Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 214 - Dia seorang pengembara..

Chapter 214 - Dia seorang pengembara..

"Senjata yang kita miliki sekarang tidak memadai untuk beraksi. Coba hitung berapa peluru yang ada di bedil masing-masing?"ujar si Bungsu sambil mengeluarkan magazin senapannya.

Ketika orang Vietnam yang lainnya itu pun berbuat hal yang sama. Thi Binh di bantu oleh ayahnya mengeluarkan magazin dan menghitung peluru.

"Saya masih memiliki 14 peluru…"ujar si Bungsu setelah menghitung sisa peluru di magazin bedilnya.

"Saya hanya tinggal lima…"ujar Han Doi.

"Di bedil saya tiga peluru. Dan di bedil Thi Binh dua puluh lima…"ujar duc Thio.

"Baik, sekarang kita bagi sama banyak.."ujar si Bungsu.

Mereka kemudian meletakkan semua peluru itu diatas batu pipih yang mereka duduki. Kemudian, si Bungsu membagi rata ke 52 peluru tersebut. Tiap orang memperoleh 13 butir peluru. Lalu mereka memasukan kembali peluru itu kedalam magazin senjata masing-masing.

"Dengan peluru yang ada sekarang, kita mustahil berperang melawan tentara di bawah sana. Untuk itu, kita harus berusaha mencuri senjata mereka, barangkali di salah satu barak persenjataan mereka ada dinamit. Namun sebanyak apapun persenjataan yang dimiliki, kita tetap saja tak mungkin berperang melawan mereka. Kita harus menggunakan taktik tembak dan lari…"ujar si Bungsu sambil menatap ketiga anggota rombongannya itu.

Karena ketiga mereka berdiam diri, si Bungsu menjelaskan rencana berikutnya.

"Duc Thio dan Thi Binh menunggu disini. Saya dan Han Doi akan menyelusup mendekati barak di bawah sana, untuk mencari senapan mesin atau dinamit. Kita harus bergerak cepat, sebelum siang turun…"ujarnya.

Kemudian dia menatap Thi Binh. Dan gadis itu juga menatapnya. Dia ingat janjinya, bahwa dia takkan meninggalkan gadis itu, kendati agak sesaat. Dia sudah berniat mengatakan bahwa dia akan pergi bersama gadis itu, tatkala Thi Binh dahuluan berkata.

"Saya akan tinggal disini bersama ayah. Tapi, berjanjilah bahwa engkau akan kembali kemari. Saya akan bunuh diri jika engkau tak kembali kemari…"ujarnya.

Si Bungsu menatap gadis itu. Kemudian menatap Duc Thio dan Han Doi. Kedua lelaki itu hanya tercenung. Si Bungsu kemudian memeluk gadis itu.

"Percayalah, saya akan kembali padamu disini…"ujarnya.

Sesaat setelah itu, dia dan Han Doi bergerak menuruni bukit tersebut. Mereka tetap menjaga saat menyelusup mendekati barak-barak tentara Vietnam itu gerakan mereka tetap terlindung di balik hutan belukar.

Hanya sekitar sepuluh menit kemudian, si Bungsu dan Han Doi sampai di bahagian belakang barak yang membelakangi bukit. Mereka berada di sisi utara, sekitar sepuluh meter dari barak terdekat. Bersembunyi dibalik bebatuan, persis di bawah bukit.

"Han, kita cari barak persenjataan, kau periksa dua barak yang dikiri, saya dua barak yang di kanan. Setelah itu kita bertemu lagi disini…"bisik si Bungsu.

Han Doi mengangguk. Setelah memperhatikan situasi, dengan berlindung di dalam kegelapan yang kental, mereka berdua kemudian bergerak mendekati barak yang jadi tujuan masing-masing.

Jauh di atas bukit, Thi Binh tengah nanap memandang ke bawah sana. Dia berharap bisa melihat si Bungsu dan Han Doi sepupunya. Namun jelas saja dia tidak bisa melihat mereka, selain belasan tentara yang hilir mudik, atau yang sedang duduk di sekitar api unggun yang menyala sepanjang malam.

"Engkau benar-benar mencintainya?" tiba-tiba Thi Binh di kejutkan oleh pertanyaan ayahnya. Kemudian perlahan pula dia mengangguk. Duc Thio menarik nafas panjang.

"Ayah keberatan?"katanya setelah ayahnya tak memberikan komentar apapun tentang angguknya barusan. Duc Thio Menggeleng.

