"Sekarang giliran kita…" bisik si Bungsu sambil kembali bergerak maju, diikuti ke tiga anggota 'pasukan'nya.
Dia berhenti di balik sebuah batu besar yang ditumbuhi pohon jenis beringin yang rindang. Kemudian menatap ke lapangan di tengah deretan tentara Vietnam, yang kini jaraknya dari tempat mereka hanya sekitar dua puluh depa. Dia memberi isyarat pada Duval, bahwa dia akan memasuki salah satu barak itu dari belakang, dan minta Duval mengawasinya. Kemudian dia mendekati tempat Thi Binh dan Roxy. Dengan berbisik dia minta agar mereka tetap di tempatnya masing-masing.
Setelah sekali lagi memperhatikan si kolonel di tengah lapangan sana, yang bersama belasan orang anggota pasukannya sedang menatap ke arah datangnya suara tembakan, si Bungsu mulai mendekati barak senjata yang malam tadi dia masuki. Dia harus merayap ketika melintasi sungai kecil dan dangkal lima depa dari barak.
Di bawah tatapan mata ketiga orang yang dia tinggalkan di belukar di belakangnya, si Bungsu segera mencapai barak tempat menyimpan senjata itu. Dia menyesal juga kenapa malam tadi tidak teringat mengambil senapan mesin ringan jenis bren yang di dalam barak itu ada tiga atau empat buah.
Kini dia masuk dengan perasaan khawatir, kalau-kalau senapan mesin itu sudah diambil semua oleh tentara Vietnam dalam upaya memburu mereka.
Di bawah terik matahari dia segera membuka dua keping papan yang malam tadi memang sudah dia copot pakunya. Dia beruntung tak ada patroli. Sebahagian besar tentara Vietnam sudah disebar memburu mereka. Yang tinggal di barak tak menyangka sama sekali kalau orang yang mereka buru justru hanya berada beberapa depa di belakang barak mereka. Tambahan lagi kini perhatian mereka tertuju pada suara tembakan yang terdengar cukup jelas di perbukitan batu di bahagian barat sana.
Ketika sudah berada di dalam barak, si Bungsu merasa lega. Di sana masih dua senjata mesin jenis bren tersebut. Kemudian ada beberapa peluncur roket anti pesawat udara. Diambilnya kedua buah bren dengan peluru berantai itu. Pelurunya dia masukkan ke ransel. Kemudian dia ambil empat buah roket anti pesawat udara, berikut dua buah peluncur roket. Dia bergegas kebagian belakang. Kemudian keluar. Dia merasa tak perlu menutupkan kembali papan yang copot. Tak ada gunanya.
Thi Binh menahan nafas ketika melihat tangan si Bungsu mengulurkan senjata yang dia curi itu dari Dalam barak. Dia khawatir tiba-tiba saja dan ada tentara Vietnam menuju kebelakang barak. Gadis itu, juga Roxy, baru menarik nafas panjang dan lega ketika si Bungsu sudah berlari kearah mereka.
Mereka tak tahu bahwa telunjuk Duval senantiasa berada di pelatuk bedil. Dengan nanap menatap kearah apapun yang bergerak mendekati barak tersebut, baik dari depan maupun dari belakang.
Dia sudah merencanakan, jika ada yang bergerak kebarak, dia akan menembaknya. Kemudian sasaran berikutnya adalah sang Kolonel. Dia akan membunuh kolonel tersebut, untuk menimbulkan kepanikan di antara pasukan tersebut.
Tapi unutnglah tak satupun, diantara belasan tentara Vietnam yang berada di lapangan depan barak itu yang mendekati barak yang di masuki si Bungsu, kini si Bungsu sudah di dekat mereka.
Suara tembakan dari kejauhan, dari tempat kolonel MacMahon berada, masih terdengar secara sporadis. Tak lagi segencar yang pertama. Letnan Duval segera memasukan rantai peluru kedua bren yang dibawa si Bungsu. Kemudian juga memasukkan masing-masing sebuah roket kedua buah tabung howitzer, yang dipakai sebagai senjata anti pesawat udara atau anti tank. si Bungsu menatap Thi Binh. Kemudian berkata perlahan.
"Thi-thi, waktu kita sangat pendek. Kita tak mungkin menangkap Kolonel itu. Tapi, engkau tetap bisa membalaskan dendam mu. Dari sini, dengan howitzer ini engkau bisa membuat tubuhnya menjadi serpihan daging…"
Mata Thi Binh berkilat. Kemudian dia menatap si kolonel itu. yang masih petentengan di tengah lapangan sana. Si Bungsu menatap pada Duval.
