Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 198 - Anda seorang dokter..?

Chapter 198 - Anda seorang dokter..?

Vietkong jelas tak kehilangan pasukan, sebab itu memang bukan perang frontal dimana pasukan berhadapan dengan pasukan, individu melawan individu. Tapi Vietkong mengirmkan 'tentara' berbentuk roket dari jarak puluhan kilo meter.

Neraka lainnya adalah Lembah La Drang. Lembah yang terletak di dataran tinggi tengah ini berbatasan dengan Kamboja. Wilayah ini yang menjadi basis pasukan Vietnam Selatan dari kesatuan Pleimei Special Forces, digempur habis- habisan, Amerika menerjunkan Divisi Kavaleri Udara I, yang bary sebulan tiba di Vietnam.

Sebenarnya divisi yang mayoritas beranggota generasi muda Amerika ini, belum berpengalaman menghadapi Perang Vietnam yang ganas. Tapi komando Amerika ingin mencoba pasukan yang punya mobilitas tinggi itu. Tentara Vietkong memang dapat di halau ke perbatasan Kamboja. Korban Neraka ini adalah tewas 1.500 Vietkong dan 217 tentara Amerika. Amerika masih mencata 232 korban luka-luka.

Terakhir adalah Neraka Khe Sanh. Korban disini sebenarnya lebih besar dari hamburger hill yang terkenal keseluruh dunia itu. Gempuran sporadis Vietkong terhadap Khe Sanh yang dikuasai Vietsel dan Amerika, sebenarnya sudah dilakukan mulai tahun 1966 dengan menghujani wilayah itu dengan roket artileri. Pada Tahun 1968, tiba-tiba Vietkong melipat gandakan serangannya. Tak kurang dari 77 hari hujan mortir dan roket artileri merancah setiap jengkal wilayah Khe Sanh, yang di pertahankan marinir Amerika. Inilah gempuran arteleri Vietkong yang dicatat paling dahsyat dalam pertempuran Amerika-Vietnam Utara.

Akhirnya tentara Amerika tidak hanya berhasil mempertahankan Khe sanh. Dengan bantuan angkatan udaranya sekaligus mereka juga berhasil menyerang balik. Namun demikian, inilah pertempuran paling berdarah begi kedua belah pihak. Jika di Hamburger Hill tentara Amerika yang tewas 'hanya' 44 orang, di Khe Sanh ini mereka harus kehilangan 300 tentara. Sementara Vietkong kehilangan 1.500 tentara. Bayangkan dahsyat nya.

Kini setelah Vietnam di kuasai Utara. Khe Sanh ternyata tidak hanya meninggalkan bekas gempuran yang dahsyat. Bagi Vietnam Utara wilayah itu konon di jadikan tempat rahasia, untuk menyembunyikan sebahagian tentara Amerika yang dinyatakan hilang dalam pertempuran.

Pagi itu, sebuah mobil terseok-seok memasuki sebuah desa kecil yang jauh diluar kota Khe Sanh, yang masih diselimuti kabut yang merayap dari belantara gelap di sekitarnya. Ketika truk itu berhenti, asap putih tebal mengepul dari radiatornya, kemudian menyemburat keluar melalui kap depan diiringi suara mendesis yang keras. Sopirnya, seorang lelaki separoh baya berjambang kasar, menghambur turun. Dari mulutnya menyembur sumpah serapah.

"Hei turun semua, ini ujung perjalanan kalian..!"hardiknya kearah bak belakang.

Dari bak belakang truk reot itu kemudian turun empat lelaki dan dua perempuan. Di sebelah barat kampung tersebut menjulang bukit-bukit batu terjal, namun berhutan lebat. Bahagian lainnya, utara, selatan dan timur dikepung oleh belantara perawan.

Khusus bahagian utara, belantaranya dilengkapi dengan rawa yang seolah-olah tak bertepi. Berbagai reptil berbahaya seperti ular, kalajengking dan buaya siap membunuh apa saja makhluk bernyawa yang masuk ke rawa tersebut. Belum lagi pasir apung yang bentuk dan letaknya sulit dideteksi, namun apapun yang terperosok kepermukaannya akan dilulur dan lenyap tak berbekas.

"Kita sampai di desa itu…."bisik seorang lelaki pada temannya yang lebih muda, yang sama-sama turun dari truk dengannya. Dia berbicara dalam bahasa inggris.

Kedua orang itu memakai caping, topi lebar dari bambu tipis berwarna hitam, yang bahagian depannya menutupi wajah. Caping seperti itu merupakan topi yang lazim dipakai oleh semua petani Vietnam. Dengan memakai caping yang menutupi wajah itu, sulit bagi orang lain mengenali pemakainya.

"Kita menginap dimana?"bisik yang lebih muda, yang tak lain dari si Bungsu, juga dalam bahasa Inggris.