"Dia adalah lelaki yang tidak saja hebat, tetapi amat berbudi… Thi Binh", ucapan ayahnya belum selesai.

Dia menanti.

"Dia seorang pengembara.." ujar ayahnya perlahan.

Thi Binh masih menanti kelanjutan ucapan ayahnya.

"Kemaren dia di Amerika, sebelumnya di Jepang, kini bersama kita disini…"

Thi Binh masih menatap pada ayahnya dengan diam. Lama tak ada yang bersuara diantara mereka.

"Kita tak tahu, kemana dia akan pergi setelah ini Thi-thi…"

Thi Binh menjadi arif kemana tujuan ucapan ayahnya.

"Saya akan ikut kemana dia pergi…!"ujarnya perlahan.

Tak ada komentar dari ayahnya.

"Ayah mengizinkan kalau saya ikut dengannya…?"

Tak ada jawaban dari ayahnya. Thi Binh masih menanti.

"Ayah ikut bahagia, kalau engkau bahagia menikah dengannya. Thi Binh…tapi apakah itu mungkin…?"

Duc Thio benar-benar tak mau mematahkan semangat anaknya. Dia amat tak keberatan kalau anaknya yang berusia muda belia itu, mencintai si Bungsu. Kepahitan hidup membuat anaknya itu, dan ribuan anak-anak dalam kecamuk perang lainnya, menjadi jauh lebih dari dewasa dari usia mereka sebenarnya.

Dia sungguh berbahagia kalau anaknya benar-benar bisa menikah dengan lelaki dari Indonesia itu. Dia hanya ingin anaknya menyadari, untuk mencintai lelaki seperti si Bungsu bukanlah hal yang sulit, namun untuk hidup dengan lelaki pengembara seperti dia, merupakan hal yang sangat pelik dan nyaris mustahil.

Duc Thio ingin anaknya memahami hal itu dengan baik. Agar kelak dia memang menemukan apa yang dikhawatirkan itu, dia bisa memahami dan siap mental. Thi Binh sendiri memahami apa yang ada di fikiran ayahnya.

"Ayah tak keberatan saya mencintainya?" Duc Thio menggeleng.

"Ayah mengizinkan kalau suatu saat saya menikah dengannya?"

Duc Thio kembali mengangguk. Thi Binh memeluk ayahnya. Matanya basah.

"Terima kasih ayah. Saya mencintai dia. Saya tak tahu kenapa saya bisa mencintainya. Kendati saya hanya melihat dia dalam mimpi. Terimakasih ayah mengizinkan saya mencintainya. Tentang menikah, biarlah Tuhan yang menentukan kelak…"ujarnya perlahan.

Duc Thio membelai kepala anak gadisnya. Matanya juga basah. Dia amat bersyukur karena si Bungsu demikian cepat dapat memulihkan tidak hanya kondisi fisik anaknya, tetapi juga kondisi jiwanya. Dia semula amat khawatir trauma atas perkosaan panjang yang dialami anaknya di barak-barak tentara Vietkong itu akan menghancurkan hidup anaknya sepanjang hayat. Kini ke khawatiran itu telah lenyap sudah.

Jauh di bawah sana, si Bungsu dan Han Doi sudah berkumpul di balik batu-batu besar di kaki bukit tempat mereka mengatur penyelusupan.

"Dua barak yang saya periksa hanya tempat tentara tidur…"ujar si Bungsu sambil bersandar di batu besar di belakangnya.

"Saya menemukannya. Di barak yang di tengah sana adalah tempat penyimpanan senjata, amunisi dan dinamit…"ujar Han Doi.

Si Bungsu menjulurkan kepala di sela batu, memperhatikan barak yang dilihat Han Doi tempat penyimpanan amunisi dan bahan peledak tersebut. Barak itu memang lebih kecil sedikit dibanding barak yang lain. Letak barak itu di tengah, di depannya terlihat beberapa tentara duduk mengelilingi api unggun, sambil menengak minuman keras.

"Ada penjagaan di bahagian depan …?"tanya si Bungsu.

"Tidak. Nampaknya mereka sangat yakin tempat ini takkan pernah di jejak orang lain. Tak satupun barak yang dijaga, termasuk barak amunisi itu…"ujar Han Doi.

"Baik. Waktu kita sangat pendek. Semakin cepat kita meninggalkan tempat ini semakin baik, sebelum di ketahui dan diburu. Untuk itu, pertama kita harus mengambil peluru seperlunya, dan beberapa dinamit dan usahakan mereka tak curiga jika memeriksa kotak penyimpanan peluru dan dinamit. Dan kemudian kita akan mencari dimana tawanan Amerika itu disekap. Kini kita harus bergeser ke arah barak senjata itu…"ujar si Bungsu.

