Sebagai bekas tentara vietnam selatan yang cukup kenyang pertempuran, dan bekas intelijen pula, han Doi tahu apa yang harus di lakukannya. Dengan cepat dia membuka baju yang dia pakai. Lalu menghapus jejak mereka tadi di tanah. Dia kembali mengetuk, perlahan beberapa kali pada dinding. Kemudian dengan cepat menyelinap ke hutan dan bebatuan sekitar sepuluh meter dibelakang barak. Si Bungsu yang mendengar ketukan itu tahu kalau Han Doi bersembunyi dibalik bebatuan di belakang barak. Dia menanti dengan dia di dalam barak itu. Kedua tentara yang tadi berjalan kearah Han Doi itu, menyenteri arah kanan belakang barak itu. Kemudian kearah belakang barak amunisi. Firasat Han Doi yang mengatakan kalau kedua tentara itu akan memeriksa ternyata benar. Untung saja si Bungsu kembali menutup dinding yang dia congkel tadi. Sehingga dalam jarak tempat tentara itu menyenter tak terlihat sesuatu yang ganjil di dinding barak itu.
Si Bungsu mendengar langkah kedua tentara Vietkong itu di belakang barak. Dia duduk bertopang dagu diantara peti-peti senjata itu. Memperlihat senapan-sanapan mesin dan peluncur proyektil anti tank. Ketika dia dengar lagi ketukan di dinding, kembali dia mengisi ranselnya dengan peluru. Dia ingin mengambil peluncur proyektil anti tank, atau sebuah senapan mesin ringan. Namun jika itu dia lakukan, tentara Vietnam akan segera mengetahuinya. Mereka akan siaga, melakukan penyisiran di seluruh hutan dan bukit, dan bisa saja mereka segera memindahkan tawanan.
Dia tak ingin hal itu terjadi. Jika yang diambil hanya sebuah ransel, peluru dan beberapa batang dinamit, kehadiran mereka takkan segera diketahui. Sebab ada puluhan ransel, berpeti-peti peluru dan dinamit. Tak mungkin mereka menghitung peluru butir demi butir dan dinamit batang demi batang. Beda halnya jika yang diambil senapan mesin atau peluncur proyektil anti tank. Jumlahnya yang tak seberapa menyebabkan kekurangan sebuah saja akan segera diketahui. Setelah merasa cukup, dia melangkah dengan hati-hati ke bahagian belakang barak.
Sebelum membuka dua keping papan yang tadi dia tutupkan, dia mengetuk dinding dengan halus. Dia mendengar ketukan yang menyatakan aman dari luar. Ditanggalkannya kedua keping papan itu kembali, kemudian merayap keluar. Di luar kembali dia memasang kedua papan itu, serta memakunya dengan cara khusus, sehingga jika tak diperhatikan dengan seksama, orang takkan tahu bahwa papan itu pernah dibuka secara paksa, dan peluru dan dinamit dari dalam barak tersebut telah dicuri.
Dia memberi isyarat pada Han Doi yang berjaga-jaga di sudut barak tersebut. Kemudian mereka bergerak mundur, sambil menghapus jejak yang ditinggalkan di belakang barak amunisi itu. Di sebalik batu besar dimana mereka tadi mengatur siasat, mereka berhenti sebentar.
"Masih ada sisa waktu, untuk kita mencari goa yang dikatakan Thi Binh sebagai tempat menyekap tawanan Amerika itu…" bisik si Bungsu.
"Barangkali kita tak perlu susah-susah mencari…" bisik Han Doi, yang masih tegak dan menatap ke arah barak.
Si Bungsu menatap temannya itu. Dia tak faham apa yang dimaksud Han Doi. Orang Vietnam itu memberi isyarat agar si Bungsu berdiri. Dia menunjuk ke sela antara dua barak yang baru mereka tinggalkan. Di depan sana, di sela bukit-bukit batu yang tegak menjulang, kelihatan empat orang sedang berjalan menuju ke barak yang terdapat persis di sebelah barak amunisi yang tadi dimasuki si Bungsu. Di bawah pantulan cahaya api unggun dengan jelas kelihatan bahwa dua di antara orang yang sedang berjalan itu adalah wanita. Dua lagi lelaki. Kedua lelaki itu tak disangsikan lagi adalah tentara Vietnam. Hanya anehnya, kedua lelaki itu tak membawa bedil. Mereka berempat berjalan seolah-olah baru pulang dari pasar saja laiknya. Dua orang lagi, kendati memakai celana panjang dan kemeja lengan panjang model tentara, bisa dipastikan wanita. Itu terlihat dari rambut mereka yang tak mengenakan topi. Dan warna rambut itu yang memastikan mereka bukan orang Vietnam. Rambut kedua wanita itu pirang.
