Han Doi juga tak kurang herannya. Dia menatap pamannya, seperti pamannya, apakah memang sudah empat hari Thi Binh menderita demam dan tak bisa bangkit dari pembaringan. Pamannya, yang faham atas tatapan itu, mengangguk.
"Kita memerlukan air hangat, agak semangkuk…"ujar si Bungsu.
Duc Thio bergegas melangkah kearah tungku di ujung ruangan tersebut. Di sana memang sedang terjerang sebuah periuk berisi air yang sedang mengepulkan asap. Lelaki separuh baya itu mengambil sebuah mangkuk dari kayu. Kemudian mengangkat periuk, lalu menuangkang isinya ke dalam mangkuk tersebut. Mangkuk berisi air panas itu dia bawa kedepan si Bungsu.
"Ada kain pembersih, sapu tangan misalnya?"tanya si Bungsu.
Duc Thio kembali bergerak kesebuah lemari kayu setinggi satu meter yang terletak di tepi dinding dekat kepala anaknya. Membukanya, mengambil sebuah handuk kecil. Lalu memberikannya pada si Bungsu. Si Bungsu menuangkan serbuk berwarna kuning kehijau-hijauan dari bungkusan kecil yang dia keluarkan dari dompetnya kesendok. Jumlah yang dia tuangkan hanya sedikit, mungkin secubitan anak-anak. Lalu dua jari, jari tengah dan telunjuk tangan dia celupkan ke air dimangkuk. Kemudian air yang melekat pada jarinya itu dia teteskan ke bubuk yang disendok. Sekitar empat tetes air air turun membasahi serbuk itu. Bubuk tersebut kemudian larut dalam air yang beberapa tetes disendok.
Perlahan, dengan tangan kanannya dia bukakan mulut gadis itu yang terbaring diserang sipilis. Kemudian air larutan bubuk obatnya di tuangkan kemulut gadis itu, lalu mulutnya di katupkan lagi.
Si Bungsu kemudian membasahi handuk di tangannya dengan air hangat didalam mangkuk. Memerasnya perlahan, kemudian melap wajah gadis itu, yang sejak tadi di penuhi keringat dingin.
"Jika tuhan mengizinkan, anak bapak akan sembuh dalam seminggu-dua minggu…"ujar si Bungsu pada Duc Thio.
"Terimakasih…"ujar Duc Thio penuh harap, meski amat ragu.
Dari Paman Han Doi siang itu si Bungsu dapat penjelasan lebih jelas dan rinci tentang adanya tawanan Amerika yang tempat penyekapannya amat dirahasiakan Vietkong di sekitar desa kecil ini. Duc Thio bercerita setelah ponakannya menuturkan bahwa si Bungsu datang kemari untuk membebaskan seorang perawat Amerika, yang tertangkap ketika perang berkecamuk.
Saat Duc Thio bercerita, Han Doi bersandar ke dinding yang ada celahnya. Setiap sebentar dia mengintip lewat celah itu, kalau-kalau ada orang yang mendekat. Dia tak hanya mengintip lewat celah dinding,tetapi tiap sebentar juga mengintip lewat celah lantai. Memastikan bahwa tak ada siapa-siapa yang menyelinap kekolong rumah untuk mendengarkan pembicaraan pamannya dengan si Bungsu.
"Mereka disekap dalam goa-goa batu yang berada di bukit yang terjal di sebelah utara sana…"ujar Duc Thio.
"Maaf, disana pula Thi Binh dulu disekap?" tanya si Bungsu mengenai anak gadis Duc Thio.
"Tidak di goa itu. Vietkong mendirikan kamp dibawah bukit terjal itu. Anakku, dan beberapa wanita lainnya yang mereka sekap untuk melayani nafsu mereka, juga ditempatkan di balik bukit yang dijaga sekitar sepuluh sampai dua belas tentara….." ujar Duc Thio sambil berhenti sejenak.
Setelah menghela nafas panjang,dia melanjutkan ceritanya.
"Tentara yang ingin memuaskan hasratnya datang bergiliran ke kamp wanita-wanita tersebut. Jadi, Thi Binh maupun wanita-wanita yang lain tak tahu dimana letak kamp tersebut. Hanya orang-orang yang terlatih mendaki yang bisa mencapai goa tempat tentara Amerika itu disekap. Namun selain bahaya ditembaki Vietkong, hampir setiap jengkal bukit itu ditanam ranjau. Yang tahu jalan naiknya, hanya beberapa Komandan pasukan…"
"Berapa tentara Vietkong disana…?"
"Tidak ada yang tahu. Mereka datang kesini setahun yang lalu. Pagi harinya penduduk dikumpulkan. Lalu di giring ke lembah sekitar setengah kilometer dari sini. Malam harinya, kami hanya mendengar suara deru truk-truk yang yang datang. Hampir sepanjang malam. Hampir sepanjang malam itulah kami juga tak boleh meninggalkan tempat berkumpul di lembah sana. Subuh-subuh truk-truk itu berangkat, baru siangnya kami dikembalikan ke desa…."
