Mereka tak dapat turun ke laut menangkap ikan yang melimpah, karena bajak laut sepertinya ada di mana-mana. Tidak hanya bajak laut dalam arti harafiah, tetapi pembajak dalam segala hal!
Segelintir pemimpin kalian terlalu sewenang-wenang. Cobalah renungkan, di negeri yang kaya raya dan subur seperti itu, orang harus membeli beras dengan kupon, membeli minyak dan garam dengan kupon. Bukankah di kampungmu, di Minangkabau ada istilah ayam di lumbung mati kelaparan? Nah, itulah yang terjadi dengan rakyat Indonesia, kawan''.
Tidak dapat tidak si Bungsu kagum atas ucapan Fabian. Begitu banyak yang dia ketahui tentang Indonesia. Sesuatu yang dia sendiri tak begitu memahaminya.
''Banyak yang kau ketahui tentang negeriku, kawan..'' katanya pelan sambil melempar pandangan keluar.
''Saya mengetahuinya lewat koran.''
''Apakah menurut dugaanmu semua yang ditulis koran itu benar?''
''Koran di negeri ini berbeda dengan koran di negerimu, sobat. Wartawan di negeri ini, dan di negeri kami, berbeda dengan wartawan di negerimu. Wartawan di negeri kami menulis fakta. Dan mereka tak takut sedikitpun pada resiko yang ditimbulkan oleh fakta yang mereka ungkapkan. Itulah sebabnya kenapa kami menaruh kepercayaan kepada wartawan-wartawan kami. Percaya pada apa yang mereka tulis. Tidak seperti wartawan di negerimu. Yang menulis hanya demi periuk nasi. Memang ada wartawan jempolan di negerimu, yang tak mau kompromi dengan penguasa yang tak benar. Saya mengenal nama beberapa orang di antaranya, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Tapi mereka telah disikat penguasamu, masuk bui dan korannya dibredel. Selebihnya, wartawan-wartawan di sana kebanyakan adalah pelacur, atau tukang peras. Barangkali tak semua, masih cukup banyak yang baik. Namun lebih banyak yang tak baik. Mereka menulis apa yang menyenangkan hati para pimpinan saja. Bukankah di negerimu ada istilah ABS-isme? Asal Bapak Senang? Nah, kami memang mempercayai wartawan kami. Karena umumnya mereka bukan pelacur jurnalistik''.
Si Bungsu terdiam. Tentang jurnalistik, dunia kewartawanan, dia benar-benar tak mahfum seujung kukupun.
Fabian lalu bangkit, menuju ruang dalam. Dari lemari buku dia memilih beberapa saat. Kemudian membawa keluar sebuah buku. Duduk dan meletakan buku itu di depan si Bungsu. Dia melihat dan membaca judul buku tersebut, "THE REBELS". Di tulis oleh Brian Crozier. Nampaknya penulis ini juga orang Inggeris.
''Buku ini, kawan, adalah sebuah buku study tentang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi setelah Perang Dunia II. Tidak hanya memuat tentang pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia, tetapi juga memuat dan menelaah pemberontakan Fidel Castro terhadap Batista di Cuba, Ho Chi Minh di Vietnam dan Ben Bella di Afrika, dua yang terakhir memberontak melawan Perancis. Lalu Uskup Besar Makarios di Pulau Kreta yang memberontak terhadap Inggeris. Agar engkau tak lelah, saya akan uraikan secara singkat isi buku ini, yaitu jika engkau berminat. Jadi engkau tak perlu membaca keseluruhan isinya…''
Fabian menatap si Bungsu. Menanti jawabannya. Si Bungsu memang berminat, dia mengangguk. Memang lebih baik mendengar saja resume buku itu secara garis besar, daripada harus membacanya, yang menilik tebalnya mungkin harus dibaca selama sepekan. Barangkali banyak istilah dan bahasa yang tak dia ketahui. Dia hanya faham bahasa Inggeris untuk sehari-hari. Meski lancar tapi tak mendalam, sekadar "cukup untuk makan".
Fabian kemudian membalik-balik buku The Rebels itu, seperti mencoba mengingat garis besar isinya. Sementara di Bungsu dan Sony menanti dengan diam. Kemudian Fabian memulai:
''Menurut Brian Crozier, pola pemberontakkan bersifat konsisten, melalui tiga tahap.
Pertama, teror, kedua perang gerilya, ketiga perang besar-besaran. Tentu tidak semua pemberontakan diakhiri, tidak semuanya mencapai tahap kedua dan malah sedikit sekali yang sampai pada tahap ketiga.
