Duval menatap si Bungsu, kemudian bangkit. Lalu dipeluknya laki-laki dari Indonesia itu tanpa mampu bicara sepatahpun.
"Kini kita bergabung dengan dua gadis itu, Kita harus mereka lihat dalam suatu kelompok…"ujar si Bungsu menjelaskan bagian dari rencananya.
Kemudian secara singkat dia jelaskan jalan yang harus ditempuh Duval, Duval mengangguk. Si Bungsu berdiri, kemudian melangkah kesamping. Lalu menembak kesalah satu tempat persembunyian tentara Vietnam. Setelah menembak tiga kali, dia segera berlari kearah dimana tadi dia meninggalkan Roxy dan Thi Binh.
Segera saja tembakan beruntun kearah dirinya. Namun Duval tak tinggal diam. Dia mencecar tempat-tempat datangnya tembakan dengan peluru senapan mesinnya. Si Bungsu berhasil dengan selamat mencapai tempat Roxy dan Thi Binh. Kedua gadis itu sedang duduk bersandar ke batu. Kondisi Roxy sudah jauh lebih baik. Si Bungsu memberi isyarat ke Duval.
Giliran Duval menyusul dan si Bungsu melindunginya dengan tembakan kearah tentara Vietnam. Tatkala Duval sudah bergabung, si Bungsu menghentikan tembakannya. Dengan cepat si Bungsu memaparkan apa yang akan terjadi dan apa rencana yang harus dilaksanakan untuk keluar dari kepungan ini.
"Kalian harus menyelinap dengan cepat. Jalur kanan ini, searah matahari terbit adalah jalur aman sampai ketempat Kolonel MacMahon. Dengan bergerak cepat, dalam setengah jam paling lambat, Kalian akan bergabung dengan MacMa…"
"Saya tinggal bersamamu disini…."ujar Thi Bhinh, memutus pembicaraan si Bungsu.
Si Bungsu terdiam dengan ucapan tersebut. Dia menatap pada Thi Binh. Dia faham dan sudah menduga sikap gadis itu akan rencananya.
"Ada sekitar dua puluh tentara Vietnam yang dalam beberapa menit lagi akan sampai disini. Keselamatan kita tergantung seberapa cepat apa kita bergerak.
Saya akan menahan mereka di sini. Dan jangan khawatirkan saya. Begitu kalian selamat, saya dengan mudah bisa meloloskan diri menyusul kalian…" ujar si Bungsu.
"Saya akan tinggal bersamamu…!" ujar Thi Binh berkukuh dengan mata mulai berkaca-kaca.
Si Bungsu memeluk Thi Binh.
"Dengarkan, Thi-thi. Kemarin engkau juga saya tinggal ketika saya dan pamanmu pergi mencari tempat Roxy disekap. Saya janjikan bahwa saya akan bergabung kembali dengan kalian. Janji itu saya tepati bukan?"
Thi Binh hanya berdiam diri sambil memeluk si Bungsu erat-erat. Roxy menatap kedua orang itu dengan diam dari tempat dia bersandar.
"Aku juga menjanjikan padamu, bahwa engkau akan mendapat kesempatan membalaskan dendammu pada tentara Vietnam di barak-barak sana. Janji itu juga kutepati, bukan?"
"Aku tinggal bersamamu…" bisik Thi Binh dari dalam pelukan si Bungsu.
"Ini masalah hidup dan mati kita semua. Kalian harus berangkat. Jika tidak kita semua akan terbunuh. Termasuk ayah dan pamanmu. Oke, kalian hanya membawa sebuah senjata. Tinggalkan yang tiga buah di sini. Termasuk howitzer. Tapi sebelum berangkat, kita hujani mereka dengan tembakan sesaat. Oke, ambil posisi masing-masing…" ujar si Bungsu.
"Tidakkah aku boleh tinggal bersamamu?" bisik Thi Binh sesaat sebelum melepas pelukannya dari tubuh si Bungsu.
"Untuk mencintaiku engkau harus tetap hidup Thi-thi. Dan untuk mencintaimu, aku juga harus tetap hidup. Untuk bisa hidup, kau ikuti petunjukku. Aku akan segera menyusulmu, oke…?" ucapannya diputus oleh ciuman Thi Binh di bibirnya.
"Aku akan bunuh diri jika engkau tak kembali padaku…" ujar Thi Binh sambil menyambar senapan mesin yang tadi dipakai Roxy.