Wanita Amerika di barak tentara Vietnam! Bisa dipastikan bahwa mereka adalah tawanan. Namun yang terasa ganjil di hati si Bungsu dan Han Doi, dalam perjalanan dari sela-sela bukit ke barak, kedua wanita itu terdengar saling ngobrol dengan kedua tentara Vietnam yang mengiringi mereka. Malah pembicaraan mereka di sela dengan tertawa renyah si wanita. Kedua wanita berambut pirang dan bicara dalam bahasa Inggeris itu diantar ke barak yang berada di kiri barak amunisi. Mereka masuk ke dalam, dan kedua tentara yang mengiringkannya ikut bergabung dengan teman-temannya di sekeliling api unggun. Si Bungsu ternganga melihat kenyataan itu. Dia menggelengkan kepala, seolah-olah tak bisa mempercayai penglihatannya. Dia tak tahu apakah salah seorang di antara kedua wanita berambut pirang itu adalah gadis yang bernama Roxy Rogers, anak tunggal multi milyuner Amerika bernama Alfonso Rogers, yang sedang dia cari untuk dibebaskan dan dikirim kembali kepada ayahnya di Amerika sana.
"Well, bagaimana?" suara Han Doi mengejutkan si Bungsu.
"Kita harus menyelidiki, apakah di antara kedua wanita tadi ada yang bernama Roxy Rogers…" bisik si Bungsu.
"Coba saya lihat fotonya sekali lagi…" ujar Han Doi.
Si Bungsu mengambil dompet dari kantong belakang celananya. Mengeluarkan foto berwarna ukuran 4 x 6 cm, yang dibuat secara khusus dengan campuran plastik. Kendati berlipat-lipat atau kena air, foto itu tetap selamat. Han Doi berjongkok, kemudian menyorot foto itu dengan senter sesaat. Lalu mematikan senternya dan mengembalikan foto tersebut kepada si Bungsu. Meski sebenarnya dia sudah dua tiga kali melihat foto itu, dia harus mengakui bahwa gadis yang bernama Roxy itu adalah seorang gadis cantik dan menggiurkan. Kecantikan itu pasti akibat kawin campuran. Karena dia lahir dari blasteran, ayahnya yang Amerika turunan Spanyol dan ibunya yang Amerika asal Irlandia Utara.
"Kita mencoba mencari tahu ke barak itu?" tanya Han Doi.
Si Bungsu mengangguk sambil meletakkan ransel berisi peluru dan dinamit di sela batu. Sesaat mereka memperhatikan keadaan sekeliling, kemudian mulai menyelusup ke arah barak yang dimasuki kedua wanita berambut pirang dan berbahasa Inggris tadi. Kedua mereka, selain ingin memastikan apakah salah seorang dari kedua wanita itu adalah Roxy, juga ingin tahu apa yang mereka perbuat di barak tentara pada malam selarut ini.
Begitu sampai di belakang barak, si Bungsu memberi isyarat agar mereka mengambil tempat di sudut menyudut barak itu. Si Bungsu di sudut kiri, Han Doi di sudut kanan. Posisi itu menyebabkan mereka bisa mengawasi bahagian kiri dan kanan barak tersebut, kalau-kalau ada tentara yang bergerak menuju belakang barak untuk terkencing atau patroli.
Si Bungsu segera mencari celah pada dinding, untuk mengintip ke dalam. Dia menemukan sebuah lobang kecil, dan mendekatkan mata. Namun yang terlihat hanya cahaya suram lampu dinding dan pandangan selebihnya terhalang oleh sebuah mantel hujan yang digantungkan pada sebuah paku. Han Doi lebih beruntung. Dia segera menemukan sebuah celah pada papan yang besarnya sekitar dua jari dan panjangnya sekitar lima sentimeter. Dari tempatnya dia melihat salah seorang wanita berambut pirang tadi.
Dia segera memastikan wanita itu bukan Roxy, sebagaimana fotonya yang barusan diperlihatkan si Bungsu. Dia segera pula memastikan bahwa wanita itu memang orang Amerika, atau Inggris. Dia mencoba mencari tahu di mana wanita yang seorang lagi. Namun barak ini nampaknya khusus untuk para perwira. Itu dapat dilihat dari tempat yang sedang dia intip. Tempat itu disekat-sekat setinggi dua meter dari lantai, sehingga membentuk sebuah kamar berukuran 2 x 3 meter.
Wanita itu tegak sesaat di depan pintu kamar. Menatap ke tempat tidur. Dekat tempat tidur berdiri seorang perwira Vietnam, yang usianya sekitar 30-an tahun, berbadan tinggi dan agak kurus, hanya memakai handuk sebatas pinggang. Mereka bertatapan. Dan tiba-tiba sama-sama maju, dan berpelukan, lalu berciuman dengan sama-sama penuh nafsu. Han Doi kaget melihat peristiwa itu.
