Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 210 - Ada bahaya mengancam kita dari rawa sana.

Chapter 210 - Ada bahaya mengancam kita dari rawa sana.

"Ada apa?" tanyanya perlahan sembari jarinya meraba wajah si Bungsu.

"Upik, darimana kau mendapatkan nama Michiko itu?"tanya si Bungsu perlahan tapi bernada tajam.

"Beberapa kali dia juga datang ke dalam mimpiku…"ujar Thi Binh sembari kembali berniat menyandarkan kepalanya ke dada si Bungsu. Namun si Bungsu menahan bahunya agar bisa menatap gadis itu dengan jelas.

"Tak pernah kau sebutkan sebelum ini tentang dia. Yang kau sebutkan hanya gadis di kapal perang itu…"ujar si Bungsu dengan wajah berkeringat.

"Saya baru menyebutkannya…"ujar Thi Binh sembari membalas menatap si Bungsu.

"Dia juga pernah datang ke dalam mimpimu…?"tanya si Bungsu perlahan.

Thi Binh mengangguk.

"Dua kali. Pertama dua hari sebelum aku di keluarkan dari sekapan Vietnam. Kedua ketika engkau sudah datang kerumahku, dalam tidurku setelah aku di beri obat…" tutur Thi Binh perlahan.

"Bagaimana rupanya orang yang bernama Michiko itu?"tanya si Bungsu menyelidik.

Penyelidikan yang tak diperlukan. Karena pertama, Thi Binh memang belum pernah mengenal Michiko, dan tak tahu hubungan orang-orang yang datang ke dalam mimpinya. Kedua, tak ada urusannya membuat-buat cerita yang tak dia mengerti. Thi Binh lalu menceritakan ciri-ciri Michiko yang datang ke dalam mimpinya.

"Dia mengatakan sesuatu padamu?"ujar si Bungsu dengan perasaan yang nyaris tak percaya bahwa orang-orang yang tidak saling mengenal bisa bertemu di dalam mimpi.

"Dia bercerita panjang…."ujar Thi Binh.

"Apa yang dia ceritakan?"ujar si Bungsu mulai berkeringat.

"Dia ceritakan bahwa engkau adalah lelaki yang sangat dia cintai. Bahkan sampai kini. Kendati dia menikah dengan lelaki lain di Amerika. Dia menikah karena putus asa, menyangka kalian tak akan pernah lagi bertemu. Dan dia berpesan, agar menjagamu baik-baik. Selain itu…"

Thi Binh menghentikan ceritanya. Si Bungsu menatapnya dengan nanap-

nanap.

"Engkau ingin tahu apa yang dia katakan terakhir padaku?"ujar Thi Binh.

"Katakanlah…"

"Dia mengatakan,..dia mengatakan, bahwa dia yakin, aku bisa membahagiakan mu…"

Mereka sama-sama berdiam diri. Si Bungsu tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis ini melihat begitu banyak tentang dirinya di dalam mimpinya. Sementara Thi Binh berdiam diri menanti jawaban si Bungsu atas ucapannya yang terakhir.

"Tidak sepatah pun bohong terdapat dalam semua ucapan yang ku katakan menyangkut mimpiku itu,Bungsu…"ujar Thi Binh lirih.

Si Bungsu menatapnya. Kemudian memeluk bahu gadis itu.

"Aku yakin, tak sepatah pun engkau berbohong, Th-thi…"ujar si Bungsu perlahan.

"Engkau yakin akan semua yang ku katakan?"

Si Bungsu mengangguk. Kendati Thi Binh tak melihat dia mengangguk, tapi dari dalam dekapan dia tahu si Bungsu mengangguk.

"Juga yakin aku juga bisa membahagiakan mu?"

"Aku yakin, Thi-thi. Aku yakin engkau bisa membahagiakanku. Dengan menganggap aku abang atau pamanmu, aku akan sangat bahagia…"Thi Binh mengangkat kepala. Menatap pada si Bungsu.

"Tidakkah kau bisa menerima aku sebagai wanita, bukan sebagai anak-anak?"

Mereka bertatapan. Si Bungsu harus mengakui bahwa dia amat terpesona pada kecantikan gadis belia ini. Namun terpesona dan mengagumi, bukan berarti mencintai. Ada jarak yang amat jauh dan jelas antara mengagumi dengan mencintai.

"Berapa usiamu kini, thi-thi?"

"Apakah usia menjadi hal yang penting utuk saling bisa mencintai?"

Si Bungsu kembali menarik nafas. Dia tak tahu harus keluar dari benang kusut yang tiba-tiba muncul antara dia dengan keluarga Han Doi ini.

"Apakah setiap lelaki membenci setiap gadis yang telah ternoda…" ucap Thi Binh terhenti ketika dekapan tangan si Bungsu di mulutnya.

