Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 225 - Kita terkepung

Chapter 225 - Kita terkepung

Mereka tak peduli pihak mana yang membunuh kolonel dan anak buahnya itu. Tak peduli apakah malaikat atau iblis. Yang penting semua tentara jahanam di barak ini mampus. Mereka sudah berbulan-bulan dijadikan budak pemuas nafsu tentara-tentara laknat tersebut. Bermacam perangai tentara itu yang harus mereka hadapi. Tak sedikit yang berpenyakit jiwa dalam memenuhi kebutuhannya terhadap perempuan.

Ada yang baru terpuaskan nafsunya setelah dia berhubungan sambil menyakiti si wanita. Meninju, menyepak, sampai tubuh si wanita babak belur. Ada yang lebih dari itu, yaitu yang suka menyayat-nyayat bahagian tertentu tubuh pasangannya dengan bayonet. Sayatannya memang tak dalam, sekedar luka bekas sayatan itu mengalirkan darah. Sambil berhubungan, si tentara akan menghisap dan menelan darah yang mengalir dari bahagian tubuh perempuan itu

Ada pula yang sebaliknya, dia baru mencapai puncak kenikmatan bila dia yang disakiti. Dia akan meminta pada wanita pasangannya untuk mencambuknya dengan kopel, bahkan ada yang sengaja membawa potongan rotan sebesar empu kaki. Dia meminta si wanita memukuli punggung, pantat dan pahanya dengan rotan sampai lebam dan bilur-bilur.

Dan semua pengalaman itu meninggalkan teror yang menyeramkan pada wanita-wanita yang dipaksa menjadi pemuas nafsu setan tentara-tentara Vietkong itu.

Kini, melihat kolonel itu dan belasan anggotanya mampus, sebahagian dari wanita-wanita yang melihat dari bukit batu itu pada bergegas turun. Mereka pada mengemasi pakaian dan barang-barang mereka. Mereka merasa waktu pembebasan bagi mereka sudah tiba. Derita yang tak tertanggungkan itu sudah akan berakhir.

Namun sebahagian lagi tetap saja terduduk diam di tempatnya. Menatap dengan mata tak berkedip ke lapangan di tengah barak di bawah sana. Menatap ke arah mayat yang bergelimpangan, ke arah barak yang hancur lebur. Menatap ke arah api yang marak di bekas barak yang hancur lebur itu. Kendati ada jarak sekitar seratus sampai dua ratus meter tempat mereka berada dengan barak-barak di bawah sana, namun karena tak ada satu pun yang menghalangi pandangan, mereka dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi.

SI BUNGSU yang masih tegak di sebalik batu besar, tiba-tiba hatinya merasa tak enak. Dia amat yakin pada firasatnya. Dia menatap ke segala penjuru. Saat itu Duval juga sudah selesai menembaki tentara yang berada di lapangan di depan barak tersebut. Si Bungsu memberi isyarat agar mereka berdiam diri sesaat. Roxy, Duval dan Thi Binh lalu berjongkok di balik batu besar di dekat mereka.

Dengan bahasa isyarat si Bungsu menyuruh Duval kembali mengisi kedua howitzer yang baru ditembakkan Roxy dan Thi Binh. Saat Letnan Duval mengisi roket ke howitzer itu, si Bungsu berlutut dan mendekapkan telinganya ke tanah. Ketiga orang lainnya menatap dengan diam. Letnan Duval anggota SEAL yang juga ahli dalam peperangan belantara tahu bahwa lelaki dari Indonesia ini barangkali merasa ada pasukan lain mendekat mereka.

Dia yang juga punya keahlian untuk mendengar dan membedakan gerakan manusia dan hewan melalui tanah, segera ikut mendekapkan telinganya ke tanah. Namun dia tak mendengar ada gerakan kaki manusia. Dia memang mendengar gerakan halus, tapi dia yakin gerakan itu adalah langkah hewan, bukan manusia. Dengan keyakinan pada pendengarannya itu dia lalu duduk. Pada saat yang sama si Bungsu juga telah duduk.

"Kau mendengar sesuatu, Duval?" bisik si Bungsu.

Duval menggeleng. Si Bungsu memberi isyarat pada Roxy dan Thi Binh, agar keduanya bergerak perlahan ke balik sebuah batu besar yang agak melengkung. Sehingga mereka aman dari tiga sisi. Kedua gadis itu, dengan membawa senapan masing-masing, bergerak dengan membungkuk-bungkuk ke tempat yang ditunjukkan si Bungsu.

Tempat itu hanya beberapa depa dari tempat si Bungsu dan Duval. Jarak yang masih memungkinkan si Bungsu berkomunikasi dengan berbisik kepada dua gadis tersebut. Si Bungsu kembali menatap pada Duval. Kemudian pada Roxy dan Thi Binh.