Sepanjang cerita yang dia dengar selama ini, wanita Amerika yang ditangkap Vietnam selalu saja menjadi korban perkosaan. Artinya, mereka sungguh-sungguh melawan ketika tentara menjahili mereka. Mereka terpaksa melayani nafsu setan tentara Vietnam Utara karena mereka tak mampu melawan. Ada yang dipukuli sampai pingsan, ada yang diikat ada yang diberi obat bius, sebelum mereka akhirnya diperkosa.
Namun yang dia lihat kini, sama sekali bertolak belakang, ketika orang di dalam kamar berukuran kecil itu, dalam posisi masih sama-sama berdiri, saling melucuti pakaian. Saling memeluk, bergumul, mendesah dan saling meremas dengan rakus.
Di sisi lain dari barak itu, di tempat si Bungsu mengintai ke dalam mula-mula dia melihat seorang wanita Eropah memasuki sebuah kamar. Wanita itu kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Dan si Bungsu baru mengetahui bahwa di tempat tidur itu sedang berbaring seorang perwira Vietnam. Usia perwira itu barangkali sekitar 45 tahun. Nampaknya dia sedang memegang botol minuman keras. Begitu wanita Eropah tersebut duduk, si perwira memberikan botol minuman itu padanya. Si wanita menerima botol pipih kecil tersebut. Kemudian menenggak minuman itu, beberapa teguk. Di bawah sinar lampu dinding, wajahnya segera terlihat bersemu merah usai menenggak beberapa teguk minuman keras tersebut. Sambil menatap nanap pada si perwira, wanita itu kemudian duduk berlutut di pembaringan. Perlahan dia membuka pakaiannya satu persatu, sampai lembar terakhir.
Si Bungsu meninggalkan celah tempat mengintip tersebut, setelah memastikan bahwa wanita itu bukan Roxy, anak milyuner Amerika yang sedang dia cari. Han Doi menoleh ketika mendengar isyarat dari arah kirinya. Dia melihat siluet sosok si Bungsu. Lelaki Indonesia itu kembali memberi isyarat agar mereka segera meninggalkan barak tersebut. Mereka kemudian menuju ke arah belukar berbatu-batu besar di mana tadi mereka mening galkan ransel.
"Apakah wanita yang engkau lihat itu Roxy?" tanya si Bungsu, begitu mereka sampai ke bebatuan besar tempat mereka bersembunyi tadi.
"Tidak…" jawab Han Doi.
"Kalau begitu dia masih disekap di goa yang diceritakan Thi Binh…" ujar si Bungsu sambil mengangkat ransel.
"Kita berangkat…" ujar si Bungsu.
"Akan kemana kita?"
"Kita cari goa tersebut…"
"Tapi, jalan ke arah goa itu dipenuhi ranjau…"
"Kita tunggu di bawah bukit sana…" ujar si Bungsu menunjuk ke arah bukit dari mana kedua wanita itu tadi muncul.
"Kedua wanita itu akan kembali di antar ke goa tempat penyekapan mereka, setelah mereka selesai memuaskan tentara di barak tadi. Kita tunggu mereka, dan kita jadikan sebagai penunjuk jalan…" tutur si Bungsu.
Mereka kemudian mengawasi barak yang terletak sekitar seratus meter di depan tempat mereka berada sekarang. Han Doi memang sangat mengantuk. Sangat sekali. Dia meraba-raba ketika menemukan tempat yang agak datar di dekat sebuah batu besar, dia segera melonjorkan kaki dan menyandarkan diri. Tak lama kemudian dia tertidur.
Mendengar dengkur halus Han Doi si Bungsu mendekati kawannya itu. Dia meraba urat di dekat leher bekas tentara Vietnam tersebut. Menjentiknya perlahan. Dengkurnya hilang, dan akibat jentikan di urat pada tengkuknya itu, Han Doi kini tak hanya tertidur pulas, tapi sekaligus berada dalam keadaan tak sadar secara penuh.
"Maaf kawan. Saya rasa engkau istirahat di sini dulu. Saya akan pergi sendiri, nanti kau kubangunkan lagi…" guman si Bungsu perlahan sambil meletakkan bedil dan ransel berisi peluru dan dinamit yang dia sandang di dekat tubuh Han Doi.
Si Bungsu memperhatikan bukit di dekat mereka berada. Dia tak yakin bukit ini tempat menyekap tentara Amerika. Dia kemudian menelusuri kaki bukit arah ke barat. Di balik bukit itu dia melihat ada bukit lain yang amat terjal sekitar seratus meter dari tempatnya berada. Dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Sayup-sayup dia mendengar suara beberapa orang bicara dari arah kaki bukit di depannya.
Si Bungsu segera bergerak cepat, menerobos belukar, menyeberangi sebuah anak sungai dangkal dan masuk ke belukar berikutnya di seberang sungai kecil tersebut.