Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 187 - Mereka tak ada disini….

Chapter 187 - Mereka tak ada disini….

"Jawabannya bisa beragam. Pertama, secara kesatuan mereka memang tangguh buktinya ribuan tentara amerika dipaksa angkat kaki, meninggalkan perangkat perang berserakan dimana-mana, dan akibat yang tak bisa ditaksir dengan uang adalah rasa malu.. Kekalahan ini adalah malu yang takkan bisa dikikis diwajah sejarah Amerika selama dunia berkembang.." Ami berhenti sesaat.

"Kedua, ketangguhan mereka tidak hanya dari ideologi dan militer, tetapi juga tak mau menerima suap dari musuh. Cukup banyak tentara Vietkong mulai dari prajurit sampai Jenderal yang korup, begitu juga pejabat sipil. Namun mereka takkan begitu saja menerima uang, berapapun besarnya, jika datangnya dari Amerika. Apalagi tujuannya untuk membebaskan tawanan perang….." Gadis itu kembali berhenti dan menghirup kopinya. Kemudian melanjutkan.

"Setahu saya, Rogers paling tidak sudah tiga kali mengadakan kontak tak resmi dengan pejabat Vietkong. Memohon anaknya dicari dan dibebaskan. untuk itu dia sanggup membayar sangat tinggi. Tapi sudah dua tahun berlalu, anak itu tetap hilang tak berbekas…."Ami menyudahi penuturannya.

Meletakkan cangkir kopi dimeja. Menarik nafas dan menatap pada si Bungsu.

"Terimakasih penjelasan Anda. Sebenarnya saya masih ingin mendengar tentang Kota Ha Tinh di Teluk Tonkin itu, namun saya sudah mengantuk. Saya berharap besok Anda tersedia melanjutkan cerita…."

"Siapa yang menyuruh Anda mengontak saya?" potong Ami.

Si Bungsu terdiam beberapa saat, menatap gadis itu nanap-nanap.

"Seorang yang bernama McKinlay…." ujarnya membuka rahasia.

"Jhon McKinlay. Dua kali terjun ke medan perang Vietnam. Kali pertama tahun 1965 bertugas di Da Nang, semasa masih berpangkat kapten. Tahun 1967 ditarik karena cedera berat setelah kompi yang dia pimpin remuk redam digasak Vietkong di pegunungan perbatasan Laos. Namun dia juga berhasil menggasak batalyon Vietkong yang menyerangnya. Pangkatnya naik menjadi mayor.

Tahun '70 diterjunkan lagi ke Saigon, dengan pengalaman perangnya dia memenangkan berbagai pertempuran melawan Vietkong. Dia kehilangan kaki kanannya dalam pertempuran di Hamburger Hill. Tahun 1972 dia ditarik ke Pentagon, menjadi perwira perencanaan taktik dan strategi pertempuran hutan di Mabes Angkatan Bersenjata Amerika itu. Pangkatnya naik menjadi kolonel…."

"Otak Anda seperti kamus…." ujar si Bungsu.

"Terimakasih, itu pujian kesekian ribu yang pernah saya dengar diucapkan orang untuk otak saya. Tapi apa hubungannya McKinlay dengan Rogers?"

"Tidak tercatat dalam kamus Anda?" tanya si Bungsu.

Ami tersenyum, menatap si Bungsu dan menggeleng.

"Jika kasusnya tidak terjadi di sini, tak kan masuk dalam memori saya…."

"Anda sedikit salah. Hubungan antara McKinlay dengan Rogers justru terjadi di sini…."

"Maksudmu, McKinlay berpacaran dengan Roxy Rogers?" potong Ami Florence.

"Bukan McKinlay, melainkan anaknya, McKinlay Junior. Dia dosen matematika di Universitas Los Angeles. Mereka bertunangan di sini, saat sama-sama bertugas ke Vietnam ini…."

Itu hal baru bagi Ami. Bahwa Roxy Rogers adalah tunangan McKinlay Jr.

"Hei, saya mengenal negerimu, saya sudah dua kali ke sana, tepatnya ke Bali. Kedatangan saya yang pertama sepuluh tahun yang lalu.

Dua hari saya di Bali, Partai Komunis melakukan kudeta di Jakarta. Saya hampir tak bisa pulang. Kedatangan saya yang kedua tahun 1970, Bali itu sungguh indah, engkau berasal dari sana?"

"Dari Indonesia, bukan Bali. Tepatnya dari Sumatera Barat…."