"Kita kini terkepung. Ada sekitar tiga puluh tentara Vietnam yang berpencar di sekitar kita dalam jarak antara lima puluh sampai tiga puluh meter…" bisik si Bungsu.

Duval ternganga. Kalau saja yang mengucapkan kata-kata itu bukan lelaki tangguh yang diam-diam dia kagumi ini, pasti dia takkan percaya. Bagaimana dia akan percaya, kalau dia yang juga dikenal sangat mahir melacak jejak dan mendengar gerakan di tanah dan tak mendengar apapun. Lalu tiba-tiba lelaki ini mengatakan ada tiga puluh tentara yang mengepung mereka?

"Engkau tak mendengar langkah mereka karena mereka memang tak sedang melangkah, Duval. Beberapa detik sebelum kita mendekapkan telinga ke tanah untuk mendengar langkah mereka, mereka sudah berhenti bergerak. Mereka sudah berada di posisi masing-masing. Dan menunggu saat kita bergerak dan lengah…" bisik si Bungsu, sembari matanya seperti mata elang, menyambar ke kiri dan ke kanan, mengawasi tiap pohon dan bebatuan besar di depan dan di samping mereka.

Duval kembali merasa terkejut dengan kemampuan daya fikir lelaki di hadapannya ini. Yang mampu membaca fikirannya, bahwa dia tak mendengar apapun saat mendekapkan telinganya ke tanah.

Namun fikiran dan keheningan belantara itu tiba-tiba dirobek oleh serentetan tembakan. Batu di dekat telinga Duval beserpihan diterkam peluru. Begitu pula pohon besar di dekat kepala si Bungsu dihantam belasan peluru.

Si Bungsu menggeser diri ke arah kanan, sehingga dirinya benar-benar terlindung dari arah datangnya tembakan. Demikian juga Duval. Mujur bagi Roxy dan Thi Binh, mereka sudah berada di tempat yang benar-benar tak mampu ditembus peluru. Kalau saja mereka masih berada di tempatnya sebelum disuruh pindah oleh si Bungsu, mereka pasti sudah menjadi mayat.

Keempat mereka duduk di tanah, bersandar ke batu atau pohon di belakang mereka. Namun dari tempat masing-masing keempat mereka bisa saling mengawasi. Letnan Duval yang lewat sudut mata melihat gerakan di bahagian kirinya, tiba-tiba dengan posisi tetap duduk di tanah, sembari mengangkat bedil tubuhnya membalik cepat ke kiri, lalu bedilnya menyalak dua kali. Terdengar pekik pendek, kemudian disusul suara tubuh jatuh bergulingan, suara topi baja dan bedil tercampak dan berkelontangan di batu.

Lalu sepi!

Duval menatap pada si Bungsu. Si Bungsu mengacungkan kepalan kepadanya. Duval membalas dengan mengacungkan kepalan tangannya pula. Sebuah isyarat ucapan selamat di antara sesama pasukan Amerika yang dipelajari si Bungsu dari Han Doi. Kemudian si Bungsu memberi petunjuk lewat bisikan sekaligus kepada Duval, Thi Binh dan Roxy. Dia paparkan rencananya, bahwa dia akan berlari ke batu yang letaknya sekitar sepuluh depa di kanannya sembari menembak ke suatu sasaran di kanan. Lalu dia beri petunjuk tempat-tempat yang harus dicecar Thi Binh, Roxy dan Duval dengan tembakan begitu dia mendapat tembakan balasan.

Setelah menanti beberapa saat. Si Bungsu tiba-tiba berdiri, sembari berteriak keras dia berlari sambil menembak. Terdengar teriakan dua tentara diiringi semak yang terkuak oleh kelojotan tubuh manusia, dari bawah pohon besar yang baru dihajar oleh tembakan beruntun bedil si Bungsu.

Namun pada saat itu, dari beberapa arah hampir serentak terdengar tembakan senapan otomatis yang ditujukan ke arah tubuh si Bungsu. Namun lelaki yang sudah kenyang dengan kehidupan belantara itu, lari seperti seekor kijang yang amat gesit. Larinya meliuk-liuk dari pohon yang satu ke gundukan batu, dari gundukan satu ke pohon yang lain.

Larinya yang meliuk-liuk itu, untuk sementara menyelamatkan nyawanya dari terkaman peluru. Pada saat itulah, Letnan Duval bangkit dan kemudian menghajar tempat yang tadi ditunjuk si Bungsu sebelum lari. Dari tempat itu memang terdengar rentetan peluru. Pada saat yang sama, Roxy juga bangkit dari duduknya, kemudian menembakkan senapan mesin di tangannya ke arah gundukan batu ke bahagian kiri, dari mana suara tembakan juga menggelegar diarahkan kepada si Bungsu.

