Tidak hanya ketiga orang vietnam itu saja, si Bungsu sendiri tercengang oleh akibat yang ditimbulkan oleh ramuan tersebut. Darah yang semula mengalir deras tiba-tiba berhenti. Dan yang lebih dahsyat lagi, ramuan tersebut seperti tersedot kedalam dagingnya. Kemudian luka yang menganga sekitar dua inchi itu perlahan menutup. Hanya dalam hitungan beberapa menit betis si Bungsu kembali bertaut. Di bekas luka itu hanya garis putih memanjang.
"Ya Tuhan,….Ya Tuhan! khasiat obat itu ternyata sepuluh kali lebih dahsyat dari dugaan ku semula…" ujar si Bungsu sambil menolehkan mata ke arah pohon yang dia ambil daun, lumut dan getahnya.
Namun, mereka sudah terlalu jauh bergerak. Pohon itu sudah lenyap di balik ribuan pohon-pohon lain jauh di belakang sana. Ketiga orang Vietnam itu ternganga. Kalau saja mereka hanya mendengar orang bercerita tentang khasiat ramuan itu, mereka pasti akan menganggapnya sebagai bualan kosong belaka. Namun, bagaimana mereka bisa tak percaya, kalau kini mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri?
Ya, jika si Bungsu saja yang mengenal amat banyak pohon yang berkhasiat tinggi sudah terkejut melihat demikian cepat reaksi penyembuhan ramuan dari pohon tersebut, tentu saja ketiga orang Vietnam itu jauh lebih terkejut lagi. Si Bungsu menatap keliling. Ke pohon-pohon yang memenuhi rawa tersebut. ke airnya yang hitam kemerah-merahan.
"Hutan di rawa ini sangat kaya dengan bahan obat-obatan. Mungkin suatu hari kelak, orang yang mendirikan pabrik obat akan mencari bahan bakunya kemari…" ujar si Bungsu perlahan.
Si Bungsu terkejut ketika merasa air membasahi kakinya. Ketika dia menoleh, dia lihat Thi Binh menyauk air dari rawa dengan tangannya, kemudian membasuhkan darah di betis si Bungsu, yang tadi mengalir dari luka yang menganga itu.
"Hei, terimakasih…" ujar si Bungsu sambil memegang tangan Thi Binh.
Kemudian dia mencelupkan kakinya ke rawa. Membersihkan sisa darah yang masih melekat di sana.
Ketika malam hampir turun, si Bungsu memetik dedaunan beberapa kayu yang tumbuh seperti semak di rawa tersebut. Kemudian membawa rakit ke tepi. Dia memilih tempat untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang, sekitar sepuluh depa dari tepi rawa. Ketiga orang Vietnam itu tak perlu bertanya apakah tempat itu aman atau tidak. Mereka yakin, nyawa mereka berada di bawah perlindungan lelaki asing yang luar biasa ini.
"Kita istirahat di sini menjelang subuh datang…" ujar si Bungsu.
Di bawah pohon rindang itu tanahnya datar dan bersih. Tak ada semak atau rumput yang tumbuh. Bersama Han Doi, dia meneteng rakit yang terbuat dari kayu gabus itu ke bawah pohon tersebut.
"Lebih nyaman tidur di atas lantai bambu ini daripada di atas dedaunan kayu…" ujar si Bungsu.
Duc Thio dan Thi Binh ternganga heran melihat betapa ringannya rakit besar itu ditentang hilir mudik. Ukuran rakit itu memang cukup luas untuk tempat tidur bagi lima atau enam orang dewasa.
Si Bungsu kemudian berjalan ke tepi rawa, membawa dedaunan yang tadi dia petik. Daun-daun itu dia remas, kemudian mencampurnya dengan sedikit lumpur yang dia ambil dari rawa. Kemudian dia kembali ke bawah pohon. Dedaunan yang sudah diremas dengan sedikit lumpur itu dia tebarkan dua depa di sekeliling rakit. Kemudian dia menatap pada agas dan nyamuk yang semula bertebaran di bawah pohon itu. Hanya beberapa detik setelah 'ramuan' itu dia sebar, sebagian dari agas dan nyamuk itu berjatuhan menggelepar-gelepar mati. Sebagian besar lainnya pada berhamburan terbang menjauh.
"Mujarab obat nyamuk tradisional ini kan?" ujar si Bungsu sambil tersenyum.
Duc Thio dan Han Doi tak bisa berbuat lain, kecuali kagum. Mereka tak mengerti, kenapa nyamuk-nyamuk itu pada meregang nyawa. Padahal ramuan yang ditebar lelaki dari Indonesia ini baunya tidak seperti berbagai obat nyamuk yang mereka kenal. Ramuan basah yang disebar si Bungsu justru berbau agak harum.
