"Bom….!" teriaknya sambil melangkahi sofa untuk lari menghindar.
Namun itulah ucapannya yang terakhir. Sebuah letusan yang amat dahsyat segera terdengar. Gedung berlantai dua yang digunakan selama bertahun-tahun untuk bar itu, berikut sekitar 25-an tentara Vietnam yang ada di dalamnya, hancur lebur menjadi serpihan yang tak dikenal!
Ami, abangnya serta si Bungsu, yang berada hanya dua meter di bawah lantai bangunan tersebut, merasakan guncangan yang amat keras. Namun lantai di bawah tanah itu nampaknya memang dirancang khusus untuk perlindungan. Selain guncangan yang cukup keras, tak ada akibat lain bagi ruang bawah tanah tersebut. Sebuah lampu neon yang dihidupkan dengan aki menerangi ruang di mana mereka kini berada.
"Mereka semua, berapa orang pun jumlahnya di atas sana, sudah menjadi serpihan yang tak bisa dikenali…." ujar Ami perlahan.
Mereka saling bertatapan. Si Bungsu menjadi faham, bahaya yang senantiasa mengancam, membuat rumah ini dilengkapi dengan ruang bawah tanah untuk bersembunyi dan sekaligus bom waktu yang juga tersembunyi di balik dinding atau mungkin di bawah tempat tidur, untuk menghancurkan siapa pun yang berniat mencelakai pemilik rumah ini.
Si Bungsu juga yakin banyak rumah-rumah di kota ini, mungkin banyak rumah di seluruh kota-kota Vietnam, yang dipersiapkan oleh pemiliknya dengan bom waktu atau ranjau seperti rumah ini.
Perang ganas yang amat panjang membuat orang harus tetap waspada setiap detik akan munculnya bahaya yang bisa merenggut nyawa mereka.
"Kalian menjadi buronan sekarang. Kemana kalian akan pergi? Seluruh pelosok negeri ini dipenuhi oleh tentara. Dalam waktu singkat foto kalian tentu sudah akan disebarkan…." ujar si Bungsu sambil menatap Ami Florence.
Gadis itu menarik nafas. Menatap pada abangnya. Kemudian menatap pada si Bungsu.
"Kemungkinan buruk seperti ini sudah dikaji akan terjadi. Karenanya, apa yang akan kami perbuat dan kemana kami akan pergi juga sudah diprogram…." ujar Ami perlahan.
"Sebaiknya kita ke ruang kuning…." ujar abang Ami Florence.
"Ya, saya rasa tak ada yang harus kita tunggu di sini. Mari pergi…." ujar Ami sambil menyandang ranselnya.
Abang Ami bernama Le Duan, yang di atas tadi memperkenalkan dirinya kepada si Bungsu, segera melangkah duluan. Ruangan di mana kini mereka berada hanya ruangan kecil ukuran dua kali dua meter. Ada beberapa senter, tali temali, sekop, linggis, bedil, kotak-kotak peluru dan beberapa granat tangan. Le Duan mengambil sebuah senter, kemudian mulai melangkah. Di hadapan mereka ada dinding tanpa pintu. Ada beberapa paku tempat menggantungkan tali temali dan mantel. Le Duan mengambil tali nilon, kemudian menarik pakunya.
Dia berjalan ke sisi dinding yang di kanan. Di dinding itu ada beberapa lobang bekas paku yang sudah dicabut. Le Duan memasukan paku itu ke salah satu lobang tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara getaran lemah, lalu dinding di depan mereka, dimana tadi Le Duan mencabut paku, bergerak ke kiri. Dalam beberapa detik, pertemuan dua dinding di kanan mereka terlihat menjarak. Lalu dinding itu berhenti setelah bergeser sekitar satu meter. Persis untuk orang lewat. Le Duan menghidupkan senter, lalu melangkah ke ruang di balik kamar di mana kini mereka berada.
Ami menyuruh si Bungsu berjalan duluan. Begitu mereka sampai di kamar sebelah, Ami menekan sebuah tombol di dinding. Pintu rahasia itu kembali tertutup. Suasana tiba-tiba menjadi gelap gulita. Ami menghidupkan senter, sementara abangnya sudah berjalan duluan di depan, menyelusuri lorong sempit bawah tanah itu.
Kini Ami berjalan di depan, si Bungsu mengikuti dari belakang. Ada dua tikungan yang mereka lewati, kemudian si Bungsu melihat Le Duan kembali mencabut sebuah paku di dinding. Dinding di kanan mereka terkuak. Ada ruangan di baliknya. Mereka masuk satu demi satu. Ami menekan sebuah tombol. Ruangan itu tiba-tiba diterangi lampu berkekuatan sepuluh watt.