Hanya pemberontakan PRRI/Permesta yang sungguh luar biasa, karena dia tak memenuhi ketiga pola tadi. PRRI dimulai dimana pemberontakan harus diakhiri dan itupun kalau dia sudah berhasil yakin dengan proklamasi suatu pemerintah, dalam hal ini pemerintah yang diproklamasikan di Padang dalam bulan Februari 1958 oleh Syafruddin Prawiranegara. Ini dengan cepat disusul dengan taraf ketiga, yaitu perang besar-besaran, yaitu tatkala pemerintah pusat melancarkan offensifnya di Sumatera dan Sulawesi pada April dan Mei 1958. Kekalahan kaum PRRI/Permesta di taraf ketiga, mendesak mereka ke taraf kedua, yakni perang gerilya di hutan dan di gunung, melawan pasukan pemerintah Pusat. Tak lama kemudian tindakan meraka memasuki taraf pertama dalam bentuk yang lebih lunak berupa pembakaran kebun-kebun dan gudang-gudang karet. Barangkali karena urutannya yang terbalik itulah, maka pemberontakan anti-Sukarno dan anti-Komunis yang dilancarkan PRRI/Permesta menjadi gagal.
Kemudian menurut Brian, sebab lain kegagalan PRRI itu adalah:
1. Tidak adanya persiapan yang cukup dalam bidang militer.
2. Tidak dilakukannya persiapan untuk kemungkinan kudeta di Jawa sebagai pusat kekuasaan.
3. Tidak adanya leadership, dalam arti tak adanya seorang tokoh yang merupakan tokoh nomor satu.
4. Tak adanya perahasiaan mutlak di pihak pemberontak tentang apa yang hendak mereka lakukan, dan mereka malah mencari publisitas seluas-luasya tentang apa yang bakal mereka kerjakan.
Demikian sebab-sebab kegagalan pemberontakan kaum kolonel dan kaum ekonom ini menurut Brian Crozier yang ditambahkannya pula, mereka kekurangan kekuatan dan dukungan rakyat, istimewa di Jawa, yang akan menjamin keberhasilan. Dan adalah perbuatan edan saat mereka memproklamirkan sebuah pemerintahan di bulan Februari 1958 di Padang.
Dalam pada itu, menurut buku The Rebels ini, Presiden Soekarno tak bisa bebas dari tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara. Sesungguhnya pemberontakan PRRI/Permesta tak bakal terjadi jika ia berlaku sebagai negarawan yang mempunyai pandangan yang luas. Tapi ternyata dia tak mempunyainya dan tak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menghindarkan pemberontakan itu. Soekarno bertanggungjawab pula atas memberi kesempatan amat luas bagi berkembangnya dengan pesat partai PKI.''
Fabian berhenti bicara. Menatap pada si Bungsu. Kemudian melanjutkan perlahan:
''Soekarno, Presidenmu itu, terlalu memberi hati pada Komunis. Itu kesalahan utamanya. Sebaliknya dia justru amat curiga pada Angkatan Perangnya, terutama Angkatan Darat. Itu kesalahannya kedua. Padahal, Angkatan Darat yang setia padanya, dapat dia gunakan menjadi alat stabilisator.
Tapi sebaliknya, Angkatan Darat di negerimu, di bawah pimpinan Jenderal Nasution, terlalu lemah dalam menghadapi komunis. Lemah dalam pengertian terlalu ikut memberi hati.
Padahal mereka, Komunis itu, telah menikam Angkatan Darat di Madiun pada Tahun 50. Banyak perwira TNI AD yang mereka bunuh. Seyogyanya, Angkatan Darat harus memerangi mereka habis-habisan. Namun negerimu adalah negeri yang aneh. Partai yang demikian jelas-jelas memerangi dan membunuhi sebuah angkatan, bisa hidup dan jadi besar bersama angkatan itu.
Nah, kawan, itulah isi buku Brian Crozier ini. Apakah benar atau tidak, terserah engkau untuk menilainya. Kalau saja buku ini boleh beredar di Indonesia, barangkali akan besar manfaatnya sebagai kaca pembanding bagi pemimpin negerimu.
Mungkin tak semua yang ditulis ini benar tapi bukankah orang luar bisa menilai lebih objektif, karena penulis buku ini tak terlibat langsung dalam sengketa dikedua pihak?''
Si Bungsu tak memberikan komentar. Dia samasekali memang tak mengerti masalah politik. Segala yang dia dengar dan dia ketahui tentang negerinya lewat buku atau lewat ucapan Fabian di Singapura ini, hanya akan jadi sekedar pengetahuan saja.