"Wow! Saya pernah ke sana. Sungguh, saya pernah. Ibukotanya Bukittinggi yang ada grand canyon bukan? Wow, itu negeri yang indah, terletak di pegunungan. Saya ke sana tahun 70, dari Jakarta naik pesawat terbang ke Padang…."

"Ibukota provinsi adalah Padang, bukan Bukittinggi…."

"Oh ya? Tak apalah. Tapi saya terpikat dengan kota mungil itu. Saya menginap semalam di sana. Esoknya kembali ke Padang, naik pesawat ke Medan, terus ke Singapura dan kembali kemari lewat Taiwan. Malamnya saya sempat makan jagung bakar yang dijual dekat jam besar tinggi dengan huruf-huruf Romawi itu…."

Si Bungsu menatap gadis itu bercerita dengan diam.

"Di sana Anda lahir, Bungsu?" tanya Ami setelah beberapa saat mereka sama-sama terdiam.

"Tidak, tapi di sebuah dusun kecil sekitar 70 kilometer dari kota tersebut…."

"Lalu Anda datang untuk mencari Roxy Rogers. Ke mana gadis itu akan dicari?"

"Barangkali Anda punya saran?"

Ami menggeleng.

"Jika dia benar-benar diculik, maka harapan untuk mengetahui dimana tempat dia disekap amat sulit. Ada ratusan tentara Amerika yang dinyatakan hilang dalam bertugas. Seharusnya, dengan jumlah tawanan sebanyak itu, akan mudah dideteksi. Tetapi kenyataannya jejak mereka seperti lenyap ditelan kegelapan. Tak berbekas sama sekali…"

"Apakah mereka dibunuh?"

"Sebahagian, ya. Sebahagian dipelihara agar tetap hidup. Sebab suatu saat kelak para tahanan itu akan menjadi barang yang amat berharga untuk menekan Amerika dalam perundingan…."

"Bagaimana kalau…" si Bungsu tak melanjutkan ucapan nya.

"Maksud Anda, kalau dua atau tiga orang tentara Vietkong ditangkap, lalu disiksa agar mau membuka suara?"

Si Bungsu kembali terpana pada ketajaman fikiran gadis di depannya ini, yang bisa membaca jalan pikirannya. Dia mengangguk.

"Cara itu sudah kuno dan tak ada hasil. Sudah puluhan, mungkin ratusan kali dilaksanakan oleh tentara Amerika ketika masih berkuasa di sini. Tapi tak seorang pun di antara Vietkong yang disiksa yang dapat menunjukkan dimana tempat tawanan perang itu disekap. Bukannya mereka tak mau buka suara, siapa yang tahan pada siksaan? Tetapi, begitu tempat yang ditunjukkannya dilacak, tempat itu sudah kosong. Bangsa kami sudah kenyang dengan perang melawan Barat. Seratus tahun melawan Perancis, belasan tahun melawan Amerika. Tempat penyekapan tentara Amerika selalu dipindah-pindahkan untuk menghindari sergapan…."

Buat sesaat mereka kembali sama-sama terdiam.

"Maaf, saya mengantuk…" ujar si Bungsu akhirnya, sambil mengangguk hormat pada gadis tersebut.

Kemudian berdiri dan berniat masuk ke kamarnya. Namun dia baru berjalan dua langkah ke arah kamarnya, ketika tiba-tiba dia menghentikan langkah. Tegak diam dengan mata mengecil.

"Ada yang datang…." ujarnya perlahan sembari membalikkan badan dan menatap Ami Florence. Gadis itu juga menatapnya.

"Maksudmu…?"

"Paling tidak ada tiga puluhan tentara di luar sana, kini berada sekitar lima puluh meter dari sini. Mereka akan mendatangi tempatmu ini, Nona…."

"Anda yakin…?"

Ucapannya belum berakhir, ketika abangnya muncul dari lantai bawah. Di bahunya tergantung sebuah handbag, mungkin berisi pakaian dan uang sekedarnya. Di tangannya ada sebuah bedil otomatis dan di pinggangnya tiga granat. Semua alat perang itu buatan Amerika.

"Dragon menelepon, malam ini seregu tentara akan menggeledah bar ini dan akan menangkap kita…." ujar abang Ami.

Ami Florence menatap pada si Bungsu.

"Anda mampu mendengar langkah mereka kendati mereka masih jauh?" tanya gadis itu, nyaris tak percaya.

"Saya tak mendengar apapun…."

"Tetapi…"

"Naluri saya merasakan ada bahaya yang amat besar yang mengancam kita di rumah ini…."

