Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 176 - Mati terbunuh!

Chapter 176 - Mati terbunuh!

Meski tak terlihat jelas, namun si Bungsu yakin, lelaki itu tengah membidikkan bedilnya.

Kemana lelaki itu membidikkan bedilnya? Si Bungsu melayangkan pandangan kearah jalan raya, ketempat dimana kira-kira bedil itu diarahkan.

Di jalan, ratusan mobil sedang berseliweran. Dia menanti bunyi letusan. Lama..... tapi tak satupun letusan terdengar. Atau bedil orang itu pakai peredam? Ya, barangkali pakai peredam suara.

Dia menoleh lagi kejendela itu. Apakah kaca nya sudah pecah akibat peluru? Tidak. Kaca jendela ditingkat enam itu kelihatan masih utuh. Namun lelaki itu sudah tak kelihatan lelaki itu bayangannya. Tapi si Bungsu yakin, lelaki itu masih disana. Masih dalam ruangan kosong itu, berjaga-jaga, apa yang dia nanti? Dia melayangkan lagi pandangannya ke bawah. Saat itu semacam iringan-iringan kendaraan yang agak teratur kelihatan lewat di bawah sana. Di depan didahului kendaran polisi beberapa buah, sepeda motor dan kendaraan bak terbuka.

Dan waktu itu pintu diketuk. Si Bungsu bergegas ketika pintu di buka, Angela tegak disana dengan pakaian dinasnya. Begitu melihat si Bungsu dia segera memeluk lelaki itu.

"Hei, ada apa?"Angela tak segera menjawab. Dia mencium si Bungsu.

"Saya khawatir, kamu sudah pergi…."katanya sambil menatap dalam-dalam ke mata si Bungsu. Si Bungsu hanya tersenyum.

"Saya memang sudah pergi, tapi karena tidak tahu jalan, kembali lagi kemari.."

Angela tersenyum dan masuk mengganti pakaian. Si Bungsu kembali kejendela. Menatap kejalan raya. Iringan kendaraan bermotor yang di dahului mobil polisi itu sudah lewat. Lenyap di ujung sana.

"Ada apa disana?"tanya Angela yang sedang berganti baju.

"Tadi ada iring-iringan yang didahului mobil polisi…"

"Itu ujicoba rute yang akan di lewati Presiden Kennedy besok.."si Bungsu tiba-tiba tertegun.

"Presiden Kennedy?"

"Ya, ada apa?"

"Dia akan lewat disini besok?"

"Ya, bukankah malam tadi orang-orang FBI yang memeriksa kamar kita sudah memberi tahu..?"

"Ya, Tuhan.."

"Ada apa?"

"Kemarilah,..cepat..!"

Dengan hanya melilitkan handuk ditubuhnya, Angela mendekat ke jendela, dan memeluk si Bungsu dari belakang. Langsung mengecup tengkuk lelaki itu.

"Hei nanti dulu, lihatlah kegedung tua itu.."

"Ya, sejak kemaren saya sudah melihatnya…"

"Lihat jendela tingkat tujuh yang paling pinggir…"

"Ya, saya melihatnya. Jendela persegi empat, berbeda dengan yang lainnya. Berbentuk loncong mirip bangunan timur tengah…"

"Kau lihat sesuatu dibalik jendela kaca itu?"

"Tidak.."

"Ya, sekarang memang tidak. Tapi untuk kau ketahui, dibalik jendela itu ada seorang lelaki bertubuh atletis, rapi dan berbedil pakai peredam suara…"

"Mana..?"

"Sekarang tak kelihatan. Barangkali dia sedang makan. Dia membawa bekal makanan dalam kardus.."

"Lalu..?"

