Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 206 - Bagaimana anda tahu bahwa obat yang anda ramu itu ‘jauh lebih baik’

Chapter 206 - Bagaimana anda tahu bahwa obat yang anda ramu itu ‘jauh lebih baik’

Ternyata itulah jalan yang diambil si Bungsu. Dia tak punya kesempatan untuk menembak.

Kendati badannya demikian besar, namun gerakan makhluk raksasa ini demikian cepat. Satu-satunya yang terlintas di otak si Bungsu adalah menyekang moncong ular itu dengan bedilnya.

Maka ketika moncong menganga lebar itu menyambar ke arahnya, dia menegakkan bedilnya. Dan siasat serta perangkapnya mengena. Moncong ular itu menyambar dengan cepat, sekaligus bedil di tangan si Bungsu masuk ke moncongnya dan terhenti dengan posisi tegak pada bahagian pangkal moncongnya.

Merasa tubuh si Bungsu sudah berada di moncongnya, ular itu mengatupkan mulutnya, kemudian meliukkan kepala ke atas. Tubuh si Bungsu ikut terangkat karena dia masih memegang bedilnya dengan kuat. Tubuhnya baru terlepas dan tercampak setelah kepala ular itu menghempas-hempas di udara.

Makhluk raksasa itu nampaknya menjadi berang karena tak bisa mengatupkan mulutnya. Tersekang oleh bedil yang masih tertegak di bahagian pangkal kerongkongannya.

Dalam keadaan menghempas itu terdengar suara aneh keluar dari moncong makhluk raksasa itu. Perpaduan seperti suara pekik ayam jantan dan pekik monyet. Si Bungsu dengan cepat berenang kembali ke arah rakit. Duc Thio menolongnya naik. Begitu dia sampai di atas rakit, Thi Binh memeluknya dengan erat. Gadis itu menyurukkan mukanya di dada si Bungsu sambil menangis terisak-isak.

"Jangan tinggalkan aku… demi Tuhan, jangan tinggalkan aku…" bisiknya di antara isak tangis.

Duc Thio menyemburkan peluru ke arah makhluk raksasa yang seolah-olah membuncah hutan belantara di dalam kabut sekitar dua puluh meter dari rakit mereka.

"Jangan habiskan peluru. Jika bedil di mulutnya tak terlepas, dia akan mati sendiri. Mungkin dalam sebulan, mungkin dalam dua bulan…." ujar si Bungsu sambil meraih galah.

"Han Doi ambil galah. Kita harus segera menyingkir dari sini. Raksasa ini bukan yang bertemu dengan kita tadi pagi. Ini yang jantannya, kepalanya bertanduk. Yang pagi tadi betinanya. Dia pasti tak jauh dari sini…" ujar si Bungsu.

"Thi Binh…. duduklah, ya. kita harus bergerak cepat…" ujar si Bungsu membujuk gadis itu agar mau melepaskan pelukan dari tubuhnya.

Thi Binh memang melepaskan pelukannya namun tak jauh-jauh. Dia menyelosoh duduk di lantai rakit. Namun kedua tangannya masih memeluk kaki si Bungsu. Si Bungsu dan Han Doi mulai menancapkan galah ke dasar rawa, kemudian menekannya sehingga rakit itu menjauhi neraka yang masih saja membuncah hutan di belakang mereka.

"Makhluk itu ada dua ekor…?" tanya Duc Thio yang masih berlutut di rakit sambil memegang bedil dan menatap kepala ular besar itu yang sebentar-bentar muncul dari dalam kabut.

"Ya. Tadi pagi ketika akan membuat rakit ini saya dan Han Doi bertemu dengan yang betina dalam jarak yang amat dekat…" ujar si Bungsu sambil menekan galah ke arah ke belakang kuat-kuat.

Dengan dua orang lelaki dewasa yang menggalah, rakit itu meluncur dengan cepat menyeruak di antara pepohonan besar, menembus kabut dan dedaunan, menjauh dan meninggalkan tempat yang amat menakutkan itu. Rawa ini sungguh-sungguh rawa maut.

Nampaknya memang tak seorangpun yang pernah menerobosnya. Mungkin juga tidak pernah dijejak tentara Amerika atau Vietnam Utara maupun Selatan dalam pertempuran dahsyat selama belasan tahun.

