Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 170 - Bungsu-san, bicaralah

Chapter 170 - Bungsu-san, bicaralah

Lengkap dengan lumbung padi dengan ukuran mini, dan disudut lumbung, lewat sebuah sungai buatan yang selalu mengalirkan air, terdapat sebuah kincir yang senantiasa berputar!

"Ya, ini adalah tiruan tanah Minangkabau. Michiko memintanya. Saya telah mencari kemana-kemana. Lewat seorang teman yang pernah bertugas di Indonesia, saya memperoleh foto dokumentasi tentang negeri anda. Selanjutnya adalah urusan para tukang untuk mewujudkan foto itu kedalam bentuk miniatur ini. Saya mengabulkan hampir semua permintaannya. Saya mencintainya. Saya sangat mencintainya, itu harus anda ingat baik-baik. Saya menunggu bertahun-tahun baru akhirnya dia menerima lamaran saya…"

Si Bungsu menatap lelaki didepannya. Thomas mackenzie juga menatapnya.

"Saya tahu, kalian saling mengasihi dan akan menikah di Bukittinggi. Namun sesuatu terjadi di Lembah Anai. Hal itu dia ceritakan sendiri. Dia tetap mencintai anda. Hanya keadaanlah yang menyatukan kami sebagai suami istri. Saya beritahukan ini pada anda, hanya semata-mata untuk menghindarkan salah mengerti antara anda dengan dia. Dia gadis yang baik.

Tulus dan Ikhlas, dan amat setia pada anda. Namun ada jarak yang amat jauh memisahkan kalian. Saya tidak melarikan dia kesini seperti sangkaan anda. Tidak!

Saya bukan tipe lelaki yang demikian. Dalam puluhan peperangan di puluhan negara di dunia ini. Saya bisa memperoleh wanita yang bagaimanapun cantiknya. Itu hanyalah masalah biologis.

Ketika seseorang menitipkan Michiko ke pesawat saya, Gadis itu telah luka dalam penyerangan oleh pasukan yang saya tidak ingat lagi. Semula saya menolak. Tapi keadaan sangat kritis, kami akan celaka kalau tidak segera berangkat. Tak ada kesempatan lagi menurunkan Michiko yang sudah diikatkan di sabuk heli saya. Kami mendarat disebuah lapangan udara rahasia di singapura. Gadis itu diobati secara darurat disana.

Karena kesulitan berbagai keimigrasian. Saya akhirnya memutuskan membawa dia menyebrangi laut menuju Amerika ini. Itu semua tanpa jalur resmi. Seperti anda ketahui saya bisa dengan mudah mengaturnya.

Maka dengan pesawat Jet khusus, yang biasa kami muati dengan senjata, Michiko saya bawa kemari. Saya obati, dalam proses itu saya jatuh cinta padanya. Cukup lama, tetapi saya menemukan perempuan yang saya impikan selama ini…."

Sepi.

Tak seorangpun bicara setelah itu. Si Bungsu yang duduk didepan Mackenzie, menatap kesamping. Ke kolam buatan yang diatasnya berputar kincir angin mini. Tiba-tiba Mackenzie berdiri. Kembali mengulurkan tangan pada si Bungsu. Si Bungsu bangkit.

Nampaknya inilah wujud dari pertemuan itu. Dia tak diminta bertemu dengan Michiko, yang disembunyikan entah dimana. Tapi dia diminta datang hanya sekedar penjelasan bagaimana mereka bisa menikah.

Dia sambut uluran tangan Mackenzie. Dan berniat untuk tak pernah lagi bertemu dengan Michiko. Tidak, pertemuan yang sekali itu cukuplah sudah. Namun Mackenzie berkata lain:

"Saya hanya memberi penjelasan pengantar. Cerita lengkapnya anda bisa dengar dari Michiko. Tuan, saya tahu Tuan amat mencintainya dan saya juga tahu dia amat mencintai Anda. Jika dia mau kembali pada tuan, saya dengan senang hati melepaskannya.

Demi Tuhan, Saya takkan memaksanya. Dan saya takkan sakit hati. Kini terserah padanya. Saya telah pikirkan itu masak-masak. Dan saya telah sampaikan itu padanya. Pertemuan ini dia yang meminta. Saya akan pergi sampai sore atau malam. Saya berharap kalau kembali nanti, persoalan antara anda dengan dia telah selesai dalam artian yang sesungguhnya..."

Kemudian lelaki itu melangkah pergi. Sampai detik itu sejak dia datang dirumah itu setengah jam lalu. Tak sebuah bunyi pun yang keluar dari mulutnya. Usahkan kata, apalagi kalimat. Bunyi saja tak sempat atau tak sanggup dia keluarkan.

Mackenzie lenyap diruang depan. Lalu terdengar suara mobilnya menjauh. Dia masih tegak disana, sepi.!

Ada suara gericik air terjun dari sungai buatan, menerpa daun-daun kincir. Memutar rodanya dan jatuh kekolam buatan yang dipenuhi ikan berwarna-warni. Kesana dia kembali melabuhkan pandangannya. Mentap airnya kehilir, tak bisa berbalik kehulu. Seperti suratan nasib manusia. Apa yang telah terjadi, tak mungkin dihela untuk diperbaiki atau dirubah. Yang telah terjadi, terjadilah. Yang akan terjadi dimasa depan, barangkali bisa direncanakan.

