Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 138 - Dinamit!

Chapter 138 - Dinamit!

Si Bungsu dan Tongky segera mengangkat skuba, peralatan mereka untuk menyelam. Menyelusup ke pantai. Lalu memakai alat tersebut. Pihak Angkatan Laut Belanda memang tak memasang pengawalan di pantai. Mereka demikian yakinnya, bahwa tempat ini amatlah amannya. Singapura memang negeri yang netral, dan malangnya mereka tak memiliki intelijen yang baik, sehingga tak mengetahui, kalau kenetralannya disalah-gunakan Belanda.

Tongky mengacungkan jempolnya pada si Bungsu setelah mereka memakai skuba tersebut. Si Bungsu mengacungkan pula jempolnya. Dan perlahan mereka menyelam, lenyap ke dalam air. Namun ada satu hal yang di luar dugaan Fabian dan teman-temannya. Yaitu masalah radar. Sebagai seorang perwira baret hijau dari perang dunia kedua. Fabian tahu, bahwa tiap kapal selam dilengkapi dengan radar. Tapi radar itu hanya berfungsi untuk kapal laut atau kapal selam dan benda-benda mekanis lainnya.

Yang tak diketahui Fabian adalah, kapal selam jenis buru sergap yang kini dimiliki Belanda, dilengkapi dengan radar anti dinamit yang amat peka. Fabian tak mengetahui karena radar model itu memang baru diketemukan lima tahun terakhir. Belum disiarkan dalam buletin Angkatan Laut manapun. Belanda yang menemukannya memang merahasiakan penemuan itu. Mereka takut kalau-kalau tercium oleh Uni Sovyet.

Dan begitu Tongky dan si Bungsu menyelam membawa masing-masing satu tas kecil dinamit, penjaga radio yang merangkap penjaga radar dalam kapal selam itu segera mengetahui ada bahaya yang mengancam.

Dia melihat di layar radar dua buah titik yang mendekati amat perlahan dari garis pantai ke kapal. Petugas radar dan radio ini segera menekan tombol isyarat. Begitu tombol ditekan, kedua marinir yang ada di geladak kapal jadi tahu lewat transmiter kecil dalam kantong mereka yang mengeluarkan bunyi ''tuut…tuuut…tuut''.

Mereka segera mengokang bedil dan waspada. Radio gelombang tinggi di rumah diplomat Belanda di kawasan Petaling Jaya juga menerima isyarat itu. Penjaga radio tersebut segera mengadakan hubungan, dan melakukan pembicaraan singkat. Kemudian dia bergegas menemui konsulnya di ruang resepsi. Membisikkan berita yang dia terima lewat radio.

Konsul itu tersenyum, kemudian mendekati seseorang. Membisikan pula sesuatu pada seseorang, yang tak lain dari komandan kapal selam itu. Si komandan memberi isyarat.

Dalam waktu singkat, sepuluh orang telah berkumpul di ruang belakang. Sementara yang lain tetap di ruang resepsi.

Kesepuluh orang itu segera menuju garasi di belakang. Membuka jas resepsi mereka, dan di balik jas dan dasi itu, segera kelihatan pakaian marinir. Dan dari dalam garasi itu mereka keluar dengan dua sedan limusin berwana hitam. Di dalam mobil itu telah tersedia senjata otomatis.

Di ruang resepsi, awak kapal yang lain masih tetap melantai dengan tamu-tamu, dengan gadis-gadis pangggilan yang cantik dan menggiurkan yang sengaja didatangkan oleh sang diplomat untuk mereka.

Di kapal selam terjadi kesibukan yang luar biasa. Kedua marinir yang menjaga di atas meneliti ke laut. Mencoba menembus air lewat pandangan mereka untuk melihat benda yang mendekati kapal. Namun Tongky dan si Bungsu sudah dipersiapkan untuk kemungkinan ini. Fabian memerintahkan mereka menyelam sedalam mungkin. Mereka tak terlihat sama sekali oleh kedua marinir itu.

''Hidupkan mesin, tarik tali..'' opsir piket memberi perintah.

Mesin segera dihidupkan, dan kapal mulai bergerak. Namun tak bisa kemana-mana, sebab dua buah tali masih mengikat kapal itu pada dua pohon beringin besar di pulau tersebut.

Fabian melihat kesibukan itu, dan segera mengetahui bahwa kedatangan mereka telah diketahui pihak Belanda. Kini dia hanya bisa menanti. Dia tak punya hubungan apa-apa dengan si Bungsu atau Tongky yang tengah menyelam. Dia juga tak punya hubungan dengan Miquel yang bertugas mengawasi rumah diplomat Belanda dimana para awak kapal selam itu mengadakan resepsi. Mereka bertugas dengan perhitungan dan saling meyakini. Fabian menanti dengan tenang.