"Han, arahkan rakit ke kayu besar itu…" ujar si Bungsu tatkala menjelang sore dia melihat sebuah pohon yang sebahagian daunnya berwarna kuning dan sebahagian lagi berwarna merah di tengah rawa yang maha luas itu.

Han Doi mengarahkan rakit tersebut ke arah kayu yang dimaksud si Bungsu. Di bawah pohon yang tegak tinggi menjulang itu mereka berhenti. Si Bungsu menatap ke daun-daun kayu yang berserakan dan mengapung di permukaan air. Kemudian memperhatikan bahagian batangnya yang berada di permukaan air. Batang pohon berwarna putih itu dipenuhi lumut, mulai semeter di atas air sampai ke bahagian bawah yang terendam ke air. Si Bungsu meraih beberapa lembar daun kayu yang mengapung di air itu. Kemudian mendekatkan rakit ke pohon.

"Pinjam saya parangmu…" ujar pada Han Doi.

Dengan parang dia kikis lumut yang tumbuh di pohon tersebut sampai dua genggam. Kemudian dia tatap pohon itu dua kali. Dari bekas tetakan parang kelihatan mengalir getah berwarna kehijau-hijauan dan menyebarkan bau agak harum. Si Bungsu kembali mengambil lumut pohon itu, lalu mengapungkan lumut di genggamannya ke getah yang menetes perlahan.

Setelah merasa cukup, dia menyuruh Han Doi kembali menjalankan rakit. Dia lalu duduk dan meremas-remas daun kayu yang tadi dia ambil dengan lumut yang sudah dilumur getah pohon tersebut. Semua perbuatannya dilihat dengan diam oleh Thi Binh dan Duc Thio.

Kemudian ketika rakit melewati sebuah pohon yang agak rendah, dia memetik sehelai daunnya yang lebar. Ramuan yang dia remas tadi dia letakkan di daun tersebut, membuatnya merata di seluruh lebar daun, kemudian meletakkanya di bahagian belakang rakit.

"Saya tak tahu apa nama pohon itu tadi. Namun pohon itu amat langka. Bahkan di negeri saya pun tak ada. Dari bentuk batang dan daun, dari bau yang disebarkannya, orang yang ahli meramu obat akan tahu bahwa bahagian-bahagian pohon itu amat bermanfaat untuk ramua obat, guna menyembuhkan berbagai bentuk penyakit dan luka…" paparnya sambil menatap pada Duc Thio.

Duc Thio dan Han Doi segera teringat pada ramuan yang diminumkan si Bungsu kepada Thi Binh kemarin malam. Ingat pada ramuan yang diminumkan itu, baik Han Doi maupun Duc Thio menatap pada Thi Binh. Mereka baru menyadari, bahwa luka mirip kudis berair yang beberapa hari lalu muncul di sudut bibir Thi Binh, kini sudah lenyap sama sekali.

Hanya tersisa sedikit seperti bekas luka yang sudah mengering. Dan kondisi Thi Binh sendiri kelihatan amat sehat. Wajahnya yang kemarin pucat, kini kembali bersemu merah. Kecantikannya seperti pulih.

"Seperti obat yang diberikan pada Thi Binh?"tanya Han Doi sambil menancapkan galah di dasar rawa.

"Ya, tapi jauh lebih manjur…"ujar si Bungsu.

"Anda mempelajarinya di Indonesia?" tanya Duc Thio.

"Mula-mula ya. Namun dalam bentuk yang amat sederhana. Pengetahuan yang paling berharga tentang flora yang amat manjur dibuat obat saya pelajari ketika saya di Jepang dan Amerika…"

"Di Jepang dan Amerika?"tanya Duc Thio.

"Ya.."

"Dari para dokter?"

"Tidak, dari seorang Jepang yang bernama Zato Ichi dan Indian bernama Yoshua. Ilmu tentang tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat untuk obat-obatan ini sudah sulit ditemukan. Orang-orang yang punya ilmu meramunya lebih sulit lagi di temukan…"tutur si Bungsu.

Dia lalu menuturkan tentang Kina, yang rasa getahnya amat pahit, yang tidak hanya bermanfaat menyembuhkan demam tetapi juga malaria. Obat yang berasal dari tetumbuhan di Indonesia itu kini sudah dikenal di seluruh dunia.

