Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 164 - Dia segala-galanya untukku.

Chapter 164 - Dia segala-galanya untukku.

Lapangan di sekitar bangunan itu di tumbuhi rumput setinggi lutut. Sebenarnya tidak ada yang bisa sembunyi dari sana selain tikus dan marmut. Namun kedua indian itu lenyap dari pandangan, tak ada benda lain yang bergerak.

Lambat-lambat ada bunyi burung. Elang Merah tahu itu isyarat dari pamannya si Yoshua tua. Isyarat itu menyuruhnya untuk melindungi Yoshua dengan membidik arah jendela dimana tadi terdengar tembakan gencar. Yoshua menanti beberapa saat, kemudian terdengar suara burung yang sangat sulit membedakannya dengan suari burung asli.

Suara burung itu belum lenyap, ketika tiba-tiba Yoshua bangkit dan memekik dengan suara khas suku Indian Apache yang berperang. Dia melintasi padang rumput itu kearah rumah. Empat langkah dia maju, dua buah laras bedil mencuat dari jendela. Saat itu pula Elang Merah yang sejak tadi mengawasi jendela itu bangkit dan menembak. Rentetan tembakannya itu mengakibatkan ujung bedil di jendela itu lenyap bersamaan suara raungan. Tapi pada saat yang bersamaan si Elang Merah juga dihujani tembakan dari gedung yang dibelakang. Dia terpelanting. Sepi.

Yoshua lenyap dari pandangan. Elang merah lenyap dari pandangan.

"Setan.." rutuk seseorang dari rumah depan.

"Mereka tetap saja indian yang buas…"bisik orang yang satunya, yang tadi menembak Elang merah.

Mereka tak dapat melihat dimana kedua Indian itu bersembunyi. Padahal didepan mereka hanya rerumputan setinggi betis. Ada gonggong anjing perlahan. Sepi.

Gonggong anjing lagi, juga perlahan. Orang-orang klu klux klan di kedua gedung itu menatap ketengah padang rumput disekitar rumah, yang mereka tempati. Mencari suara gonggong anjing yang lemah itu. Namun tak di ketahui dimana. Yoshua tahu, lewat isyaratnya menirukan gonggong anjing itu, bahwa ponakannya luka. Dia juga tahu lewat suara anjing, yang mereka tirukan dengan sempurna itu. Yang hanya suku mereka saja yang mengetahui artinya, bahwa luka ponakannya itu tidak parah. Hanya luka dibahu kanan.

Dia membuka bajunya dengan tetap telentang ditanah, kemudian dengan menghimpun tenaga dia melemparkan bajunya itu jauh-jauh, lalu dia sendiri bergulingan menjauh dari tempatnya. Hanya beberapa detik, kedua tempat itu, yaitu tempat bajunya jatuh dan tempat dia melemparkan baju itu tadi, segera dihujani tembakan. Namun Elang Merah sudah tak disana. Dan yang lebih penting, Yoshua berhasil memanfaatkan kejadiaan yang dia rencanakan itu untuk merangkak dengan keahlian yang amat lihai, hingga dia berada rapat didinding tak jauh dari jendela dari mana tembakan itu berasal.

Dia menanti dengan beberapa saat kemudia dengan isyarat lagi dengan siulan mirip suitan angin. Dan saat itu Elang Merah yang sejak tadi tiarap ditanah. Bangkit berdiri. Menatap ke jendela dengan berkacak pinggang. Dua anggota klu klux klan sesaat heran, kemudian bergerak cepat menembak. Mereka mengangkat bedil hampir serentak, sebab sasaran yang begitu empuk belum tentu datang sekali setahun. Nyaris tanpa membidik mereka menembak.

Namun hanya sepersekian detik, tiba-tiba mereka dibuat kaku. Di depan mereka tiba-tiba berdiri seorang Indian bertubuh besar kukuh, seperti munculnya hantu. Dengan wajah di gambari merah hitam, seperti suku-suku indian yang tengah berperang di tahun 1800-an dulu. Kedua anggota klu klux klan itu jantungnya seperti berhenti berdetak melihat kehadiran yang tiba-tiba itu.

