggalkan isyarat buatnya. Isyarat itu segera dia temukan dalam waktu yang cukup singkat. Dari sebuah batu dan ranting yang patah, yang hanya tentara Amerika yang mengenal isyarat itu, dia tahu Macmahon selamat. Dia bersama rombongannya sudah meninggalkan tempat itu. Dan dari isyarat itu Duval tahu kemana arah MacMahon dan rombongan bergerak.
Namun baik Duval maupun Roxy dan Thi Binh tak tahu, bahwa salah seorang tentara Baret Hijau yang berada dalam rombongan MacMahon mati tertembak. Mereka tak melihat kuburan tentara baret hijau itu, yang letaknya memang terlindung dari tempat mereka berada oleh sebuah batu besar. Duval bergegas membawa Roxy dan Thi Binh menyusul rombongan MacMahon.
"Apakah kita tak menunggu Bungsu?"tanya Thi Binh.
Roxy juga sepakat dengan Thi Binh, sebaiknya mereka menunggu si Bungsu lebih dulu. Namun Duval berpendapat lain.
"Saya baru mengenal lelaki itu sehari ini. Namun saya yakin, dia mengenal belantara seperti mengenal halaman rumahnya sendiri. Dia bisa bergerak cepat sekali. Kalau kita menunggu disini, geraknya akan menjadi lambat. Karena gerakan kita tidak secepat dia.
Jika kita bergerak lebih dulu, dia bisa bergerak cepat, dan segera pula bisa menyusul kita. Membantu diri kita agar bisa jauh dari tentara yang mengejar adalah juga membantu si Bungsu…"tutur Duval.
Kedua gadis itu tak membantah. Mereka memahami dan menerima kebenaran yang diucapkan Duval. Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat dipakai sebagai jebakan oleh Kolonel MacMahon. Duval di depan, matanya tajam menatap tanda-tanda yang ditinggalkan MacMahon.
Sebentar dia menunduk, melihat bekas jejak kaki di tanah. Pada saat lain dia menatap dedaunan yang secara sepintas kelihatan biasa-biasa saja. Namun mata Duval yang terlatih dapat mengetahui daun yang sudah bergeser dengan tubuh manusia dengan daun yang belum tersentuh apapun.
Akan halnya si Bungsu, yang berusaha meloloskan diri setelah menembakkan dua roket dari howitzer, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia mendekapkan telinga ke tanah. Dia tak tahu secara persis berapa tentara yang memburunya. Namun dari inderanya yang sangat terlatih dia memperkirakan jumlah tentara yang mengejarnya paling tidak ada belasan orang. Dia menghitung sisa peluru bren yang dia bawa masih ada sekitar 20 buah.
Dia sadar, tak mungkin dia menuju ke tempat MacMahon dan rombongan yang lain.
Kalau dia langsung menuju ke arah orang-orang tersebut sama artinya dengan membawa tentara Vietnam ini ke tempat mereka. Dia harus berusaha menjauhkan para pemburu ini dari rombongan MacMahon. Dengan fikiran demikian, dia berbalik arah. Tadinya, dengan kemahiran yang jarang dimiliki tentara manapun, dia nyaris tak meninggalkan jejak di tanah. Hal itu menyebabkan tentara Vietnam kebingungan menentukan arah, kemana harus dikejar.
Namun, jika jejak si Bungsu tak berhasil mereka temukan, mereka justru dengan mudah menemukan jejak Duval, Roxy dan Thi Binh. Pemimpin pasukan Vietnam itu segera diberitahu anak buahnya yang ahli melacak jejak. Bahwa dari empat orang yang tadi menembaki mereka, kini hanya ada tiga jejak.
Si komandan berhenti sejenak, demikian juga semua anak buahnya. Dia menatap bekas jejak kaki di tanah. Melemparkan pandangan ke depan. Kemudian menatap pencari jejak tersebut tepat-tepat.
"Sejak di mana engkau ketahui bahwa jejak yang kita buru ini hanya jejak tiga orang?" tanyanya menyelidik.
"Sejak naik dari sungai tadi…."
Si Komandan kembali menatap ke arah tempat mereka mengepung tentara Amerika itu tadi, yang sudah jauh mereka tinggalkan. Dia mencoba mengingat tembakan-tembakan yang menghujani mereka sebelum dan setelah dua peluru howitzer menghantam dan meruntuhkan batu besar itu. Dia lalu duduk, menatap jejak di tanah. Tiba-tiba dia menyumpah. Dia baru sadar sekarang, bahwa tadi sesungguhnya mereka ditipu.
