Termasuk di dalam laporan itu bahan yang dikirimkan oleh Overste Nurdin, Atase Militer Indonesia di Malaya yang berkedudukan di Singapura.
Mereka juga mendapat data intelijen dari Konsul RI di Australia. Tentang Michiko, selain informasi dari OversteNurdin, juga didapat informasi dari Jakarta. Dalam pergolakan ini dia dinilai militer sebagai orang yang sangat netral.
Dalam kasus tertentu dia melabrak anggota APRI yang tidak benar. Dalam kasus lain dia menghantam orang PRRI yang berbuat aniaya kepada rakyat. Kenetralan yang sangat terjaga dan karenanya sangat dihormati.
Tentang apa sebab dan apa tujuan Michiko mencari si Bungsu, informasinya mereka peroleh juga dari laporan Overste Nurdin.
Laporan itu tidak begitu lengkap, hanya dituliskan bahwa selain membawa-bawa dendam, Michiko sebenarnya mencintai si Bungsu. Laporan dari Overste Nurdin dikirim ke Jakarta via telegram. Diteruskan ke perwira tertentu yang berada di Sumatera Barat.
"Kau boleh tangguh dan menang bertarung dengan selusin lelaki, Bungsu. Termasuk dengan aku. Tapi kami sudah menduga, kau takkan berdaya menghadapi Michiko…" ujar Letnan Fauzi bergurau.
"Dan itu sudah kami buktikan ketika menemukan engkau sekarat di Situjuh.." sambung Letnan Azhar.
Si Bungsu tersenyum dan memandang pada Michiko. Gadis itu, yang sudah amat fasih berbahasa Indonesia, karena belajar dari Salma dan Nurdin saat di Singapura, tunduk tersipu-sipu.
"Lain kali, kalau kita harus melawan Bungsu lagi, kita minta tolong saja pada Michiko.." ujar Letnan Azhar, disambut tawa berderai Letnan Fauzi.
Si Bungsu yang ikut tertawa tiba-tiba terpekik, karena lengannya dicubit Michiko. Cubit dan pekik itu menyebabkan tawa mereka makin berderai di dalam kamar rawat inap itu.
Lepas dari pertemuan dan senda gurau yang membahagiakan itu, menjadi jelas pula bagi Bungsu dan Michiko, pada malam terjadinya peristiwa terlukanya si Bungsu itu mereka berdua dilarikan dengan memakai truk pengangkut tentara ke Payakumbuh. Kemudian atas perintah kedua letnan RPKAD itu dia dilarikan ke Rumah Sakit Tentara di Padang.
Dengan truk yang dilengkapi kasur malam itu juga melarikan mereka ke Padang, dikawal oleh selusin anggota RPKAD. Hal itu dilakukan kedua perwira RPKAD itu setelah terjadi "uji tanding" antara si Bungsu dengan Letnan Fauzi. Jika sebelumnya mereka hanya menerima laporan intelijen tentang apa dan mengapa si Bungsu dan Michiko, tiga hari setelah uji tanding itu datang sebuah daftar dari Markas APRI berisi nama dua tiga orang di Sumatera Barat yang diberi kode HD, "Harus Dilindungi".
Di antara sedikit nama yang diberi kode HD itu terdapat nama Kari Basa dan Bungsu! Untuk melaksanakan perintah berlabel HD itu tentu saja mereka tak boleh kehilangan jejak orang-orang tersebut. Namun letnan itu kelabakan mencari dimana keberadan si Bungsu. Ketika Michiko muncul di Bukittinggi, akhirnya diputuskan untuk mengawasi gadis itu dari jauh.
Mereka yakin, kedua orang itu pasti akan bertemu. Karenanya diam-diam Michiko dijadikan sebagai "penunjuk jalan" dalam mencari si Bungsu.
Namun adanya perintah berkode HD itu, berikut menjadikan Michiko sebagai penunjuk jalan, tak pernah diungkapkan kedua letnan itu kepada siapapun, tentu saja termasuk kepada si Bungsu dan Michiko. Dari pertemuan hari itu pula si Bungsu mengetahui, bahwa ke Sumatera Barat ini RPKAD yang dikirim hanya dua peleton yang dipimpin Fauzi dan Azhar. Sementara ke Riau dikirim satu batalyon, berkekuatan lebih kurang seribu orang.
