Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 213 - Jika saya memilih.....

Chapter 213 - Jika saya memilih.....

Si Bungsu menjadi rikuh ditatap Duc Thio dan Han Doi. Namun dia berusaha menenangkan Thi Binh.

"Baik, lain kali saya tak akan meninggalkanmu…" bisiknya.

"Saya temukan anak rusa ini. Sudah saya bakar. Tak cukup kenyang kalau hanya memakan buah-buahan melulu. Membakar di dekat rawa sana lebih aman, asapnya tak kelihatan…" ujar si Bungsu pada Duc Thio dan Han Doi.

Mereka segera melahap panggang anak rusa itu sampai ludes. Panggang daging itu ludes bukan hanya karena perut mereka lapar, tapi terutama karena rasanya memang lezat sekali. Usai makan daging panggang itu, mereka masih sempat memakan beberapa buah rambutan.

Tapi, kecuali si Bungsu, tak seorang pun di antara ketiga orang Vietnam itu yang mampu untuk menambah makan pencuci mulut dengan rambutan, apalagi durian. Ketiga orang itu sudah pada tersandar, benar-benar kekenyangan. Malah Han Doi dan Duc Thio sudah mencari tempat berbaring.

Lelah dan kenyang, menyebabkan mereka cepat tertidur. Tidak demikian halnya dengan Thi Binh dan si Bungsu. Thi Binh kendati diserang kantuk dan lelah dan kekenyangan, namun dia tak bisa tidur begitu saja, karena cemas si Bungsu akan meninggalkan dirinya.

Sementara si Bungsu yang sudah terbiasa dan kebal diserang lelah sedahsyat apapun, tidak mengantuk bukan karena tak mau tidur. Melainkan karena dia ingin makan durian yang sudah dua kali dia nikmati kelezatannya itu. Dengan dua kali menghayunkan parang tajam milik Duc Thio, sebuah durian besar segera terbuka. Isinya kuning seperti kunyit. Baunya sangat harum, jika tak dia tahan, air liurnya pasti sudah tumpah bergelas-gelas saking ngilernya.

"Hei, mau durian…?" ujarnya pada Thi Binh yang duduk di sisinya. Gadis itu menggeleng.

"Saya kenyang sekali…" ujarnya.

"Tidak mengantuk…?" ujar si Bungsu sambil memasukkan isi durian ke mulutnya.

Thi Binh menggeleng. Si Bungsu tersenyum.

"Kenapa tersenyum?"

"Duriannya enak sekali…"

"Kau tersenyum bukan karena durian…" ujar Thi Binh. Si Bungsu mengangguk.

"Kenapa tersenyum?" desak Thi Binh.

"Kau sebenarnya mengantuk, tapi hatimu yang keras menyebabkan engkau tak mau tidur…" ujar si Bungsu dengan suara yang tak begitu jelas karena mulutnya dipenuhi durian.

Thi Binh tak beraksi. Si Bungsu tersenyum lagi. Thi Binh menjadi jengkel.

"Kenapa kau tersenyum lagi?" tanyanya.

"Karena aku senang. Senang ada yang tak tidur. Jadi aku punya teman.…"

Si Bungsu tak sempat menghabiskan ucapannya, dia terpekik, karena dicubit Thi Binh.

"Kenapa kau mencubit?" ujar si Bungsu sambil memasukkan isi durian ketiga ke mulutnya, yang besarnya sebesar lengan anak-anak.

"Senyummu sebenarnya menertawakan diriku…" ujar Thi Binh, sambil tangannya tetap mencubit lengan si Bungsu. Si Bungsu tersenyum.

"Apa yang kau senyumkan?" tanya Thi Binh lagi.

"Dirimu…" ujar si Bungsu jujur.

"Mengapa diriku?"

"Kau tak mau tidur karena takut, bukan?"

"Takut pada apa?"

"Takut aku tinggalkan…" ujar si Bungsu sambil menelan durian di mulutnya.

Kali ini Thi Binh terdiam. Dia menatap si Bungsu yang kembali memasukkan isi durian ke empat ke dalam mulutnya.

"Kau tahu aku takut kau tinggalkan?" ujarnya. Si Bungsu mengangguk.

"Apakah kau memang akan meninggalkan diriku?" Si Bungsu menggeleng.

"Tidurlah. Aku takkan meninggalkan dirimu. Percayalah…" ujar si Bungsu sambil menelan isi durian yang memenuhi rongga mulutnya.

Thi Binh menggeleng. Si Bungsu mengelap tangannya. Kemudian membuang kulit durian jauh-jauh. Lalu dia membaringkan tubuhnya di bawah pohon rindang di mana kini mereka berada.

"Tidurlah. Kita perlu memulihkan tenaga. Untuk bisa bergerak cepat ke bukit merah itu…" ujar si Bungsu sambil menguap.

Thi Binh menggeser dirinya ke dekat si Bungsu.

