Lelaki yang datang itu seorang yang bertubuh besar, berotot kokoh dengan cambang lebat.
Si Bungsu merasa jantungnya berdenyut. Inderanya mengatakan, inilah orang itu. Angela mundur beberapa langkah. Kelompok staf yang enam atau tujuh orang itu melanjutkan obrolan mereka.
"Halo, Anda mencari saya?"tanya orang itu.
Si Bungsu mengangguk sambil menatap tajam. Samar-samar mengingat kembali orang yang duduk dalam taksi, yang membaca koran tatkala mereka menunggu taksi itu mendekat di depan Hotel Dallas bersama Tongky. Orang itu bertopi, namun samar-samar wajahnya dapat dia ingat. Samar sekali, tapi pasti.
"Rasanya kita belum pernah bertemu…"ujar lelaki bernama Macmillan itu.
"Anda salah. Kita pernah bertemu…."kata si Bungsu datar.
Dan lelaki itu menangkap nada yang lain dalam ucapan lelaki asing yang ada didepannya itu. Dia menatapnya juga dengan tajam.
"Well, Saya sudah katakan kita belum pernah bertemu, dan saya tak suka gaya anda stranger…!"
"Saya tahu, anda tidak menyukai saya seperti saya tidak suka anda.."jawab si Bungsu.
Pertengkaran itu terdengar oleh kelompok pekerja yang ada di belakang mereka. Orang-orang itu tentu saja tertarik dan menghentikan pekerjaan mereka. Lalu menatap pada dua orang itu.
"Nah, nampaknya kalian ada urusan penting. Kini saya telah anda temui. Lalu anda mau apa…?"
Sebagai jawabannya, si Bungsu mengembang koran ditangannya. Memperlihatkan pada orang itu. Halaman pertama koran itu memuat gambar Tongky yang tertawa ketika di lapangan Udara Mexico, namun diatasnya di bawah judul besar, tertulis:'VETERAN PERANG VIETNAM BEKAS PASUKAN BARET HIJAU INGGRIS, MATI TERBUNUH DI DALLAS HOTEL'
Para mandor di belakang mereka juga melihat ke koran itu. Mereka diam tak mengerti.
Macmillan juga menatap koran itu. Wajahnya sesaat jadi tegang. Namun cepat dia kuasai dirinya.
"Apa yang ingin kau sampaikan tentang itu, stranger?"
"Saya ada disana, ketika dia terbunuh. Dan juga anda disana Tuan Mac Millan.."
"Anda keliru, stranger. Saya tak pernah pelesiran di hotel mana pun.."
"Anda memang tidak pelesiran. Anda kesana untuk membunuh veteran perang vietnam tersebut…"sepi. Semua terdiam. Sepi yang mencekam.
"Anda salah menuduh orang, stranger.."
"Tidak, saya punya saksi. Yahudi pemilik rumah judi yang sekarang sudah mati.."
Lelaki itu tiba-tiba berbalik dan berjalan menuju kearah temannya. Namun si Bungsu terdengar berkata.
"Jangan meninggalkan tempatmu, Macmillan…"
"Stranger, Anda mencari gara-gara…"
"Tidak, saya menuntut kematian teman saya.."
Nah, kini jelas sudah. Lelaki itu tertegun. Lelaki-lelaki yang lain,yang enam atau tujuh orang itu juga terdiam. Seseorang berbicara dari kelompok mandor itu.
"Well, Tuan. Saya juga membaca koran itu beberapa hari yang lalu. Menurut koran itu dia terbunuh oleh orang Ku Klux Klan,begitu bukan?"
"Anda benar tuan,…"jawab si Bungsu tenang.
Lelaki itu batuk beberapa kali, kemudian terdengar dia bertanya.
"Nah, kalau yang membunuhnya adalah orang klu klux klan,apa hubungannya dengan Macmillan?"
"Dia bahagian dari kelompok itu,Tuan…"
Para pekerja itu kaget. Mereka menatap pada Macmillan dari Bloomington itu, kemudian menatapa pada si Bungsu.
"Saya tak berniat melayani anda, stranger. Anda ngawur…"
"Saya punya saksi, seorang perwira polisi.."si Bungsu menunjuk pada Angela.
Angela mengeluarkan Badge polisi identitasnya yang terbuat dari kuningan sebesar kartu dari dompetnya. Memperlihatkan pada orang itu.
