Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 192 - Dihajar dengan sebuah tendangan.

Chapter 192 - Dihajar dengan sebuah tendangan.

"Artinya, engkau tidak peduli pada wanita dan anak-anak yang mati terbenam jadi santapan Hiu di laut sana Ami?"

"Siapa yang tak peduli?"

"Lalu?"

"Hanya saja…"

"Kita takkan mampu melawan mereka, begitu maksudmu?"

"Mereka bersenjata lengkap, Bungsu.."

"Kita takkan mampu melawan mereka secara frontal, Ami. Itu perbuatan gila…."

"Bagaimana tidak akan bertempur secara frontal? jika nanti dilaut sana kita dipergoki, mereka buru dan mereka tembaki…"

"Mereka hanya akan memburu jika kita lari dan melawan bukan?"

"Lalu kita akan kelaut. kemudian kita cari kapal mereka, lalu kita serahkan diri, begitu maksudmu?"

"Tidak sepenuhnya begitu, Ami.Tidak sepenuhnya begitu…"

Malam itu dilaut gerimis turun perlahan. Mereka sudah memacu speed boat bermesin ganda itu sekitar satu jam. Jauh di utara sana adalah Pulau Hainan. Mereka sudah melewati garis pantai pulau itu, ketika gemerlap air memperlihatkan beberapa sosok mayat mengapung.

"Tuhanku, ini pasti mayat dari kapal nelayan tadi malam, yang dikabarkan USS Alamo sore tadi…"ujar Le Duan yang berada di kemudi.

Ami Florence dan si Bungsu, yang duduk berlindung dibalik kaca bening pelindung angin setinggi setengah meter dengan lebar satu setengah meter di bagian haluan, menatap kelaut. Mula-mula ada sosok lelaki di sebelah kanan. Lalu sosok seorang wanita muda yang masih menggendong bayinya. Kemudian sosok gadis kecil, seorang lagi…seorang lagi, lagi!

Si Bungsu membuang pandangan jauh kedepan. Ami Florence menyandarkan kepalanya kedada lelaki tersebut. Sejak tadi dia berdoa, agar mereka tidak ditemukan kapal Vietkong. Agar mereka bisa mencapa kapal USS Alamo, yang kata kaptennya akan mendekatkan kapal mereka ke perairan Teluk Tonkin. Akan berada di Laut Cina Selatan, tak jauh dari wilayah teluk tersebut, agar bisa membantu mereka.

"Kecepatan penuh Le…"seru Ami kepada abangnya.

"Kedua mesin ini sudah pada kecepatan penuh. Kita sedang meluncur dengan kecepatan 150 mil perjam. Kita…"seruan Le Duan dari kemudi terhenti tiba-tiba tatkala matanya tertatap sinar lampu sorot berkekuatan sangat tinggi di kejauhan.

"Mereka menemukan kita..!"seru Le Duan.

"Ya Tuhan, mereka menemukan kita…"desis Ami Florence sambil menatap dengan gugup kearah datangnya cahaya lampu sorot yang terang benderang itu.

"Mereka menemukan kita…"ujar Ami kepada si Bungsu.

Namun si Bungsu tetap bersandar dengan diam kebantalan karet pinggir speed boat tersebut. Dia samasekali tidak mencoba untuk melihat kearah lampu sorot itu.

"Berapa lama lagi mereka mencapai kita?"tanya Ami pada abangnya, dengan nada cemas yang tak dapat disembunyikan.

"Sekitar sepuluh menit. Mereka nampaknya datang dari arah Quang Nai. Mereka memberi isyarat untuk mematikan mesin, bagaimana sekarang?"ujar Le Duan. Quang Nai adalah kota diselatan Da Nang.

"Perlahan saja, jangan dimatikan.."ujar si Bungsu perlahan dengan tetap duduk bersandar dengan tenang.

Jika dia tetap bersandar dengan tenang, tidak begitu halnya dengan Ami Florence. Gadis ini bisa kuat dan tidak takut menghadapi bahaya apabila berada di darat. Namun kini dia berada di laut. Mereka tak punya tempat agak sejengkal untuk bersembunyi, apalagi tempat melarikan diri. Tidak sejengkalpun! Dia memeluk si Bungsu.

"Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku Bungsu! Jangan tinggalkan aku. Bahkan di penjara sekalipun, please.."ujarnya mulai terisak.

Si Bungsu memegang pipi Ami yang masih berpakaian penyamaran lelaki.

"Dengarkan, Ami. Kau harus menuruti apa yang aku katakan sebelum berangkat tadi. Engkau dan Abangmu tetap di Boat ini. Berbuat seolah-olah kalian pelarian biasa. Mereka takkan membunuh kalian sebelum diketemukan dengan pimpinan mereka. Peralatan Amerika yang kalian bawa ini merupakan sesuatu yang harus mereka selidiki dari mana asalnya, apakah ada yang lain, berapa jumlahnya dan banyak lagi pertanyaan. Mereka memerlukan informasi itu. Kalian hanya harus memperlambat naik ke kapal, selebihnya serahkan padaku, oke?"