Dia masih tegak mematung, ketika firasatnya mengatakan ada orang lain diruangan yang membangkitkan kenangan akan kampung halamannya itu.

Secara naluriah dia menoleh, dan…tubuhnya seperti tak tahan menahan gigilan. Di dekat arah perbukitan di dalam taman itu, di jalan setapak dekat dinding, berdiri seorang perempuan dengan pakaian serba putih. Agak pucat, namun secara keseluruhannya, dia adalah perempuan yang amat cantik. Michiko!

Perempuan itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca, kemudian melangkah seperti melayang.

"Bungsu-san…"

"Michiko-san…"ujar si Bungsu, namun suaranya tak terdengar, hanya bergema didalam hati.

"Bungsu-san…"himbau Michiko yang kini telah berlari kearahnya.

"Michiko.. kekasihku.." himbau si Bungsu. Namun sedesahpun suaranya tak keluar.

Himbauan itu hanya bergema dalam hatinya yang luka, hatinya yang hiba. Lalu tiba-tiba Michiko telah memeluknya. Perlahan, antara ragu-ragu dan rindu yang alangkah tak tertahankannya, tangannya hampir memeluk tubuh Michiko. Namun itu tak dia lakukan. Gadis itu menangis, terisak-isak.

"Bungsu-san.. Oh, Tuhan kenapa semua ini bisa terjadi…"dan gadis itu menangis.

Si Bungsu merasa jantungnya tertikam. Merasa hatinya disayat-sayat sembilu. Dia lelaki yang telah membunuh tak sedikit manusia. Yang telah banyak mengalami siksa dan cobaan. Namun airmatanya jadi kering, tapi kali ini, matanya basah. Sebasah hatinya yang seakan terluka berlumur darah.

"Bungsu-san, bicaralah. Mengapa kau membisu begini. Engkau menghukumku. Jangan menghukum begitu. Bicaralah.. Bunggsu-san…"

Michiko memohon diantara tangisnya. Gadis itu menengadahkan kepala, meraba dengan jarinya yang lentik wajah si Bungsu, dan ketika melihat mata si Bungsu basah, dan air mata lelaki itu tiba-tiba jatuh menimpa pipinya, Michiko benar-benar luluh.

Si Bungsu tak sepatahpun mampu bicara. Tak sepatahpun. Padahal banyak sekali yang ingin dia katakan, yang ingin dia tanyakan, sampaikan. Namun sepatahpun terucapkan.

"Jika Istriku sampai keguguran karena peristiwa ini, kau akan menangung akibatnya…"

Ucapan Mackenzie di restoran beberapa hari yang lalu tiba-tiba seperti terngiang di telinganya. Perempuan yang memeluknya ini, bukan lagi kekasihnya. Kini dia istri orang lain dan dia lagi hamil! Perlahan dia papah perempuan itu duduk dikursi.

"Kau bahagia bersama suamimu, Michiko?"itulah pertanyaan pertamanya.

Pertanyaan yang tumbuh tatkala dia mengingat pesan Angela ketika akan berangkat tadi.

"Bila dia tak bahagia, maka jangan ragu-ragu, bawalah dia pulang ke Indonesia atau kemana saja. Tapi kalau memang dia bahagia bersama lelaki itu, biarkanlah dia menempuh hidup bersama suaminya..."

Ucapan Angela terngiang ditelinganya. Namun Michiko tak menjawab pertanyaan itu. Dia kembali memeluk si Bungsu. Perlahan dan hati-hati sekali, agar gadis itu tak merasa tersinggung, dia lepaskan pelukan itu. Mendudukannya kembali kekursi, menggenggam tangannya, dan menatap matanya. Lalu tiba-tiba dia dapat jalan untuk mengalihkan pembicaraan.

"Rumah Gadang yang kau buat berikut kincir dan Gunung-gunung itu, Indah dan mengingatkan aku pada kampungku.."katanya mencoba tersenyum.

Namun Michiko tak peduli. Dia masih menatap si Bungsu.

"Di ruang depan, kuil dan rumah-rumah mini seperti di Jepang, mengingatkan aku ketika naik kereta api menuju Nagoya…"

Michiko masih menatapnya. Dia kehabisan bahan untuk bicara. Akibatnya sepi.

"Bila kau sampai di Dallas Bungsu-san..?"

Si Bungsu menarik Nafas. Lega karena akhirnya Michiko mau bicara. Tidak hanya menangis dan memeluknya.

"Sudah cukup lama. Aku datang dengan seorang teman…"

"Dari siapa kau ketahui bahwa aku ada dikota ini? Ku sangka kita tak akan pernah bertemu lagi Bungsu-san.. Tak akan pernah lagi. Tempat ini alangkah jauhnya memisahkan kita…"

"Itu sebabnya kau memilih menikah saja dengan Mackenzie, bukan?"tanya si Bungsu, tapi didalam hati. Untung saja kalimat itu tak pernah keluar. Yang keluar adalah.