Roxy yang sejak tadi hanya menatap dengan diam semua apa yang dilakukan Thi Binh, bangkit perlahan. Dia mengambil senapan mesin yang sebuah lagi. Lalu tegak mencari posisi. Begitu juga Duval. Mereka menanti beberapa saat. Ketika semua sudah siap dengan senjata masing-masing, si Bungsu kembali memberikan petunjuk singkat.
"Duval, bawa senapan yang dipegang Roxy. Senapanmu dan juga senapan mesinmu Thi-thi, tinggalkan di batu di mana kini kalian berada. Jika saya beri isyarat, hentikan menembak, tinggalkan senapan kalian dan berangkat segera. Menyelusup secepat yang kalian bisa memudiki sungai di belakang pertahanan kita ini. Kini, tembak…!!" seru si Bungsu.
Mereka lalu mencecar sasaran masing-masing dengan tembakan-tembakan beruntun pendek. Lalu si Bungsu memberi isyarat, sambil bedilnya tetap memuntahkan peluru.
Yang pertama bergerak adalah Duval. Setelah meletakkan senjatanya, dia menyambar senjata Roxy. Kemudian bergerak ke belakang batu. Orang kedua yang bergerak adalah Roxy. Kemudian Thi Binh. Namun gadis itu masih menyempatkan diri untuk memeluk si Bungsu dengan erat dan menciumnya beberapa saat sebelum dia juga berlari mengikuti langkah Duval dan Roxy. Duval menanti di balik batu di tebing sungai
"Mana Roxy?" bisik Thi Binh sambil menuruni tebing sungai.
"Dia sudah duluan…" jawab Duval.
Padahal Roxy bersembunyi di balik batu tak jauh dari belakang si Bungsu. Begitu Thi binh lewat dan hilang di balik tikungan di dekat sungai. Roxy bergegas kembali ke tempat si Bungsu yang saat itu sedang menembak dengan senapan mesin yang di tinggalkan Thi Binh. Dari belakang dirangkulnya tubuh si Bungsu. Si Bungsu kaget separoh mati.
Namun Roxy tak membari kesempatan. Didekapnya lelaki dari Indonesia itu dengan erat. Kemudian bibirnya melumat bibir si Bungsu. Sebelum si Bungsu sadar apa yang terjadi. Roxy sudah melepaskan pelukannya. Kemudian gadis itu berkata cepat.
"Aku menyayangi Thi-thi. Aku tahu dia mencintaimu. Aku tak peduli engkau mencintainya atau tidak. Aku tahu apa yang kulakukan ini tak pantas, apalagi mengingat aku dan Thi-thi sudah saling mengakui sebagai saudara. Namun tak seorang pun yang bisa meramalkan apa nasib yang akan menimpa kita sebentar lagi. Sesal akan kubawa mati, jika aku tak menyampaikan padamu bahwa aku mencintaimu. Mungkin terdengar konyol dan bodoh. Kenal pun kita baru sehari. Tapi aku mencintaimu Bungsu…!"
Demikian cepat kata-kata itu dia ucapkan. Sehabis berkata dia segera berbalik. Kemudian bergegas menyelinap menyusul Duval dan Thi Binh.
Sebuah tembakan yang mendesing dekat telinganya menyentakkan si Bungsu dari rasa kaget dan keterpanaan atas apa yang baru saja terjadi. Dia cepat berbalik. Kemudian dia pindah di tempat dimana tadi Duval berada. Diambilnya senapan yang ditinggalkan letnan SEAL tersebut. Kemudian dia menembak ke arah tembakan yang nyaris saja menghantam telinganya.
Sebuah pekik terdengar dari balik sebuah pohon besar, sekitar lima puluh meter di depannya. Kemudian sepi. Si Bungsu beralih tegak ke tempat senapan mesin ringan yang ditinggalkan Thi Binh. Dia menembak ke tempat tempat yang firasatnya mengatakan ada Vietnam di baliknya. Dengan tembakan senapan yang berbeda dari tempat yang berbeda pula, si Bungsu berhasil memperdaya tentara Vietnam yang mengepung itu. Mereka menyangka di balik batu itu tetap berada empat orang dengan senjata yang memiliki persediaan peluru yang lebih dari cukup. Tak seorang pun dari mereka yang berani bergerak mendekat. Padahal setelah menghitung peluru yang tersisa, si Bungsu yakin hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan dirinya jika Vietnam-Vietnam itu menyerang serentak.
Si Bungsu dan ketiga orang yang sudah menyingkir itu kebetulan mendapatkan tempat perlindungan yang amat tangguh.
