Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 208 - Anda yakin tempat kita berada ini sebuah pulau…?

Chapter 208 - Anda yakin tempat kita berada ini sebuah pulau…?

"Pegang ini.."ujar si Bungsu menyerahkan kayu sebesar ibu jari yang ujungnya sudah agak runcing itu.

Kemudian dia membuka jam tangannya. Menekan jam tangan itu beberapa kali. Tiba-tiba dari badan jam itu melenting kawat baja halus sepanjang lebih kurang satu meter. Kawat itu dia gelungkan dengan kuat beberapa kali ke kayu Thi Binh. Kemudian si Bungsu mengumpulkan segenggam semak kering. Kemudian dia atur semak kering itu agak menutupi lobang di dahan yang dia buat tadi, kemudian berjalan ke arah rakit dan mengambil sebuah handuk kecil dari tasnya.

"Baik, berdoalah, semoga api ini bisa hidup…"ujarnya sambil membelah handuk itu menjadi dua bahagian, masing-masing dia lilitkan ke tangan nya.

Kemudian dia ambil kayu kecil yang di pegang Thi Binh.

"Saya akan memutar dahan kecil ini, jika saya beri tanda, terjadi gesekan ketika kayu ini berputar, anda yang menekannya, Nona kecil. Jika saya katakan keras, tekan dengan keras oke?"ujar si Bungsu pada Thi Binh. Gadis itu mengangguk sambil meraih dahan yang dibelah si Bungsu tadi.

Mereka berempat berlutut mengitari dahan kering berlobang yang ditutupi rumput kering halus itu. Si Bungsu memasukan ujung kayu runcing yang dia lilit dengan kawat baja tersebut ke lobang kecil itu. Kemudian dia mulai menarik kawat baja yang sebelah kanan dengan mengendurkan yang sebelah kiri. Hanya sesaat, kini giliran kawat sebelah kiri yang dia tarik dan sebelah kanan yang dia kendurkan. Dalam beberapa tarikan, kayu itu mulai berputar. Makin lama putarannya makin kencang seperti gasing.

"Yap, tekan!!"ujar si Bungsu perlahan ketika kayu kecil itu mulai berputar laju.

Thi Binh menekankan belahan kayu di tangannya kebahagian atas kayu yang berputar ligat itu. Terjadi gesekan antara ujung kayu yang agak runcing itu dengan tepi lobang di dahan kayu kering yang di bawahnya.

"Agak keras…"ujar si Bungsu.

Thi Binh menekan agak keras. Gesekan kayu yang berputar kencang itu menimbulkan panas. Makin lama makin kencang, Makin lama gesekan itu meningkatkan panas di dua kayu yang bergesekan tersebut. Tiba-tiba asap mengepul sedikit dari gesekan kedua kayu kering itu.

"Hidup…!"sorak Thi Binh sambil melepaskan tekanannya pada kayu itu.

Namun saat itu pula sorak gadis itu terhenti. Karena begitu tekanan dilepaskan Thi Binh, ujung kayu yang berputar itu terangkat dan lepas dari lobang kecil tersebut. Asap pun lenyap dan si Bungsu menarik nafas. Wajahnya berpeluh.

"Apanya yang hidup?"ujar si Bungsu sambil tersenyum. Thi Binh terdiam.

"Biar saya yang menekannya…"ujar Han Doi.

"Tidak, biar Thi Binh. Agar dia punya andil dan belajar bagaimana menghidupkan api. Anda dekatkan rumput-rumput halus itu ke lobang kayu jika berasap…"ujar si Bungsu sambil kembali menarik-narik baja di dua tangannya.

"Siap…?" ujarnya pada Thi Binh setelah kayu itu mulai berputar kencang. Thi Binh mengangguk. Si Bungsu kembali memutar 'gasing' panjang itu.

"Yap, tekan…!"ujarnya.

Thi Binh menekan. Beberapa saat asap kembali kelihatan sedikit, makin lama makin banyak.

"Han Doi…rumputnya….!"ujar si Bungsu.

Han Doi mendekatkan rumput kering dan halus itu ke sekitar ujung kayu yang berputar ligat di permukaan lobang dahan kayu kering itu. Asap semakin banyak, si Bungsu semakin kuat memutar kayu tersebut. Panas yang timbul akibat gesekan yang amat kuat antara dua kayu kering itu menimbulkan panas yang makin tinggi. Lalu, tiba-tiba ada percik api memakan rumput kering tersebut.