Kehadiran sosok yang jaraknya hanya sejengkal didepan batang hidung mereka. Dan yang muncul itu tak lain tak bukan adalah Yoshua. Ketika kedua anggota klu klux klan ini masih tertegun, saat itu pula kampak besar ditangan Yoshua beraksi. Yang seorang belah kepalanya. Yang seorang lagi saking kagetnya mencampakkan bedilnya, kemudian balik kanan, lari!

Namun belum sampai di pintu, dia tersentak, punggungnya terasa amat sakit. Sakitnya sampai kehulu hati. Dia mencoba menggapai, namun tubuhnya rubuh. Kampak besar itu menancap persis di tulang punggungnya. Kampak besar Indian itu "telah digali".

Perang telah dimulai. Dalam waktu singkat elang merah telah berlari menghambur masuk kekamar dimana Yoshua telah menanti. Dia melihat kedua tubuh anggota klu klux klan itu. Tanpa bicara mereka mengambil bedil kedua anggota klu klux klan itu berikut pelurunya. Membuang bedil mereka sendiri. Lalu tegak seperti mendengar sesuatu.

"Joe..!"

"Joe.., Moran! Kalian dengar aku memanggil?"

Sepi.

Kedua Indian itu saling pandang dan merapatkan badan kedinding. Orang yang memanggil itu semakin dekat. Detak sepatu nya dilantai semakin jelas.

"Joe.. Moran..!"

Pintu terbuka. Dan orang yang memanggil itu tertegak ketika didepanya tiba-tiba melihat

dua orang Indian dengan telanjang dada tegak menatapnya.

Dia adalah anggota klu klux klan, yang barangkali sudah banyak membunuh orang. Namun kini berhadapan dengan makhluk yang dua orang itu, Indian yang laksana dewa ngamuk itu, lengkap dengan bedil dan kampak yang lebar yang berlumur darah, anggota klu klux klan itu menggigil.

Sialnya senapannya menghadap kebawah, jadi kalau dia menembakannya akan mengenai lantai.

Untuk mengangkat bedil itu dan mengarahkannya kepada Indian tersebut, dibutuhkan waktu. Sedangkan jarak mereka tak sampai sedepa. Dan yang lebih penting, dia tak punya tenaga untuk mengangkat bedilnya untuk di bidikkan ke indian itu.Tak ada daya. Dia tetap saja tegak dengan badan menggigil dan berpeluh.

Indian itu mengambil senapannya, dia lepaskan saja bedilnya tanpa perlawanan sedikitpun. Malah dihatinya berharap kalau Indian itu akan melepaskannya setelah mengambil senapan itu. Tapi rintihan sukmanya tak makbul. Indian itu kini memegang tangannya, kemudian perlahan membawanya masuk kekamar dimana temannya telah bergelimpangan jadi mayat, dia nyaris rubuh ketakutan. Namun dia keraskan hatinya untuk tetap tegak. Indian itu, Yoshua, membawanya terus kejendela. Menunjuk keluar ke padang rumput setinggi rumput dimana tadi dia datang.

Kemudian Yoshua memberi isyarat. Anggota klu itu mengerti, dia mengikuti isyarat itu. Menanggalkan seluruh pakaiannya sehingga tinggal kolor saja. Lalu dia memanjat bendul jendela, melompat keluar dan tegak diatas rerumputan. Menoleh kedalam, kearah Yoshua. Indian itu memberikan sebuah bedil yang berisi penuh, kemudian mengangguk dan berkata pelan seperti berbisik.

"Kuberi kau kesempatan sepuluh hitungan, larilah lurus kedepan, kemudian merangkak tiarap di rerumputan itu. Jika kau lolos dari tembakan kami, kau bebas. Sekarang..satu….!"

Indian itu mulai menghitung, anggota klu klux klan tak berpikir panjang, dia lari sekuat tenaga. Lari….! dia seperti mendengar suara indian itu berisik di pangkal telinganya: Dua.. Tiga… Empat… Lima… Enam… Tujuh! Ketika sampai ditempat dia rasa aman, pada hitungan kedelapan dia menjatuhkan diri. Tiarap di dalam lekuk yang dia rasa cukup aman. SEPI.