"Saya tidur bersamamu di sini, boleh?" ujarnya perlahan.

Si Bungsu menarik nafas. Betapapun gadis itu masih sangat kanak-kanak, yang tak seharusnya menerima cobaan yang demikian berat. Menjadi korban perkosaan dan pemuas nafsu puluhan tentara selama berbulan-bulan. Dia mengangguk sambil mengulurkan tangan ke bahu Thi Binh. Gadis itu merebahkan dirinya di sebelah tubuh si Bungsu. Mereka berbaring berhadapan. Saling menatap. Si Bungsu membelai wajah gadis itu dengan lembut. Menyibakkan anak rambut di dahinya. Kemudian perlahan mencium keningnya, matanya, pipinya. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Thi Binh merasakan semua yang dilakukan si Bungsu dengan sepenuh hati. Merasakan betapa bulu-bulu roma di tubuhnya berdiri, merasakan betapa bahagianya dia diperlakukan begitu oleh lelaki pertama yang dia cintai.

"Tidurlah…" bisik si Bungsu sambil memeluk tubuh gadis itu, dan menggeser dirinya, ke dekat tubuh Thi Binh. Gadis itu memeluk si Bungsu.

"Kau takkan meninggalkan diriku, dikala aku tertidur bukan?" bisik Thi Binh sambil menatap dalam-dalam ke mata si Bungsu, yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya.

Si Bungsu menggeleng.

"Saya tak pernah mungkir janji, Thi-thi. Saya sudah berjanji padamu, tak akan meninggalkan dirimu. Akan membawamu keluar dengan selamat dari belantara ini ke kota. Insya Allah, Tuhan akan mengabulkan janji saya…" ujar si Bungsu perlahan sambil memainkan anak rambut Thi Binh.

"Terimakasih…" ujar Thi Binh, perlahan di antara matanya yang basah.

Si Bungsu kembali membelai rambut dan wajah gadis cantik itu, kemudian mengecup bibirnya dengan lembut. Mereka berdua pun akhirnya segera tertidur berselimut angin semilir, di bawah pohon rindang di puncak bukit tersebut.

Malam sudah merangkak cukup larut ketika keempat orang itu sampai di kaki bukit berkayu merah, yang siang tadi mereka lihat dari puncak bukit di mana mereka makan dan tidur. Tatkala sampai di sebuah tempat ketinggian, tiba-tiba Thi Binh terdengar merintih.

Si Bungsu yang berada di sisinya segera berpaling, khawatir kalau-kalau gadis itu disengat binatang berbisa atau digigit ular. Thi Binh menggigil dan bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Si Bungsu meraba dahi gadis itu. Merasakan kalau-kalau diserang demam.

Suhu badannya normal. Dia meraba nadi di pergelangan tangan Thi Binh. Denyut darah gadis itu memang terasa sangat kencang. Si Bungsu berjongkok, meraba seluruh kaki Thi Binh yang terbungkus oleh pantalon tebal. Memeriksa kalau-kalau ada kalajengking yang menyengat atau digigit ular. Namun tak ada apapun yang dikhawatirkan.

"Ada apa..?" bisik si Bungsu, sementara Duc Thio dan Han Doi siaga dengan bedil mereka di depan.

Thi Binh menunjuk ke sebuah arah di bawah bukit, bibirnya kembali bergerak seakan-akan ingin bicara. Namun suaranya seperti tersendat di kerongkongan. Si Bungsu menatap ke arah yang ditunjuk Thi Binh. Dia melihat kerlip obor di bawah sana. Ada belasan obor dipasang di depan beberapa barak panjang. Di antara cahaya obor itu, samar-samar kelihatan beberapa tentara lalu lalang. Dan tiba-tiba si Bungsu menjadi arif, apa yang membuat gadis itu terpekik dan menggigil.

"Itu barak di mana engkau dahulu pernah disekap, Thi-thi?" bisik si Bungsu.

Gadis itu menangis, kemudian mengangguk, kemudian memeluk si Bungsu erat-erat.

Bayangan betapa dia melewatkan hari-hari penuh jahanam, di neraka di bawah sana, kembali melintas dalam fikirannya. Itulah yang membuat dia menjadi terguncang. Si Bungsu menarik nafas. Dia memeluk dan membelai punggung Thi Binh, sembari menatap pada Duc Thio dan Han Doi yang tegak berlindung di balik-balik kayu, sekitar tiga depa di depan mereka. Kedua orang itu juga tengah menatap padanya.

"Jika engkau memang benar-benar ingin membalaskan dendammu Thi Binh, engkau harus kuat…" bisik si Bungsu.

Thi Binh masih terisak beberapa saat. Kemudian dia mengangguk. Kemudian dia menghapus air mata. Kemudian menatap tepat-tepat pada si Bungsu.

"Aku kuat…!" bisik gadis itu pendek, sambil kembali mengangkat bedilnya.