Hal itu disebabkan pemerintah Pusat mengamankan PT Caltex yang berkantor di pinggiran kota Pekanbaru, serta ladang-ladang minyaknya yang bertebaran di dalam belantara Riau tersebut.
Letnan Fauzi dan Letnan Azhar memerlukan datang menemui si Bungsu, karena dua peleton RPKAD yang mereka pimpin akan kembali ke Jakarta. Masa tugas mereka selama tiga bulan di daerah ini sudah berakhir.
"Terimakasih, Letnan. Aku berhutang nyawa pada kalian…" ujar si Bungsu dengan nada bergetar.
"Kalau kalian nikah nanti jangan lupa mengundang kami, awas kalau lupa.." ujar Fauzi saat akan meninggalkan ruangan itu. Dan para sahabat itupun berpisah dalam suasana penuh haru.
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit si Bungsu sangat terkejut ketika mendengar kabar bahwa ayah Salma yang bernama Kari Basa mati tertembak di Bukttinggi. Dia ditembak malam hari, saat akan masuk ke rumahnya. Sampai sekarang tidak diketahui pihak mana yang menembaknya. Overste Nurdin dan Salma isterinya telah sampai di Bukittinggi dua hari yang lalu. Mereka terbang langsung dari New Delhi dimana Nurdin bertugas ke Jakarta, kemudian ke Padang dan diantar pakai jip yang dikawal dua truk tentara ke Bukittinggi. Si Bungsu, termasuk Michiko, memutuskan untuk datang ke Bukittinggi menemui kedua sahabatnya itu.
Sementara Michiko kembali teringat ucapan Salma di Airport Changi, saat akan berangkat ke Jakarta, untuk seterusnya mencari si Bungsu ke kampungnya. Saat itu Salma berkata:
"Sebagai sesama perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengan lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau yang memiliki kesempatan paling besar untuk mendapatkan dirinya. Jangan engkau sampai dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat. Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya.
Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu. Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin si Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini. Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, Adikku!"
Michiko termenung mengingat kata-kata: "Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, Adikku!" Oo, alangkah inginnya dia hal itu terwujud. Alangkah inginnya.
Tengah dia menghayalkan hal tersebut tiba-tiba dia dikejutkan suara si Bungsu:
"Michiko-san…"
"Ya…?"
"Kita akan ke Bukittinggi, kan?
"Ya.."
"Secepatnya, kan?"
"Ya.."
"Michiko-san.."
"Ya..?"
Si Bungsu menatapnya. Sepi, Michiko menunggu apa yang akan disampaikan si Bungsu lebih lanjut.
"Di negeri kami ini, yang melamar seorang gadis adalah pihak ibu dan keluarga perempuan pihak lelaki. Tapi saya tidak lagi punya keluarga. Kita sama-sama sebatang kara. Kalau nanti kita sudah di Bukittinggi, saya akan meminta Salma dan Nurdin melamarmu.
Engkau akan menjadi tempat aku mengabarkan sakit dan senang, aku tempat engkau mengabarkan sakit dan senang pula. Maukah engkau menjadi isteriku, Michiko-san? "
Michiko menatap si Bungsu, kemudian berdiri. Lalu menghambur ke dalam memeluk lelaki itu. Dia menangis terisak-isak, tenggelam oleh rasa haru dan bahagia yang tak bertepi.
"Hati dan jiwaku milikmu, kekasihku. Milikmu, selamanya-lamanya….!"
Mereka menompang konvoi tentara pusat yang akan berangkat ke Bukittinggi. Di dalam konvoi yang berjumlah belasan truk dan bus itu, selain penompang kalangan sipil terdapat puluhan anak-anak SGKP. Semula ada kekhawatiran diantara penompang akan adanya pencegatan. Tetapi untuk menghilangkan rasa takut dan ketegangan, tentara yang ada di setiap truk menyuruh anak-anak sekolah itu bernyanyi.