Ami Florence mengangguk. kemudian membenamkan dirinya kedalam pelukan lelaki dari Indonesia itu.

"Aku tak takut pada mereka, Bungsu. Aku hanya takut berpisah dengan mu…"bisiknya.

Si Bungsu seolah-olah tak mendengarkan ucapan tersebut. Dia menunggus isyarat dari LeDuan. Speed Boat mereka tetap masih di dalam cengkraman lampu sorot lampu kapal yang semakin dekat ini. Le Duan memberi isyarat dengan bersuit sekali. Si Bungsu memasang kaca mata selamnya. Saat dia akan memasang alat pernapasan kecil yang hanya perlu di taruh di mulut, tanpa tabung gas. Ami menciumnya.

"Betapapun, kembalilah padaku…"bisik Ami.

Suara menyuruh berhenti, dalam bahasa inggris yang cukup lancar, terdengar lewat pengeras suara dari kapal vietnam itu.

"Buru sergap, 12 orang…"ujar Le Duan pada si Bungsu, setelah mengetahui kapal yang mendekat pada mereka.

Dan saat Le Duan mengencangkan mesin speed boatnya, membuat sebuah tikungan tajam kekanan. Menyebabkan bahagian kiri speed boat, yaitu bahagian dari arah datangnya lampu sorot kapal patroli itu, terangkat sekitar setengah meter. Pada saat itulah,, saat bahagian kiri yang terangkat itu melindungi bahagian kanan dari sorot lampu, si Bungsu menggelindingkan diri. Hanya ada waktu lima detik, dia sudah berada dalam laut, menyelam agak dalam. Speed Boat itu mendatar lagi posisinya dan melaju perlahan kedepan. Meninggalkan si Bungsu dibelakang.

Kapal patroli mendekati speed boat tersebut. Melintas tak jauh dari tempat si Bungsu tadi menceburkan diri. Le Duan menghentikan speed boatnya tatkala dia memperkirakan posisi si Bungsu sudah berada di bahagian belakang kapal patroli itu.

"Stop, matikan mesin..!!"

Terdengar bentakan dari kapal dalam bahasa inggris beraksen Vietnam. Le Duan menghentikan mesin.

"Berdiri dan angkat tangan…!"

Le Duan mengangkat tangannya sambil berusaha menjaga keseimbangan dari goyangan ombak.

"Yang satu lagi itu, berdiri cepat..! atau kami tembak…"

"Adik saya sakit keras…"jawab Le Duan.

Kapal patroli itu nampaknya tetap menjaga jarak sekitar lima meter dari speed boat. Menjaga hal-hal yang tak diingini. Kendati tak dapat melihat mereka yang ada di kapal, namun Le Duan dan Ami memastikan, hampir semua awak kapal patroli itu tengah berdiri didek kapal, menodongkan senapan otomatis kepada mereka. Selain, seorang lagi berada di senapan mesin jenis 12,7 yang menjadi andalan kapal patroli jenis ini.

"Tegakkan dia, atau kami tembak sekarang…!"perintah kapal patroli itu.

"Baik,, baik jangan tembak…"ujar Le Duan dengan bahasa Vietnam, sambil melangkah kebahagian depan mendekati Ami yang berpura-pura sakit.

"Lemparkan selimutnya…!sergah kapten kapal.

Nampaknya dia khawatir kalau dibalik selimut itu ada bedil, yang tiba-tiba bisa ditembakkan kepada mereka. Le Duan mengambil selimut yang menutupi tubuh Ami. Kemudian melemparkannya ke laut. Lalu dengan bersusah payah dia mendudukkan Ami.

Patroli kapal itu melihat seorang lelaki berkumis bertubuh kurus dan bertopi. Dan dikapal mereka juga melihat tak ada benda lain selain dari sebuah tas pakaian.

"Lemparkan tas itu kelaut…!!"kembali terdengar perintah dari atas kapal.

Le Duan mengambil tas itu dan melemparkannya ke laut. Saat itu sebuat tali di lemparkan ke arah mereka.

"Ikatkan…!!"perintah kapten lewat pengeras suara.

Le Duan yang masih duduk dengan tangan sebelah menyangga tubuh Ami, segera mengambil tali yang sebesar jempol kaki itu. Melepaskan tangannya dari punggung Ami, lalu mengikatkan ujung tali itu di gelang-gelang almunium yang berjejer di pinggir speed boat. Setelah tali itu diikatkan, speed boat mereka di tarik hingga merapat ke kapal.

