Elizabeth dilemparkan kesungai setelah dianiaya. Nampaknya seolah-olah seperti kecelakaan. Elizabeth tak kuasa untuk mengadu. Uang nampaknya berkuasa. Dia luntang lantung dalam keadaan hamil dan melarat sekali. Saat demikianlah dia bertemu dengan Yoshua.
Indian itu membawanya kerumahnya, memberinya makan dan pakaian. Merawatnya hingga sembuh. Elizabeth bersumpah dalam hati, apapun yang terjadi setelah itu dia akan tetap mengabdi pada Indian itu. Betapa tidak, lelaki yang menghamilinya ternyata hanya menginginkan tubuh dan kecantikannya saja. Dan lelaki Amerika manapun tak seorangpun mengulurkan tangan untuk membantu. Justru seorang Indianlah yang membantunya.
Anak itu lahir dirumah Yoshua. Lahir tampa pertolongan seorang dokter. Waktu itu kehidupan Yoshua sangat sulit. Tapi dia pernah menolong kelahiran secara Tradisional. Dialah yang membantu kelahiran dengan selamat dan anak itu mereka beri nama Conchita.
Elizabeth sangat terharu, betapa penuh perhatiannya Yoshua pada anaknya, pada dirinya. Diam-diam tanpa dapat dihindari rasa cinta yang tulus tumbuh dihatinya pada Indian yang berusia lebih tua darinya. Tapi suatu hari ketika Conchita berusia tiga tahun, ketika dia sudah sehat benar, Yoshua menawarkan agar dia meninggalkan rumah itu. Tentu saja Elizabeth amat terkejut.
"Apa..apakah kami sangat memberatkan mu, Yoshua?"Indian itu menggeleng.
"Engkau masih muda dan cantik, Nona. Masa depanmu pasti cerah kalau meninggalkan rumah reotku ini.."
"Apakah kau tidak menyayangi kami?"Yoshua diam. Seperti merenungi hidupnya yang sunyi.
"Aku mencintai anakmu Nona, tapi…"
"Kau tak mencintaiku?"
"Tidak…"
Elizabeth seperti ditikam jantungnya. Dia ingin mendengar Indian itu berterus terang. Dia bukannya tak tahu, banyak lelaki Amerika yang akan tergiur pada kecantikan dan kemontokan dirinya.Tapi indian ini seperti teluk yang sangat dalam dan amat tenang, tak beriak sedikitpun permukaanya. Tak dapat diduga apa yang terjadi didalam sana. Elizabeth ingin tahu apa pendapat indian yang sangat di hormati itu tentang dirinya. Dan ketika Indian itu berterus terang, bahwa tidak mencintainya, dia benar-benar merasa tertikam untuk sesaat dia tak dapat bicara.
"Apakah.. apakah karena diriku yang sudah ternoda itu sehingga engkau tak mencintaiku…"
"Bagiku kau tak bersalah Nona. Kau adalah wanita cantik dan lembut. Yang pantas dicintai lelaki terhormat…"
"Lalu kenapa…."
"Sudah kukatakan, kau layak dicintai lelaki terhormat. Bukan seorang Indian sepertiku. Aku tak mencintaimu karena kau berkulit putih. Adalah aib bagi kalian, kalau mencintai seorang Indian, bukan?"ujar Yoshua perlahan.
Apa yang dikatakannya adalah kebenaran mutlak. Kebenaran tentang perbedaan kelas yang hidup subur ditengah masyarakat kulit putih Amerika.
Elizabeth merasa ditikam jantungnya. Ternyata karna itulah, kenapa selama ini dia bersikap dingin terhadapnya. Namun Elizabeth tak mau meninggalkan rumah itu. Dia tetap tinggal disana, hingga akhirnya telah tiga tahun sejak itu, Yoshua berhasil dia yakinkan kalau dia memang benar-benar mencintainya. Mereka akhirnya menikah dan membesarkan Conchita dengan penuh kasih sayang.
Yoshua adalah suami yang penuh kasih sayang dan bertanggung jawab, dia juga punya toleransi yang besar. Baik sesama orang Indian maupun terhadap orang Amerika lainnya. Apakah kulit putih atau negro.
Pernah suatu kali Elizabeth meminta mencari lelaki yang pernah menghamili dan mengirimkan orang untuk membunuhnya. Agar Yoshua membalaskan dendamnya. Namun Yoshua memeluk Elizabeth dengan penuh kasih sayang dan berkata :
"Aku tak mungkin memenuhi permintaan mu itu, justru aku malah berterima kasih padanya. Jika dia tak berbuat begitu padamu, misalnya saja dia mau bertanggung jawab dan menikahimu, maka aku tak akan pernah menikahi wanita kulit putih yang cantik dan baik hati sepertimu…"
Elizabeth merasa terharu. Dia peluk lelaki itu dan menangis didadanya yang kukuh dan perkasa. Demikianlah hidup yang mereka jalani hari demi hari. Yoshua bekerja di sebuah perkebunan dan Elizabeth tetap dirumah. Secara materil memang hidup mereka amat bersahaja, namun Elizabeth benar-benar amat berbahagia.