Namun lewat Nagari Sicincin mereka pada lelah. Malah ada yang mengantuk. Konvoi itu melaju terus, dengan di depan sekali sebuah jip tentara kemudian dua truk berisi pasukan, ketiganya dibekali dengan senapan mesin, diselang seling bus dan truk berisi anak sekolah dan sipil dan di belakang sekali tiga truk penuh tentara. Sebahagian besar penompang dan tentara masih saling berbicara perlahan tanpa melupakan kewaspadaan.
Lepas dari Kayu Tanam konvoi memperlambat perjalanan karena mulai memasuki areal hutan berbukit di Bukit Tambun Tulang. Tak lama kemudian mereka memasuki kawasan Lembah Anai dengan air terjun yang indah.
Sebenarnya saat masih berada di kawasan Bukit Tambun Tulang tiba-tiba saja ada perasaan tak sedap menyelusup ke hati si Bungsu.
Matanya menatap ke bukit-bukit batu terjal tatakala memasuki Lembah Anai.
Lalu… tiba-tiba terjadilah tragedi berdarah itu! Dari hutan di bukit-bukit batu curam di kiri kanan lembah itu tiba-tiba saja konvoi disiram tembakan mitraliur. Tidak itu saja, tembakan bazoka melemparkan sebuah truk dan sebuah bus penuh penompang dan tentara ke dalam sungai berbatu. Si Bungsu dan beberapa penompang sipil dan belasan tentara berada di truk yang terlempar itu! Sebagian dari konvoi itu berhenti mendadak. Jip yang berada di depan sekali, yang berada di tempat terbuka mempercepat larinya mencoba berlindung di tikungan.
Namun serentetan tembakan mitraliur membunuh seluruh isi jip itu, sementara jip itu sendiri baru berhenti tatkala menabrak tebing batu di kirinya. Beberapa bus dan truk tersandar ke tebing batu dalam usaha mengelak dari tembakan membabi buta. Tak ayal lagi, konvoi APRI itu masuk perangkap PRRI! Para penumpang berhamburan turun dan menjauhi bus dan truk. Menghindar dari daerah terbuka agar tidak menjadi sasaran peluru. Untuk itu jalan satu-satunya adalah masuk ke hutan terdekat. Hutan di wilayah itu hanya tumbuh di dinding tebing batu yang curam.
Apa boleh buat mereka terpaksa, dan harus, mendaki hutan di tebing terjal itu. Selain menghindari celaka dari sasaran peluru, sekaligus menghindar dari celaka bila truk atau bus meledak. Michiko berada di dalam bus yang tersandar ke dinding batu dan penompangnya terdiri rombongan anak SGKP yang bertemperasan turun menyelamatkan diri itu! Namun malang memang tengah mengikuti mereka. Peluru yang ditembakkan oleh PRRI dari puncak-puncak tebing, yang sebenarnya ditujukan kepada tentara pusat benar-benar "tak bermata".
Tidak bisa membedakan mana yang tentara mana yang sipil. Mana yang lelaki mana perempuan. Akibatnya belasan anak-anak SGKP dan penompang sipil lainnya tersungkur dihantam peluru begitu mereka berhamburan turun dari bus atau truk. Belasan lainnya bernasib sama, meski mereka sudah berada di dalam hutan di tebing terjal dalam upaya menyelamatkan diri. Salah seorang di antara korban yang kena tembak itu adalah Michiko!
Hutan di bukit cadas Lembah Anai itu sudah ditelan malam yang kental ketika seorang anggota PRRI berpangkat letnan dan lima anggotanya "membersihkan" hutan itu. Dengan dua buah senter mereka memeriksa lekuk dan tonjolan batu yang mereka lewati. Mereka lewat di sana karena daerah itu memang sudah dipersiapkan sebagai jebakan yang mematikan bagi konvoi tentara pusat yang akan lewat di sana.