Saat itu si Bungsu sudah berhasil naik dari buritan kapal patroli tersebut. Mereka sudah memperhitungkan skenario ini dengan matang. Perhatian awak kapal pasti diarah seluruhnya ke speed boat itu. Kesempatan itulah yang di pergunakan si Bungsu untuk muncul ke permukaan air di belakang kapal lalu merayap naik keatas kapal.

Semula dia mempersiapkan dengan tali kenyal, yang ujungnya diberi cangkok almunium berlapis karet, tali itu dipersiapkan jika kapal terlalu tinggi, dilemparkan dari air dan berharap tali itu menyangkut di terali atau tiang di pinggir kapal, atau benda apapun. Karena di bungkus dengan karet yang cukup tebal, cangkoknya pasti tidak akan berbunyi walau mengenai besi di kapal.

Tapi tali cangkok itu tidak jadi digunakan si bungsu. Buritan kapal jenis buru sergap itu hanya setengah meter dari air. Dengan sekali menjangkaukan tangan dia berhasil mencapai besi melengkung di belakang kapal.

Hanya dua meter dari buritan kapal itu ada sebuah senapan mesin yang di jaga seorang tentara. Tapi saat itu tentara itu sedang mengarahkan senapan itu kearah speed boat sebagaimana senapan mesin 12,7 yang ada di depan.

Si Bungsu yang sudah naik dan sedang mendekati penjaga itu untuk menghabisinya, tiba-tiba mengundurkan niatnya. Sebuah kapal patroli yang lain tiba-tiba muncul dan mengarahkan lampu sorot yang terang itu kearah kapal yang berhenti. Hampir saja tubuhnya di terkam cahaya lampu itu kalau dia tidak cepat-cepat berlindung di bawah menara rendah dekat senapan mesin itu. Dari sana dia menggulingkan diri untuk kembali melosohkan dirinya kembali kelaut. Dia berlindung dibalik bayang-bayang gelap kapal patroli. Dan saat itu terjadi dialog saling tanya antara kapten kapal dengan kapal yang baru datang.

Menurut skenario yang mereka rancang tadi sebelum berangkat, untuk memberikan kesempatan pada si Bungsu dengan Le Duan pura-pura jatuh ke laut karena kehilangan keseimbangan karena memapah Ami, namun le Duan membatalkannya saat-saat terakhir.

Karena dia berpendapat, kalau dia jatuh ke laut sekarang pasti akan memperlama kapal patroli yang baru datang itu dekat kapal yang mereka naiki.

Itu berbahaya. Lawan mereka jadi bertambah banyak, namun Ami berpendapat lain. Karena belum terjadi apa-apa dengan kapal yang akan mereka naiki, dia berpikir si Bungsu belum berhasil naik. Dia berbisik pada abangnya untuk menjatuhkan diri kelaut, namun abangnya tetap berpikir sebaliknya. Ketika abang adik ini saling berbisik berbeda pendapat itulah kapal patroli yang satunya melanjutkan perjalanan.

Ami segera melaksanakan niatnya, berpura-pura kalau dia kehilangan keseimbangan karena perahu karetnya digoyang ombak yang ditimbulkan oleh kapal yang baru berangkat itu. Dengan mendorong abangnya. Untung perhatian sebagian awak kapal itu terbagi dengan kapal yang baru berangkat itu, sehingga pura-pura kehilangan keseimbangan itu tidak diketahui. Mereka hanya melihat kedua lelaki di perahu karet itu tercebur kelaut, sebagian menyumpah, dan malah ada yang tertawa. Tali dilemparkan kearah mereka, dan mereka meraihnya. Dan tali yang mengikat perahu mereka di alihkan mengikatnya ke belakang kapal.

Kapal patroli itu dijalankan dengan perlahan. Saat tubuh Ami dan Le Duan masih bergelantungan dan berusaha untuk naik. Seluruh awak kapal patroli itu berjumlah sebelas orang. Satu orang masih menjaga senapan mesin dibelakang dan satu di depan dekat senapan mesin 12,7, dan satunya di anjungan sekat juru mudi, menjaga mesin kapal agar tetap hidup.

Dari delapan awak yang tadi berkerumun di terali, melihat pelarian yang mereka sergap itu, tiga diantaranya tetap menodongkan senjata ke arah Ami dan Le Duan, yang saat itu sudah mencapai bibir dek kapal. Lima yang lain kembali pada pos masing-masing. Komandan kapal patroli buru sergap itu adalah tentara berpangkat kapten, segera menuju ruang kemudi. Setelah memberi perintah pada wakilnya yang berpangkat letnan, untuk mengikat kedua pelarian itu.

Untuk sementara nampaknya mereka belum mau mengintrogasi apakah ada kapal karet lain yang ikut malam itu menyebrangi laut untuk lari.

Kapal mereka segera di pacu kearah selatan. Ami Florence yang pertama kali merangkak di atas dek itu dagu di hajar dengan sebuah tendangan.