Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 171 - Ciumlah aku, Bungsu-san

Chapter 171 - Ciumlah aku, Bungsu-san

Dia bekerja diantara dua kekuasaan yang saling bertentangan, sementara dia juga harus pandai-pandai, jangan sampai bedil sudah didrop tapi duitnya tidak dibayar Pemerintah Amerika.

Namun setiap dia ada di Dallas, dia terus kerumah sakit dimana Michiko dirawat. Dia menunggui dan menghiburnya. Mula-mula mereka menjadi sahabat. Keinginan Michiko satu-satunya adalah dikirim kembali ke Indonesia jika telah sembuh dan Thomas macKenzie berjanji untuk mengirimkannya pulang. Namun, MacKenzie diam-diam jatuh hati pada Michiko. Dia benar-benar mencintai gadis itu sepenuh hati. Dia berusaha membujuknya. Dia cukup sportif, tidak mau memaksa.

Sebaliknya, Michiko menceritakan terus terang padanya, bahwa dia sudah bertunangan dengan seorang pemuda Indonesia. Dikatakannya juga, kehadirannya dihutan ketika terluka dalam penyergapan APRI itu, adalah karena mereka akan ke Bukittinggi, dimana dia akan dilamar oleh sahabat si Bungsu sebagai mewakili kerabatnya.

MacKenzie bukannya menyerah mendengar itu. Sebagai lelaki yang selama ini tak pernah tidak memperoleh apa yang dia ingini, kini pun ingin agar perempuan yang diidami itu didapatnya.

Tapi kali ini dia tak ingin mendapatkan dengan kekerasan atau dengan tipuan. Jika mau, dia bisa saja membius gadis itu, atau memberinya obat perangsang. Gadis itu pasti diperolehnya. Namun MacKenzie sudah jera dengan hal-hal yang serupa itu, yang sudah ratusan kali dia lakukan pada perempuan dari berbagai negeri.

Terhadap Michiko dia tak ingin melakukannya. Dia tak ingin meminum air yang telah dikotorinya. Karena itu dia berusaha meningkatkan persahabatan mereka menjadi lebih baik.

Bukan rahasia lagi, perempuan adalah makhluk lemah, yang butuh kasih sayang. Butuh perhatian,dan biasanya yang dekat api jua yang akan panas.

Michiko memang gadis yang teguh. Dia mencintai si Bungsu dengan sepenuh jiwanya. Tentang hal itu tak usah pula disangsikan, bahwa dia sepenuhnya perempuan. Yang terdiri dari tulang belulang dan daging sebagai manusia biasa. Selagi namanya manusia, pasti punya kelemahan dan kekurangan.

Michiko tidak lemah dalam menghadapi godaan. Namun godaan yang datang terus menerus, berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan berganti tahun, hatinya yang kukuh mulai goyah.

Lagipula MacKenzie adalah lelaki yang memang amat patut digilai oleh perempuan. Berwajah gagah, jantan, kaya, simpatik, dan terhormat serta penuh sayang pada Michiko. Semuanya lebih dari pada cukup untuk menaklukan hati perempuan manapun jua.

Michiko terkadang memenuhi ajakan MacKenzie, untuk pergi ke resepsi kenalan, atau tamasya. Yaitu menjelang kesehatannya benar-benar pulih. Dia memenuhi ajakan MacKenzie sebagai penghormatan dan tak mau orang yang telah berbudi padanya itu kecewa bila berkali-kali ajakannya di tolak.

Namun, harus diakuinya terus terang bahwa beberapa kali bergetar atas sikap dan rayuan MacKenzie.

Suatu malam ketika mereka berlibur untuk terakhir kalinya di air terjun Niagara, terjadilah hal yang tak diiingini. Disebut"terakhir kali" karena Michiko telah bertekad, bahwa setelah itu dia ingin pulang keIndonesia.

Mereka berlibur selama sepekan. Berkeliling dengan mobil dari wilayah paling utara dan paling atas Mount Pas, sampai ke daerah paling selatan tiga puluh kilometer di bawah sana yang disebut sebagai base water.

Puas berkeliling dengan mobil, mereka mencarter helikopter. Thomas MacKenzie menerbangkan heli itu rendah diatas permukaan air, kemudian perlahan-lahan turun mengikuti curahan air terjun dalam jarak sepuluh meter. Tak bisa dekat dari itu.

Air itu berkabut saking besarnya. Biangglala kelihatan seperti menjembatani antara air terjun yang besar dengan beberapa anaknya, air-air terjun yang lebih kecil. Di hari keempat mereka menaiki kapal pesiar yang membawa mereka dekat sekali kejeram dimana air terjun itu menghujam. Michiko benar-benar terkesima dengan keindahannya.

Malamnya mereka menonton teater, lalu pulang menjelang subuh. Michiko yang lelah dan mengantuk, diantarkan mackenzie kekamarnya. Tubuhnya dibopong oleh MacKenzie, dibaringkan perlahan di pembaringan.

Ketika membaringkan di pembaringan itu, macKenzie mengecup dengan lembut bibir Michiko. Secara naluriah,gadis itu membalasnya, antara sadar dan tidak. Ciuman yang makin lama makin memanas.