Tempat itu berupa batu-batu besar yang tersusun sedemikian rupa, membentuk setengah lingkaran. Ada celah-celah kecil dan bahagian-bahagian yang agak rendah di antara ujung yang mencuat tinggi. Kini celah kecil dan tempat kerendahan itulah yang dipakai si Bungsu sebagai tempat berlindung.
Peluru yang ditembakkan tentara Vietkong amat sulit untuk memasuki celah kecil itu. Satu-satunya tempat menyerang yang ampuh adalah dari belakang. Hal itu tadi sudah dicoba oleh dua tentara Vietkong yang datang dari barak, tapi keduanya mati ditembak Roxy.
Si Bungsu kembali menghitung peluru yang ada di tiga senjata yang ditinggalkan untuknya. Dia menarik nafas. Jika dia bertempur terus, paling-paling dia hanya bisa bertahan sepuluh menit. Semua pelurunya akan habis. Satu-satunya yang akan tinggal adalah dua peluru howitzer. Dia berharap bisa menipu tentara Vietkong itu dalam waktu cukup lama, agar Duval dan rombongannya bisa mencapai tempat Kolonel Mac Mahon. Dalam situasi seperti itu, detik demi detik terasa merangkak amat cepat. Seolah-olah tak ada waktu bagi Duval dan rombongannya untuk bisa bergerak cukup jauh.
Dia menatap unggukan batu besar yang seperti berlapis-lapis ke atas. Seolah-olah peti yang diletakkan bersusun setinggi lebih kurang sepuluh meter. Dia tatap batu besar yang memanjang sekitar lima puluh depa itu. Dia membidik ke salah satu celah pada batu tersebut. Menembakkan serentetan peluru senapan mesin. Dia yakini tembakannya tak mengenai siapapun di balik batu itu.
Diletakkannya senapan, lalu mendekapkan telinganya ke tanah. Memejamkan mata dan memasang indera secermat mungkin. Pendengarannya yang amat terlatih mengisyaratkan bahwa di balik batu besar itu paling tidak berlindung sepuluh tentara Vietnam. Tempat itu memang amat startegis. Dengan keyakinan demikian dia ambil howitzer, dia masukkan roket ke dalam tabungnya. Kemudian membidikkan senjata anti-tank yang kini ada di tangannya. Matanya menatap ke arah susunan batu-batu besar yang tingkat bertingkat itu.
Diletakkannya howitzer yang tadi sudah dibidikkan. Kemudian dia ambil howitzer yang sebuah lagi dan mengisikan roket terakhir ke howitzer tersebut. Kini kedua senjata penghancur tank itu sudah terisi.
Si bungsu kembali membidik bahagian tengah batu bersusun itu. Lalu ditariknya pelatuk roket kecil itu. Dengan mendesis peluru howitzer itu meluncur. Hanya setengah detik setelah peluru meluncur, dia meletakkan howitzer kosong itu dan segera menyambar howitzer yang satu lagi. Dengan gerakan amat cepat, dia membidik tempat berdekatan dengan sasaran pertama. Dan kembali menembak!
Dua peluru howitzer menghantam batu besar berlapis itu. Akibatnya sungguh luar biasa. Batu besar itu seperti diterjang sepuluh gajah. Bahagian yang terkena hantaman roket howitzer berserpihan. Namun akibat dorongan roket itu menyebabkan batu-batu besar itu terdorong ke belakang dan… runtuh dengan dengan suara menggelegar ke bawah. Hal itu memang sesuatu yang amat di luar dugaan komandan pasukan Vietkong yang berlindung di bawah batu-batu besar tersebut.
Semula, dari balik celah batu perlindungan mereka hanya menatap dengan diam jejak asap memanjang ke arah batu-batu besar di atas perlindungan mereka. Mereka hanya sedikit terkejut mengetahui bahwa orang yang mereka kepung ternyata memiliki howitzer. Namun rasa terkejut yang sedikit itu segera berubah menjadi pekik histeris, tatkala mereka mendengar ada suara guruh di atas kepala mereka. Ketika mereka melihat ke atas, tak ada lagi kejut yang bisa digambarkan.
BATU besar, yang jaraknya sekitar enam atau tujuh meter di atas kepala mereka, sudah berguling dan melayang ke bawah. Akibatnya sungguh mengerikan. Di bawah batu-batu besar itu berlindung empat belas tentara yang baru saja datang. Semua mereka ditimpa batu-batu besar yang diterjang peluru howitzer itu. Sebuah getaran dahsyat, seperti gempa, terdengar ketika batu itu menimpa tanah, meremukkan tubuh-tubuh manusia yang berlindung di bawahnya. Tak ada yang sempat memekik, apalagi menyelamatkan diri.