"Penduduk disini bebas pergi kemana saja?"
"Yang masuk kesini ya, sedangkan yang keluar tak boleh sama sekali, kecuali untuk ke ladang atau kebun dekat-dekat desa.."
"Bagaimana penduduk mencukupi kebutuhannya?"
"Sekali dua minggu ada tentara Bin Hoa yang membawa keperluan hidup sehari-sehari. Mereka melakukan barter hasil pertanian dan perkebunan dengan kebutuhan sehari-hari penduduk, sedangkan alat-alat pertanian mereka bagikan dengan cuma-cuma. Sedang…"
Cerita Duc Thio terputus ketika dari kamar sebelah terdengar erangan halus. Lelaki separoh baya itu segera berdiri. Bergegas kekamar sebelah dimana anak gadis nya terbaring.
"Ayah, saya lapar…."rintih gadis itu perlahan.
Duc Thio untuk sesaat terpana. Seperti tak percaya anaknya bicara. Sudah empat hari ini anaknya tak sadarkan diri. Kini tiba-tiba anaknya membuka mata dan mengatakan lapar.
"Ayah masakkan bubur untukmu, nak…."ujarnya terbata-bata.
Airmata lelaki itu berlinang. Menjelang menuju dapur dia membelokkan langkah keruang tengah menatap si Bungsu.
"Terimakasih…Terimakasih anda telah mengobati anak saya…"ujar lelaki itu sembari membungkukkan badan dalam-dalam beberapa kali. Si Bungsu mengangguk dan tersenyum lembut. Han Doi sendiri berdiri meninggalkan tempat duduknya, berjalan ketempat anak pamannya itu. Melihat gadis itu sudah membuka mata dan menatapnya.
Wajah gadis itu, yang tadi pucat pasi, kini sudah berona agak kemerah-merahan. Duc Thio dengan cepat membesarkan api. Memasukan tepung kedalam panci kecil, kemudian memberi air. Lalu menjerangnya di tungku. Setelah itu dia mengambil pisau, seekor ayam yang sudah dikuliti, dan sudah lama digantung diatas tungku, dia potong dadanya. Selanjutnya dia sayat-sayat tipis-tipis, lalu dia masukkan ke panci yang terjerang itu.
Kemudian dia memasukkan bawang prai dan daun seledri, garam halus serta merica, taklama kemudian bubur itu menggelegak. Duc Thio mengambil sebuah mangkuk, menyalin bubur yang harum itu kedalam mangkuk. Setelah itu dia bergegas kepembaringan anaknya, lalu menyuapi anak gadis nya itu sendok demi sendok.
"Han Doi, masak bubur untuk makan kita siang ini…"ujar Duc Thio sambil tetap menyuapi anaknya.
Han Doi segera bangkit, dan mengambil sebuah periuk, memasukkan gandum, memotong-motong ayam, kemudian memasukan rempah, memberi air dan menjerangnya diatas tungku. Dia mengambil lagi beberapa potong kayu disamping tungku itu, dan menyorongkannya ke tungku. Setelah itu dia menutup periuk tersebut dan menoleh pada si Bungsu yang lagi memandang keluar.
Si Bungsu memang tengah menoleh ke luar jendela menatap belantara dan perbukitan batu terjal. Mendengarkan kicau suara burung dan pekik siamang, yang sayup-sayup sampai ketelinganya.
Tiba-tiba dia terbayang Situjuh Ladang Laweh, dikaki Gunung Sago, kampung halamannya nun jauh diseberang laut sana. Desa ini tak jauh beda dengan desanya dulu. Di Lingkar hutan dan perbukitan serta berudara sejuk. Hanya saja, hutan disini sangatlah perawan. Sementara hutan yang mengelilingi situjuh ladang laweh, sebahagian sudah dijadikan kebun dan ladang.
Dia menarik nafas panjang dan berat. Tak ada siapapun yang menantinya di kampung. Dia tak lagi punya sanak famili dekat. Semua sudah pupus. Ada yang tewas dalam perang kemerdekaan, ada pula yang terbunuh dalam pergolakan PRRI. Bagaimana bentuk kampungnya itu kini?
Dia teringat masa kecilnya dikampung dulu. Ketika bermain judi dengan orang- orang yang jauh lebih tua darinya. Mereka berjudi dari kampung ke kampung. Tak ada penjudi besar disekitar Gunung Sago sampai ke Payakumbuh yang tak ditantangnya. Dia sering kalah, namun lebih sering pula menang. Jika kalah dan tak punya uang, biasanya dia pergi mencuri kambing, bahkan kerbau dan sapi. Menjualnya kekampung lain atau ke pasar. Uangnya untuk apalagi kalau bukan berjudi.
"Hei, kau suka durian…" tiba-tiba lamunannya di putus suara Han Doi.
Dia menoleh. Ya, sejak masuk kampung tadi pagi dia sudah mencium bau durian. Suara gedebuk di luar, membuatnya kembali menoleh keluar lewat jendela. Tak jauh dari rumah ini, rupanya ada dua batang pohon durian yang berbuah lebat.