"Ada rumah saudaraku, ayo kita kesana…"ujar yang pertama bicara, sambil mengangkat bungkusan kain miliknya yang terletak di truk, kemudian menyandangnya di bahu.

Si Bungsu juga mengangkat buntalan kain kecil miliknya. Dia sudah diingatkan, untuk membara peralatan seperti pakaian atau benda-benda pribadi lainnya dengan buntalan kain, sebagai mana lazimnya petani Vietnam. Membawa ransel, apalagi buatan Amerika, betapapun banyak ransel itu di pasar loak, tetap saja akan menarik perhatian orang. Khususnya mata-mata, yang berseliweran hampir setiap penjuru kota dan desa.

Desa kecil itu terletak memanjang di pinggir jalan. Dan desa ini adalah tujuan terakhir dari jalan yang membelah hutan belantara dan perbukitan, yang jaraknya dari kota Bien Hoa sekitar 150 kilometer.

Ini ujung perjalanan. Mobil datang kemari paling-paling sekali sebulan. Umumnya kendaraan yang datang hanya truk militer. Sesekali diselingi truk reot seperti yang baru datang ini. Truk-truk yang datang setelah menginap sehari dua hari, kembali ke Bien Hoa.

Di tempat truk ini berhentilah semua truk-truk itu memutar haluan kembali kota Bien Hoa, kota yang terdekat dari desa ini. Bien Hoa terletak 100 kilometer dari Saigon, dulu ibukota Vietnam selatan yang sejak dikuasai Vietkong sudah diganti menjadi Ho Chi Minh.

Jarak 150 kilometer antara Bin Hoa kedesa ini harus mereka tempuh dalam perjalanan yang memakan waktu dua setengah hari, di jalan yang na'uzubillah buruknya. Tak ada pemeriksaan apapun, bahkan tak terlihat seorang pun tentara Vietkong berkeliaran di desa itu. Ini tentu berbeda dengan desa-desa lainnya di Vietnam yang di penuhi tentara.

Namun si Bungsu sudah mendapat penjelasan panjang lebar tentang desa ini dari informan yang kini menemaninya, yang harus dia bayar cukup tinggi.

Desa ini, menurut Han Doi, informan yang kini menjadi penunjuk jalannya. Memang tidak dijaga tentara. Dari segi militer, seolah-olah desa ini amat tak berguna sama sekali. Tak masalah hitungan. Tetapi, sesungguhnya itu adalah semata-mata kamusflase. Tentara tetap berkeliaran, hanya saja mereka memakai pakaian dinas. Kamusflase itu diperlengkap dengan tak adanya pemeriksaan terhadap siapa saja yang datang kedesa ini. Padahal, setiap apapun yang bergerak didesa ini, takkan pernah luput dari pengamatan mata-mata tentara, bahkan tentara reguler, yang hadir di desa itu dalam pakaian sebagaimana jamaknya penduduk desa.

"Jika masuk kesana, apalagi untuk membebaskan tawanan perang asal Amerika, sama artinya dengan memasuki kandang singa. Untuk keluar kita tak mungkin mempergunakan jalan umum. Satu-satunya jalan pintas,yang bisa mencapai wilayah pantai adalah menerobos rawa yang harus kita terobos…"papar Han Doi sebelum mereka meninggalkan Bien Hoa.

"Saya rasa lebih ganas tentara Vietkong. Sebaiknya kita menerobos rawa saja. Berapa hari di perkirakan kita bisa menerobos rawa itu?"tanya si Bungsu.

"Saya tak menerobosnya. Tapi jarak yang harus kita tempuh takkan kurang dari 50 kilometer.."jawab Han Doi.

"Tak ada sungai?"

"Saya tak tahu,mungkin ada…"

"Sedalam apa rawa itu?"

"Pada bahagian tertentu, kapal bisa berlayar disana, saking dalam dan luasnya. Namun kapal tentu tak bisa bergerak, karena rawa luas dan dalam itu menyatu dengan belantara perawan. Pada bahagian tertentu, rawa itu merupakan bentangan belukar yang amat luas, pada sebahagian lagi kayu-kayu tumbuh sebesar pelukan lelaki dewasa…"

"Saya rasa, rawa itu jalan yang harus kita tempuh…."ujar si Bungsu dengan nada pasti.

Kini mereka sampai di depan sebuah rumah. Rumah-rumah di desa itu menggambarkan kondisi kehidupan warganya. Terbuat dari papan dan bertiang cukup tinggi, hampir semua rumah beratap daun. Di bahagian bawah dua tiga rumah berkeliaran ternak seperti ayam, babi atau kambing dan kerbau.

Si Bungsu tahu berapa pasang mata menatap langkah mereka. Baik dari balik celah dinding rumah maupun dari balik jendela yang dari luar kelihatan sepi sekali.