"Saya mendengar pengakuan seseorang tentang pembunuhan itu. Dan Tuan adalah orang yang melakukannya.."Angela berkata tegas.
Macmillan tiba-tiba bersuit. Isyaratnya terdengar oleh hampir semua orang. Tak lama, empat laki-laki berpakaian buruh muncul ditempat itu muncul dengan berbagai macam alat pemukul. Ada yang membawa linggis, ada yang membawa kayu sedepa. Si Bungsu masih tegak ditempatnya. Sementara kelompok mandor itu mundur. Mereka jadi takut berurusan, ini masalah klu klux klan.
Mereka benar-benar tak menduga kalau dalam kelompok mereka ada seorang pembunuh dan beberapa orang buruh berada dalam kelompok klu klux klan yang di takuti sekaligus dibenci.
Keempat lelaki itu mengurung si Bungsu. Macmillan nampaknya sudah bersiap-siap sejak jauh hari. Mereka tahu lambat atau cepat, identitas mereka akan diketahui. Karena itulah sebagai mandor dia menyusupkan beberapa orang anggotanya untuk melindungi dirinya dari berbagai kemungkinan.
"Selesaikan dia,.. kecuali perempuan itu.."ujarnya sambil bergerak untuk pergi.
"Anda jangan pergi, Macmillan…"ujar si Bungsu. Macmillan berhenti tersenyum.
"Saya takkan pergi jauh stranger, saya akan menyaksikanmu dibuat mainan.."
Dan dia bergerak lagi, namun si Bungsu kembali mengingatkannya.
"Selangkah lagi anda menjauh, Macmillan. Anda tak akan sempat lagi menyesal"
Tiba-tiba Macmillan berbalik, dan gelas ditangannya dilemparkan kemuka si Bungsu. Jarak mereka hanya sekitar lima depa. Lemparan itu demikian terarahnya, menuju lurus kemuka si Bungsu. Namun sekali sabet dengan tongkat kayunya, gelas itu hancur bertaburan. Angela kagum juga melihat ketangkasan si Bungsu dengan tongkatnya itu.
"Selesaikan bajingan itu..!"perintah Macmillan sambil berbalik melangkah pergi.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti seiring dengan teriakan sakit dan kaget oleh lemparan si Bungsu. Tongkat itu jatuh kelantai setelah menggetok kepalanya. Dengan marah yang tak terkendali dia mencabut pistol dari bajunya.
Angela sadar bahaya akan mengancam. Dia merogoh pistol dalam tasnya. Celaka tasnya tertutup. Dia harus membuka resleting penutupnya. Sebelum tasnya terbuka, moncong pistol Macmillan sudah terarah ke arah si Bungsu. Namun hanya sampai disitu, saat terdengar ucapan si Bungsu.
"Sudah kukatakan, selangkah lagi anda menjauh, Anda takkan sempat lagi merasa menyesal…"ucapan itu diiringi kibasan tangan kanannya ke arah Macmillan.
Sedetik setelah itu, kepala Macmillan tersentak. Tubuhnya tertegak. Di antara dua matanya tertancap sebilah samurai kecil. Tegaknya kembali tertegak lurus, sesaat kemudian tubuhnya rubuh kearah depan. Wajah dan keningnya terhempas ke lantai beton. Samurai kecil di antara alisnya tertekan amblas kedalam!
"Itu pembalasan atas kawanku. Negro yang kau bunuh di depan Hotel Dallas.." ujar si Bungsu perlahan.
Sampai disitu, orang-orang yang menyaksikan itu hanya terlongo-longo. Macmillan terkenal jagoan yang jarang menemukan lawan seimbang. Kini mereka melihat betapa orang yang mereka takuti itu mati dalam waktu yang singkat tanpa sempat berbuat apapun!
Dia sudah mencabut dan menodongkan pistolnya pada orang asing itu, namun kibasan samurai kecil orang asing itu jauh lebih cepat!