"Engkau harus melupakan itu, Thi-thi. Engkau seorang gadis yang cantik. Jika kelak kita bisa keluar dari belantara ini dengan selamat, akan banyak lelaki yang amat pantas, berpangkat dan kaya, dan yang bisa kau pilih untuk suamimu…" bisik si Bungsu mencoba memberi pengertian kepada Thi Binh.

"Apakah kau tak jadi menikah dengan Michiko karena tidak berpangkat dan kaya?"ujar thi Binh memburu.

Si Bungsu gelagapan.

"Dalam kasus saya dengan Michiko ada faktor nasib yang bermuara dengan takdir yang amat luar biasa, yang tak mampu kami merubahnya…" ujar si Bungsu.

Thi Binh mengungkai pelukan si Bungsu dari bahunya. Dia menggeser diri kedekat api unggun. Kemudian kembali dia merebahkan kepalanya di dada si Bungsu yang masih bersandar di pohon besar itu.

"Dalam hubunganmu dengan Michiko, engkau baru menyerah setelah nasib jatuh menjadi takdir yang tak terelakkan, barulah Michiko meninggalkan dirimu, dan kau meninggalkan dia. Begitu Bungsu?" tanya Thi Binh dari dalam pelukan si Bungsu.

"Ya..Begitulah,.."jawab si Bungsu perlahan.

"Aku juga ingin begitu, Bungsu! Aku mencintaimu sejak engkau memperlihatkan diri pertama kali dalam mimpiku. Dan aku takkan menyerah hanya karena nasib, aku akan berjuang untuk mendapatkan untuk mendapatkan kebahagian yang tak pernah ku peroleh. Kecuali engkau memang tak menginginkan diriku. Sekarang engkau yang harus memberikan jawaban, apakah engkau menginginkan diriku untuk menjadi kekasihmu atau tidak?" ujar Thi Binh sambil mengangkat wajah menatap si Bungsu.

Si Bungsu sudah terlalu lelah. Dia juga tak ingin melukai perasaan gadis ini. Jika dia katakan 'tidak' gadis ini akan remuk, bukan karena jawaban 'tidak' yang dia berikan. Tetapi oleh aib besar yang menimpanya selama dalam sekapan tentara Vietkong. Hanya dia tak bisa mengerti, mengapa gadis ini begitu tajam perasaannya. Bagaimana mungkin dia tahu secara persis apa yang ada di pikiran orang lain?Namun sebelum dia menjawab, Thi Binh kembali menyambung perkataannya.

"Di negeri lain yang tak pernah atau tak lagi dilanda perang, anak-anak barangkali menjalani kehidupan mereka secara wajar. Di negeri kami ini, Bungsu, tak satupun yang bisa engkau harapkan secara wajar. Semua peristiwa di tentukan oleh kejadian sesaat.

Benar, usia ku masih muda. Namun dalam usia semuda ini, saya sudah melihat tidak hanya demikian banyak orang terbunuh, saya bahkan jadi saksi mata kekejaman dan pembunuhan yang dialami abang dan ibu saya. Saya tak pernah memimpikan akan melihat begitu banyak peristiwa berdarah dan begitu banyak ketakutan, namun itulah takdir saya. Dalam usia yang begini belia, saya sudah harus jadi korban kebuasan seks banyak lelaki…"

Thi Binh berhenti. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke dada si Bungsu.

"Kini jawab pertanyaanku, Bungsu. Apakah engkau tak ingin menjadi lelaki yang akan kukasihi, dan membagi kasihmu agak sedikit?"

Ujung suara gadis itu tak hanya lirih tapi juga bergetar oleh isak. Si Bungsu menjadi benar-benar terharu. Di peluknya gadis itu dengan erat.

"Jika engkau tak malu mencintai seorang lelaki yang jauh lebih tua darimu, jika engkau tahan hidup menderita, karena aku tak berpendidikan dan tak punya apa-apa, Thi Binh, aku berdoa semoga yang kau inginkan akan kau peroleh.."ujar si Bungsu.

Thi Binh mengangkat wajah. Menatap pada si Bungsu.

"Aku mencintaimu, Bungsu. Maukah engkau menciumku?"

Si Bungsu menarik nafas. Dia tak tahu apakah yang dia ucapkan tadi benar, dan apakah yang akan dia lakukan saat ini juga benar. Jauh di lubuk hatinya, dia tetap tak bisa menerima kenyataan betapa jauhnya jarak usia yang membedakan dirinya dengan gadis ini. Namun dia benar-benar tak mau melukai gadis di depannya ini, perlahan dengan lembut diraihnya wajah Thi Binh dengan kedua telapak tangannya. Kemudian dengan lembut diciumnya mata gadis itu. Lalu diciumnya keningnya, pipinya dan.. bibirnya. Diciumnya dengan lembut dan lama. Dan dirasakannya airmata gadis itu mengalir di pipinya, dipeluknya Thi Binh dengan erat-erat.