PRRI memerlukan waktu sekitar beberapa minggu untuk mempersiapkan jebakan tersebut. Setiap bukit, tebing dan pohon dengan seksama mereka pelajari situasinya. Termasuk mempelajari kemana saja jalan mengundurkan diri atau jalan lari bila terjadi hal-hal yang diluar perhitungan. Termasuk bila terjadi serangan balik dari pihak APRI.
Letnan dan empat anggotanya itu sedang berada di pinggang salah satu tebing terjal di Lembah Anai, tatkala mereka mendengar suara rintihan. Setelah lelah mencari dengan cahaya senter dalam kegelapan itu, mereka menemukan di puncak sebuah tonjolan batu sesosok tubuh wanita. Nampaknya dia dengan susah payah memanjat batu tersebut agar tidak dimangsa binatang buas.
"Ini orang asing, Let…" ujar salah seorang yang berpangkat sersan.
Mereka menatap wajah perempuan yang tersandar separoh sadar itu.
"Jepang! Ini…Astaghfirullah,…ini pasti gadis Jepang yang mencari si Bungsu.." ujar yang berpangkat letnan.
Ketiga mereka memperhatikan Michiko dengan perasaan tak percaya. Cerita tentang si Bungsu dan gadis Jepang yang mencarinya itu, sampai si Bungsu mengalami luka di Situjuh Ladang Laweh dan dirawat di Rumah Sakit Tentara di Padang atas pertolongan dua perwira RPKAD, sudah bersebar dari mulut ke mulut.
"Kita tidak mungkin meninggalkannya di sini, dia memerlukan pertolongan.." ujar si sersan.
Kelima mereka menyepakati ucapan si sersan. Mereka lalu membuat tandu darurat dan menandu Michiko makin masuk ke belantara, naik turun bukit arah ke Gunung Singgalang.
Jalan itu sudah mereka pelajari dua bulan yang lalu, merupakan jalan terdekat untuk tembus ke kampung Balingka. Selain menandu Michiko mereka juga membawa tiga pucuk senjata yang tertinggal oleh pasukan APRI.
Menjelang subuh mereka sampai di barak darurat yang dibuat di pinggang Gunung Singgalang. Barak itu sengaja dibuat di sana, agar tak terjangkau oleh APRI, dan memudahkan droping senjata oleh helikopter Amerika yang terbang menyelusup dari Laut Cina Selatan. Namun celaka menghadang, pada saat bersamaan dengan kedatangan mereka kebetulan sebuah helikopter Amerika sedang menurunkan senjata. Tapi saat itu pula tiba-tiba pasukan APRI menyerang.
Pasukan APRI ternyata tidak hanya melakukan serangan balik atas peristiwa Lembah Anai yang terjadi kemarin pagi, tapi juga melakukan serangan mendadak ke salah satu tempat rahasia PRRI menerima droping senjata dari Amerika melalui udara.
Apri menjadi curiga saat tengah malam ada deru helikopter. Setelah beberapa kali hal itu terjadi, mata-mata yang disebar akhirnya mengetahui maksud kedatangan heli itu, serta di mana lokasi droping senjata dilakukan.
Keadaan benar-benar kacau balau. Di barak darurat di tengah hutan di pinggang Singgalang itu hanya ada satu peleton PRRI. Mereka disiagakan di sana untuk menunggu dan membawa senjata yang didrop secara rahasia itu. Itu sebabnya, ketika APRI belum mengenal bazoka, PRRI sudah menggunakannya. Senjata itu merupakan senjata anti-tank.
Tempat itu dipilih karena letaknya yang tersembunyi, tapi strategis. Ketika serangan datang dengan mudah mereka menyelusup dan lenyap berlindung ke jurang-jurang di sekitarnya.
Dalam peristiwa serangan mendadak menjelang subuh itu, si letnan masih sempat meminta pertolongan kepada pilot helikopter untuk menyelamatkan Michiko yang terluka, dan saat itu tidak sadar diri.
"Tomas, keadaan gadis ini kritis, kalau dibiarkan di sini nyawanya bisa tidak tertolong.." ujar letnan itu.
"Tapi saya harus ke Singapura.." jawab pilot bernama Tomas dalam gebalau yang mencekam itu.