Si Bungsu dan Angela terdiam mendengar kisah Elizabeth. Tak lama kemudian, orang yang mereka tunggu, Yoshua dan Elang Merah, muncul dengan sedan mereka. Elizabeth memburu keluar. Demikian juga Pipa panjang, Yoshua membopong jenazah Conchita. Anak gadisnya yang terbunuh dalam upacara ritual di markas klu klux klan.
Elizabeth tegak melihat tubuh anaknya yang sudah tak bernyawa itu. Yoshua terus membawanya ke belakang, rumahnya terletak dalam palunan rimba yang tak diketahui orang. Dan halamannya di penuhi pohon-pohon besar. Sebuah altar dari balok-balok kayu telah disiapkan pipa panjang. Di altar itu tubuh conchita di rebahkan ayahnya.
Malam itu Yoshua, Elang Merah dan Pipa Panjang mengadakan ritual untuk jenasah itu menurut adat atau upacara suku mereka. Yoshua duduk sedepa dari mayat anaknya. Bersila diam dengan mata terpejam, Pipa Panjang duduk tentang kepala mayat dengan hanya memakai cawat dan tubuh dipenuhi gambar-gambar perang suku Indian sioux dan tombak ditangan. Dibahagian kaki duduk Elang merah dengan sebuah gendang kuno yang secara perlahan, dan tetap dengan nada yang ritmenya penuh daya magis, membunyikannya terus menerus. Dum-Dum…Dum! Dum-Dum…Dum! Dum-Plak…Dum-Dum…Dum! Bunyi gendang yang perlahan itu bergema dalam hutan sunyi itu. Lewat tengah malam, Yoshua menyanyi, atau seperti nyanyianlah yang terdengar ditelinga si Bungsu dan Angela.
"Ooooo.Trixno o polino sinumux Tre O ohano ferima enrima senrima pilano Oooo. trixno o polino-polino.."
Ucapan-ucapan yang tak dimengerti si Bungsu dan Angela. Bahasa yang dipakai pasti bahasa Indian Suku Sioux yang hanya mereka mengerti. Namun nyanyian seperti meratapi kepergian Conchita, sayu dan lembut. Atau barangkali ucapan selamat jalan dan doa-doa untuk para Dewa.
Upacara tersebut berlangsung sampai subuh. Si bungsu dan Angela yang masuk kamar tidur pada dua tengah malam, ketika terbangun suara itu masih terdengar dan mendayu bertalu-talu dan berdentam pelan. Dan nyanyian Yoshua masih bergetar menyelusup di antara sejuknya udara pagi.
Angela mengintip lewat jendela, posisi ketiga Indian tersebut masih seperti kemaren. Pipa Panjang masih tegak tentang kepala dengan tombak ditangan yang ucungnya ditancapkan ketanah. Elang Merah masih bersimpuh dekat kaki sambil membunyikan gendang itu. Yoshua masih bernyanyi, nyanyian mirip gumaman.
Ketiga mereka bertelanjang dada. Dada dan muka mereka masih dipenuhi cat berwarna hitam, merah dan putih. Barangkali semacam gambar-gambar indian yang akan berperang melawan musuh dan yang mengharukan. Elizabeth juga tetap duduk bersimbuh tak jauh di belakang suaminya.
Dia duduk diam mengikuti acara upacara ritual yang pasti tak dimengerti itu. Namun kecintaan pada anak dan suaminya, membuat segala beban dan penderitaan jadi ringan bagi perempuan itu.
Paginya,upacara yang nampaknya belum akan selesai. Angela segera kedapur, menyiapkan makanan untuk mereka semua. Dia ragu untuk memberikan kopi atau makanan kepada ketiga Indian itu. Namun untuk Elizabeth dia mengantarkan segelas susu berikut roti bakar dan daging.
Perlahan dia sentuh pundak Elizabeth. Perempuan itu membuka matanya yang terpejam, menoleh pada Angela. Angela menyodorkan sarapan pagi itu, Elizabeth tersenyum dan menggeleng pelan.
Angela tertegun, betapa keras hati dan setianya perempuan Amerika ini demi mebalas budi Indian yang menyelamatkan nyawa dan hidupnya itu. Dia tak bersedia mengecap makanan apapun, sebelum ketiga Indian itu makan dan minum terlebih dahulu.