Si Bungsu baru ingat, sejak duduk di tempatnya tadi,kalau tidak salah tiga atau empat kali dia mendengar suara gedebak-gedebuk di luar sana. Rupanya itu adalah suara durian jatuh dari pohonnya. Dia melihat, betapa besarnya buah-buah durian yang menggantung di dahan itu. Kemudian dia menoleh lagi pada Han Doi, mengangguk sambil tersenyum.
"Tunggu disini, saya ambilkan kebawah…"ujar Han Doi sambil melangkah kepintu.
Pemuda Vietnam itu turun ke halaman. Tak lama kemudian naik lagi membawa dua buah durian besar. Si Bungsu agak kecewa. Kenapa hanya dua buah? Baginya, kalau hanya dua, tiga buah sebesar itu, hanya sekedar kumur-kumur.
"Ayo kita makan. Saya tak begitu suka. Tapi sekedar sebuah jadilah…"ujar Han Doi setelah mengambil parang di dapur, serta mangkuk besar untuk cuci tangan.
Han Doi membuka salah satu durian yang kulitnya berwarna hijau itu. Ketika yang sebuah telah terbelah dua, dia membuka yang sebelah lagi. Isi durian itu seperti warna kunyit.
"Ayo makanlah, jika anda memang suka…."ujar Han Doi sambil mencuci tangan dan mengambil setengah ulas isi durian itu.
Si Bungsu masih terpana kaget mendengar suara Han Doi. Soalnya, dia tengah terpana melihat isi durian itu. Sebelum mengambil durian itu, dia menekan belahan durian itu, membuka ruangannya semua. Dan apa yang dia lihat makin membuat dia terpana.
Berbeda dengan isi durian di kampung nya, yang setiap ruang biasanya berisi dua, atau tiga biji. Tapi durian di hadapannya ini, setiap ruangnya, hanya berisi satu biji. Memanjang dari ujung ke pangkal. Besar isinya hampir sebesar lengannya. Itulah sebabnya, Han Doi hanya mengambil setengah ulas saja dari isi durian tersebut.
Dia ambil sebuah, panjang seperti lemang. Di makannya sedikit. Alamak, durian ini seperti gelamai. Legit dan nikmat sekali. Di makan lagi dan lagi. Dan terakhir baru dia temukan biji durian tersebut, tak sampai sebesar kelingking. Habis yang ditangannya dia ambil lagi sebuah, dan sebuah lagi. Lalu dia tersadar. Dia baru memakan tiga setengah ulas.
Namun perutnya sudah terasa sesak. Durian yang sebuah itu, yang isinya sudah diambil Han Doi setengah ulas. Dan si Bungsu tiga setengah ulas. Kini tinggal dua ulas lagi. Sementara durian yang satu lagi, masih ternganga, belum disentuh sedikitpun.
Si Bungsu menjadi kalap. Di raihnya yang seulas lagi. Masak durian dua buah saja tak terhabiskan. Sedangkan di kampungnya dulu, ketika dia masih kecil pula, dua tiga buah durian baru sekedar buat cuci mulut. Lima atau tujuh baru agak puas.
Namun sehabis durian yang satu ulas itu, si Bungsu benar-benar tak bisa bernapas. Mati den… bisik hatinya dengan bersandar ke dinding. Ini durian gergasi namanya barangkali, pikirnya sambil sendewa dua kali.
Di Kampungnya tak pernah dia bersua durian seperti ini. Yang seruangnya hanya berisi satu biji, di semua ruang durian tersebut. Durian di kampungnya, kalau disebuah ruang ada yang tiga isinya, sudah hebat. Seringkali di sebuah ruangnya berisi sepuluh sampai, lima belas isinya. Biji nya besar-besar, isinya setipis kulit ari. Durian Tumbuang namanya. Kalau saja durian Vietnam ini di jual di payakumbuh, pasti mahal sekali harganya.
Dia memejamkan mata nya, membayangkan dirinya jadi saudagar durian. Dari Vietnam ini dia bawa durian agak lima kapal. Kapal itu tentu harus ke Pekan baru dulu. Di kota itu dia jual dua kapal, yang tiga kapal itu di bawa truk ke Payakumbuh.
Lamunanya terputus oleh pertanyaan Han Doi.
"Mana yang lebih enak, durian ini. Dengan durian di kampungmu?"
"Apa..?"
"Mana yang lebih enak durian ini dari pada durian di kampungmu.."
"Enak durian dikampungku sedikit.." ujarnya sambil memejamkan matanya dan kembali menyandarkan kepalanya ke dinding, lalu menyambung perkataannya tadi dalam hati. Dan durianmu ini enak banyak...
"Ya, saya rasa juga begitu. Soalnya durian yang bagus-bagus itu ada di bukit sana. Durian yang di kampung ini, jarang orang suka memakannya. Itu sebabnya mana yang jatuh dibiarkan begitu saja.."ujar Han Doi.
"Kalera..."rutuk hati si Bungsu tanpa membuka matanya yang terpejam.