Lalu mereka memperhatikan situasi. Kemudian keduanya mulai bergerak membungkuk. Menyelinap diantara pepohonan dan batu-batu besar kearah belakang barak amunisi tersebut. Di belakang barak itu, sekitar berjarak lima belas meter, mereka bersembunyi beberapa saat. Memang tak ada penjagaan dan malam begitu kental gelapnya. Namunmereka tetap harus ekstra hati-hati.

Ketika keadaan dirasa aman, si Bungsu memberi isyarat. Mereka merayap kebahagian belakang barak yang ternyata tak memiliki jendela. Si Bungsu memberi kode agar Han Doi ke bahagian pinggir kanan barak. Mengawasi kalau-kalau ada yang datang sementara dia berusaha mencongkel agak dua keping papan dinding, sebagai jalan masuk.

Han Doi merayap menyelusuri dinding. Mengintip ke bahagian depan barak. Dia melihat tiga tentara Vietnam yang duduk di bahagian kanan api unggun. Mereka sedang bicara dan tertawa kecil. Dua tentara lainnya telah tertidur. Hanya itu yang dapat dilihatnya dari tempatnya. Beberapa orang yang duduk didekat api unggun, disebelah kiri tak terlihat olehnya. Pandangannya terhalang oleh dinding barak itu. Dia memberi isyarat.

Si Bungsu segera beraksi. Dengan samurai kecilnya dia mencungkil papan dinding. Namun ternyata tak mudah. Ada beberapa saat dia berusaha, barulah bisa satu papan dicongkelnya. Lobang dari sehelai papan itu masih belum bisa untuk meloloskan diri kedalam. Dia berusaha menanggalkan sekeping lagi. Namun saat itu dia mendengar isyarat dari Han Doi.

"Ada yang mendekat kemari…"bisik han Doi.

Si Bungsu duduk di tanah dan bersandar kedinding, bersiaga dengan bedilnya. Kemudian menanti dengan perasaan tegang. Han Doi menarik kepalanya sedikit. Mengintai seorang tentara Vietnam yang tegak dari api unggun, dan berjalan sempoyongan ke arahnya. Han Doi meletakkan bedil. Kemudian mencabut pisau dari punggungnya.

Dia rasa lebih aman membunuh tentara yang satu ini dengan pisau dibanding bedilnya. Mereka bisa membunuhya diam-diam, dan bergerak cepat meninggalkan tempat ini. Jika dengan tembakan pasti akan membangun semua tentara dan memburu mereka.

Tapi tentara Vietnam yang bangun sempoyongan itu hanya mau kencing, sekitar lima depa dari sudut barak tempat Han Doi menanti, dia berhenti. Di dekat dia tegak ada tiga buah tong. Dia membuka celananya, kemudian sambil menggumamkan sebuah senandung, dia pun kencing. Kemudian melangkah kembali ke arah api unggun. Karena mabuk dia lupa mengancingkan buah celananya yang tadi dia buka saat kencing,

Han doi memberi isyarat kalau keadaan sudah aman. Si Bungsu kembali berusaha mencongkel papan dinding barak itu. Tak lama usahanya itu berhasil. Dia memberi isyarat agar han Doi tetap mengawasi dua sisi rumah itu. Sementara dia akan masuk ke gudang amunisi itu untuk mengambil apa yang diperlukan.

Setelah Han Doi membalas dengan kode kalau dia mengerti, si Bungsu segera menyelinap masuk. Barak itu di terangi sebuah lampu dinding. Meski samar-samar, tapi dia bisa bergerak bebas. Dia mengambil sebuah ransel. Lalu mencari peti peluru yang sama dengan senapan mereka.

Saat dia mengaut[1] peluru dari peti itu dan memasukkannya ke ransel, dia dengar ketukan halus di dinding belakang. Si Bungsu menghentikan gerakan.Kembali dia dengar ketukan pendek. Dia segera tahu Han Doi tengah mengetuk dengan memakai sandi morse. Meski agak samar-samar dia segera tahu, ada dua tentara bergerak ke arah Han Doi. Han Doi berdebar.

Kedua tentara itu ternyata membawa senter. Dia menoleh kearah si Bungsu masuk. Ternyata papan yang tadi tempat si Bungsu masuk, sudah ditutup kembali.

---

[1] mengaut = meraup