Tapi bukan soal harum atau tak harumnya itu yang membuat mereka kagum. Yang membuat mereka tak habis pikir adalah bagaimana lelaki asing ini demikian hafalnya pada bentuk-bentuk semak dan pepohonan yang memiliki khasiat untuk obat atau racun.
"Han Doi, kumpulkan dahan dan ranting kayu kering. Buat api unggun agar kita bisa memasak sesuatu untuk makan malam ini…" ujar si Bungsu.
Dia meraih salah satu galah bambu yang panjangnya sekitar sepuluh depa itu. Kemudian berjalan ke rawa. Namun sebelum mencapai bibir rawa dia berhenti. Menoleh kepada Thi Binh, yang duduk di rakit dan juga sedang menatap ke arahnya. Sambil meruncingkan bahagian ujung bambu itu dia bertanya.
"Hei, adik kecil, engkau suka makan ikan bakar?"
Thi Binh yang tak mengerti kemana arah pembicaraan itu hanya mengangguk. Si Bungsu melambaikan tangan. Menyuruh Thi Binh datang padanya. Gadis itu segera bangkit dan berjalan mendekati si Bungsu. Sementara ayahnya dan Han Doi sedang mengumpulkan dahan-dahan dan ranting kering, sebagaimana tadi diminta si Bungsu. Mereka menyusun dahan kering itu antara rakit dengan pohon besar yang rindang tersebut.
"Engkau pernah menombak ikan?" tanya si Bungsu yang baru selesai meruncingkan ujung galah bambu kepada Thi Binh yang sudah tegak di dekatnya. Thi Binh menggeleng.
"Pernah makan ikan bakar?"
Thi Binh mengangguk.
"Suka?"
Thi Binh mengangguk, bibirnya tersenyum.
"Dari sungai di belakang rumah…" jawah gadis itu.
"Berapa besar sungai itu?"
"Cukup besar…."
"Dalam?"
"Tidak begitu dalam. Batu-batu besar banyak di sungai tersebut. Sungai itu baru dalam airnya jika musim hujan….
"Berapa besar ikan pernah didapat orang di sana?"
"Sebesar paha…."
"Paha orang dewasa..
"Paha orang dewasa atau paha belalang?"
Thi Binh tertawa dan mencubit lengan si Bungsu.
"Sebesar pahamu…"ujar gadis itu.
"Haw, cukup besar. Ayo kita cari ikan sebesar itu…"ujar si Bungsu sambil melangkah ke tepi rawa. Thi Binh mengikuti dari belakang.
"Tunggu saja disini. Jangan ikut masuk ke air…."ujar si Bungsu ketika akan melangkah memasuki air.
Senja sebenarnya belum turun utuh. Namun karena rawa itu dikepung belantara lebat, cuaca disana sudah cukup gelap. Dua depa melangkah ke air sudah setinggi betis si Bungsu. Dia tegak sambil menatap ke air didepannya. Tangan kanannya mengangkat galah yang sudah diruncingkan itu setinggi bahu.
Thi Binh menatap dengan tegang. Begitu juga dengan Han Doi dan Duc Thio di bawah pohon sana. Tiba-tiba si Bungsu menghunjamkan galah bambu itu ke sebelah kanan. Galah itu meluncur sekitar empat depa, kemudian tertancap. Si Bungsu melangkah dua depa, meraih galah itu, dan mengangkatnya. Namun galah itu kosong!
"Waw, ikan-ikan itu malu padamu. Nona kecil…"ujar si Bungsu pada Thi Binh.
Gadis itu tersenyum, melepaskan nafas yang tadi tertahan. Dan saat itu tiba-tiba si Bungsu menghunjamkan lagi galah yang runcing itu ke air, tetap kearah kanannya!
Kali ini galah itu tidak dihunjamkan nya sambil dilepaskan seperti tadi. Bahagian ujung galah yang sepuluh depa itu tetap dia pegang. Ujung galah itu kelihatan menggeletar. Dan ketika di angkat si Bungsu, terlihat seekor yang agak putih, besarnya tak kurang dari sebesar paha Thi Binh, beratnya barangkali sekitar 10 kilo, tersate, menggelepar-gelepar.
"Dapat! Waw, dapat….!"teriak Thi Binh sambil melangkah ke air.
Si Bungsu menyerahkan galah itu padanya. Thi Binh lalu membawa ikan besar itu ke darat.
"Tunggu. Ikan itu harus kita buang isi perutnya…"ujar si Bungsu sambil mencabut parang yang dia sisipkan dipinggang.
