Rentetan tembakan dari tiga bedil, dua bedil tentara Vietnam dan bedil di tangan Roxy, menyalak hanya dalam batasan sepersekian detik. Gerakan Roxy menghamburi tubuh Thi Binh yang sedang menghadap ke si Bungsu dan membelakangi si penembak, memang tepat pada waktunya. Begitu juga tembakan senapan mesinnya. Thi Binh selamat dari terkaman peluru.
Kedua tentara Vietkong itu terjungkal dengan dada dan perut hancur diterkam peluru senapan mesin Roxy. Namun pada saat yang sama, tubuh Roxy juga terpental dihantam peluru!
Thi Binh yang tadi tubuhnya ditubruk Roxy, jatuh, terpelanting sedepa ke kanan. Namun karena itulah nyawanya selamat. Sebagai gantinya, yang kena tembakan justru Roxy! Thi Binh yang sadar bahwa nyawanya diselamatkan 'bekas musuh'nya itu memekik. Dia menghambur memeluk tubuh Roxy yang tertelungkup tak bergerak.
Si Bungsu tak sempat lagi memberi isyarat kepada Duval untuk melindungi dirinya. Dia segera berlari meliuk-liuk ke tempat Roxy dan Thi Binh. Dirinya segera menjadi sasaran tembakan puluhan tentara Vietnam yang mengepung mereka.
Namun, kendati tak diberi tahu, sebagai seorang prajurit Duval faham apa yang menjadi tugasnya. Begitu melihat si Bungsu lari ke arah berlindungnya Roxy, dia segera bangkit dan senapan mesinnya menyalak. Dia siram berbagai tempat yang tadi merupakan sumber tambakan tentara Vietnam. Tembakan senapan mesinnya membuat tentara-tentara Vietnam yang membidik si Bungsu harus kembali menarik kepala mereka dari tempat pengintaian. Mereka membatalkan niat untuk menembak, dan si Bungsu pun selamat sampai ke tempat Roxy dan Thi Binh. Thi Binh didapatinya sedang menangis dan memeluk kepala Roxy. Sementara perawat Amerika itu tubuhnya berlumur darah, dan matanya terpejam.
"O… Tuhan… tidak! Tidak, jangan ambil nyawanya…!" isak Thi Binh.Tubuh Roxy tidak lagi begerak.
"Roxy… Roxy, bangunlah, please…!" isaknya sambil mengusap wajah Roxy berkali-kali.
Si Bungsu tertegak tiga langkah dari tubuh kedua gadis itu. Matanya menatap dua tubuh tentara Vietnam yang terburai isi dadanya diterjang peluru Roxy. Dia menunduk. Thi Binh menatapnya sambil tetap memeluk kepala Roxy.
"Oh Tuhan, dia jadikan dirinya tameng untuk menyelamatkan nyawaku. Hidupkan dia kembali Bungsu… hidupkan dia kembali!. Tolonglah…" ratap Thi Binh.
Sebelah tangannya meraih tangan si Bungsu, sementara tangan yang sebelah lagi tetap memeluk kepala Roxy.
Si Bungsu memegang pergelangan tangan Roxy beberapa saat. Kemudian meraba nadi lehernya. Membalikkan tubuh perawat itu. Melihat di punggungnya ada lobang berlumur darah sejajar dengan lobang di dadanya. Dia tahu, peluru menembus dada kanan gadis ini, tidak bersarang di dalam, sehingga tidak memerlukan operasi.
Mungkin masih ada harapan, bisiknya sambil mengeluarkan dompetnya. Mengeluarkan plastik berisi serbuk yang pernah dia pergunakan untuk mengobati Thi Binh.
Celaka, isinya ternyata hanya tinggal sedikit. Tapi dia berharap cukup untuk sekadar mengobati luka Roxy.
"Baringkan tubuhnya datar di tanah. Jika engkau ingin dia selamat Thi-thi, engkau harus menjaga kami dengan senapan mesinmu. Bantu Duval menghadang serangan yang bisa datang secara mendadak, sementara aku mencoba menyelamatkan nyawa Roxy…" ujar si Bungsu.
Thi Binh segera faham apa yang diinginkan si Bungsu. Dia segera membaringkan tubuh Roxy tertelentang datar di tanah. Kemudian dia ambil senapan mesin yang tadi dipakai Roxy.