"Mereka hanya empat orang. Tiga orang terlebih dahulu menyelamatkan diri. Yang seorang…."
Si komandan menghentikan ucapannya. Dia melangkah dua depa ke kanan, menatap jejak yang tertinggal di sana. Kemudian menatap ke depan, lalu melangkah lagi. Menatap lagi jejak di sana. Ada beberapa saat dia membandingkan jejak-jejak yang membekas di tanah dalam jarak beberapa depa itu.
"Yang tiga ini, satu lelaki dan dua wanita. Merekalah yang disuruh duluan lari menyelamatkan diri. Yang seorang lagi, tetap bertahan dan menembaki kita dengan tiga bedil yang ditinggalkan. Setelah itu, baru yang seorang itu menembakkan howitzer yang dicuri dari gudang senjata kita. Sesaat setelah menembakkan howitzer, dia melarikan diri…." si komandan berhenti sejenak.
Matanya menyambar ke bahagian kanan, ke kayu-kayu besar yang tegak mematung sejak ratusan tahun yang lalu. Kemudian ke bahagian kiri. Ke arah segerombolan pinang merah yang rimbun. Beberapa anak buahnya ikut menatap dengan tajam ke arah yang ditatap si komandan.
"Siapa pun orangnya yang menembakkan howitzer itu, yang kini tak kita temukan jejaknya, dia adalah tentara yang luar biasa. Dia pasti salah seorang yang sangat ahli dalam peperangan, ahli mencari dan menghilangkan jejak. Kita tidak tahu di mana dia kini, apakah di depan atau di belakang kita. Dia bisa saja menyerang dengan sangat tiba-tiba.
Siapa pun dia, dia adalah lawan yang sangat tangguh. Kita akan bergerak cepat memburu ke tiga orang yang jejaknya bisa dilacak ini. Tapi waspadalah…" ujar si komandan sambil berdiri dari jongkoknya.
Belasan anak buahnya yang mendengar tidak hanya menjadi sangat waspada, namun sekaligus juga dicengkeram ketegangan.
Tiba-tiba saja mereka pada menoleh dengan perasaan penuh khawatir ke pohon-pohon besar, ke belukar dan semak-semak di sekitar mereka. Tentara Amerika tangguh yang disebut si komandan itu seolah-olah sudah berada di sana, mengarahkan bedilnya dengan telunjuk di pelatuk, ke arah kepala mereka. Orang itu seolah-olah sudah berada persis di depan atau di belakang mereka.
Si Komandan memberi isyarat kepada dua anak buahnya yang memang ahli melacak jejak. Kedua orang itu segera melangkah duluan. Mereka bergerak cepat. Hanya sesekali membungkukkan badan, melihat ke arah mana jejak kaki yang mereka ikuti itu berbelok.
Setelah mengetahui kemana arahnya, mereka segera bergerak dengan cepat. Si komandan dan belasan anak buahnya tinggal mengikuti kedua pencari jejak itu saja.
Kedua pencari jejak itu direkrut dari satu atau paling banyak tiga suku pengunungan di utara Vietnam. Suku-suku di pegunungan itu merupakan suku yang instingnya luar biasa. Mereka selalu diandalkan bila pasukan berusaha meloloskan diri dari kejaran Amerika.
Sebaliknya, mereka juga diandalkan untuk mencari jejak dan pertahanan Amerika yang tersembunyi di belantara selama berkecamuknya perang Vietnam yang belasan tahun itu.
Orang-orang pencari jejak ini amat dilindungi dan diistimewakan pula. Tentara Amerika sangat pula mengintai mereka. Mereka merupakan sasaran utama dalam peperangan.
Sebab, sudah tak terhitung nyawa tentara Amerika yang melayang akibat kemahiran para pencari jejak ini. Hampir tak ada tempat persembunyian yang tak mereka temukan!
Kedua pencari jejak itu pula yang punya firasat tak sedap, tatkala mereka mulai melangkahkan kaki saat si komandan jongkok dekat jejak ketiga orang yang mereka buru.
Mereka tak tahu apa wujud perasaan tak sedap itu secara pasti. Yang jelas mereka merasa ada bahaya mengancam di setiap langkah yang mereka ayunkan. Jika tadi mereka memburu dengan cepat, kini langkah mereka agak tertahan. Tiap sebentar mereka menatap pohon besar di depan dan di samping mereka dengan penuh curiga.
Pasukan Vietnam yang melakukan pengejaran itu bergerak dalam formasi 'V' terbalik atau bentuk ujung panah. Si pencari jejak di depan sekali dan si komandan di belakang mereka.