Keempat belas tentara itu lumat dan terkubur di sana. Sementara tentara Vietnam lainnya, yang berada tak jauh dari tempat celaka itu menatap dengan mata mendelik dan tubuh menggigil. Mereka sudah terbiasa dalam menyaksikan teman mereka yang mampus secara amat mengerikan, selama perang belasan tahun menghadapi tentara Amerika. Namun yang lumat seluruh tulang belulangnya, dan terkubur remuk seperti bubur di bawah himpitan batu seberat ratusan ribu ton, baru sekali ini mereka saksikan Neraka ini. Baru kali ini!
Saking ngerinya, beberapa di antara mereka sampai terkencing-kencing di celana. Setelah beberapa saat terdiam dicekam rasa kejut yang dahsyat, seorang kapten memerintahkan agar mereka menyerbu tentara Amerika yang sudah sejak tadi mereka kepung itu.
Demikianlah, rasa takut dan kejut yang dahsyat menimbulkan amarah yang dahsyat pula. Mereka segera membuat formasi melingkari batu besar dari mana tembakan howitzer itu datang. Dengan formasi tapak kuda mereka mendekati pertahanan si Bungsu. Makin lama kepungan dengan formasi tapak kuda itu semakin merapat.
Dengan berlari dari satu perlindungan ke perlindungan yang ada di depan. Sekitar dua puluh tentara Vietnam yang masih tersisa dalam pertempuran itu maju dengan bedil siap ditembakkan. Si kapten memberi isyarat pada enam anak buahnya untuk melingkar semakin jauh ke belakang tempat pertahanan tentara Amerika itu.
Ketika ke enam tentara itu mulai bergerak, si kapten memberi isyarat untuk menembak secara serentak. Tembakan gencar dari belasan orang itu dimaksudkan nya sebagai pengalihan perhatian tentara Amerika yang sudah terkepung itu. Perhatian mereka pasti sudah tertuju kepada tembakan.
Ke enam tentara yang melambung ke bahagian belakang pertahanan si Bungsu sudah mencapai tepi sungai. Di bawah tembakan kamuflase teman-temannya, mereka segera merangsek maju. Mereka segera tiba persis di bahagian belakang pertahanan tentara Amerika tersebut. Yaitu tempat di mana tadi si Bungsu menembakkan dua peluru howitzer. Tempat di mana dua tentara Vietnam yang datang dari barak membokong Roxy dan Thi Binh, tapi keduanya ditembak mati oleh Roxy. Sambil maju tentara Vietnam itu menghujani perlindungan tersebut dengan tembakan gencar.
Mereka pun sampai ke tempat howitzer itu ditembakkan dan menyebabkan dua batu besar seberat puluhan ton di atas perlindungan teman-teman mereka tadi runtuh. Namun mereka hanya menemukan dua buah tabung howitzer, sebuah senapan mesin dan dua buah senapan semi otomatis yang mirip dengan yang mereka pergunakan. Tak ada seorang pun di sana.
Salah seorang di antara mereka segera memperhatikan jejak yang menuju ke sungai di belakang batu besar itu. Dia segera tahu, ada empat orang di sini tadinya. Kini ke empat mereka sudah meloloskan diri lewat sungai.
Dia lalu memberi isyarat kepada si kapten. Tembakan segera dihentikan. Dalam waktu singkat semua sisa tentara Vietnam itu sudah berkumpul di sana.
"Mereka belum sampai sepuluh menit meninggalkan tempat ini. Buru mereka…!" perintah si kapten.
Perintah itu tak perlu diulang sampai dua kali. Mereka segera berlarian menyusuri tebing sungai. Beberapa orang di antaranya masuk ke sungai itu, untuk melacak jejak.
Dari jejak yang tertinggal menunjukkan bahwa ke empat orang Amerika itu, atau siapa pun mereka, memang menuju langsung ke arah hulu sungai dangkal berbatu ini. Jejak mereka jelas terlihat pada batu-batu besar yang mencuat di permukaan air.
Si Bungsu memang mempergunakan kesempatan terkejutnya tentara Vietnam atas runtuhnya batu besar tersebut untuk meloloskan diri. Semua senjata yang tinggal, kecuali senapan mesin ringan itu, sudah habis pelurunya. Senapan mesin ringan itu pun pelurunya hanya sekitar enam puluh buah, yang tersusun dalam bentuk rantai.
Tadinya rantai peluru itu cukup panjang. Namun karena sudah dipakai terus, rantai peluru itu sudah demikian pendeknya. Tak sampai semeter. Jika ingin selamat dia harus menghindar cepat dari sana. Tentu saja dia ingin selamat. Paling tidak dia ingin memastikan Thi Binh, Roxy dan tentara Amerika lainnya itu lolos.