"Letnan, kau tuntun dia menembakkan howitzer ini, agar apa yang dia ingin dia peroleh…"
"Siap, pak…!"jawab Duval sambil mengangkat sebuah howitzer.
Dia memperagakan cara mempergunakan senjata berbentuk tabung itu. Senjata itu diletakkan di bahu, bahagian yang agak kecil di hadapkan kedepan. Lalu dia menunjukan pelatuknya. Pada saat yang sama si Bungsu meletakkan sebuah bren diatas batu, lalu memberikan howitzer yang satu lagi kepada Roxy.
"Bersamaan dengan isyarat Letnan Duval, Thi-thi menembak si Kolonel, anda menembak gudang senjata mereka. Saya akan menembaki tentara yang berkeliaran…"ujarnya.
Gadis itu menatap dengan mata berkilat pada si Bungsu, kemudian mengangguk dan mengangkat howitzer ke bahunya. Dia tentu saja sudah paham mempergunakan senjata itu.
Dia membidikkannya kearah barak persenjataan Vietnam, sekitar dua puluh depa di depan mereka.
"Berapa lama peluru howitzer ini mencapai sasaran setelah di tembakkan?"tanya si bUngsu pada letnan Duval.
Duval memandang kolonel itu, memperkirakan jarak mereka dengan si kolonel.
"Antara dua detik sampai tiga detik…"jawabnya.
"Dengar Thi-thi, aku akan berteriak seolah-olah memanggil kolonel itu. Dia akan menoleh kemari, aku akan melambai-lambaikan tangan. Dia tentu kaget dan heran, saat itu kau tarik pelatuk howitzer mu, saat dia melihat kemari, paham?" Thi Binh mengangguk. Letnan Duval tersenyum.
"Bisa kita mulai?"
"Bisa pak, anda panggilah sahabat anda itu, pak…"jawab Duval.
Si Bungsu lalu berteriak sekuat tenaga beberapa kali. Kolonel itu, serta dua orang tentara lainnya celingukan mencari-cari datangnya suara itu. Si Bungsu mengeluarkan handuk kecil dari sakunya, kemudian melambaikannya. Si Kolonel melihatnya, dan berbicara pada tentara disampingnya. Saat itulah Duval menyuruh Thi Binh dan Roxy menarik pelatuk Howitzernya.
Terdengar suara mendesis tajam, ketika proyektil dari dua tabung di bahu Thi Binh dan Roxy meluncur keluar. Si Kolonel menjadi curiga karena sekilas dia seperti melihat asap tipis di bukit bebatuan itu. Namun kecurigaanya itu sudah terlambat, benar-benar terlambat. Jarak antara dia dengan asap tipis yang di lihat itu terlalu dekat bagi roket anti pesawat.
Pada saat yang bersamaan, dua ledakan hebat terjadi. Ledakan pertama terjadi ketika roket Roxy menghantam gudang senjata. Sedetik kemudian wajah si kolonel seperti 'menabrak' sesuatu. Kemudian si kolonel dan lima orang tentaranya seperti lenyap kedalam ledakan dasyat. Tubuh si kolonel dan kelima anak buahnya benar-benar jadi serpihan daging.
Beberapa tentara yang berdiri jauh dari si kolonel dan lima atau enam tentara itu terkejut tatkala setelah suara ledakan tubuh mereka di landa serpihan kain, daging, tulang, dan cipratan darah. Mereka tak lagi melihat kolonel dan teman-teman mereka. Semua lenyap bersama ledakan itu.
Mereka seperti tak sempat di buat terkejut, sebab disaat yang bersamaan dengan ledakan yang menghantam sang kolonel terjadi ledakan susul menyusul. Pertama ledakan yang menghancurkan gudang senjata, kedua ledakan mesiu dari ledakan gudang senjata itu menyebar kemana-mana menjadi bola liar yang menghantam tentara yang di barak maupun di luar.
Kepanikan terjadi melanda beberapa tentara yang masih hidup. Mereka lari bertemperasan, ada yang berlari mencari perlindungan. Dan ada yang lari mencari tempat untuk melakukan balasan dari serangan yang tak tahu berasal dari mana.
Malangnya begitu mereka bergerak tubuh mereka dihajar muntahan senjata mesin si Bungsu. Beberapa orang diantaranya rebah seperti pohon pisang ditebang parang tajam. Terjungkal berkuah darah dan mati. Hanya dua atau paling tiga yang selamat. Mereka tiarap ditanah seolah-olah sudah mati dan sebagian memang sudah tak bernyawa lagi.