Lagipula dia tak tahu kapan dia akan kembali ke Indonesia. Entah akan kembali entah tidak. Negeri yang akan dia turut amatlah jauhnya. Dallas, ibukota negara bahagian Texas di Amerika Serikat sana. Dia tak tahu dimana negeri itu. Asing dan jauh. Dia harus kesana. Dia harus menemukan Michiko.
Mereka menyelusup di antara pepohonan. Samar-samar, di seberang sana kelihatan kapal selam itu berada di bawah naungan pohon beringin. Kapal itu muncul di permukaan laut, geladaknya sama rata dengan air. Dua orang marinir kelihatan mondar mandir di atas geladak itu.
Menara komando kapal itu kelihatan mencuat ke atas. Fabian berjongkok. Sekurang-kurangnya ada sebuah keuntungan bagi mereka kini. Tongky yang ahli menyamar dan menyelusup itu berhasil mendapat informasi, bahwa seluruh awak kapal saat ini berada di Konsulat Belanda. Yang tinggal di kapal hanya lima orang. Yaitu seorang melayani radio, seorang di kamar mesin, seorang perwira jaga dan dua orang marinir yang kelihatan mondar mandir di geladak dengan senapan mesin di tangan.
Si Bungsu menyelusup cepat dari balik-balik pohon, dan ikut berjongkok dekat Fabian. Demikian pula Tongky. Mereka hanya bertiga di pantai ini. Hal itu disengaja, sebab jumlah yang banyak bisa menimbulkan risiko yang lebih besar. Dengan personil yang sedikit, kebebasan bergerak lebih terjamin.
Dalam keseluruhan operasi ini, mereka hanya berempat orang. Seorang lagi, yaitu Miquel Sancos, keturunan Spanyol – Amerika Latin, bertugas mengawasi rumah diplomat Belanda dimana tengah dilangsungkan resepsi dengan awak kapal selam itu. Miquel bertugas mengawasi dan melaporkan kalau-kalau ada diantara mereka yang tiba-tiba saja meninggalkan ruangan resepsi menuju ke daerah kapal.
Hal mendadak begitu bisa saja terjadi. Sebab antara kapal selam dengan rumah diplomat itu dihubungkan dengan radio. Kalau orang di kapal merasa ada yang tak beres, ada bahaya mengancam, maka mereka bisa mengirim isyarat ke rumah sang diplomat. Dan orang-orang kapal itu akan segera meninggalkan rumah itu menuju kapal.
Bila itu terjadi, Miquel bertugas sendirian dengan cara apapun jua, mencegah orang-orang tersebut sampai ke kapal. Kalau tak bisa mencegah secara total, maka harus diusahakan sebuah 'kecelakaan' atau insiden untuk memperlambat mereka. Dan untuk keseluruhan operasi itu, baik yang di rumah si diplomat, maupun yang di kapal, telah disepakati untuk tak akan mengambil korban jiwa.
Persyaratan itu ditetapkan oleh Fabian pada si Bungsu. Sebab betapapun jua, Fabian tak punya permusuhan dengan Belanda atau Indonesia. Secara etis, Fabian sebenarnya tak suka ikut campur. Namun rasa persahabatan, rasa saling setia kawan melebihi segalanya. Itulah yang menyebabkan Fabian dan kawan-kawannya membantu si Bungsu.
Si Bungsu menyetujui persaratan tersebut. Sebab kehadiran kapal selam di perairan Indonesia bisa membahayakan angkatan laut Indonesia. Maka dia ingin memperkecil bahaya itu.
''Salah seorang diantara kita harus tetap menjaga di darat. Dua orang menyelam melekatkan dinamit ke dinding kapal. Yang di darat menunggu isyarat dari Miquel. Kau berada di darat, Bungsu..''
''Tidak, Kapten. Ini adalah perangku, aku yang harus menyelam. Kau di darat..''
Fabian menatapnya.
''Baik. Saya di darat. Kau dan Tongky menyelam. Beri mereka kesempatan untuk bisa meninggalkan kapal itu. Nah, selamat..''
Si Bungsu dan Tongky segera mengangkat skuba, peralatan mereka untuk menyelam. Menyelusup ke pantai. Lalu memakai alat tersebut.
Pihak Angkatan Laut Belanda memang tak memasang pengawalan di pantai. Mereka demikian yakinnya, bahwa tempat ini amatlah amannya. Singapura memang negeri yang netral, dan malangnya mereka tak memiliki intelijen yang baik, sehingga tak mengetahui, kalau kenetralannya disalah-gunakan Belanda.