"Bagaimana…."

"Tidak perlu kita bahas sekarang bagaimana saya dapat merasakan datangnya bahaya, Nona. Nampaknya kita harus menyingkir segera…"

Gadis itu menatap si Bungsu dengan tatapan separoh takjub.

"Ya Tuhan, bencana itu ternyata datang lebih cepat…." itulah akhirnya yang bisa diucapkan gadis tersebut sambil bergegas menuju ke kamarnya.

Ketika dia kemudian muncul kembali, pakaiannya sudah bertukar dengan jeans dan kaos serta sebuah pistol. Saat itu serentetan tembakan terdengar di luar, di bahagian depan bar.

"Mereka sudah mulai. Ambil barang Anda, Tuan…." ujar abang Ami Florence kepada si Bungsu.

Si Bungsu bergegas ke kamarnya, memakai sepatu, menyambar ransel. Kemudian bergabung di ruang tengah di lantai atas bar itu. Ami menuju ke dinding di belakang sofa.

Di sana ada sebuah lukisan cat minyak, lukisan enam ekor kuda hitam dan seekor kuda putih di bahagian depan, tengah berlari di sungai yang dangkal. Air sungai tersibak tinggi ke kiri dan ke kanan akibat rancahan kaki kuda yang berlari kencang itu.

Sebuah lukisan yang indah. Di balik lukisan itu ternyata ada sebuah tombol. Ami menekan tombol tersebut. Sebuah lampu merah sebesar ujung korek api menyala. Lukisan dikembalikan ke posisi semula. Tombol dengan lampu merah itu tertutup kembali.

Di bawah, sebuah ledakan granat membuat pintu bar hancur berkeping. Beberapa detik kemudian belasan tentara Vietnam menghambur masuk sembari memuntahkan peluru dari senapan otomatis merek Kalasinkov buatan Rusia.

"Kita berangkat…." ujar Ami.

Didahului abang Ami Florence, mereka menuruni tangga. Ami di tengah dan si Bungsu paling belakang. Hanya beberapa detik, mereka sudah sampai di lantai bawah. Menjelang sampai di lantai bawah, abang Ami mencabut sebuah paku di dinding. Lantai di depan tangga paling bawah kelihatan bergeser secara otomatis. Ada tangga menuju ruang bawah tanah. Mereka segera turun, dan lantai beton setebal lebih kurang setengah meter dengan ukuran satu meter persegi itu segera merapat kembali hanya dua detik setelah si Bungsu masuk.

Hanya dalam hitungan detik setelah lantai itu merapat, dua tentara Vietnam yang selesai mengobrak-abrik isi bar itu sampai pula di tangga tersebut. Namun mereka tak melihat sesuatu yang ganjil di lantai. Lantai itu terbuat dari ubin yang nampaknya dibuat berpetak-petak besar sebagai kamuflase. Kalaupun orang melihat dengan cermat, takkan kentara bahwa salah satu dari petak-petak yang sama besar itu adalah pintu rahasia yang bisa dibuka dan ditutup.

Kini pintu rahasia itu sudah mustahil dibuka, kecuali dengan bom. Sebab alatnya sudah dirusak. Alat itu adalah paku yang tadi dicabut abang Ami saat akan turun.

Seorang kapten, pimpinan peleton yang melakukan penyergapan itu, segera memerintahkan tiga anak buahnya untuk naik ke lantai atas. Ketiga prajurit itu segera menghambur. Sesampai di atas, mereka menembaki kamar, tempat tidur dan sofa tamu.

"Mereka tak ada disini…." lapor salah seorang dari yang naik bertiga tadi.

Si Kapten diiringi belasan tentara lainnya segera naik. Mereka memeriksa laci-laci, koper, lemari, merobek tilam dan bantal dengan sangkur dalam usaha mencari dokumen. Karena tak ada apapun yang ditemukan, si kapten menatap dinding ruangan atas tersebut. Matanya yang sipit memperhatikan foto lukisan dan asesori lainnya yang bergantungan di dinding.

Dia memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan semua yang tergantung itu. Ketika lukisan tujuh ekor kuda di belakang sofa diangkat, kelihatan sebuah tombol kecil berwarna merah.

Tentara yang menurunkan lukisan itu memanggil komandannya. Si komandan dan dua perwira bawahannya segera berkerubung ke sana. Mereka mengerutkan kening, memikirkan tombol apa itu gerangan. Si komandan meraba dinding di sekitar tombol kecil itu, hanya sesaat, tiba-tiba wajahnya berubah pucat.