Lalu lagi, api menyala kecil. Lalu lagi, Han Doi menambah rumput keringnya. Si Bungsu sampai berpeluh memutar kayu itu. Lalu. Wwwwussss!

"Nyala…!"seru Thi Binh takjub.

"Nyala…!"seru Duc Thio dan Han Doi hampir bersamaan.

Si Bungsu terduduk di tanah bermandi peluh. Kemudian dia membuka gulungan kawat baja tersebut dari kayu kecil itu. Kemudian menekan tombol di jam tangannya. Wuuuut! Kawat baja itu segera tergulung dan masuk kebahagian bawah plat jam tersebut. Dengan mengeluarkan suara 'klik' yang halus, sisi jam itu kembali menutup. Kawat baja halus itupun lenyap dari pandangan.

Han Doi cepat menambahkan rumput dan dedaunan kering. Api pun menyala, makin lama makin besar. Duc Thio, menyusun hati-hati, ranting-ranting kecil ke api yang memakan ranting-ranting dan dedaunan kering. Api itu segera memakan ranting-ranting kering tersebut. Han Doi dan Duc Thio secara hati-hati memindahkan susunan dahan kering tadi ke atas api yang menyala itu. Hanya dalam waktu tak begitu lama, tempat mereka di bawah pohon besar itu sudah terang benderang oleh api unggun.

Si Bungsu berdiri, berjalan ke belukar sekitar sepuluh depa dari pohon itu. Memotong dua buah dahan kayu sebesar lengan. Menyisik ranting-rantingnya, meninggalkan sebuah cabang dan memotong cabang itu sekitar sejengkal. Dia kembali kedekat api unggun. Menancapkan kedua dahan itu masing-masing disisi yang berlawanan pada api unggun tersebut.

"Taruh ikannya, Han…"ujar si Bungsu.

Han Doi mengambil ikan yang sudah dia tusuk dengan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa. Kemudian meletakkannya pada dua cabang pendek dan sudah tersedia di dahan yang tadi ditancap si Bungsu. Kini ikan itu tepat berada di tengah api unggun yang semarak itu. Terdengar bunyi berdesis ketika lidah api menjilati tubuh ikan besar tersebut.

"Han Doi cari dahan-dahan kayu kering yang lebih besar. Agar apinya tetap meyala sampai pagi. Nona kecil, kau jaga baik-baik ikan itu agar tak jadi arang. Nanti kau tak jadi menikmati telur ikanmu. Saya akan cari garam, agar ikan itu tak hambar.."ujar si Bungsu sambil berdiri.

Dia mengambil sebuah puntung yang agak besar dan masih menyala. Kemudian melangkah ke rawa. Menyuluhi beberapa pohon perdu yang tumbuh di air sebatas paha itu. Kemudian mengambil lima sampai sepuluh lembar pucuk daun dari tiga pohon yang berbeda. Di lemparkannya suluh puntung menyala tersebut ke dalam air. Kemudian dengan kedua tangannya dia remas daun-daun tersebut, kemudian dia celupkan ke dalam air. Kemudian mencicipi air remasan tiga jenis pohon tersebut.

"Hmmmm, masuh banyak rasa asamnya…"ujarnya perlahan.

Kemudian dia melangkah lagi kesalah satu jenis pohon semak-semak yang salah satu daunnya yang dia ambil tadi. Kemudian dia kembali meremas dengan daun yang sudah dia ambil tadi, setelah itu dia kembali dia cicipi air remasan tersebut.

"Lumayan…"bisiknya sambil melangkah ke darat.

Di dekat api unggun Duc Thio dan Han Doi tengah memasukkan kayu-kayu kering ke api. Mereka yang sejak tadi sudah memperhatikan si Bungsu di rawa, melihat anak muda itu membawa segenggam dedaunan.

"Coba cicip, apa rasanya?"ujar si Bungsu pada Duc Thio.

Duc Thio menadahkan telapak tangannya. Si Bungsu meremas daun itu perlahan. Air menetes ke telapak tangan lelaki tersebut. Han Doi yang ingin tahu juga berbuat hal yang sama. Thi Binh juga tak mau ketinggalan, menampungkan telapak tangannya. Mereka sama sama mencicipi air perasan dedaunan tersebut dengan menjilati tangan masing-masing.