"Jangan menangis…aku akan selalu menjagamu.."bisiknya perlahan.

"Aku menangis karena baru kali ini mencintai dan dicintai seorang lelaki, aku sangat bahagia…"bisik Thi Binh sembari mempererat pelukannya di tubuh si Bungsu.

Si Bungsu menarik nafas. Matanya menatap kearah rawa. Seperti mencoba menembus kegelapan kental ditengah rawa sana. Dia akhirnya memutuskan, selama dalam pelarian ini, dia akan mengasihi gadis itu. Dia yakin, jika kelak sampai di kota, dan gadis ini bisa kembali bersekolah serta hidup secara normal lagi, fikirannya pasti akan berubah. Dia yakin akan hal itu.

Sekali lagi dia menikamkan tatapan matanya ketengah rawa sana. Tak ada apapun yang terlihat. Tak ada suara apapun yang terdengar, selain suara burung malam yang hilang timbul. Aneh, dia merasa ada sesuatu di tengah rawa sana, yang sedang menatap kearah mereka yang berada di depan api unggun ini.

Perlahan dia rebahkannya tubuh Thi Binh di atas tumpukan dedaunan kering di bawah pohon tersebut. Perasaan aneh yang mencekam itu semakin kuat, merasuk kefikiran dan nalurinya.

Setelah menyelimuti tubuh Thi Binh dengan sehelai kain, si Bungsu mengambil sebuah ranting kecil. Ranting itu dia jentikan ke tubuh Han Doi yang sudah tertidur disisi Duc Thio. Jentikan ranting itu demikian terarahnya, Han Doi segera terbangun. Begitu bangkit tangannya meraih bedil yang terletak disisinya. Kemudian menoleh arah si Bungsu. Si Bungsu memberi isyarat agar Han Doi membangunkan Duc Thio. Han Doi mengguncang tubuh pamannya dengan perlahan.

Lelaki itu terbangun, dan begitu di beri isyarat oleh Han Doi agar tak bersuara, dia segera meraih senjata laras panjang yang terletak di sampingnya. Si Bungsu yang sudah duduk dekat api unggun, memberi isyarat agar kedua orang itu mendekat padanya.

"Ada apa..?" bisik Duc Thio begitu duduk dekat api unggun.

"Sejak setengah jam yang lalu, saya berasa ada sesuatu di tengah rawa sana, yang sedang mengamati kita. Dan apapun yang mengamat-amati itu, wujudnya adalah bahaya…"ujar si Bungsu perlahan.

Duc Thio dan Han Doi menatap kearah rawa yang kelihatan hanya gelap yang amat kental. Sambil duduk memegang bedil, si Bungsu menunduk dan memejamkan mata. Dia berusaha menangkap gerak sehalus apapun di tengah rawa itu, untuk di pelajari apa gerangan makhluk yang sedang mengamati mereka.

Cukup lama dia berbuat seperti itu, kemudian membuka mata dan menatap ke arah puncak pepohonan di rawa.

"Adakah kalian mendengar sesuatu…?"

Han Doi dan Duc Thio mempertajam pendengaran. Kemudian menggeleng.

"Kami tak mendengar apapun…" ujar Han Doi.

"Saya juga…" ujar Duc Thio.

"Juga tidak suara burung malam?" tanya si Bungsu.

Kedua orang itu menatap ke arah rawa. Kemudian menggeleng.

"Itu yang mendatangkan rasa aneh pada diriku. Sejak setengah jam yang lalu, ketika saya masih bicara dengan Thi Binh, tiba – tiba suara burung malam lenyap. Ada sesuatu yang dahsyat, yang membuat mereka takut dan terbang jauh, atau tetap di tempatnya, namun mereka berdiam diri…" ujar si Bungsu.

"Apakah yang di tengah rawa itu tentara Vietnam?" tanya Han Doi.

Si Bungsu mengeleng.

"Tidak ada gerak menusia yang tak bisa kutangkap. Setangguh apapun dia menyelinap. Yang mengintai kita kini bukan manusia. Namun wujudnya aku tak tahu. Tapi yang jelas, dia nampaknya tak menyerang kita karena takut pada nyala api…" dan ucapannya yang terakhir mambuat si Bungsu sadar.

Dia bisa mencoba dengan api? Diambilnya sebuah puntung sebesar lengan, yang apinya menyala dengan marak.

"Siapkan senjata kalian. Saya akan melemparkan obor ini ke rawa sana. Apapun yang bergerak, siram dengan tembakan…" ujar si Bungsu.

Han Doi dan Duc Thio memutar duduk. Dengan bertelekan di lutut kiri, mereka mengarahkan moncong bedil ketengah rawa. Si Bungsu perlahan membangunkan Thi Binh. Dia tak ingin gadis itu terkejut oleh suara tembakan.

"Ssst. Ada bahaya mengancam kita dari rawa sana. Tetaplah berbaring dan diam…" bisik si Bungsu.