Dikejauhan dia dengar Indian itu berhenti dihitungan kesepuluh. Dia menanti. Sepi. Angin berhembus pelan. Dia telungkup dan berpikir, bagaimana keluar dari sini? Mereka hanya berlima, dua orang sudah mati duluan. Dua orang lagi baru saja dia tinggalkan bangkainya dikamar dimana Indian itu.

Kini hanya tinggal dia sendiri.

Dia harus selamat. Dia punya seorang Istri dan seorang 'piaraan' yang masih berusia belia. Dia sudah empat puluh tahun dan anaknya ada tiga orang. Yang besar sudah di perguruan tinggi. Tapi 'piaraan' nya masih berusia lima belas. Bertubuh montok dan masih sekolah di tingkat SLTP! Masih amat muda, tapi amat mahir bercinta. Mahir benar. Mahir luar biasa!

Tidak, dia tak mau mati ditangan Indian celaka itu. Dan dia harus hidup, Dan… Dia mulai merayap rendah ditanah dirumput setinggi betis. Dia tak pernah melakukan ini. Tapi kini dia harus coba, kepala tetap serendah mungkin, agar tak kena tembak. Ada semut menggigit tangan dan punggungnya. Dia berhenti dan memaki, berbaring diam. Dia tak berani mengangkat tangan mengusir semut itu takut tangan nya melewati lalang dan tangannya kelihatan oleh si Indian itu.

Dia bergerak lagi, dan tiba-tiba sebuah tembakan bergema. Sebuah lagi. Dia mengkerut di tanah. Namun tembakan itu diarahkan tiga depa dari tangannya. Kalau begitu, Indian itu tidak tahu dimana dia berada. Mereka hanya menembak semak yang bergoyang di tiup angin, yang disangka dirinya.

Dia gembira, dan merangkak lagi. Didepan dia ada sebuah parit kecil. Bergegas dia merayap kesana, sesaat sebelum dia menjatuhkan diri keparit itu, dia lihat jejak tubuh bekas merayap. Dia segera tahu. Kalau bekas itu adalah rayapan si India ketika mendekati rumah itu.

Dia gembira, kalau begitu dia menemukan jalan yang tepat. Parit ini pasti menuju parit yang lebih besar di ujung sana. Dia bersyukur. Dan tanpa meghiraukan rasa penat, dia mulai merayap keparit itu. Merayap disepanjang jalur parit. Indian sialan itu pasti tidak melihat gerakannya. Dia tak menyentuh ilalang sedikit pun!

Dia hampir sampai diujung parit sana, sedikit lagi…kini dia sampai. Dia tak peduli bedil tadi dia tinggalkan. Persetan dengan bedil. Bedil itu hanya memperlambat dia bergerak dan merayap. Yang penting bagaimana keluar secepatnya dari semak itu. Dan lari dari kedua Indian Jahanam itu.

Tubuhnya sudah penuh lumpur parit itu ketika dia sampai diujungnya. Dia masih merangkak sesaat lagi. Setelah merasa aman, baru dia bangkit dengan perlahan. Namun tiba-tiba, jantungnya nyaris copot.

Didepannya, hanya berjarak sehasta dari tempat dia, Indian itu telah berada disana menghadangnya.!

Dia tegak dengan mata melotot, melihat Indian yang tak lain adalah Elang merah. Indian itu menatapnya tanpa berkedip. Melihat si Indian hanya sendiri dan tak bersenjata, timbul sedikit keberanian dari hati anggota klu klux klan yang kini hanya bercawat itu.

Dia tiba-tiba menubrukkan kepalanya keperut Indian itu. Namun Elang Merah sudah siap, tubrukan itu dia sonsong dengan pukulan tangannya. Pukulan itu tentu saja mendarat di ubun-ubun si anggota klu klux klan itu. Demikian telaknya, demikian kuatnya hingga anggota klu klux klan itu terjengkang dua depa dan meraung kesakitan sambil memegangi ubun-ubunnya.

Dia merasa seakan kepalanya bolong tentang ubun-ubunnya. Dia menggelepar dan menyesal meninggalkan bedilnya entah dimana. Kemudian bangkit tapi buru-buru merangkak lagi. Kali ini habislah sudah keganasannya sebagai anggota klu klux klan. Punahlah sudah kehebatannya yang tersohor itu.