Dan ketiga orang Vietnam itu merasa heran, kendati agak sepat-sepat sedikit, namun air remasan daun itu memang asin, sebagai mana jamaknya rasa garam.

"Serasa garam..?"tanya si Bungsu.

Duc Thio menggangguk, Han Doi mengangguk. Hanya Thi Binh yang menggeleng sambil mencibirkan bibirnya.

"Tidak asin?"tanya si Bungsu pada gadis itu. Gadis itu menggeleng.

"Lalu rasa apa, asam?"

"Juga tidak…

"Lalu rasa, pahit?"

"Tidak…"jawab Thi Binh.

"Lalu rasa apa?"

"Memang ada sedikit rasa asin. Tapi aku rasa bukan karena dedaunan itu. Rasa asin itu pasti dari keringat tangan mu…"ujar Thi Binh.

Duc Thio ingin marah pada anaknya, yang dia anggap kelewatan. Tapi melihat si Bungsu tersenyum, dan malah kemudian tertawa renyah atas kebandelan Thi Binh, dia ikut tersenyum.

"Han Doi, sayat-sayat ikan ini, agar tetesan air asin ini bisa merasuk ke dagingnya…"ujar si Bungsu.

Setelah ikan itu di sayat dibeberapa bagian, si Bungsu meneteskan air remasan kayu tersebut.

"Putar ikannya Han Doi…"ujar si Bungsu.

Han Doi memutar kayu pemanggang ikan tersebut. Bahagian atas dia putar ke bawah, ke arah api yang menyala. Kemudian kembali menyayatkan mata parangnya yang amat tajam pada ikan tersebut. Si Bungsu kembali meneteskan remasan dedauanan tadi, bau harum segera merebak di bawah kayu yang rindang tersebut.

Ketika saatnya ikan tersebut akan diangkat, si Bungsu meletakkan di atas beberapa daun lebar yang disatukan. Kemudian membelah perutnya. Mengeluarkan telur ikan tersebut, yang besarnya sekitar selengan lelaki dewasa. Kemudian kembali dia ambil daun yag tadi dia remas. Dia teteskan air remasan daun tersebut. Lalu di potong-potongnya, bagian terbesar dia berikan pada Thi Binh.

"Ini untukmu, Nona kecil. Nikmatilah…!"

Thi Binh meniup-niup telur ikan bakar tersebut, menghilangkan panasnya. Kemudian mencicipi sedikit. Kemudian sedikit lagi, lalu di suapnya besar-besar. Mulutnya penuh sesak, matanya mendelik-delik saking enaknya.

"Enak…?"tanya si Bungsu sambil mengunyah daging ikan tersebut. Thi Binh menggelengkan kepala. Duc Thio mendelikkan mata pada anaknya.

"Kalau tak enak kenapa habis semua…"ujar si Bungsu acuh tak acuh.

"Karena saya lapar, karena tidak ada yang mau dimakan…"jawab Thi Binh tak mau kalah.

"Rasa apa telur ikan itu?"

"Sebenarnya enak, kalau saja…" dia sengaja menggantungkan kata-katanya.

Si Bungsu tahu sambungan kata-kata Thi Binh yang tak mau kalah tersebut. Dan dia pura-pura tidak tahu, dia tetap bertanya, karena dia ingin Thi Binh melanjutkan kedegilannya.

"Kalau saja apa?"

"Yah, kalau saja tidak bercampur dengan air telapak tangan mu. Jadi air telapak tanganmu yang membuat telur ikan ini tidak enak…"ujar Thi Binh, ucapannya yang memang sudah diduga si Bungsu akan dilontarkan gadis itu.

Semua tertawa. Mereka memakan daging ikan sebesar paha orang dewasa itu, rasanya teramat sangat nikmatnya, sampai ludes. Kemudian dengan diterangi cahaya api unggun, mereka mempelajari peta daerah rawa tersebut.

"Hei lihat ! tempat kita ini sebuah pulau di tengah danau, bahagian berlawanan dengan yang memburu kita kemaren malam…."ujar si Bungsu, sambil menunjuk sebuah titik kecil di peta.

Duc Thio dan Han Doi memoloti peta itu.

"Anda yakin tempat kita berada ini sebuah pulau…?"tanya Han Doi.

"Ya, saya yakin itu. Struktur tanah dan pepohonannya, struktur lumpur dalam air tadi, mengindikasikan secara kuat bahwa tempat kita ini sebuah pulau di tengah danau.