Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 209 - “Jika engkau ’belum’ mencintai gadis indo itu....

Chapter 209 - “Jika engkau ’belum’ mencintai gadis indo itu....

Lagipula, sebelum kita tadi menepi saya sudah menduga ini sebuah pulau. Ada bahagian daratan yang seolah-olah menghilang di ujung kanan sana, ini berarti bahagian ujung pulau ini. Jarak pulau ini ketepi kanan, kesisi kita di buru kemaren malam, menurut peta ini sekitar satu kilometer, jarak ketepi kiri hanya seratus meter…."ujar si Bungsu, sambil menunjuk kebeberapa bagian di peta tersebut.

Mereka sama-sama terdiam setelah itu, sampai akhirnya si Bungsu kembali bicara perlahan.

"Dari peta ini, jika tetap memakai rakit, kita baru bisa mencapai ujungnya, yaitu tempat terdekat ke bukit-bukit batu ini, di mana para tawanan Amerika disekap, sekitar sore besok…."ujar si Bungsu menunjuk bukit-bukit dimaksud, setelah memperhatikan peta itu dengan seksama.

Baik Duc Thio maupun Han Doi hanya diam mendengarkan. Mereka paham kemana arah ucapan si Bungsu. Thi Binh lah yang kemudian bicara.

"Maksud tuan dengan jalan darat, setelah melintasi bagian danau yang seratus meter ini, tempat ini lebih cepat di capai?" si Bungsu menatap gadis itu kemudian mengangguk.

"Maksud tuan, agar lebih cepat sampai di sana, Tuan seorang yang akan pergi, dan kami bertiga menanti di sini sampai Tuan membawa tawanan itu kemari?" Duc Thio dan Han Doi terkejut mendengar ucapan Thi Binh, namun si Bungsu menatap gadis itu dengan nanap-nanap.

"Engkau cerdas sekali, Adikku.."

"Aku bukan adikmu,…..!"sergah Thi Binh.

Sergahannya yang kuat itu membuat Duc Thio dan Han Doi kaget bukan mainnya.

"Thi-thi….!"ujar ayah nya dengan nada menahan marah.

Namun kemarahan Duc Thio itu dilerai si Bungsu dengan tatapan sambil menggelengkan kepala kepada Duc Thio. Si Bungsu menatap gadis itu tepat-tepat. Thi Binh balas menantang tatapan si Bungsu.

"Kau kira aku anak-anak?" kembali Thi Binh menyergah dengan suara tajam.

Dan untuk kesekian kalinya ayahnya serta sepupunya di buat kaget dan heran. Yang tak kaget dan heran adalah si Bungsu. Dia faham benar apa yang ada di dalam hati gadis cantik di depannya ini. Namun dia tak ingin gadis ini terseret perasaan yang amat di luar kontrol fikiran warasnya.

"Engkau ingin tetap ikut, Thi-thi…?"ujarnya perlahan tanpa melepaskan tatapannya dari mata Thi Binh, yang juga masih saja nanap menatapnya.

"Aku tak ingin belas kasihan mu…!" kembali gadis itu bersuara ketus.

Si Bungsu mengulurkan tangannya ber maksud membelai kepala gadis itu. Namun gadis itu menepis tangan si Bungsu dengan kasar. Namun, mana mau si Bungsu di tepis begitu. Dengan gerakan yang amat cepat menyambar bahu Thi Binh. Kemudian merenggutkannya sehingga gadis itu jatuh dipelukannya.

Thi Binh meronta. Memukul dan mencakar. Namun si Bungsu tak melepaskan dekapannya dari tubuh gadis itu, sembari memberi isyarat pada Duc Thio dan Han Doi agar tak bersuara. Dan akhirnya Thi Binh membalas memeluk si Bungsu, kemudian terdengar tangisnya.

"Aku tak mau kau tinggalkan, Bungsu. Aku akan bunuh diri jika kau tinggalkan.." ujarnya di antara tangis.

Han Doi ternganga mendengar ucapan adik sepupunya itu. Duc Thio seperti tak percaya dengan apa yang di dengarnya, untuk kemudian menunduk. Matanya berkaca-kaca.

"Aku takkan meninggalkanmu, percayalah…" ujar si Bungsu perlahan sambil membelai kepala gadis itu.

"Engkau akan meninggalkan aku, karena diriku terlalu kotor untukmu…"isak Thi Binh.

"Jangan berkata begitu, Thi Binh, jangan berkata begitu…"ujar si Bungsu.

"Jangan panggil lagi aku 'Adik', aku seorang wanita…"bisik Thi Binh.

Duc Thio tiba-tiba merasa luluh melihat nasib anaknya. Dia faham benar, anak gadisnya yang baru berusia lima belas tahun ini belum pernah jatuh hati. Dia lalu teringat cara anak gadisnya itu menatap lelaki dari Indonesia ini sepanjang perjalanan di atas rakit. Bahkan ketika dia berada dalam pelukan si Bungsu di belantara, saat awal melarikan diri. Duc Thio tiba-tiba arif, anak gadisnya jatuh hati pada lelaki dari Indonesia itu. Dia merasa sesuatu tersekat di tenggorokannya.. Dia tak tahu harus berbuat apa.