Akan halnya Thi Binh, untuk sesaat gadis itu masih tercekam oleh rasa takut dan khawatir atas keselamatan si Bungsu. Dia hanya menatap dengan wajah penuh kecemasan. Lupa pada instruksi si Bungsu, bahwa dia harus menembak ke arah kiri, ke bawah pohon berdaun merah. Barulah setelah mendengar tembakan Roxy dia tersadar. Dia bangkit dan menghujani tempat yang ditunjukkan si Bungsu tadi dengan peluru senapannya.

Karena tentara-tentara Vietkong itu perhatiannya memang ditujukan pada lelaki yang jadi sasaran mereka, yaitu yang berlari meliuk-liuk dalam sasaran tembak itu, mereka menjadi abai dari kemungkinan datangnya tembakan dari tempat lain. Karenanya, begitu Duval, Roxy dan Thi Binh menghajar tempat persembunyian mereka dengan tembakan, segera terdengar pekik dan lolong tentara yang meregang nyawa.

Setelah menembak sampai peluru di magazin senjata mereka habis, Duval dan Roxy serta Thi Binh segera duduk dan mengganti magazin peluru. Semua tembakan terhenti tiba-tiba.

Dari tempat perlindungannya yang baru, si Bungsu kembali mengacungkan kepalan tangan ke arah Duval dan Roxy. Dan dibalas kedua orang itu dengan mengacungkan pula kepalan tangan mereka.

Si Bungsu memberi isyarat, bahwa dalam baku tembak barusan mereka telah membunuh tujuh tentara Vietnam. Si Bungsu mendapat dua nyawa. Duval tiga nyawa dan Roxy serta Thi Binh masing-masing satu nyawa.

Duval tercengang pada kemampuan indera keenam lelaki Indonesia itu. Dalam posisi dihajar peluru seperti itu pun lelaki itu masih mampu menghitung berapa korban yang jatuh di pihak musuh.

Mereka kini sama-sama terdiam. Baik pihak si Bungsu maupun pihak tentara Vietnam yang mengepung mereka. Tak ada yang bergerak. Namun naluri si Bungsu berkata lain. Ada sesuatu yang sedang bergerak mendekati tempat mereka. Dan datangnya justru dari arah barak-barak! Dia menatap keliling. Dia yakin, sosok yang datang itu tidak menuju ke tempatnya.

Bulu tengkuknya merinding, ketika mengetahui bahwa sosok yang datang itu justru sudah berada tak begitu jauh dari tempat Roxy dan Thi Binh! Dia segera memberi isyarat ke arah kedua gadis itu. Celaka, kedua orang itu justru sedang sibuk mengisi magazin senjata mereka. Si Bungsu tak melihat kemungkinan Duval yang berada agak dekat dengan kedua gadis itu untuk menolong. Sebab tempat kedua gadis itu berlindung justru cukup tinggi, sementara tempat berlindung Duval lebih rendah. Artinya, jika orang menyerang dari belakang kedua gadis itu, Duval tak hanya tak dapat melihat, juga tak dapat memberikan bantuan.

Dia ambil sebuah batu, dia lemparkan ke arah Thi Binh. Untung kedua mereka menoleh ke arahnya. Karena tempatnya sudah agak jauh dari kedua gadis itu, dia tak mungkin lagi berbisik. Si Bungsu lalu memberi isyarat, bahwa ada bahaya mengancam dari belakang mereka. Namun terlambat sudah, saat itu dua orang tentara sudah muncul dari balik sebatang pohon, yang tak kelihatan dari tempat si Bungsu. Kedua tentara itu adalah yang tadi selamat dari tembakan senapan mesin mereka saat berada di depan barak-barak sana. Tubuh mereka terlindung oleh barak lain yang tak hancur.

Saat peluru howitzer meluluhlantakkan barak, mereka tiarap diam di tanah. Lalu, tak lama kemudian ketika mereka mendengar suara pertempuran, mereka segera merayap ke belakang barak.

Mereka memang datang dari arah yang tepat, yaitu dari belakang perlindungan Roxy dan Thi Binh. Kini keduanya muncul dengan senjata siap ditembakkan!

Pada saat yang teramat kritis itu, untunglah Roxy cepat bereaksi. Belum lagi isyarat si Bungsu berakhir, dia sudah faham bahaya yang akan muncul. Dia menolehkan kepala ke belakang, persis saat kedua tentara Vietnam itu membidikkan bedilnya ke arah mereka. Roxy yang masih memegang senapan mesin ringan bergerak cepat. Karena tak mungkin mendorong tubuh Thi Binh untuk menyelamatkan gadis itu dari sasaran tembak, dia menghamburi saja tubuh gadis Vietnam itu sambil menembakkan pula senapan mesinnya!