Jika bersama-sama mereka seperti harimau kelaparan. Bunuh sana, bunuh sini, tembak sana-tembak sini, pukul sana pukul sini. Tapi kini didepan Indian itu dia seperti cacing. Dia merangkak dan dia mencium tanah.

"Ampunkan aku, aku akan berikan kau uang yang banyak sekali, Jangan bunuh aku, aku punya anak dan istri. Jangan ambil nyawaku…"katanya sambil menangis dan menyembah-nyembah.

"Berdirilah dan larilah ke padang rumput itu. Dan carilah bedilmu…"kata Elang merah dingin.

Kali ini lelaki itu bangkit, dengan menangis dia menyeruak ilalang, mencari bedil yang tadi dia tinggalkan. Jejaknya dengan murah di ikuti. Dan dengan mudah juga bedil itu dia peroleh. Dia menoleh ke si Indian itu sebelum memungut bedil itu. Indian itu masih tegak di tempatnya.

Tak bersenjata sebuah pun.!

Tapi kalau pun dia bersenjata, kapak misalnya. Makalemparannya tak akan sampai walau sekuat tenaga! Indian itu jelas tak bersenjata. Kedua tangannya menggantung disisi tubuhnya, wajahnya coreng-coreng seperti Indian jaman dulu.

Mungkin Indian babi itu menyangka, aku tak akan menemukan bedil ini. Dengan cepat dia menunduk dan mengokang senjatanya.

"Babi, merangkak kau. Kalau tidak merangkak kemari. Kau akan kubunuh babi..!"

Elang merah tetap tegak dengan dada di busung.

"Ayo merangkak babi, aku hitung sampai tiga, kalau tidak akan ku bunuh kau. Satu, Dua.."

Dan karena Indian itu tak bergerak maka dia benar-benar menembak. Dan dalam seperdetik, dua letusan bergema. Elang merah masih tegak ditempatnya, dan anggota klu klux klan itu tersentak. Dan seperti ada yang menembus punggungnya. Bedil memang meledak tapi beberapa detik setelah ledakan pertama, dari punggungnya terdengar tembakan.

Dia jatuh berlutut dan bedil masih ditangannya. Dia menoleh dan dari jendela rumah itu, terlihat Yoshua si Indian tua itu, terlihat memegang bedil yang masih berasap. Anggota klu klux klan jatuh tertelungkup dia atas semak setinggi betis.

Yoshua segera menemukan mayat Choncitta, dia tutupi tubuh anaknya itu kemudian membawanya ke mobil. Sedangkan elang Merah menyiram bensin yang terdapat digudang, keseluruh gedung. Mereka pergi dari sana setelah api berkobar marak dan ganas di musim panas hari itu.

Mereka berkumpul lagi dirumah Yoshua. Si Bungsu dan Angela tiba lebih duluan. Mereka di sambut oleh Elizabeth, isteri Yoshua, tegak dengan bedil ditangan dengan sikap waspada.

Bedil dia letakkan ke dalam setelah mengetahui siapa yang datang. Elizabeth segera meletakkan makan siang untuk para tamunya. Angela datang membantu.

"Yoshua dimana?" tanya Elizabeth. Jelas nadanya sangat mencemaskan suaminya.

"Dia akan pulang dengan selamat, tenanglah…"bujuk Angela menggenggam tangan separoh baya itu.

Elizabeth tak dapat menahan kecemasannya. Dia menangis meski nampak untuk tak meneteskan airmata.

"Dia segala-galanya untukku. Dia tak hanya suami tapi juga ayah dan sahabat bagi kami…"bisiknya lirih.

Saat menanti kedatangan Yoshua itulah, Elizabeth yang masih kelihatan cantik itu bercerita tentang dirinya. Cerita yang mengungkapkan misteri yang sejak kemaren sudah"tercium" oleh si Bungsu dan Angela. Gadis yang meninggal itu benar anak kandungnya, tapi bukan anak Yoshua.

Anak itu hasil hubungannya dengan seorang laki-laki yang bekerja di perusahaan. Namun setelah dia hamil, namun lelaki itu meninggalkannya begitu saja. Ketika dia menuntut untuk bertanggung jawab, justru lelaki itu mengirim tukang pukul dan penjahat yang nyaris membunuhnya.