Tapi empat orang anak buah Macmillan itu belum paham apa yang terjadi. Mereka dengan kayu dan linggis ditangan, serentak maju dari empat posisi mengerubuti si Bungsu. Dan terjadilah apa yang harus terjadi! ke empat orang klu klux klan yang sangat ditakuti itu terjengkang malang melintang. Yang datang dari depan dengan linggis, dihantam hidungnya oleh si Bungsu dengan pukulan yang amat telak. Linggisnya masih dalam posisi diatas kepala untuk dihantamkan kekepala si Bungsu saat orang asing itu menghantam hidungnya. Dan mematahkan empat giginya, dia jatuh dengan berlutut menahan sakit. Yang dikanan dan belakang kena sepakan yang membuat dada mereka seakan pecah. Dengan mata melotot dan memuntahkan darah mereka terpelanting dan roboh kebelakang. Yang dikiri yang menyerang dengan sepotong kayu, kena sapu kakinya. Jatuh berdebum dan sebuah hentakan tumit didada membuat dia berhenti bernafas.
Hanya hitungan detik, perkelahian itu selesai. Dan lima orang anggota klu klux klan itu pada terbelintang, termasuk Macmillan.
Mandor yang lain, yang tadi mengobrol dengannya, hanya menatap dengan diam. Di hati mereka tersimpan rasa jijik dan takut. Jijik dan takut pada kelompok klu klux klan yang terkenal tidak berperikemanusiaan itu. Mereka benar-benar tak menduga, bahwa diantara mereka, ada orang dari kelompok pembunuh itu dan mereka benar-benar tak pernah menduga, ada lelaki asing yang demikian tangguhnya.
Si Bungsu perlahan melangkah kearah mayat Macmillan yang tertelungkup. Darah menggenang di lantai beton di bawah wajahnya. Dibalikkannya badan Macmillan, kemudian mencabut samurai kecil yang menancap dikening Macmillan. Perlahan disengsengkan lengan bajunya sebelah kanan. Di lengannya itu terlilit ban karet tipis, dan disana masih ada dua samurai kecil yang terselip. Si Bungsu menyisipkan samurai kecil yang tadi menempel di jidat Macmillan. Kemudian menutup lengan bajunya.
Semua gerakan itu seperti sengaja dia perlihatkan kepada semua orang yang ada disitu, termasuk pada Angela yang masih mengenggam Magnum yang tak sempat dia gunakan, Kemudian mengambil samurai yang tadi dia gunakan menjitak kepala Macmillan.
"Maafkan aku Angel, kau menyaksikan kekerasan yang aku lakukan pada orang sebangsamu.." ujar si Bungsu saat sudah berada di mobil yang disopiri Angela.
Gadis itu meminggirkan mobil di bawah bayang-bayang sebatang pohon oak yang rimbun. Diamenatap si Bungsu yang menunduk diam.
"Peluk aku..please"ujarnya.
Perlahan si Bungsu menoleh dan mereka bertatapan, si Bungsu merangkul gadis itu, yang kemudian merebahkan kepalanya didada si Bungsu. Lama mereka terdiam sambil berpelukan. Perlahan Angela meraih tangan si Bungsu, menyingkap lengannya dan memperhatikan tiga samurai kecil yang tersisip disana.
"Kini engkau percaya kalau aku sudah membunuh puluhan orang, bukan…"
Angela tidak menjawab, dia masih memperhatikan samurai-samurai kecil itu. Banyak yang ingin dia katakan. Terutama pada kekagumannya pada lelaki tangguh ini dalam mempertahankan hidupnya yang amat keras. Namun dia tak tahu harus memulainya darimana. Sepi!
Yoshua, Indian yang menolong si Bungsu itu, menjalankan mobilnya dengan pelan ketika memasuki tempat dimana malam sebelumnya dia masih ditahan. Dia menghentikan mobilnya jauh diluar pekarangan. Dibawah bayangan pohon. Lalu mereka berdiam sejenak di dalam mobil memperhatikan situasi pada ketiga bangunan yang ada di bahagian depan sana. Sepi.
Kemudian Yoshua dan keponakannya, Elang merah turun dari mobil. Kedua mereka berbekal bedil dan kampak di pinggang. Mereka berpencar, Yoshua masuk dari arah depan kiri, ponakannya dari samping kanan.
Bangunan itu kelihatan sunyi. Namun kedua Indian itu dapat membau bahaya dari gedung-gedung yang kelihatan sepi itu. Indera mereka yang terkenal tajam, yang mereka warisi dari nenek moyangnya, meski telah puluhan tahun hidup dikota, tetap saja masih mereka miliki.
Yoshua segera menelungkup ditanah, sebelum serentetetan tembakan membongkar tanah sejengkal dari tempatnya. Dia berguling kekanan. Masuk keparit kecil tatkala tempat sekitarnya dihujani tembakan yang gencar. Sepi.