"Hei, apakah kau tidak menangkap sesuatu yang mencurigakan dari keterangan ku tadi tentang orang itu? Besok Presidenmu akan lewat dibawah sana. Sementara malam tadi FBI menggeledah tempat ini. Kau sendiri mengatakan bahwa ribuan polisi dan aparat keamanan dikerahkan untuk menjaga keamanan kunjungan Presiden itu. Kau juga bilang kota ini adalah kota para pembunuh, kota bandit. Presiden itu datang kemari untuk menemui kematiannya. Kini gedung itu ada seorang berbedil, sejak tadi asyik membidik ke bawah dengan bedil panjangnya. Apakah itu tak…"

Si Bungsu berhenti bicara. Sebab Angela sudah memutar nomor telepon. Wajahnya kelihatan serius. Dia menanti sambungan dengan sedikit tegang.

"Hallo, markas…"dia menyebut sebuah nomor kode, kemudian memperkenalkan kodenya.

Dia menceritakan apa yang tadi diceritakan si Bungsu. Nampaknya lawan bicaranya meminta penjelasan identitasnya, juga identitas si Bungsu. Angela menyebutkan keterangan yang diminta itu, kemudian meletakkan gagang telepon.

"Anda benar, sayang. Nah, saya sudah melapor kemarkas darurat FBI dikota ini. Kini itu bukan urusan kita lagi.."si bungsu menatap Angela.

"Apakah kau tidak menyukai presidenmu itu?"

"Kenapa?"

"Saya melihat sikap tak acuhmu terhadapnya.."

"Saya tak dapat mengatakan apakah suka atau tidak. Terlalu banyak hal lain yang saya pikirkan. Sehingga saya tak sempat memikirkan apakah akan menyukai orang lain atau untuk membencinya.."

"Angela, dengarkan. Kau tak bisa percaya begitu saja atas orang yang menerima laporanmu tadi. Ini menyangkut nyawa presidenmu. Apakah kau tak merasa perlu melapor ke kesatuanmu sendiri?"Angela menatap lelaki itu. Matanya menyinarkan kekaguman.

"Well, engkau benar, darling. Saya akan telepon markas saya untuk melaporkannya.."

Berkata begitu dia lalu bergerak ke telepon. Namun saat itu telepon berdering.

"Nah, ini pasti telepon dari markas saya…"Kata Angela.

Dia mengangkat telepon. Telepon itu memang dari markasnya.

"Angela, disini Norris. Sebaiknya kau dan teman lelaki asing mu itu menghindar secepatnya dari apartemenmu itu.."Angela kaget.

"Norris..?"

"Ini perintah, Angela…!"

"Tapi…"

"Saya baru ditelepon oleh CIA…"

Dan telepon terputus. Angela termenung. Menatap si BUngsu yang juga tengah memandangnya dengan diam. Angela penasaran, dia memutar telepon kemarkasnya.

"Norris..?"

"Ya…"

"Ada apa sebenarnya..?"

"Yang tadi aku sebutkan itulah semuanya, Angela…"

"Tapi..orang digedung tua itu…?"

"Menurut CIA itu adalah petugasnya yang tengah menjalani tugasnya.."

Telepon diputus kembali. Angela meletakkan telepon dengan jengkel. Di luar terdengar suara ribut-ribut. Suara Elang Merah. Suara perkelahian. Si Bungsu cepat membuka pintu. Elang Merah terlihat tengah bergumul dengan seorang lelaki, yang seorang lagi tegak dipintu.

Begitu melihat si Bungsu dipintu, lelaki itu meraih kantong jasnya, si Bungsu cepat menendangnya. Tangan yang kena tendang terdengar berderak, dia terpekik.

"Kami dari FBI…!!"teriak orang itu.

Si Bungsu mengurungkan niatnya untuk menyerang. Elang Merah melepaskan cekikannya pada lelaki yang seorang lagi.

"kami ditugaskan untuk menyuruh anda meninggalkan kamar ini.."ujar lelaki yang kena tendang si Bungsu tadi.

Mereka saling bertatapan. Angela, si Bungsu dan Elang Merah.

"Anda datang seperti merampok, mengintip-intip.."ujar Elang Merah. Kedua orang itu tak berkata.