"Bukankah tadi anda bilang, pohon tadi tak anda temukan di Indonesia?"kembali Duc Thio bertanya.

"Ya…."

"Apakah tumbuhan itu Anda temukan di Jepang dan Amerika?"

"Juga tidaak…"

"Lalu, dimana kayu seperti itu pernah anda temui?"tanya duc Thio lagi.

"Tidak pernah, baru di rawa ini…"

"Baru di rawa ini?"

"ya.."

"Apakah anda yakin kayu tadi memang punya manfaat untuk menyembuhkan segala penyakit, termasuk luka?"

"Ya…"

"Bagaimana anda mengetahuinya, padahal baru kali ini anda melihat pohon itu..?"

Si Bungsu menarik napas, Dia duduk bersila di rakit.

"Itulah yang saya maksud ilmu mengenal tumbuhan dan pohon yang bermanfaat untuk obat-obatan. Ada beberapa orang yang ahli untuk mengenal bentuk bentuk tetumbuhan dan pepohonan yang berkhasiat itu. Pertama dari baunya, bau pohon yang berkhasiat itu tidak berbau oleh hidung orang awam. kalaupun mereka mencium bau dari pepohanan itu tapi tak tahu arti bau itu untuk obat-obatan. Mungkin mereka tahu pohon itu untuk obat tapi dengan apa diramu dan apa bahan peramunya.."papar si Bungsu.

"Maaf. Anda baru pertama kali menemukan pohon itu. Katakanlah anda tahu pohon itu berkhasiat buat obat, dan anda juga tahu meramunya. Namun bagaimana anda tahu bahwa obat yang anda ramu itu 'jauh lebih baik' untuk berbagai bentuk penyakit, dibanding obat yang anda berikan pada Thi Binh?"ujar Duc Thio.

Duc Thio sama sekali tidak meragukan kemampuan si Bungsu dalam mengetahui pohon yang berkhasiat untuk obat dan cara untuk meramunya dia yakin benar anak muda ini mahir.

Namun, karena si Bungsu mengatakan baru pertama kali menemukan pohon itu dia memang ingin sekali mengetahui, apa ukuran jauh lebih manjur sebagaimana diucapkan si Bungsu.

Si Bungsu juga tahu, tak ada maksud Duc Thio meragukan apa yang dia jelaskan. Dia tahu, orang Vietnam ini bertanya karena didorong rasa ingin tahunya yang luar biasa.

"Pertama saya tak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan saya begitu yakin. Barangkali karena naluri yang kuat tentang belantara dan penghuninya. Saya pernah hidup tanpa bekal di belantara lebat selama lebih dari dua tahun dalam keadaan luka parah. Secara alami hewan-hewan mengajarkan kepada saya melalui apa yang mereka lakukan dan saya perhatikan, tentang bagaimana harus bertahan di belantara yang ganas. Baik bertahan dari sergapan musuh yang lebih besar dan ganas, maupun bertahan hidup dari luka-luka yang mereka alami dalam perkelahian.

Sejak itu hutan itu sudah menjadi rumah saya. Di hutan saya seperti mengenal setiap lekuk-likunya. Mengenai jaminan khasiat pohon yang baru pertama kali saya lihat itu, juga berdasarkan naluri…"

Si Bungsu kemudian mengambil parang yang terletak dekat Thi Binh. Sebelum ketiga orang Vietnam itu memperhatikannya dengan seksama itu paham apa yang akan dia lakukan dengan parang yang amat tajam itu, dengan cepat si Bungsu menyayatkan parang itu ke betisnya!

Duc Thio dan Han Doi terkejut. Thi Binh terpekik. Darah mengalir dengan deras dari luka yang menganga yang panjangnya sekitar sepuluh senti di betis si Bungsu. Si Bungsu meletakkan parang dan meraih ramuan obat yang dia taruh diatas daun yang berada di belakangnya.

Diambilnya secubit daun dan lumut kayu yang sudah dicampur dengan getah pohon tersebut. Dia masukkan kedalam luka yang menganga, kemudian diratakannya sampai menutupi semua bahagian yang luka.