"Saya akan menjaga kalian, tapi berjanjilah bahwa engkau akan menyelamatkan nyawanya…" ujar Thi Binh dengan nada berharap sebelum berdiri.
Si Bungsu tersenyum, lalu mengangguk. Thi Binh berdiri, meletakkan ke atas batu senapan mesin ringan yang tadi dipergunakan Roxy, kemudian menembaki beberapa sasaran di depan sana. Belukar yang terdapat di bawah sebuah pohon besar. Di balik-balik batu besar.
Cecaran tembakannya ternyata menelan dua nyawa, seorang tentara Vietnam yang berada di bawah pohon besar itu bergerak akan pindah ke bahagian depan, ke tempat yang lebih dekat dengan orang yang mereka kepung.
Thi Binh sebenarnya tak menampak sosok tentara itu. Dia hanya menghajar beberapa tempat dengan tembakan membabi buta. Dua peluru bren yang ditembakkan Thi Binh menghajar dada dan lehernya. Tentara itu terjungkal dan mati tanpa sempat memekik.
Yang seorang lagi adalah yang berada di balik sebuah batu besar. Sejak tadi dia sudah mengintai Letnan Duval. Dan kesempatan baginya terbuka saat Duval memandang ke arah batu di mana Roxy dan Thi Binh berada.
Dia menoleh ke sana setelah si Bungsu sampai ke tempat kedua gadis tersebut. Kesempatan saat dia menoleh itulah yang dimanfaatkan oleh tentara Vietnam di balik batu. Sekitar lima puluh meter dari tempat Duval. Dia mencogokkan kepalanya di atas batu, kemudian membidik. Namun saat itu pula peluru Thi Binh yang menerjang membabi buta menyiram batu tempat tentara itu berlindung.
Mula-mula yang dihajar peluru hanya bahagian bawah batu. Si tentara yang sudah menarik kepalanya karena khawatir kena tembak segera mencogokkan lagi wajahnya di atas batu tersebut.
Namun saat itu pulalah ujung bedil senapan Thi Binh mengarah sedikit ke atas. Dan dua peluru menghajar jidat tentara tersebut, persis di bawah garis topi waja yang dia pakai. Kepala tentara itu seperti ditendang palu besar. Terdongak dan tubuhnya tercampak ke belakang.
Dua kawannya yang berlindung di balik batu yang sama, terkejut dan menyumpah melihat kawannya yang mati dengan kening berlobang itu.
Thi Binh berhenti menembak setelah Duval berteriak agar menghemat peluru. Thi Binh menarik nafas. Kemudian menurunkan bedilnya dari bahu. Dia duduk di samping si Bungsu yang tengah mengobati luka di dada Roxy. Baju perawat Amerika itu dirobek si Bungsu di tentang luka. Bubuk obatnya yang tinggal sedikit dia campur dengan mesiu.
Untuk memperoleh mesiu, dia mengambil sebuah peluru dari bedilnya. Kemudian menggigit timah bercampur tembaga runcing di bahagian ujung peluru. Dia tanggalkan ujung peluru itu dari selosongnya yang berisi mesiu. Mesiu itu dia tuangkan ke sehelai daun. Kemudian dicampur dengan bubuk obat dari dompetnya yang tinggal sedikit.
Karena tak ada air, dia mengaduk bubuk obat dan bubuk mesiu itu dengan air ludahnya. Lalu dia masukkan ke luka di dada Roxy. Kemudian dia robek kedua lengan bajunya. Robekan dua lengan baju itu dia lilitkan ke bahagian atas pangkal dada Roxy yang luka. Dengan demikian luka itu selain sudah diobati sekaligus juga sudah diperban. Thi Binh menatap apa yang dilakukan si Bungsu dengan diam. Setelah pekerjaan selesai, si Bungsu menghapus peluh di wajahnya. Kemudian menatap Thi Binh.
"Engkau ingin dia selamat, nah kini nyawanya sudah saya selamatkan…." ujar si Bungsu perlahan.
Thi Binh menatap wajah Roxy yang mulai merona kemerah-merahan. Lalu dihapuskannya keringat dingin yang memenuhi wajah perawat Amerika tersebut dengan telapak tangannya.
"Berapa orang tentara yang kau bunuh dengan tembakanmu sebentar ini?" tanya si Bungsu.
"Tak seorangpun…" jawab Thi Binh perlahan.
"Tembakanmu membunuh dua orang tentara Thi-thi…" ujar si Bungsu sambil tersenyum.