"Baik, engkau akan pergi bersamaku, Thi-thi. Engkau akan bersama dengan ku ke bukit-bukit itu. Kita bersama-sama membebaskan tawanan itu,oke?" ujar si Bungsu menghibur.

Thi Binh mengangguk dalam pelukan si Bungsu. Sementara Han Doi bangkit, dia memberi isyarat akan ke rakit. Si Bungsu mengangguk. Duc Thio memasukan dua potong kayu kering ke api unggun. Kemudian dia juga memberi isyarat pada si Bungsu bahwa dia akan pergi ke rakit yang jaraknya hanya beberapa depa dari api unggun.

Si Bungsu menyandarkan punggungnya ke pohon besar itu, kemudian melunjurkan kaki. Lalu perlahan dia lepaskan pelukannya pada tubuh Thi Binh. Menatap ke mata gadis itu tepat-tepat.

"Tidakkah engkau dapat menerima ku sebagai abangmu..?" bisiknya perlahan.

Kendati dia berusaha agar ucapannya sangat perlahan, namun ucapannya itu tetap terdengar Duc Thio dan Han Doi, yang ternyata belum tidur.

"Thi-thi, karena saya seusia dengan abangmu, anggap aku ini abangmu, oke?" Thi Binh menatap tepat-tepat kemata si Bungsu.

"Engkau mencintai gadis yang di kapal perang itu?" ujar Thi Binh perlahan sambil menatap kemata si Bungsu.

Si Bungsu dibuat kaget oleh pertanyaan itu. Dia tahu, yang dimaksud Thi Binh pastilah Ami Florence, adik Le Duan. Ditatapnya mata thi Binh, kemudian dia menggeleng.

"Dia lebih cantik dari aku?"ujar Thi Binh.

Bulu tengkuk si Bungsu dibuat merinding oleh pertanyaan ini. Dia menggeleng dan gelengannya memang jujur.

"Engkau lebih menyukai dia dari aku, karena aku bekas diperkosa puluhan ten…" ujar Thi Binh terhenti.

Dihentikan oleh tamparan si Bungsu. Duc Thio mendengar ucapan anaknya. Han Doi mendengar ucapan sepupunya, mereka juga mendengar tamparan. Mereka yakin yang menampar si Bungsu. Sebab, bersamaan dengan suara tamparan itu kata-kata Thi Binh terputus.

Baik Duc Thio maupun Han Doi ingin bangkit dari berbaringnya. Namun mereka sama-sama tak melakukan hal itu. Mereka tetap berbaring diam. Sementara itu mereka kembali mendengar suara Thi Binh, yang diucapkan perlahan namun dengan nada mendesak.

"Katakan. Kau tak suka padaku karena aku…."gadis itu menghentikan ucapannya, karena dia lihat tangan si Bungsu siap-siap menempelengnya.

Mereka bertatapan seperti akan berbunuhan. Namun akhirnya si Bungsu mengulurkan tangan. Dan Thi Binh kembali menyandarkan dirinya ke dada lelaki dari Indonesia itu.

"Jangan pernah kau sebut lagi, engkau bekas diperkosa puluhan tentara Vietnam itu. Jika engkau sendiri tak mau melupakannya, maka tak seorangpun yang bisa menolongmu untuk sembuh dari trauma itu. Engkau berusaha melupakannya, salah satu cara untuk itu adalah dengan tak lagi menyebut-nyebut peristiwa itu, mengerti engkau Thi Binh?"

Gadis itu menangis terisak. Kemudian mengangguk. Dalam posisi berpelukan itu, mereka saling berdiam diri, lama sekali.

"Engkau mencintai gadis di kapal perang itu?" tiba-tiba Thi binh mulai lagi.

Si Bungsu menarik nafas panjang. Diciumnya rambut gadis itu perlahan. Kemudian dia berbisik.

"Aku memang menyukainya, Thi Binh. Kami bertemu dan bersama-sama selama beberapa hari. Amatlah tidak wajar kalau orang bisa jatuh cinta padahal baru beberapa hari saling mengenal, bukan?"ujar si Bungsu.

"Yang kau maksud dirimu atau diriku?" ujar Thi Binh yang merasa tersindir oleh ucapan si Bungsu.

Si Bungsu tersenyum. Untung saja Thi Binh tidak sedang menatap padanya, sehingga gadis itu tak tahu kalau dia tersenyum. Si Bungsu tersenyum karena gadis itu ternyata peka dan tajam sekali perasaannya. Dia memang tak bermaksud menyindir, namun sekedar menasehati, bahwa amatlah tak baik kalau orang cepat jatuh hati.

"Kau menyindirku, bukan?"ujar Thi Binh perlahan, namun dengan nada menyerang.

Si Bungsu di buat gelagapan.

"Tidak menyindir, hanya menasehati. Umurku jauh lebih tua darimu, seusia abangmu. Wajar kalau aku memberi nasehat bukan?"