Lalu, terjadilah segalanya. Michiko sendiri tertidur pulas setelah peristiwa itu. Dia baru terkejut dan seperti di sambar petir, tatkala bangun kesiangan esoknya. Dia dapati dirinya tengah memeluk tubuh MacKenzie. di bawah selimut kedua tubuh mereka tak memakai apa-apa.!

Dia menjerit. Jeritannya menyentakkan MacKenzie dari tidur. Gadis itu jadi histeris. Mackenzie jadi kalang kabut. Sesungguhnyalah, lelaki itu menyesal. Dia benar-benar tak akan melakukannya kalau malam tadi Michiko tidak bersedia. Padahal segalanya terjadi tanpa ada paksaan, tanpa ada penipuan. Segalanya terjadi secara wajar dan alamiah sekali.

Berhari-hari setelah itu, Mackenzie berusaha membujuk, mengatakan bahwa Michiko bisa meminum obat pemunah, kemudian akan diantarkan ke Indonesia. Namun Michiko sudah amat menyesal. Dia telah merasa menghianati cintanya pada si Bungsu. Dia akan merasa berdosa seumur hidup pada anak muda dari Gunung Sago itu kalau kelak mereka menikah.

"Apakah anda benar-benar mencintaiku, Mackenzie?"tanya michiko setelah sepuluh hari dari peristiwa di Niagara itu.

Tentu saja MacKenzie kaget mendengarkan pertanyaan itu. Buat sesaat bekas penerbang dan maharaja penyelundup itu terpana.

"Katakanlah, apakah kau benar-benar mencintaiku MacKenzie?"

"Ya Tuhan, tentang hal itu tak perlu kau tanyakan Michiko…"

"Jawablah denga pasti bahwa kau mencintaiku…"

"Demi Yesus kristus tak ada seorang perempuan selama ini yang kucintai seperti aku mencintaimu, Michiko…"

"Apakah kau mau mengambil aku sebagai satu-satunya istrimu dan berjanji akan setia padaku?"

Bibir Mackenzie jadi pucat.

"Ya Tuhan Jangan tanya begitu, Michiko. Saya amat mencintaimu, tapi…saya tak mau engkau menikah dengan ku hanya karena penyesalan. Apa yang telah terjadi diantara kita, barangkali sesuatu yang amat luar biasa, tapi bisa juga sesuatu yang sangat sepele. Kau bisa meminum obat, maaf aku tak bermaksud menghinamu. Tapi sayang kau amat mencintai pemuda itu…"

Michiko menangis. Namun dia telah teguh pada pendiriannya, dengan menggigit bibir dia bertanya lagi.

"MacKenzie, aku tak bisa datang padanya dengan tubuh yang sudah kuberikan padamu. Aku mencintainya, tapi yang telah kita lakukan..oh.. Kau harus berusaha agar aku juga mencintaimu"

MacKenzie memeluk gadis itu.

Dan terjadilah apa yang harus terjadi. Nasib manusia memang bisa dirobah menurut usaha manusia itu. Namun tak seorangpun yang mampu merubah jalannya takdir.

Si Bungsu dan Michiko, dua anak manusia yang berlain bangsa, di pertemukan oleh permusuhan antara keluarga, dan ditautkan hati mereka oleh darah dan pembunuhan-pembunuhan yang tak kenal perikemanusiaan.

Mereka telah menjalani hidup ini dengan segala pahit getirnya. Berjanji untuk sehidup semati. Siapa sangka, yang terjadi justru yang diluar rencana dan usaha mereka. Mereka telah berkelana di bawah kolong langit ini, mencari nilai-nilai keadilan dan mencari diri mereka sendiri. Berjuang untuk tetap bisa hidup,namun Tuhan jua yang menentukan segalanya.

Di bawah langit

Hidup adalah laut

Sejuta rahasia terpendam didalamnya.

Di bawah langit

Takdir adalah gunung karang

Tak seorang kuasa mengungkitnya

Di bawah langit

Hidup adalah perang tanpa akhir.

Michiko menceritakan semuanya, Ya semua yang telah terjadi itu pada si Bungsu.

Dia ceritakan di antara air matanya yang mengalir turun. Di antara isaknya yang pecah, di antara desah air terjun buatan yang menimpa daun-daun miniatur kincir diruang tengah rumahnya.

Ada dua hal mengapa dia menikah dengan MacKenzie, pertama karena peristiwa di air terjun Niagara itu, kedua karena hutang budi.

MacKenzie, menurut Michiko, telah begitu banyak berbuat untuknya dalam usaha penyembuhannya akibat tertembak saat konvoi APRI disergap di Lembah Anai. Setelah dia bercerita suasana sepi diruangan itu.

Michiko menatapnya. si Bungsu juga menatap Michiko.

"Kau mengerti perasaanku Bungsu-san?"si Bungsu mengangguk.

"Kau dapat mengerti betapa situasi yang menyebabkan aku menikah dengan MacKenzie?"si Bungsu mengangguk.