Si Bungsu menarik nafas. Kemudian memberi isyarat kepada Han Doi dan Duc Thio untuk berkumpul. Si Bungsu mencari tempat yang dia rasa paling aman, selain untuk tempat mengawasi lembah di bawah sana, juga untuk mereka berunding.

"Tunggu di sini, saya akan memeriksa apakah ada tentara Vietnam menjaga bukit di mana kita sekarang berada…" bisik si Bungsu sambil bergerak untuk pergi.

Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Thi Binh pada lengannya. Dia berhenti dan menatap gadis itu. Gadis itu juga tengah menatap padanya. Si Bungsu segera ingat janjinya, bahwa dia takkan pernah lagi meninggalkan Thi Binh meski agak sesaat.

"Baik, mari kita memeriksa bukit ini…" ujarnya.

Thi Binh tersenyum. Dengan bedil di tangan kanan, dan tangan kiri memegang tangan si Bungsu, dia segera mengikuti lelaki Indonesia itu menyelusup belantara gelap tersebut.

Sementara Duc Thio dan Han Doi memperhatikan setiap gerak yang terjadi jauh di bawah sana, di lembah yang dipenuhi barak penghibur dan tentara Vietnam.

Sayup-sayup angin membawa ke telinga mereka suara gelak tentara dan pekik serta tertawa cekikan wanita. Sebagai bekas tentara dan intelijen, Han Doi memperkirakan paling tidak di bawah sana ada sekitar tiga puluh sampai lima puluh tentara. Jumlah itu tak seluruhnya. Sebab, menurut penuturan Thi Binh, barak para wanita penghibur itu terpisah dengan barak tentara.

Sementara itu si Bungsu dan Thi Binh yang sudah memeriksa sekitar bukit itu, berhenti di sisi lain dari tempat Han Doi dan Duc Thio berada. Dari tempat mereka sekarang dengan jelas terlihat lokasi kedua barak di bawah sana. Barak pertama terdiri dari lima barang yang panjang masing-masingnya sekitar sepuluh meter. Itulah barak wanita penghibur yang tadi mereka lihat pertama kali. Sekitar dua puluh meter dari barak itu kelihatan sebuah bukit, dibaliknya terlihat lima barak panjang masing-masingnya juga sekitar sepuluh meter. Kelima barak dibangun seperti tapal kuda. Di tengahnya ada lapangan. Dari silhuet api unggun di bawah sana, si Bungsu tahu paling tidak ada dua mitraliyur 12,7 di lapangan tersebut. Tentara berkeliaran di depan barak-barak di dua lokasi itu.

Si Bungsu memperkirakan paling tidak di bawah sana ada sekompi tentara Vietkong. Itu berarti ada sekitar 100 orang tentara Vietkong di sana. Ada lima sampai enam bukit batu yang tegak menjulang, termasuk bukit di mana kini mereka berada. Bukit mana yang memiliki goa, yang di jadikan tempat menyekap tawanan Amerika? Dia mencowel Thi Binh. Gadis itu duduk di sebuah batu besar pipih.

"Dengar Thi-thi. Agak sulit memilih mana yang didahulukan, antara pembalasan dendammu dengan tugas saya membebaskan perawat Amerika itu. Jumlah kita yang berempat dibanding dengan seratus tentara di bawah sana, sangat tidak sebanding. Jika pembebasan tawanan dan pembalasan dendammu dilakukan serentak, itu berarti kekuatan kita harus dipecah. Yang membebaskan tawanan itu dua orang, yang ikut membalaskan dendammu dua orang. Kalaupun kita bergabung berempat, kita masih belum tentu bisa berbuat banyak melawan mereka, apalagi harus di bagi dua…" ujar si Bungsu. Di tatapnya gadis itu.

Thi Binh menunduk. Dia merasakan apa yang di ucapkan si Bungsu benar adanya. Dia menatap lelaki dari Indonesia itu.

"Jika saya memilih, antara membalaskan dendam dengan berada disisimu, maka saya akan memilih di sisimu kendati saya tak pernah bisa membalas dendam pada tentara yang sudah menodai diri saya…"ujarnya sambil menunduk. Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia peluk gadis itu erat-erat.

"Terimakasih Thi-thi. Terimakasih. Percayalah, saya akan berusaha agar engkau bisa membalaskan noda yang telah kau alami. Beberapa di antara tentara Vietkong itu harus menerima pembalasan darimu. Percayalah, saya akan usahakan itu…"ujar si Bungsu perlahan.

Dia kemudian mengajak gadis itu kembali bergabung ketempat dimana Duc Thio dan Han Doi berada. Saat mereka berempat sudah berkumpul. Si Bungsu menyalakan senter yang ada pada Duc Thio. Cahaya senter itu dihadapkan ketanah, dan sekelilingnya di tutup agar cahaya tak kelihatan dari jauh.

Si Bungsu kemudian mengatur siasat. Dia menyatakan amat mengandalkan Han Doi, yang pernah menjadi tentara aktif dan intelijen.