Tiba-tiba dia mendengar serentet tembakan dari kedua marinir di atas geladak itu. Kemudian keduanya kelihatan menaiki menara komando, lalu masuk ke dalam. Kapal itu mulai bergerak ke tengah sambil mulai menyelam. Fabian jadi tegang. Tembakan kepada siapa itu tadi? Apakah Tongky dan si Bungsu tak mematuhi petunjuknya untuk menyelam sedalam mungkin, baru kemudian setelah tiba di bawah perut kapal naik melengketkan dinamit ke perut kapal, lalu menyelam lagi sedalam mungkin untuk menghindar dengan kedalaman yang sama waktu datang?

Kalaupun tembakan itu tak mengenai kedua mereka, maka baling-baling kapal bisa mencelakakan. Kedua orang itu akan tersedot ke dalam putaran turbin yang bisa memecahkan skuba, alat penyelam mereka, dan … maut!

Tongky melihat kapal itu mulai bergerak tatkala beberapa meter lagi mereka akan mencapai kapal tersebut. Dia segera tahu, kehadiran mereka telah diketahui. Dia memberi isyarat pada si Bungsu yang berenang sedikit di belakangnya. Si Bungsu mengangguk, karena dalam air laut yang jernih itu dia telah melihat kapal selam itu bergerak. Tongky memberi isyarat untuk berenang dengan segenap tenaga. Mereka berdua mengerahkan tenaga.

Sambil berenang Tongky mempersiapkan dinamit yang telah dipasang ke sebuah besi berani. Asal saja mereka bisa mendekati kapal itu, besi berani berdinamit itu hanya tinggal melekatkan saja. Dia akan lengket. Tongky menyetel jam di dinamit untuk waktu lima menit. Dia memberi isyarat pada si Bungsu yang tengah mempersiapkan dinamitnya pula.

Si Bungsu melihat kelima jari kanan Tongky dikembangkan, sambil mendayungkan kakinya yang memakai telapak itik dari karet itu kuat-kuat, dia menyetel jam dinamit itu ke angka lima. Mereka berpacu mendekati.

Dan saat itulah kedua marinir di atas menembakan bedil otomatisnya. Tembakan itu tak ditujukan kepada mereka sebab mereka tak kelihatan. Tembakan itu ditujukan pada tali yang menyangga kapal itu ke pohon beringin. Tak ada waktu lagi untuk membukanya baik-baik. Keduanya menembak saja tali yang terjuntai ke laut, putus!

Kapal itu bergerak ke tengah, sambil mulai menyelam. Tongky sampai duluan, sekali jangkau dinamit itu lekat. Namun bahaya lain mengancam kedua orang ini. Yaitu putaran baling-baling kapal!

Di tempat lain, Miquel yang menjaga tak jauh dari rumah diplomat Belanda itu tiba-tiba melihat dua kendaraan keluar lewat pintu belakang.

''Ini dia..'' bisik blasteran Spanyol – Amerika itu.

Dia membuang rokoknya. Memperhatikan arah mobil tersebut. Kemudian dia naik ke truk tua yang sejak tadi dia parkir di tempat tersembunyi. Dia segera tahu jalan mana yang akan ditempuh oleh kedua sedan yang baru keluar itu. Dengan tenang dia menjalankan truknya.

Satu kilometer di pinggir kota, jalan jadi sempit. Kedua sedan yang masing-masing membawa lima marinir itu melaju dengan kecepatan penuh.

Namun ketika menikung ke kanan, tiba-tiba di depan ada truk merah yang berjalan lambat. Kedua sedan itu membunyikan tuter. Namun truk itu tetap saja tak beringsut. Jalannya lambat sekali.

"Hei…! minggir….minggir!'' seru salah seorang marinir sambil mengeluarkan kepala dari jendela. Tapi sopir truk itu seperti tak mendengar. Jalan truknya tetap seperti beringsut. Tak ada jalan untuk ke kiri atau ke kanan. Di kiri kanan jalan ada parit besar seperti riol pengaman air. Mau tak mau, mereka harus mengikut terus di belakang truk itu. Dan memaki-maki untuk mempercepat.

Karena truk itu tetap lambat, akhirnya si komandan kapal selam itu menembak ban truk itu. Dan itu memang yang ditunggu Miquel yang menyopir truk itu. Begitu dia mendengar tembakan dan merasa ban belakangnya pecah, dia seperti kaget. Stir dia banting ke kiri sedikit, lalu sekuat tenaga memasukan gigi satu, menekan gas sekuatnya. Mesin truk itu sudah distel demikian rupa. Begitu gas ditekan dalam persneling satu, truk tersebut seperti terlompat, dan Miquel membanting stir kuat-kuat ke kanan. Kendaraan yang dibelokkan tiba-tiba memang tak punya pilihan lain selain terbalik!