Namun si Bungsu hanya menuruti alur sungai tersebut sekitar dua ratus meter. Setelah itu dia masuk ke hutan. Kemudian bergerak cepat searah matahari terbit. Dia harus cepat menyusul MacMahon. Ketika pertama menyelidiki barak tentara tadi, dia memperkirakan jumlah tentara di sana sekitar 100 orang. Pasukan itu disebar pagi tadi untuk mengejar mereka ke berbagai arah.
Namun hari sudah hampir sore. Kini pasukan yang mengejar itu tentu sudah dalam perjalanan pulang ke barak. Semua tentara yang kembali ke barak dipastikan akan ditugaskan memburu mereka. Ada perasaan tak sedap menjalar dalam hati si Bungsu saat menyelinap di hutan ke tempat di mana MacMahon bertahan.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan kelompok Macmahon yang berjumlah enam orang itu? Ketika pertama kali si Bungsu, Duval, Thi Binh dan Roxy sampai di belakang barak, mereka melihat seregu tentara Vietnam menuju arah datangnya tembakan. Mereka dipastikan akan melintasi hutan tempat kolonel MacMahon menunggu dengan jebakannya.
Si Bungsu mengatakan pada Duval agar menunggu regu yang berangkat itu masuk dulu kedalam jebakan MacMahon. Kemudian baru mereka menyerang pasukan yang ada di barak. Masuk nya tentara yang memburu itu kedalam jebakan bisa ditandai dari suara tembakan yang pasti sampai ketempat mereka ini. Menjelang suara tembakan itu terdengar,si Bungsu menyelinap kedalam barak penyimpanan senjata. Mengambil dua buah howitzer, dua buah bren dan peluru secukupnya. Dan begitu suara tembakan terdengar sayup-sayup dari dari arah pertahanan MacMahon, mereka juga memulai serangan terhadap barak tersebut.
Salah seorang dari tentara baret hijau yang di tugaskan oleh Macmahon untuk mengambil posisi paling ujung dari jebakan yang dipasang, memberi isyarat dengan tiruan bunyi burung. Tentara Baret Hijau itu melihat dua orang tentara Vietnam berjalan dengan cepat menuju hutan tersebut, sekitar lima meter dari persembunyiannya. Sekitar sepuluh meter di belakang kedua tentara itu, yang nampaknya bertindak sebagai pemantau di bahagian depan, terlihat tiga tentara lagi dengan jarak tiga-tiga depa.
Dari cara mereka bergerak, tentara baret hijau itu tahu. Bahwa tentara Vietnam ini sedikitpun tidak tahu kalau buruan mereka ada di depan mereka. Hal itu disebabkan perhatian mereka tertuju pada suara tembakan yang berasal dari barak, suara yang mereka dengar itu adalah pertempuran dengan pasukan yang duluan menyelamatkan diri, dengan Duc Thio sebagai penunjuk jalan. Kini tentara yang akan memberikan bantuan itu, masuk kedalam jebakan Macmahon.
Anggota Baret Hijau Amerika yang jadi pengintai di bahagian ujung jebakan itu, membiarkan tentara vietnam itu masuk sampai sepuluh depa di depannya. Dari tempat persembunyiannya dia menatap diam waktu tiga tentara vietnam berikutnya lewat, kemudian lima, kemudian tiga, lalu delapan, terakhir dua orang.
Mereka bergerak dengan formasi berpencar. Jumlah semuanya dua puluh orang. Dua tentara paling depan lewat di dekat persembunyian kolonel MacMahon.
Kolonel ini juga membiarkan mereka lewat satu persatu. Begitu semua tentara vietnam itu berada dalam garis jebakan, kolonel Macmahon menembak tiga orang tentara yang ada dalam jarak bidiknya. Tiga tembakan beruntun itu sebagai isyarat pembuka serangan.
Tiga tentara yang ditembak itu hanya dua yang mati, seorang lagi hanya kena bahunya. Dan tentara yang terluka itu masih sempat mencari tempat perlindungan. Tembakan dari lima anggota kolonel macmahon itu termasuk Han Doi menghajar kedua puluh orang tentara Vietnam itu. Pertempuran itu boleh dikatakan cukup singkat, sebab jebakan yang mereka buat memang amat jitu. Kecil peluang bagi yang masukan jebakan untuk selamat. Namun dengan demikian, tentara vietnam itu masih bisa membuat tentara baret hijau yang memberi isyarat tadi mati dengan kepala tertembus peluru.
Dia satu-satunya yang mati di antara kelima anggota macmahon. Tetapi sebelum mati, tentara baret hijau ini juga masih sempat menembak mati tiga orang tentara Vietnam.