"Dia perempuan yang sangat mencintai Yoshua…"bisik Angela pada si Bungsu yang di teras belakang menatap upacara ritual yang amat lama itu.
Elizabeth kembali memejamkan mata. Kemudian dengan tetap bersimbuh diatas kedua lututnya, dia menunduk dan mendengarkan nyanyian ritual tersebut.
"Kita tunggu sampai mereka selesai baru kita pergi?"tanya Angela.
Si Bungsu menghirup kopi yang di buat Angela itu, lalu mengangguk. Dia harus menunggu upacara tersebut selesai. Sebab kalau gadis itu dikuburkan, maka mereka harus ikut menguburkannya bersama.
Upacara itu ternyata baru selesai setelah menjelang jam sepuluh siang. Saat itu Elizabeth sudah terbaring ditanah, dia amat letih, mengantuk dan amat lapar, namun dia tak pernah mau menyerah.
Yoshua segera bangkit melihat tubuh istrinya yang terbaring di belakangnya. Padahal perempuan itu tadi malam sudah dia bilang tak diperkenankan lkut upacara yang melelahkan itu. Perlahan dia angkat tubuh istrinya itu. Kemudian mencium keningnya dengan lembut. Elizabeth terbangun, membuka mata dan mereka bertatapan.
"Tidurlah nona, kau amat lelah.."kata yoshua, yang tak mau menukar panggilan nona terhadap Elizabeth.
Perempuan itu menggeleng, dengan berpegang ke tengkuk suaminya, dia bangkit dan turun kekamar mandi.
Elang Merah dan Pipa Panjang segera menyiapkan peti mati. Sementara Yoshua dengan dibantu si Bungsu membuat lobang lahat. Mereka menguburkan Conchita di halaman belakang tersebut. Sementara ketiga indian itu segera berpakain tanpa membasuh coretan di muka dan tubuh mereka.
"Mengapa mereka tidak mencuci tubuh mereka?"Tanya Angela pelan ketika dia berada dihalaman depan bersama si Bungsu.
"Barangkali mereka menganggap perang dengan klu klux klan belum selesai.."
"Apakah mereka akan mencari anggota ku yang lain?"
"Bisa saja begitu, atau malah anggota klu klux klan yang akan mencari mereka."
Angela menatap si Bungsu dan lelaki yang berasal dari Indonesia itu memang berkata benar.
Bagi klu klux klan perang itu belum selesai. Mereka memang tengah berusaha melacak jejak indian dan lelaki asing yang lolos dari tahanan di gedung tempat upacara ritual itu.
Kematian anggota mereka dirumah tempat upacara tersebut, kemudian di tempat proyek pembangunan, merupakan tamparan yang membuat mereka murka.
Ketiga lelaki keturunan indian itu sepertinya punya firasat kalau perang melawan klu klux klan belum selesai, nampaknya mereka tak harus menunggu lama. Nampaknya anggota klu klux klan itu berhasil menemukan jejak mereka.
Orang-orang itu tengah minum ketika tiba-tiba Yoshua mengangkat kepala. Dia menatap pada Elang Merah dan Pipa panjang. memberi isyarat yang tak kentara. Kemudia berdiri dan diikuti kedua lelaki indian itu.
Si Bungsu sebenarnya sudah dari tadi punya firasat tak enak. Tapi dalam halnya firasat, Yoshua nampaknya lebih tajam. Ketiga Indian itu menyambar senjata mereka, dan si Bungsu segera tahu, bahaya telah datang.
Yoshua berjalan kekamar Istrinya. Menatap perempuan Amerika yang tertidur pulas tersebut. Dan keluar menemui si Bungsu dan Angela.
"Ada orang yang mendekat kesini, mungkin empat atau lima orang…"
Si Bungsu menatap ke halaman rumah ditengah hutan itu yang sepi. Tapi memang firasatnya berkata, ada sesuatu yang bergerak mendekat. Firasatnya yang tajam, yang waktu dulu, bertahun-tahun yang lalu pernah diasah dan dilatih di Gunung Sago, kini bekerja lagi.
"Kita akan menyambut mereka sebelum mereka sampai di rumah ini…"katanya sambil tersenyum.
Lalu dia mengambil samurainya dan memegang bahu Angela dan berkata.
"Kali ini, Anda harus tetap dirumah. Menjaga Nyonya Elizabeth.."
Seorang anggota Ku Klux Klan yang ada di sayap kiri melihat samar-samar seorang Indian tengah duduk mengintai kejalan di halaman rumah mereka. Indian itu duduk tak bergerak dengan bedil siap ditangan.