"Ya, tapi kau bukan abangku…." ujar Thi Binh.

Si Bungsu kembali menarik nafas panjang. Dia belum pernah bertemu dengan gadis berhati keras seperti ini dan degilnya juga seperti ini. Dia tak habis pikir, kenapa gadis secantik Thi Binh ini juga mempunyai sikap sekenyal ini.

"Betul engkau belum mencintai gadis Indo itu?"

Kembali si Bungsu dikagetkan dan dibuat jengkel dengan oleh serangan pertanyaan Thi Binh, yang masih saja menyandarkan kepala ke dadanya. Dia jadi jengkel atas "belum" yang diucapkan gadis ini. Kata yang sepatah itu pasti menyindirnya.

"Apa maksud mu dengan kata 'belum' itu? kenapa pertanyaan mu tak berbunyi: 'betul engkau tidak mencintai gadis indo itu?'. Kenapa harus pakai 'belum'?"cecar si Bungsu.

Thi Binh tertawa renyah. Alamaak! jengkel hati si Bungsu mendengar tawa renyah itu.

Sebenarnya tawa itu sangat merdu, kalau saja mereka dalam kondisi dan situasi biasa. Tapi kini, kondisi dan situasi memang tidak biasa. Dia sedang berusaha agar gadis itu tidak tersesat mencintainya. Dan ketika dia berusaha seperti itu, dia ditertawakan. Oo, alangkah jengkelnya.

"Apa yang kau tertawakan?"ujar si Bungsu berusaha manahan sabar, dengan tetap memeluk bahu Thi Binh.

"Yang mana yang harus ku jawab duluan? Pertanyaan yang pertama tadi atau kenapa aku tertawa..?" ujar Thi Binh sambil kembali memperdengarkan tawa renyahnya.

Alamaaak!. Pertanyaan dan tawa itu seperti menusuk-nusuk puncak kada si Bungsu. Saking jengkelnya, tawa renyah yang indah dan menyenangkan yang keluar dari bibir gadis itu sampai ke telinga si Bungsu seperti tertawa kuntilanak. Dengan bibirnya yang merah bak delima, yang bentuknya amat sensual, gadis itu mendesah perlahan.

"Yang mana harus dijawab dulu, yang?"

Ketika dia dalam keadaan di puncak jengkel itu, tiba-tiba pula thi binh mengangkat kepala. Menatap dari jarak hanya sejengkal ke mata si Bungsu. Mungkin gadis itu tahu benar hati si Bungsu sedang di puncak jengkel. Tapi dia bukannya berusaha meredakan, malah makin menambah-nambah bensin.

Alamaaaak oooooiiiiii!

Si Bungsu hampir terlambung saking kaget dan jengkel yang tak tertahankan, mendengar gadis itu menyebutnya dengan kata 'yang' dan bibirnya tersenyum pula. Tapi dia cepat sadar. Puncak kadanya sedang ditusuk-tusuk gadis ini. Dia memutuskan untuk membalas, tak mau berdiam diri lagi.

"Maksudmu dengan kata 'yang' itu adalah…."

"Singkatan dari kata 'sayang' …"sergah Thi Binh dengan cepat.

Alaaamak ooooiiii…!Sakitnya hati si Bungsu.

"Bukan, bukan singkatan 'sayang' tapi singkatan 'Eyang', bukan?" serang si Bungsu, berusaha membalikkan serangan.

"Eyang artinya adalah Mbah, dalam bahasa kampungku artinya inyiak atau datuk. Itu yang kau maksud kan?"sambung si Bungsu.

Thi Binh kembali menyandarkan kepalanya ke dada si Bungsu. Mati kau, ujar si Bungsu dalam hati, yang merasa kemenangan dipihaknya.

"Ooo, itu artinya di kampungmu. Di kampungku ini,, Eyang itu artinya 'kekasih tercinta'. Itu pula maksudku…"ujar Thi Binh perlahan.

Ondeh mak oiii!!

Suara perlahan gadis itu sampai ke telinga si Bungsu seperti gergaji kayu memotong batu. Kata-kata Thi Binh yang membelok-belokkan arti kata, yang sekaligus membelokkan serangan menjadi berbalik pada si Bungsu, membuat si Bungsu merasa ingin berkentut-kentut saking jengkelnya.

Buat sesaat si Bungsu kehilangan kata-kata untuk membalas balik. Dia kehilangan kata karena hatinya dibalut rasa jengkel yang amat sangat, tersebabkan dikalahkan secara telak dalam perang kata-kata barusan ini.

"Jika engkau 'belum' mencintai gadis indo di kapal perang itu, tentunya engkau masih mencintai Michiko…!"

Kalau saja petir menyambar kepalanya, si Bungsu takkan kaget seperti ini. Suara Thi Binh masih perlahan, kepalanya masih menyandar. Namun ucapan gadis itu memang mendatangkan akibat yang luar biasa. Si Bungsu menjadi menggigil. Thi Binh mengangkat kepala. Menatap pada si Bungsu.