Si Bungsu segera tahu, kamar inilah yang tadi disebut Le Duan sebagai ruang kuning. Ruangan itu berukuran sekitar tiga kali dua meter. Ada meja kecil, ada tumpukan barang-barang militer, ada peta di dinding.
"Saya akan memeriksa radio. Mengirim pesan, sekalian memeriksa speed boat…." ujar Le Duan.
Tanpa menunggu jawaban adiknya, lelaki itu mulai menghidupkan senter saat dia melangkah keluar dari ruang tersebut. Begitu dia tiba di luar, pintu kamar itu tertutup kembali. Ada celah kecil di bahagian atas kamar. Nampaknya berfungsi sebagai sirkulasi udara. Ketika Ami mulai membuka beberapa kantong parasut, si Bungsu memperhatikan peta di dinding. Dia segera tahu peta itu adalah peta untuk kepentingan militer.
Ada tiga peta di dinding. Peta Vietnam Utara yang digabung dengan Selatan, peta Kota Da Nangdan peta Kota Saigon. Pada dua kota terakhir terlihat tanda-tanda di mana markas tentara Amerika sebelum diusir tentara Utara.
"Well, malam ini kita tidur di sini dulu. Kita harus menunggu jawaban dari salah satu kapal perang Amerika yang berada di sekitar Kepuluan Natuna…." ujar Ami.
Ucapan gadis itu mengejutkan si Bungsu yang tengah memelototi peta di dinding. Dia mengalihkan tatapannya dari gadis itu ke lantai.
Di lantai sudah terbentang kasur tipis tentara yang dialas dengan terpal. Ada juga selimut pembagian tentara, dan bantal karet yang untuk menggelembungkannya harus ditiup dulu lewat sebuah pentin di sudutnya.
"Anda tidak keberatan kita tidur berdekatan di sini, bukan?" ujar Ami.
Si Bungsu tiba-tiba merasa kampungan sekali mendengar pertanyaan gadis itu. Biasanya prialah yang harus bertanya seperti itu kepada wanita. Dia menatap Ami Florence, tapi gadis itu dengan cuek tengah bersalin pakaian, memasang baju tidur yang nampaknya dia bawa di dalam ranselnya. Si Bungsu terpaksa kembali menatap ke peta di dinding.
"Kita akan tidur bertiga besama Le Duan di sini, bukan?" ujarnya.
Usai mengucapkan kata-kata itu dia menyumpahi dirinya sendiri.
"Tidak. Dia tidur di kamar radio. Tapi jangan khawatir, saya tidak akan memperkosamu…." ujar Ami.
Tumbung, eh tumbuang! Gadis ini benar-benar tumbuang, rutuk si Bungsu di dalam hati. Dia meletakkan ranselnya. Kemudian membuka sepatu. Matanya memang sudah sangat mengantuk. Ketika dia akan berbaring, satu-satunya tempat berbaring di kamar kecil itu hanya ada di sebelah tubuh Ami. Gadis itu sudah duluan bergolek dan menutupi badannya dengan selimut tentara yang bergaris-garis seperti belang zebra. Akhirnya dia memang harus bergolek di sisi gadis itu, sembari ikut-ikutan menyuruk ke bawah selimut.
"Tidak takut kuperkosa?" bisik gadis itu.
"Tumbuang, kalera!" rutuk si Bungsu dalam hati.
"Hei… Upik, hati-hati kalau ngomong. Saya ini durian, engkau mentimun. Cabik-cabik dirimu nanti. Jangan terlalu banyak siginyang…" ujarnya dengan suara mendesis.
Ami Florence mengerutkan kening mendengar ucapan yang tak dimengertinya itu. Dia memiringkan tubuh menghadap pada si Bungsu. Tapi lelaki itu ternyata tidur miring membelakangi dirinya. Sekali rengkuh, tubuh si Bungsu dibuatnya tertelentang.
"Hei, mengapa ini. Kau…."
Ucapannya belum selesai, tangan gadis itu kembali merengkuhnya. Dan rengkuhan ini membuat tubuh si Bungsu hampir terpelintir.
Agar tidak terpelintir, dia terpaksa menurutkan rengkuhan itu. Tubuhnya kini menghadap pada Ami. Dan tiba-tiba dia mendapatkan hidung dan wajahnya hanya sejengkal dari hidung dan wajah gadis itu. Dia menarik kepalanya agak ke belakang, agar kepala mereka agak berjarak. Namun tangan gadis itu mencekal rambutnya, menariknya dengan agak kuat, sehingga hidung mereka beradu.
"Kau seperti anak perawan saja. Bicara yang jelas, apa maksud kata-katamu tadi?" ujar Ami dengan geram, sementara tangannya masih mencekal rambut si Bungsu.