Tak berapa lama setelah pertempuran usai, saat mereka menggali lobang untuk menguburkan tentara baret hijau itu, Kolonel Macmahon dan keempat anggota pasukan kecil nya itu mendengar dua suara ledakan beruntun. Ketika mereka menoleh kearah barak tentara Vietnam, jauh di bawah sana, mereka melihat lidah api dan asap menyemburat ke udara.
"Mereka berhasi menghancurkan gudang senjata itu…"ujar Kolonel MacMahon.
Ke empat anggotanya termasuk Han Doi hanya mendengarkan dengan diam, dan menatap asap yang membumbung dari pucuk belantara itu di kejauhan sana. Upacara pemakaman tentara baret hijau itu berlangsung dengan singkat. Tak ada lagi label yang terbuat dari plat almunium tipis, yang menerangkan nama tanggal lahir dan kesatuan si pemakai yang biasanya dikalungkan dengan rantai aluminium di setiap leher tentara yang di terjunkan ke medan perang.
Label itu telah disita tentara Vietnam begitu mereka ditangkap. Mereka, tentara amerika yang tertangkap di beri nomor dan kode khusus. Sebagai tawanan, mereka tak lagi bernama dan berpangkat. Mereka hanya sederatan nomor dan kode, yang bila tak diperlukan lagi dapat di hapus dari daftar. Hanya para komandan berpangkat kolonel keatas yang berada di wilayah tempat mereka ditawan, yang menyimpan daftar nama, pangkat, kesatuan dan tanggal lahir tawanan.
Namun tentara Amerika tidak ada yang mengetahui hal tersebut. Kalau saja mereka tahu, bahwa daftar nama mereka disimpan oleh seorang komandan berpangkat kolonel, MacMahon pasti menugaskan pasukannya untuk mencari daftar itu di barak di bawah sana.
Sebab mereka tahu, komandan barak yang menawan mereka berpangkat kolonel. Hanya mereka tak tahu, si kolonel sudah jadi serpihan daging tak berbentuk, dihantam roket howitzer yang ditembakkan Thi Binh, yang lidah api dan asapnya baru saja mereka lihat membubung ke udara di kejauhan.
Ketika lobang kuburan usai ditimbun, dua potong kayu sebesar lengan kemudian diikat membentuk salib, ditancapkan di bahagian kepala. Tak ada pembacaan doa. Si Kolonel dan anggotanya membuat tanda salib dengan gerakan tangan pada tubuh mereka sebagaimana jamaknya dilakukan orang-orang Katolik.
Sekali lagi si Kolonel memandang ke arah asap yang membubung di bawah sana. Mereka mendengar suara tembakan sayup-sayup. Mereka tahu, di sana sedang terjadi pertempuran.
"Kita berangkat menyusul rombongan pertama tadi…" ujar si kolonel sambil menatap pada Han Doi.
"Apakah kita tidak menunggu mereka yang di bawah sana?" tanya Han Doi.
"Kita tinggalkan pesan melalui tanda-tanda di pohon…" jawab si kolonel.
Han Doi masih tegak dengan ragu.
"Sudah berapa lama Anda mengenal lelaki dari Indonesia itu?" tanya MacMahon pada Han Doi.
"Baru sekitar satu bulan…."
"Apakah engkau yakin dia akan mampu memenangkan pertempuran di bawah sana?"
Han Doi tak segera bisa menjawab. Karenanya MacMahon melanjutkan.
"Saya baru mengenal tadi malam, saat dia muncul di goa tempat kami disekap. Kendati baru mengenalnya satu hari satu malam, namun saya yakin, lelaki tangguh itu akan memenangkan pertempuran di bawah sana. Dan dia akan membawa Letnan Duval dan kedua gadis itu menyusul kita…"
Han Doi menarik nafas. Dia juga yakin bahwa si Bungsu akan mampu memenangkan pertempuran itu. Mereka kemudian mengganti persenjataan dengan senjata otomatis milik dua puluh tentara Vietnam yang mati malang melintang di sekitar mereka. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Pada tempat-tempat tertentu, anggota SEAL yang ada di rombongan MacMahon membuat tanda-tanda khusus.
Mereka menelusuri jalan yang tadi ditempuh rombongan Duc Thio. Yaitu rombongan pertama yang berjumlah 11 orang, empat di antaranya wanita, termasuk Helena. Anggota pasukan logistik yang sudah lama sakit di dalam tempat penyekapannya di goa sana.
Thi Binh, Roxy dan Duval yang sedang menerobos belantara, setelah keluar dari sungai dangkal yang mereka mudiki sekitar seperempat jam, tiba-tiba pada terhenti. Mereka tegak mematung dengan perasaan tegang, terutama Thi Binh dan Roxy. Langkah mereka mendadak sontak terhenti karena mendengar dua ledakan dahsyat beruntun, disusul suara menggetar di bumi.