Thi Binh menatap tak percaya. Si Bungsu mengangguk.
"Engkau tak mendengar teriakan mereka, karena pendengaranmu terhalang oleh bunyi tembakan…"
"Engkau yakin aku membunuh dua orang tentara?" tanya Thi Binh dalam nada tak percaya.
Si Bungsu mengangguk.
"Bagaimana engkau mengetahuinya?"
Si Bungsu hanya tersenyum. Dan Thi Binh segera menyadari bahwa lelaki ini memiliki indera keenam yang amat tajam.
Indera keenam yang amat tajam itu pula yang kini menyebabkan si Bungsu tiba-tiba mendongakkan kepala. Dia memandang keliling. Kemudian membungkuk, lalu mendekapkan kepala ke tanah. Wajahnya menjadi tegang. Namun ketika bangkit, wajahnya tak menampakkan ekspresi apapun. Datar dan dingin. Saat itu Roxy membuka mata. Matanya nanap menatap Thi Binh. Dan Thi Binh segera memeluknya.
"Kudengar semua ucapanmu beberapa saat sebelum aku pingsan Thi-thi. Terimakasih engkau sangat mengkhawatirkan nyawaku…" ujarnya perlahan.
"Thi-thi jaga dia. Saya akan ke tempat Duval…" ujar si Bungsu.
Ketika si Bungsu beranjak. Thi Binh meraih senapan mesin ringan ke dekat dirinya. Kemudian dia menatap pada Roxy.
"Maukah engkau menjadi kakakku?" bisiknya.
Roxy menatap gadis Vietnam itu. Kemudian di antara air matanya yang mengalir, dipeluknya Thi Binh erat-erat. Thi Binh juga tak mampu menahan air matanya.
"Aku tak punya saudara Thi-thi. Tidak ada abang dan tidak ada adik. Aku anak tunggal. Aku bahagia jika engkau mau jadi adikku, Thi-thi…" bisik Roxy.
"Terimakasih, Kakak. Terimakasih…" ujar Thi-thi di antara isaknya, yang tak mampu dia tahan karena terharu dan bahagia.
Si Bungsu dengan cepat menyelinap ke tempat Duval. Dia bersandar ke sebuah batu, di antara bebatuan besar yang dijadikan Duval sebagai tempat bertahan.
"Bagaimana Roxy?" tanya Duval saat lelaki dari Indonesia itu duduk di sampingnya, sambil matanya terus mengawasi tempat-tempat yang dipergunakan tentara Vietnam mengepung mereka.
"Tertembak dadanya. Sudah saya obati. Sekarang sudah sadar. Kita harus segera menyingkir dari sini. Peleton lain sedang menuju kemari…" ujar si Bungsu.
Letnan Duval menatap ke arahnya sejenak. Kemudian matanya kembali mengawasi semak pohon dan bebatuan antara lima puluh sampai seratus meter di depan sana.
"Berapa orang mereka?" tanya Duval.
"Antara sepuluh sampai dua puluh orang…."
"Masih berapa jauh?"
"Hanya sekitar sepuluh menit lagi…"
Letnan Duval kembali menatap ke arah si Bungsu.
"Berapa besar kemungkinan kita bisa lolos?" ujarnya.
"Seratus persen…" jawab si Bungsu.
Letnan dari SEAL itu menatap tepat-tepat kepada si Bungsu.
"Engkau bawa Roxy dan Thi Binh melewati jalur kanan, tetap menempuh arah matahari terbit. Sekitar setengah jam kalian akan bertemu dengan kolonel MacMahon. Saya akan menghadang mereka habis-habisan di sini…"
"Saya membawa kedua gadis itu, dan engkau bertahan di sini sendirian?" desis Duval.
"Engkau mempunyai gagasan yang lebih baik?"
"Jauh lebih baik dari gagasanmu, Pak…" ujar Duval.
"Ceritakanlah…"
"Kita bertukar tempat…"
"Maksudmu?"
"Aku yang bertahan di sini. Engkau yang membawa kedua gadis itu…" ujar Duval sambil menatap pada si Bungsu.
Si Bungsu menarik nafas. Dia yakin, tawaran Duval bukan karena letnan itu tak yakin pada kemampuannya untuk bertahan. Tawaran itu semata-mata karena rasa tanggungjawab.
"Terima kasih, Anda yang berangkat. Saya yang bertahan…"
"Pak…"
"Ini perintah…."