Dari depan tangga, Han Doi memanggil sebuah nama. Mereka menanti. HanDoi kembali memanggil dengan suara tak begitu keras. Tak lama kemudian, pintu rumah itu berderit dan terbuka. Sebuah wajah muncul di pintu.

"Paman Duc saya membawakan rokok dan kopi untuk mu…"ujar Han Doi sambil mengangkat buntalan kainnya.

Lelaki separoh baya yang di panggil Han Doi paman itu menatap sesaat kepada si Bungsu. Hanya sesaat, setelah itu dia membukakan pintu lebar-lebar.

"Naiklah…."ujarnya dalam nada parau.

Han Doi mendahului menaiki tangga, disusul si Bungsu. Ketika usai menaiki enam anak tangga dan berada di rumah, si Bungsu baru dapat melihat bahwa penduduk kampung ini jauh lebih miskin dari gambaran yang diperlihatkan kondisi rumah-rumah mereka.

Rumah itu terbagi dua dengan pembatas papan. Ruang depan merangkap sebagai ruang tamu dan ruang makan. Ruang disebelahnya, yaitu bahagian belakang, adalah ruangan tidur keluarga, yang diujungnya terdapat dapur. Ruang depan dimana kini mereka berada hanya dialas dengan tikar rotan yang sudah compang-camping saking tuanya. Pada dinding yang menjadi pembatas dengan ruang tidur, tersangkut sebuah caping tua dan beberapa potong baju.

"Kenalkan ini temanku. Namanya Bungsu. Dia berbahasa Inggris. Bungsu ini pamanku, Duc Thio…"ujar Han Doi sambil meletakkan dan membuka buntalan kainnya.

Si Bungsu membuka caping di kepalanya, kemudian mengulurkan tangan. Duc Thio, paman Han Doi, yang tadinya menatap sekilas saat akan membukakan pintu, menyambut uluran tangannya.

"Senang bertemu dengan anda…"ujar lelaki itu, yang kefasihan bahasa Inggris nya membuat si Bungsu terkejut.

Han Doi menyerahkan sebungkus kopi dan tiga slop rokok buatan Amerika, yang diterima pamannya dengan wajah berseri. Dia mencium rokok tersebut sambil memejamkan mata.

"Mana Thi Binh?"tanya Han Doi pada pamannya. Duc Thio menatap ponakannya itu sesaat, wajahnya berubah murung.

"Dia sakit…"ujarnya perlahan.

"Sakit, dimana?".

Duc Thio melangkah ke ruang sebelah diikuti Han Doi. Dari kamar sebelah si Bungsu mendengar pembicaraan dua orang itu.

"Kenapa dia ?"tanya Han Doi.

"Sipilis.."

Lama tak terdengar suara.

"Ya Tuhan, badannya panas sekali, kenapa..?"

"Dia di paksa melayani nafsu binatang tentara Vietkong di kamp…" Si Bungsu mendengar suara paman Ham Doi bergetar.

"Apakah tak ada dokter di kamp itu yang bisa membantunya..?"

"Di kamp itu, tak ada obat yang boleh dipergunakan. Kecuali tentara Vietkong. Siapa yang sakit, tawanan Amerika atau pun orang Vietnam Selatan, harus meramu obat sendiri. Jika tak ada obat, silahkan menanti ajal…"

Si Bungsu melangkah perlahan kebatas kamar. Dikamar sebelah itu dia melihat sesosok tubuh terbaring.

"Maaf, barangkali saya bisa membantu. Boleh…?"ujarnya perlahan. Kedua orang lelaki di kamar itu menoleh padanya.

"Anda seorang dokter..?"tanya Han Doi heran.

"Tidak. Tapi, untuk penyakit tertentu mungkin aku bisa membantu. Boleh saya coba?"ujar si Bungsu.

Dari tempat duduknya Han Doi menatap pamannya. Lelaki itu menatap si Bungsu kemudian dengan penuh harap dia mengangguk. Si Bungsu mendekat. Melihat seorang gadis amat belia, barangkali baru berusia lima belas tahun. Wajahnya yang pucat pasi dan bibirnya yang berkudis akibat spilis, tak mampu menyembunyikan wajahnya yang jelita.

"Nampaknya dia sudah empat hari diserang demam panas dan tak bangkit dari pembaringan ini…"ujar si Bungsu perlahan, setelah memperhatikan wajah gadis itu, tanpa menyentuhnya sedikitpun.

"Ya, persis empat hari dengan hari ini…"ujar ayah gadis itu.

Setelah ucapannya itu dia segera sadar dan menjadi heran, sembari menatap si Bungsu dia berfikir, bagaimana orang ini bisa secara persis mengetahui kondidsi anaknya, padahal dia bukan dokter?