Truk itu terbalik menutup jalan kecil itu secara total! Miquel menggapai palang besi pengaman di depan stir. Kedua sedan di belakang berhenti mendadak. Ke sepuluh awaknya menyumpah dan memaki. Melompat turun!

Begitu truk terbalik, Miquel memecahkan kantong plastik di balik kemejanya. Kantong plastik itu berisi cairan merah darah. Kantong itu pecah. Bajunya dibasahi cairan merah, mengalir ke tubuhnya, dan dia menelentangkan diri, mengerang, merintih. Saat itu bermunculan para marinir Belanda di sana. Memaki-maki. Menyumpah-nyumpah.

Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Si sopir kelihatan bergelimang darah. Tak sadar diri. Dua orang segera menyingkirkan tubuh Miquel keluar. Lalu bersama-sama mereka mencoba menyingkirkan truk yang menghalangi jalan itu.

Menggeser sebuah truk yang terbalik bukanlah usaha yang mudah, apalagi hanya dengan tenaga sepuluh orang. Setelah hampir setengah jam truk itu akhirnya tergeser. Kedua sedan itu bisa lewat. Mereka meninggalkan truk tersebut bersama Miquel yang masih terbaring diam.

Setengah jam merupakan perpanjangan waktu yang tak sedikit bagi Fabian dan si Bungsu. Begitu sedan itu menjauh, Miquel bangkit sambil tersenyum.

''Tugasku selesai, kawan. Terserah kalian acara berikutnya…. Dua setengah jam …'' katanya sambil melirik jam tangan, lalu memasuki belukar, mengambil jalan pintas menuju kota.

Di dalam air, si Bungsu dan Tongky sedang berusaha keluar dari kesulitan. Mereka baru saja selesai melekatkan dinamit ke dinding kapal itu. Mereka harus menghindar secepat dan sejauh mungkin. Kalau tidak, putaran baling-baling kapal akan menyedot mereka. Memecahkan tabung zat asam dan membunuh mereka.

Tongky yang lebih berpengalaman segera menukik menyelam lebih dalam ke bawah. Dia berharap si Bungsu melihatnya dan meniru gerakannya. Si Bungsu memang melihatnya.

Namun sudah terlambat baginya untuk meniru. Kapal itu digerakkan dengan kekuatan penuh untuk menghindarkan mereka memasang dinamit. Tongky terhindar dari putaran air.

Si Bungsu justru terperangkap. Tubuhnya tiba-tiba tersedot dengan kuat. Dia berusaha untuk menghindar, namun kekuatan yang amat dahsyat terus menghisapnya. Dia tersedot.

Putaran baling-baling kapal membuat segala benda yang melekat di tubuhnya pada bertanggalan. Mula-mula yang tanggal adalah kaca mata selam yang dia pakai. Kemudian tabung zat asam di punggungnya. Tali kulit yang mengikat tabung itu dengan tubuhnya putus. Tabung itu sendiri tertarik, menghantam baling-baling yang berputar kencang dan hancur berantakan.

Kini tubuh si Bungsu tak berdaya, dia terhisap makin dekat. Maut menyeringai menantinya. Di dalam kapal, perwira piket tiba-tiba jadi pucat. Dia melihat sinyal merah melekat berdekatan. Tak bergerak secuilpun! Dan sirene lain yang panjang berbunyi.

''Dinamit!'' seru opsir itu.

Semua jadi…bertatapan tegang. Diam. Beberapa detik berlalu. ''Matikan mesin. Tinggalkan kapal!''

Perintah opsir itu segera diikuti dengan suasana sibuk. Kenop "off" pada mesin ditekan. Mesin kapal itu dihentikan mendadak untuk memberi kesempatan bagi awak kapal selam itu meninggalkan kapal.

Dan saat itu tubuh si Bungsu telah berada sehasta dari baling-baling, tatkala tiba-tiba putaran baling-baling itu menjadi perlahan karena mesin dimatikan. Dia bisa menjauh, nyawanya selamat. Tubuhnya tak jadi berkeping-keping. Tuhan menurunkan keajaiban untuk menyelamatkan nyawanya. Namun dia sudah hampir kehabisan nafas. Dia berusaha mengapung ke atas.

Sudah beberapa menitkah berlalu? Kapal ini hanya punya waktu lima menit, kemudian akan meledak berkeping-keping. Sambil membiarkan tubuhnya mengapung ke permukaan, dia mengayuhkan tangan dan kaki agar bisa menjauhi kapal tersebut.