"Ada apa, sebenarnya..?"ujar Angela.

"Kami tak tahu, kami hanya diperintahkan untuk menyampaikan pada anda agar mencari tempat lain…"

Si Bungsu bertukar pandang dengan Angela.

"Baik, kami akan pergi…"Kedua lelaki itu ngeloyor pergi. Mereka bertiga segera masuk kekamar.

"Mulai ada yang aneh.."ujar si Bungsu sambil matanya menatap kejalan lewat jendela.

Kemudian menatap kekanan, kearah gedung tua pustaka itu.

"Saya tak yakin orang tadi anggota FBI…"kata Angela.

Si Bungsu menatapnya.

"Kita lupa menanyakan identitasnya…"ujar si BUngsu.

"Bagaimana, kita pergi dari sini?'tanya Angela.

"Saya rasa harus, saya mencium sesuatu yang tak beres…"ujar si Bungsu.

Matanya kembali menatap kegedung dikanan itu, tapi bayangan lelaki itu tidak kelihatan bayangannya.

"Mungkin orang yang diatas sana FBI atau CIA.."katanya pelan.

"Maksudmu?"

"Saya,..Entahlah! Tapi saya rasa orang itu bukan mengawasi terjadinya huru-hara..Saya tak tahu bagaimana persisnya. Namun.. sebaiknya kita pergi…"

Mereka berkemas seadanya. Namun ketika akan pergi si Bungsu berhenti, menatap Angela.

"Apakah tidak sebaiknya sekali engkau melaporkan orang yang diseberang sana kepada pihak yang berwajib..?"Angela menggeleng.

"Saya sudah melaporkan hal itu, dan laporan kemarkas tadi disahuti Norris, direkam dengan pita khusus.."

"Apakah semua telepon yang masuk kesana direkam seperti itu..?

"Ya, Seluruh percakapan di markas itu direkam…"mereka segera turun dari Flat itu.

"Kemana kita?"tanya si Bungsu sesampai dibawah.

Namun pertanyaannya belum usai, ketika Angela tiba-tiba menarik tangannya memasuki sebuah gang diikuti oleh Elang Merah.

"Ada apa?"

"Ssst..!"

Di luar gang terdengar derap sepatu memasuki lift. Mereka bergegas menghindar, sesampai diluar menyetop sebuah taksi.

"Ada apa..?"kembali si Bungsu bertanya setelah berada di dalam taksi.

"Lelaki yang datang tadi, seorang diantara mereka adalah polisi Dallas yang setahun lalu direkrut CIA. Mereka pasti ketempat kita…"

Sepi sesaat.

"Kemana kita..?"si bungsu bertanya.

"Bagaimana kalau kita ketempat Yoshua..?"si Bungsu mengangguk.

Ya, kesanalah kerumah Indian yang baik hati itu tempat mereka menghindar yang baik. Rumah itu terletak dalam hutan yang jarang diketahui orang.

Di sebuah persimpangan, Angela menyuruh taksi itu berhenti, mereka turun dan membayar. Kemudian berjalan dua blok. Lalu menyetop sebuah taksi, naik setelah menyebutkan suatu arah.

"Kita harus menghilangkan jejak…"bisik Angela pelan.

Setelah tiga kali bertukar taksi, mereka baru meneruskan perjalanan ke rumah Yoshua.

Indian itu tegak didepan rumahnya ketika mereka sampai. Dia tersenyum, istrinya tegak disampingnya. Angela memeluk Elizabeth. Tanpa bicara mereka masuk kerumah.

Esok paginya Angela pamitan untuk bertugas. Hari itu seluruh anggota polisi Dallas siaga penuh atas kedatangan Presiden Kennedy. Tapi siangnya seisi rumah itu tersentak kaget, tatkala radio Amerika yang menyiarkan kunjungan Presiden itu tiba-tiba menghentikan acaranya. Dalam nada yang duka, menyiarkan bahwa Presiden Kennedy telah meninggal dunia.

Mati terbunuh!