"Kau tidak marah padaku, bukan?"si Bungsu menggeleng.

Michiko tiba-tiba memeluknya, menangis di dadanya.

"Jangan siksa aku dengan sikapmu yang hanya mengangguk dan menggeleng, Bungsu-san. Jangan siksa aku dengan berbuat begitu. Bicaralah agak sepatah, betapa bencinya kau padaku, namun bicara jualah. Aku masih tetap Michikomu yang dahulu. Michiko yang kau tolong di Asakusa, tatkala akan diperkosa tentara Amerika. Michiko yang kau tolong dalam kereta api tatkala menuju Kyoto. Michiko yang masih tetap mencintaimu. Bicaralah agak sepatah, lelaki yang aku cintai…"

Si Bungsu ingin memeluk gadis itu. Tapi rasa panas seperti menjalari tubuhnya, tatkala merasakan perut Michiko yang berisi terdekap ke tubuhnya. Ingin dia menolakkan gadis itu, namun tak sampai hatinya. Tiba-tiba si Bungsu kembali di kagetkan dari lamunannya oleh ucapan Michiko.

"Bicaralah Bungsu-san….kenapa kau diam saja…"

Dia tatap perempuan Jepang yang dikasihinya itu. Ingin dia bicara. Tapi apa yang akan dia katakan? Perempuan dalam pelukannya ini tengah hamil. Di dalam perutnya ada janin Thomas MacKenzie.

Dalam situasi seperti itu dia teringat Angela. Letnan polisi Dallas yang kini ada di rumah Yoshua.

"Jika dia tidak bahagia, artinya perkawinannya dengan MacKenzie hanya karena terpaksa, maka jangan ragu-ragu. Bawalah tunanganmu itu pergi. Kembali ke Indonesia atau kemana saja.

Tetapi jika ternyata di bahagia, maka janganlah egois. Relakan dia bersama lelaki itu…."

Lalu, dia teringat pada pembicaraan mereka di Padang, beberapa hari sebelum berangkat ke Bukittinggi.

"Di negeri kami ini yang melamar perempuan adalah pihak ibu dan keluarga pihak lelaki. Tapi saya tak lagi punya keluarga. Kita sama-sama sebatang kara. Kalau nanti kita di Bukittinggi, saya akan meminta Salma dan Nurdin melamar kamu. Engkau tempat aku mengabar sakit dan senang, aku tempat mengabarkan sakit dan senang pula. Maukah kau menjadi Istriku, Michiko-san?"

Michiko menatapnya dan berdiri. Lalu menghambur kedalam pelukannya. Gadis itu menangis terisak-isak, tenggelam oleh rasa haru dan bahagia yang tak bertepi. Laluberkata di antara tangisnya.

"Hati dan jiwaku milikmu, kekasihku. Milikmu selama-lamanya…!"

Tapi ketika dalam perjalanan ke Bukittinggi, konvoi yang mereka tumpangi dicegat PRRI di lembah Anai. Sehingga terjadi malapetaka tak bertepi ini.

Si Bungsu tak tahu apa yang diperbuat. Dia sudah mendengar kisah Michiko. Kenapa dia menikah dengan lelaki Amerika itu. Dari cerita itu dia menarik kesimpulan, bahwa Michiko juga mencintai MacKenzie, itu pasti!

Dan akhirnya Michiko arif, bahwa si Bungsu bukannya tak mau bicara. Namunsebenarnya ptak bisa bersuara. Begitu menyadari hal itu, dia lantas memeluk si Bungsu. Menangis di dada anak muda yang dicintai sepenuh hatinya itu.

"Aku mencintaimu Bungsu-san. Aku mencintaimu. Kau ingat kata-kataku di Padang dahulu? "Hati dan jiwaku milikmu, kekasihku. Milikmu selama-lamanya…!" kini dan seterusnya pun kasihku, hal itu tak berobah, kendati tubuh milik orang lain.

Namun,bagaimana aku datang padamu, setelah kehormatanku kuberikan pada orang lain? Aku tak pantas menjadi istrimu. Engkau seorang lelaki mulia. Aku tahu, banyak tempat telah kau datangi, untuk membela orang yang tertindas. Semuanya kau lakukan tanpa memikirkan dirimu. Ada seorang gadis yang mengharapkanmu dan kau juga harapkan, tapi… gadis itu ternyata lemah imannya… maukah engkau memaafkanku, kekasihku…?"

Si Bungsu ingin mengangguk. Namun kalau pun dia mengangguk Michiko tak dapat melihatnya, sebab gadis itu tengah membenamkan kepalanya kedadanya.

Ketika akhirnya Michiko menengadahkan kepala, menatapnya, si Bungsu mencoba untuk tersenyum. Lalu mengangguk.Michiko memegang wajah si Bungsu dengan kedua tangannya, kemudian mendekatkan kewajahnya. Lalu mengecup bibir si Bungsu. Si Bungsu menggigil.

"Ciumlah aku, Bungsu-san. Ciumlah…betapapun bencinya kau padaku…" ujar gadis itu bermohon diantara tangisnya.