Si Bungsu menatap Thi Binh yang masih tegak tak bergerak, dengan howitzer di bahu, dan mata nanap memandang kearah sang kolonel yang sudah lenyap itu. Perlahan dia ambil howitzer dari bahu gadis itu, sedangkan Thi Binh masih terus menatap ke areal barak dan seperti tak percaya kalau dialah yang mencabut nyawa si kolonel.
"Seluruh kepingan dagingmu akan langsung ke Neraka.."bisik hatinya, menyumpahi si kolonel yang tubuhnya sudah hancur lebur dengan sepenuh dendam.
"Dendam mu sudah terbalaskan, Thi-thi…"ujar si Bungsu sambil memegang bahu si gadis.
Thi Binh seperti baru sadar dari mimpi buruk yang selalu menghantuinya, dia memeluk si Bungsu dan menagis terisak-isak.
"Terimakasih, Bungsu…Terimakasih…" ujarnya.
Roxy menatap kedua orang itu dengan diam.
Di Balik sebuah bukit, sekitar seratusan meter dari barak yang sedang mengalami kiamat kecil itu, ada beberapa barak panjang. Di barak itu dijejali belasan wanita Vietnam berusia diantara 14 sampai 20 tahun, yang rata-rata berwajah elok. Mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu bagi ratusan tentara Vietnam di barak itu.
Setiap tentara yang akan memuaskan nafsunya, harus menyerahkan sebuah kupon pada wanita tersebut. Kupon itu dapat diambil pada perwira keuangan, yang mencatatnya, dan akan dipotong langsung dari gaji mereka. Bagi wanita-wanita tersebut, pada saat mereka dilepas, biasanya karena jatuh sakit atau di anggap "sudah ketinggalan seri", mereka dapat menukarkan kupon yang mereka kumpulkan ke perwira keuangan, dengan nilai tertentu tiap kuponnya.
Makin banyak tentara yang menyukai layanan mereka, makin banyak mereka mendapat kupon, itu berarti makin banyak pula mereka mendapat uang. Thi Binh tentu saja pernah mendapatkan kupon itu. Baik dari kolonel gaek itu, dan jumlahnya banyak sekali, dari mayor yang wakil komandan, maupun dari para prajurit. Namun tiap diserahkan tiap dirobeknya kupon tersebut. Sampai akhirnya ada di antara wanita-wanita di barak itu yang meminta agar kupon itu jangan dirobek, tapi diberikan pada mereka. Mereka membutuhkan kupon itu, karena orang tua mereka adalah petani miskin. Jadi uang dari tukaran kupon amat berarti bagi mereka, untuk dibawa pulang ke kampung jika tiba saatnya dibebaskan.
Saat gempuran melanda barak-barak, tak seorang pun tentara Vietnam yang berada di barak para wanita penghibur tersebut.
Sejak pagi tadi dibunyikan terompet bahaya. Semua personil segera berhamburan ke barak masing-masing. Memakai pakaian tempur dan mengambil senjata. Kemudian mereka segera dibagi dalam empat peleton besar, dan langsung menerima perintah memburu tawanan yang lolos itu ke empat penjuru.
Sudah sejak pagi para wanita itu berada di bukit batu yang memisahkan barak mereka dengan barak yang dihuni para tentara. Bukit itu biasanya tempat mereka menghibur diri bila sore hari. Karena dari sana bisa memandang ke arah barat dan bisa pula memandang ke bahagian belakang, ke sungai besar yang mengalirkan air amat jernih.
Kini mereka menanti apa yang akan terjadi, kenapa para tentara tiba-tiba diperintahkan berkumpul seluruhnya? Mereka melihat para tentara itu bergegas menyusun barisan. Ada pula regu-regu kecil berkekuatan tujuh orang, yang menyisir wilayah hutan berbukit terjal di sekitar barak.
Saat terdengar suara tembakan dari kejauhan, wanita-wanita tersebut segera berlarian ke bukit batu di belakang barak mereka. Mereka melihat hanya belasan tentara yang berada di depan barak. Lalu juga melihat si kolonel mondar mandir di depan pasukan yang belasan itu, persis kereta api lansir. Hampir semua wanita itu mengenal kolonel gaek tersebut. Sebab hampir semua mereka dibawa ke kamp ini harus dipersembahkan terlebih dahulu kepada gaek kalera bernafsu badak itu.
Saat itulah tiba-tiba mereka mendengar sebuah ledakan, lalu tubuh kolonel badak itu lenyap dari pandangan bersama gumpalan asap dan kilatan api. Lalu tentara-tentara yang lain pada bertumbangan, lalu salah sebuah barak meledak dan dilemparkan ke udara menjadi kepingan-kepingan tak berbentuk.
Para wanita itu ternganga, ada yang menggigil. Namun, hati mereka sungguh-sungguh amat bersuka cita.