Thi Binh menyerahkan kembali galah itu kepada si Bungsu. Si Bungsu mencabut ikan itu dari galah. Meletakkannya di tanah, kemudian membelah perutnya, mengeluarkan isi perut ikan itu dan melemparkannya ke rawa.
"Hei,. ikan ini bertelur…" ujar si Bungsu memperhatikan bagian di atas rongga perut ikan itu. Telurnya banyak sekali.
"Pernah makan telur ikan?"tanya si Bungsu. Thi Binh yang duduk mencangkung disamping si Bungsu menggeleng.
"Nah, nantikan rasakan betapa nikmatnya rasa telur ini.."ujar si Bungsu sambil mencuci ikan itu di rawa.
Namun ketika mereka sampai ke bawah pohon di mana dahan-dahan kering sudah di susun bersilang, masalah segera muncul.
"Tidak membawa korek api?"tanya si Bungsu. Han Doi menggeleng.
"Maafkan, saya lupa membawanya. Korek itu terletak di atas tungku…" ujar Duc Thio dalam nada bersalah.
Thi Binh menatap pada si Bungsu. Si Bungsu mengerdipkan mata kepada gadis itu.
"Anda membawa korek api kan?"ujar gadis itu tersenyum, sambil membalas kerdipan si Bungsu. Si Bungsu menggeleng.
"Anda bohong. Pasti ada…"ujar Thi Binh.
"Sungguh mati, saya tidak merokok. Untuk apa saya membawa korek api?" ujar si Bungsu sambil meyerahkan ikan besar itu pada Han Doi.
"Cari kayu hidup sekitar satu depa, runcingkan dan tusuk ikan ini dari ekor sambil mulutnya, agar mudah dibakar. Kita coba menghidupkan apinya.." ujar si Bungsu.
Dia menatap keliling. Mencoba menembus kegelapan untuk melihat kalau-kalau di sekitar itu ada batu. Namun dari struktur tanah dan pepohonan rawa ini sebenarnya dia sudah tahu, tidak akan ada batu walau sebesar kelingking di areal ratusan meter di sekitar mereka.
"Kau benar-benar ingin makan ikan besar itu?" ujar si Bungsu pada Thi Binh.
"Ya, saya lapar sekali. Tapi bukan karena lapar itu, saya ingin menikmati bagaimana benar enaknya telur ikan…"ujar Thi Binh.
Si Bungsu menggelengkan kepala.
"Kenapa menggeleng?"
"Ada keinginanmu yang lebih besar dari sekedar mencicipi rasa telur ikan itu.."ujar si Bungsu.
"Apa?"ujar Thi Binh.
"Yang sangat kau ingin tahu, Nona kecil, adalah bagaimana cara aku membakar ikan itu tanpa korek api, bukan?"ujar si Bungsu.
Thi Binh ternganga. Sungguh, itulah yang memang paling diinginkannya. Perutnya memang lapar. Dia memang ingin sekali merasakan bagaimana enaknya telur ikan itu. Namun yang paling diinginkannya adalah bagaimana lelaki hebat yang selalu datang dalam mimpinya ini bisa menghidupkan api.
"Iya, kan?" tanya si Bungsu.
Thi Binh mencibir. Kemudian menggeleng dua kali.
"Syukurlah kalau memang tidak. Kita makan daging ikan mentah saja…"
Ucapan si Bungsu belum berakhir, segera di potong oleh cubitan Thi Binh ke lengannya.
"Lho, kok mencubit? Benar kan yang aku katakan.."
Thi Binh kembali mencibir, kemudian menggeleng. Namun cubitan tangannya semakin kuat ketika ia lihat si Bungsu akan menjawab seperti tadi.
"Baik, Baik. .kau memang tak ingin melihat. Aku yang ingin pamer bagaimana nenek moyang kita dulu menghidupkan api, bukan?"ujar si Bungsu.
"Ya, harus begitu…"ujar Thi Binh sambil kembali menguatkan cubitannya, sehingga si Bungsu terpekik.
Thi Binh mengikuti si Bungsu ketika melangkah ke arah dahan-dahan kering yang sudah tersusun itu. Berjongkok dan mengambil sebuah dahan sebesar lengan yang cukup keras. Dengan parang dia potong dahan itu. Yang sepotong dia belah dua. Dari dahan yang terbelah dua itu, yang sebelah dia potong hingga panjangnya tinggal sejengkal. Kemudian dia raut hingga sebesar jari, lalu ujungnya dia runcingkan. Yang sepotong lagi, yang masih utuh sebesar lengan, dia tetak, sehingga pada dahan itu itu tercipta lobang sebesar ibu jari dengan kedalaman sekitar tiga centimeter. Dahan kering sebesar lengan itu dia letakkan di tanah dekat dahan-dahan kering yang sudah tersusun rapi itu.