"Saya juga menyangka takkan pernah bersua lagi, Michiko-san…"

"Saat pencegatan di lembah Anai itu aku diselamatkan perwira PRRI yang mengenalmu. Atau paling tidak mengenalmu dari cerita kawan-kawannya. Mereka tahu, ada Gadis Jepang mencarimu, dan aku diselamatkan karena itu Bungsu-san…."

Michiko lalu menceritakan perjalanannya sejak dia terluka dirumah darurat di pinggang Gunung Singgalang. Ceritanya persis seperti cerita Mackenzie.

Dia luka parah. Komandan pasukan PRRI itu, yang kenal nama si Bungsu lewat teman-temannya, segera mengambil alternatif cepat dan darurat.

Pada saat penyergapan APRI atas pasukannya itu terjadi, sebuah helikopter baru saja mendarat. Helikopter itu barangkali sewaan dari sebuah perusahaan swasta yang banyak terdapat di Singapura dan Vietnam. Namun yang jelas, senjata yang diturunkan dari heli itu adalah buatan Amerika Serikat. Pilotnya juga berkebangsaan Amerika yaitu Thomas Mackenzie. Bekas pasukan udara Amerika.

Perwira PRRI itu meminta Mackenzie membawa Michiko. Tak peduli kemana, pokoknya dibawa. Barangkali bisa ke Singapura atau Hongkong. Kalau sudah disana, Gadis Jepang itu tentu akan mudah pulang ke negerinya.

Kalau tinggal bersama mereka, dalam perang yang berkecamuk begitu, maka bahaya besar mengancam. Barangkali akan mati kehabisan darah. Sebab luka di bahunya amat parah dan mereka tak mempunyai alat atau dokter.

Letaklah[1] dia selamat, maka gadis secantik dan menggiurkan seperti dia, pasti akan memancing selera buruk pasukan yang menemuinya. Barangkali dia diperkosa oleh pasukan PRRI sendiri, atau barangkali juga oleh pasukan APRI.

Ah, dalam negeri yang diamuk perang, tak ada yang mustahil untuk terjadi. Dalam perang, sebahagian orang berobah jadi serigala. Di Minangkabau sendiri contoh itu sudah terlalu banyak untuk disebut satu demi satu.

Begitulah, Michiko kemudian tidak hanya dibawa ke Singapura, tetapi karena lukanya yang parah, ditambah Mackenzie memang bergegas pulang ke Dallas untuk transaksi pembelian senjata gelap yang akan dikirim kesalah satu negara bergolak di Afrika, maka gadis yang luka itupun dia bawa terus ke Amerika.

Dia bawa gadis itu di samping akan mengobatinya, juga karena tiba-tiba dia jatuh hati pada gadis Jepang yang dalam keadaan koma itu. Di Dallas, Michiko dia masukkan ke rumah sakit paling mewah.

"Sembuhkan dia dengan segenap keahlianmu! Jika perlu, kumpulkan dokter yang pandai di Amerika ini, obati dia sampai sembuh. Jangan pikirkan soal biaya…"begitu instruksi Mackenzie pada dakter kepala, yang juga sahabatnya, di rumah sakit itu.

Uang bagi MacKenzie tak jadi soal. Dia merupakan seorang"baron" penyelundupan senjata gelap yang dikehendaki oleh siapa saja dan dimana saja. Dia telah mengirim senjata dalam jumlah jutaan pucuk, berikut bom, dinamit, dan pesawat terbang keberbagai negara. Tak peduli negara itu tengah bergolak atau tidak.

Untuk membeli bedil, orang tak harus menungggu pergolakan. Irlandia misalnya, sepuluh tahun sebelum memulai pemberontakan terhadap Inggris, mereka telah membeli bedil. Demikian juga Mauratania, Aljazair, Angola, Namibia dan Chad.

Negeri-negeri yang pernah jadi neraka di Afrika. Sebagian besar dari senjata yang digunakan mereka beli dari MacKenzie. Begitu juga negara-negara kepulauan kecil seperti Cape verdex yang dijajah Portugis, Kepulauan Mauritius, termasuk Indonesia. Semua kebagian bedil dan peralatan perang lainnya dari senjata gelap ini.

Michiko akhirnya sembuh. Dia tahu bahwa keadaannya amat kritis. Dan dia juga tahu bahwa ongkos untuk penyembuhannya amatlah besar. Dia merasa berhutang budi pada orang yang membiayai pengobatannya.

Mackenzie saat itu amat jarang di Dallas, dia lebih banyak di atas pesawat terbang. Memuat senjata dan menerbangkannya kesegenap penjuru dunia.

Dia amat ulet dan licin bagai belut. Kendati pengiriman senjata ke negeri-negeri bergolak itu didanai Amerika, namun bila terjadi sesuatu, Pemerintah Amerika akan cuci tangan. Karena itu dia harus hati-hati menghadapi pasukan resmi dari negeri-negeri yang membeli senjatanya untuk memberontak.

----

[1] Letaklah = anggaplah