Kalau ada yang membuat si Bungsu marah, bukan karena cekalan tangan gadis itu di rambutnya. Melainkan kata-kata 'kau seperti anak perawan saja' itu. Oo, mengkalnya hati si Bungsu. Tangannya segera menjambak pula rambut Ami. Menariknya kepala gadis itu sehingga hidung mereka hampir berlantak[1].
"Sekali lagi kau ucapkan kata-kata 'seperti anak perawan' itu, ku patahkan lehermu, Upik…." desisnya dengan mata melotot.
Ami bukannya takut, dia balas memelototkan matanya. Kemudian tersenyum. Kemudian kepala si Bungsu diraihnya. Dan sebelum pemuda itu sadar apa yang akan terjadi, ya ampuuun… bibir gadis itu sudah melumat bibirnya. Lama pula!
"Oke, oke! Sekarang katakan padaku, apa arti kata-katamu tadi. Engkau durian aku mentimun, dan diriku akan cabik-cabik, dan agar aku jangan banyak siginyang. Apa artinya itu?"
Si Bungsu tak segera menjawab. Ada beberapa saat dia pergunakan waktu untuk menormalkan degup darahnya yang mengencang ketika gadis itu melumat bibirnya tadi.
"Katakan, apa artinya ucapanmu tadi, please…" ujar Ami sambil menyurukkan wajahnya ke dada si Bungsu, dan tangannya memeluk tubuh lelaki itu dengan erat. Persis seperti anak kucing kedinginan, yang menyurukkan tubuh ke bawah perut induknya.
Si Bungsu menarik nafas. Dia arif, kedegilan gadis ini merupakan pelarian dari hidupnya yang keras. Sekuat-kuatnya manusia bertahan menjalani kehidupan dengan tegar, pasti ada ketika dimana dia seolah-olah terpuruk ke lobang tanpa dasar. Pada saat-saat seperti itu, orang membutuhkan tempat pelarian. Memerlukan teman yang bisa diajak bicara. Bahkan tidak hanya tempat pelarian dan teman yang mendengar dan didengar, melainkan juga tempat berlindung.
Orang pandai dan ulet bisa mengatasi persoalan pelik dalam kerja dan tugasnya. Namun ketika persoalan pelik itu justru datang dari dalam, bukan ancaman dari luar, orang sering merasa gamang.
Perlahan didekapnya tubuh Ami Florence, dibelainya rambut gadis itu yang menebarkan aroma harum yang lembut. Kemudian dia paparkan apa arti ucapannya tadi. Arti kiasan yang sering dipakai di kampungnya, berkaitan dengan hubungan lelaki dan perempuan.
Gadis itu mengangkat wajah, menatap pada sibungsu, tatkala usai menceritakan arti kata-katanya itu.
"Apakah di kampungmu wanita selalu berada dalam posisi seperti itu? Lemah dan harus dikasihani?" tanyanya perlahan.
"Dalam teori tidak. Tapi dalam kenyataan, ya…."
"Apa contohnya?"
"Kampungku itu secara kultur disebut Minangkabau. Di Minang, dalam teori, wanitalah yang memegang kekuasaan. Baik dalam hal harta pusaka maupun dalam membentuk garis keturunan. Suku anak harus menurut suku ibu. Namun dalam praktek, wanita tetap saja menggantungkan hidupnya pada lelaki. Di manapun kondisi seperti itu berlaku. Bagaimana mungkin menerapkan persamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan secara riil…."
"Wanita selalu dalam posisi terjajah?" potong Ami.
"Kadang-kadang ya. Namun sebenarnya mereka di lindungi, kaum lelaki punya kewajiban membuatkan rumah bagi istri dan anak anaknya…."
Ami kembali menyurukkan wajahnya ke dada si Bungsu. Lama mereka saling berdiam diri. Tangan Ami mempermainkan anak rambut di tengkuk si Bungsu.
"Bungsu….?"
Si Bungsu tak menjawab
"Engkau punya istri di kampungmu?"
Si Bungsu masih tak menjawab.
"Dia tentulah wanita cantik yang sangat beruntung…."
Si Bungsu tak berkomentar sepatah kata pun
"Berapa orang anakmu?"
Si Bungsu memejamkan mata. Tetap tak menjawab. Lama mereka sama sama berdiam diri.
"Bungsu…?"
"Ya…?"
"Maafkan kalau pertanyaanku…."
"Tak ada yang harus dimaafkan, karena tidak ada yang harus dijawab…."
"Maksudmu….?"
"Aku tidak punya anak…"
"Oh maafkan aku…"
"Aku juga belum pernah menikah…."
-----------
[1] berlantak = tabrakan